Anda di halaman 1dari 15

Perang

Diponegoro
Ilham Makhna Akbar
XI Bahasa
Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan
Perang Jawa adalah perang besar dan berlangsung selama
lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa, Hindia Belanda
(sekarang Indonesia). Perang ini merupakan salah satu
pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda
selama masa pendudukannya di Nusantara, melibatkan
pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik
Merkus de Kock yang berusaha meredam perlawanan
penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Pada saat memasuki abad ke-19, keadaan di jawa khususnya di Surakarta dan Yogyakarta
semakin memprihatinkan. Campur tangan kolonial membawa pergeseran adat dan budaya
keraton yang sudah lama ada di keraton bahkan melahirkan budaya Barat yang tidak
sesuai dengan budaya Nusantara, seperti minum-minuman keras.
Pada waktu itu pemerintah kerajaan mengizinkan perusahaan asing menyewa tanah untuk
kepentingan perkebunan. Akibatnya, para petani tidak dapat mengembangkan hidup
dengan pertaniannya, tetapi justru menjadi tenaga kerja pakasa. Rakyat tetap menderita.
Perubahan pada masa Van der Capellen juga menimbulkan kekecewaan. Beban
penderitaan rakyat itu semakin berat, kerena diwajibkan membayar berbagai macam pajak.
Jenis-jenis Pajak yang Dibebankan Kepada
Rakyat

.
01 Welah-welit 03. Pecumpling
pajak tanah pajak jumlah pintu

.
02 Pengawang-awang 04. Pajigar
pajak halaman pekarangan pajak ternak

05. Penyoket 06. Bekti


pajak pindah nama pajak menyewa tanah atau
menerima jabatan
Insiden Anjir
Sejak tahun 1823, Smissaert diangkat sebagai residen di Yogyakarta. Tokoh Belanda ini
dikenal sebagai tokoh yang sangat anti terhadap Pangeran Diponegoro. Oleh karena itu,
Smissaert bekerja sama dengan Patih Danurejo berusaha menyingkirkan Pangeran
Diponegoro dari istana Yogyakarta.
Pada suatu hari di tahun 1825 Smissaert dan Patih Danurejo dalam rangka membuat jalan
baru memerintahkan anak buahnya untuk memasang anjir (pancang/patok). Secara sengaja
pemasangan anjir ini melewati pekarangan milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa
izin. Pangeran Diponegoro memerintahkan rakyat untuk mencabuti anjir tersebut.
Kemudian Patih Danurejo memerintahkan memasang kembali anjir-anjir itu dengan dijaga
pasukan Macanan (pasukan pengawal kepatihan). Dengan keberaniannya pengikut
Pangeran Diponegoro mencabuti anjir/patok-patok itu dan digantikannya dengan tombak-
tombak mereka. Berawal dari insiden anjirinilah meletus Perang Diponegoro.
Kala itu tanggal 20 Juli 1825 sore hari, rakyat
Tegalreja berduyun-duyun berkumpul di dalem
Tegalreja dengan membawa berbagai senjata
seperti pedang, tombak, lembing dan lain-lain.
Mereka menyatakan setia kepada Pangeran
Diponegoro dan mendukung perang melawan
Belanda. Belanda
datang dan mengepung dalem Tegalreja.
Pertempuran sengit antara pasukan Diponegoro
dengan serdadu Belanda tidak dapat dihindarkan.
Mengatur strategi dari Selarong

Dari Selarong, Pangeran Diponegoro menyusun


strategi perang. Dipersiapkan beberapa tempat untuk
markas komando cadangan. Kemudian Pangeran
Diponegoro menyusun langkah-langkah.

