Anda di halaman 1dari 2

Belanda sudah lama ingin menduduki Bali.

Namun, keinginan itu terhalang oleh hukum


tawan karang yang berlaku di pulau tersebut. Setiap kapal asing yang terdampar di perairan
Bali harus disita dan isinya dirampas beserta awak kapalnya. Akibat penerapan hukum
tawan karang, Belanda beberapa kali merugi. Salah satunya adalah pada 1844, ketika kapal
mereka terdampar di Pantai Sangsit yang termasuk wilayah Kerajaan Buleleng. Kapal itu
disita. Isi dan muatannya dirampas, para awak kapalnya pun menjadi tawanan. Belanda
tidak bisa menerima hal itu.
Insiden di perairan Buleleng menjadi puncak kekesalan Belanda. De Lignij yang semula
berpura-pura baik agar bisa menarik hati Raja Buleleng pada akhirnya tidak tahan lagi. Ia
bahkan memaksa Kerajaan Buleleng untuk mengakui kekuasaan Belanda. Tentu saja
keinginan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Kerajaan Buleleng yang saat itu dipimpin
seorang raja bernama I Gusti Ngurah Made dan didampingi oleh I Gusti Ketut Jelantik
sebagai patihnya.
De Lignij kemudian melapor kepada Gubernur Jenderal di Batavia. Maka, diputuskan bahwa
Belanda akan mengirimkan armada tempurnya untuk menggempur Kerajaan Buleleng
sekaligus mengusung misi penaklukan Bali. Armada perang Belanda datang ke Buleleng pada
pertengahan 1846. Armada perang ini merupakan pasukan gabungan dari Batavia dan
Surabaya, terdiri dari 1.700 prajurit dan hanya 400 tentara saja yang berasal dari Eropa.
Pasukan besar ini dipimpin Komandan Angkatan Laut Kerajaan Belanda, Laksamana E.B. van
den Bosch, didampingi Kapten J. Entile selaku ajudan utama. Untuk misi pendaratan,
sebagai komandan adalah Kapten A.J. de Smith van den Broeke. Letnan Kolonel J. Bakker
memimpin pasukan angkatan darat.
Sebelum menyerang, Belanda masih berupaya melakukan usaha diplomasi terakhir.
Bagaimanapun juga, perang akan berpotensi menimbulkan kerugian besar. Belanda
menuntut Buleleng meminta maaf, juga meminta ganti rugi atas pemberlakuan hukum
tawan karang, serta beberapa tuntutan lainnya. Hal ini tak pelak membuat I Gusti Ketut
Jelantik marah dan menghardik utusan Belanda. Begitu pula dengan Raja I Gusti Ngurah
Made yang tidak sudi tunduk. Tidak ada jalan lain, perang harus terjadi. Patih Jelantik
memimpin pembangunan benteng pertahanan. Prajurit kerajaan dan rakyat bahu-membahu
menggali parit di sepanjang pantai dan diberi pagar bambu. Di belakangnya, dibangunlah
benteng-benteng tinggi, juga disiapkan sejumlah meriam meskipun berukuran kecil.
Akhirnya, hari itu tiba. Tanggal 25 Mei 1846, Belanda mulai melancarkan serangan dari laut
maupun darat. Dari laut, kapal-kapal Belanda menghujani tembakan meriam. Sementara itu,
mereka juga mengerahkan ratusan serdadu dari angkatan darat. Pasukan dan rakyat
Buleleng tetap bertahan di dalam area benteng.
Belanda rupanya kewalahan menghadapi serangan balik pasukan Kerajaan Buleleng yang
dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik. Pada 26 Mei 1846, didatangkan bantuan dari Batavia
dan Madura. Patih Jelantik menerapkan taktik bertahan, namun bisa mendadak berbalik
menyerang. Tembok dari tanah liat, bambu berduri, hingga batang pohon kelapa digunakan
untuk memperkuat tembok pertahanan. Namun, tentara Belanda yang datang tampaknya
tidak habis-habis bahkan terus bertambah. Kondisi ini membuat pertahanan Buleleng
tergerus. Patih Jelantik terus menggelorakan spirit pasukannya sembari menjaga keamanan
Raja Buleleng. Pasukan darat Belanda semakin merangsek menuju pusat istana. I Gusti Ketut
Jelantik terpaksa mundur demi keselamatan raja. Tanggal 27 Mei 1846 pagi, ibukota
Buleleng jatuh ke tangan Belanda.
Patih Jelantik, Raja Ngurah Made, serta sejumlah petinggi kerajaan dan sekutu Buleleng
mengamankan diri ke sebuah tempat bernama Jagaraga. Namun, Raja Buleleng terpaksa
menandatangani perjanjian yang disodorkan Belanda. Ini sebenarnya hanya taktik agar Patih
Jelantik bisa menyusun kekuatan kembali. Wilayah Jagaraga memang ideal untuk berperang
gerilya: masih banyak hutan, sungai, sawah, serta perbukitan yang menyulitkan lawan.
Pasukan Belanda tidak terbiasa bertempur di medan seperti itu. Berkat kemahiran diplomasi
Patih Jelantik, bantuan pun mengalir. Hampir semua kerajaan di Bali mengirimkan laskarnya.
Ribuan prajurit bantuan bergabung dengan pasukan Buleleng di Jagaraga.

Anda mungkin juga menyukai