Gambar Gua Selarong


Langkah-langkah Perlawanannya adalah sebagai berikut :

 Merencanakan serangan ke keraton Yogyakarta dengan mengisolasi pasukan Belanda dan


mencegah masuknya bantuan dari luar.
 Mengirim kurir kepada para bupati atau ulama agar mempersiapkan peperangan melawan
Belanda.
 Menyusun daftar nama bangsawan, siapa yang sekiranya kawan dan siapa lawan.
 Membagi kawasan Kesultanan Yogyakarta menjadi beberapa mandala perang, dan
mengangkat para pemimpinnya.
Perlawanan Pangeran Diponegoro terus meningkat. Beberapa pos
pertahanan Belanda dapat dikuasai. Pergerakan pasukan Diponegoro meluas
ke pelbagai daerah seperti Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang dan
Rembang. Kemudian ke timur meluas ke Madiun, Magetan, Kediri dan
sekitarnya. Perang yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro mampu
menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa, oleh karena itu, Perang
Diponegoro juga dikenal dengan Perang Jawa. Semua kekuatan dari rakyat,
bangsawan, dan para ulama. bergerak untuk melawan kekejaman Belanda.
Perluasan perang di berbagai daerah
Menghadapi perlawanan Diponegoro yang terus meluas itu, Belanda berusaha
meningkatkan kekuatannya. Beberapa komandan tempur dikirim ke berbagai daerah
pertempuran. Misalnya Letkol Clurens dikirim ke Tegal dan Pekalongan, kemudian Letkol
Diell ke Banyumas. Jenderal de Kock sebagai pemimpin perang Belanda berusaha
meningkatkan kekuatannya. Untuk menambah kekuatan Belanda, juga didatangkan
bantuan tentara Belanda dari Sumatera Barat.
Strategi benteng “Stelsel”
Perlawanan pasukan Pangeran Diponegoro senantiasa bergerak dari pos pertahanan yang
satu ke pos yang lain. Pengaruh perlawanan Diponegoro ini semakin meluas.
Perkembangan Perang Diponegoro ini sempat membuat Belanda kebingungan. Untuk
menghadapi pasukan Diponegoro yang bergerak dari pos yang satu ke pos yang lain,
Jenderal de Kock kemudian menerapkan strategi dengan sistem “Benteng Stelsel” atau
“Stelsel Benteng”. Konsep strategi Benteng Stelsel yaitu menghubungkan beberapa kota
dengan membangun benteng/tangsi militer sebagai pertahanan dimana salah satu kota
dijadikan sebagai poros kekuatan militer, dalam hal ini adalah kota Magelang.
Ruang gerak perlawanan Diponegoro mulai menyempit seiring diterapkannya sistem
Benteng Stelsel. Banyak pemimpin yang membantu Diponegoro tertangkap, tetapi
perlawanan masih terjadi di beberapa tempat seperti di Kulon Progo Benteng Belanda di
Nanggulan justru berhasil direbut oleh pasukan Sentot Prawirodirjo dan berhasil
menewaskan Kapten Ingen. Peristiwa di Nanggulan ini mendapat perhatian khusus oleh
para pemimpin perang Belanda sehingga Pasukan Belanda mulai dikonsentrasikan untuk
mendesak dan mempersempit ruang gerak pasukan Sentot Prawirodirjo di sana.
Perjanjian Imogiri
Pasukan Belanda dikonsentrasikan untuk mendesak dan mempersempitkan ruang gerak
pasukan Sentot Prawirodirjo dan kemudian mencoba untuk didekati agar mau berunding.
Ajakan Belanda
ini berkali-kali ditolaknya. Belanda kemudian meminta bantuan kepada Aria
Prawirodiningrat untuk membujuk Sentot Prawirodirjo. Pertahanan hati Sentot
Prawirodirjo pun luluh, dan menerima ajakan untuk berunding. Pada tanggal 17 Oktober
1829 ditandatangani Perjanjian Imogiri antara Sentot Prawirodirjo dengan pihak Belanda.
Isi perjanjian Imogiri :

1) Sentot Prawirodirjo diizinkan untuk tetap memeluk agama Islam,


2) Pasukan Sentot Prawirodirjo tidak dibubarkan dan ia tetap sebagai komandannya,
3) Sentot Prawirodirjo dengan pasukannya diizinkan untuk tetap memakai sorban,
4) Sebagai kelanjutan perjanjian itu, maka pada tanggal 24 Oktober 1829 Sentot
Prawirodirjo dengan pasukannya memasuki ibu kota negeri Yogyakarta untuk secara
resmi menyerahkan diri.
Itulah penjelasan mengenai
Perang Diponegoro.
Terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai