Nama Anggota :
2.Afrian Rassya Lanang Sejati
4. Ahmad Ridhwan Syah
6. Alia Natasya
8. Arthakia Bendrata Adidarma
33. Titis Kawani
35. Violin Alya Syafa Kamila
37. Wardah Maulida Ulya
39. Yunita Santa Putri
Gusti Ketut Jelantik bersama pasukannya memindahkan Kerajaan Buleleng ke Desa Jagaraga
karena Letaknya yang berada di bukit dan banyak jurang, memudahkan mereka untuk
melakukan serangan mendadak. Hanya ada satu jalan penghubung, yakni melalui Desa Sangsit.
Hal ini memudahkan mereka untuk mengintai musuh yang hendak menyerang.
Jarak antara Jagaraga serta Pabean tergolong pendek sehingga mereka mudah mengawasi
gerak gerik pasukan Belanda. Istri dari I Gusti Ketut Jelantik berasal dari Desa Jagaraga. Selama
di Jagaraga, I Gusti Ketut Jelantik dan Raja Buleleng dengan dibantu oleh Jro Jempiring telah
menyusun strategi perang, yakni membangun berbagai benteng pertahanan di Desa Jagaraga.
TOKOH PERJUANGAN
1. I Gusti Ngurah Made Karangasem (Raja Buleleng): raja Buleleng yang memiliki
kebijaksanaan dan pasukan kuat, dan memerintah pada tahun 1808-1818
2. I Gusti Ketut Jelantik: patih dari Kerajaan Buleleng yang berperan dalam Perang Bali I,
Perang Jagaraga, dan Perang Bali III pada 1849.
3. Jro Jempiring: pemimpin Perang Puputan Jagaraga II, dibantu pimpinan prajurit
Jembrana (Pan Kelab), pimpinan prajurit Mengwi Gusti Nyoman Munggu, pimpinan
prajurit gabungan Gianyar dan Klungkung dipimpin Cokorda Rai Puri Satria.
JALANNYA PERLAWANAN
Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia jilid IV (1975) karya Sartono Kartodirdjo dkk,
disebutkan bahwa Belanda datang untuk menyerang Bali pada pertengahan 1846.
Armada Belanda terdiri dari 1.700 prajurit gabungan dari Batavia dan Surabaya dan
dipimpin oleh komandan tertinggi Van Den Bosch. Selama 2 hari, pasukan dari kerajaan
Buleleng, Karangasem dan Kalungkung bertempur mati-matian mempertahankan kedaulatan
Bali. Namun, karena persenjataan Belanda yg lebih lengkap dan modern, maka para pejuang
mengalami kekalahan. Kekalahan tersebut menyebabkan raja Buleleng I Gusti Ngurah Made
dan Ketut Jelantik mundur ke daerah Jagaraga. Pihak Bali juga terpaksa menandatangani
perjanjian damai pada 6 Juli 1846. Penandatanganan perjanjian oleh pihak Bali merupakan
salah satu siasat untuk membangun kembali kekuatan demi melawan Belanda pada periode
berikutnya
Setelah Perang Buleleng selesai, I Gusti Ngurah Made Karangasem, I Gusti Ketut Jelantik,
pimpinan pasukan dan para prajurit memindahkan Kerajaan Buleleng ke Desa Jagaraga.
Pilihan pemindahan Kerajaan Buleleng ke Desa Jagaraga, karena desa tersebut memiliki
beberapa kelebihan.
Belanda tidak pernah merasalan kenyaman dan keamanan selama menguasai Buleleng.
Karena, I Gusti Ketut Jelantik selalu membuat huru-hara di sekitar Buleleng dan Pabean. Mereka
merampok kapal-kapal Belanda di Pelabuhan Pabean, memboikot penjualan bahan makanan
kepada serdadu Belanda, dan melanggar semua perjanjian yang disepakati pada perang
Buleleng.
Pada tanggal 8 Juni 1848, Belanda melakukan penyerbuan melalui Pelabuhan Sangsit
dengan kekuatan 22 kapal perang yang dilengkapi meriam. Dalam aksi ini, sebanyak 250
serdadu Belanda tewas. Hal ini menandai, kekalahan Belanda pada Perang Jagaraga pertama.
Dalam aksi ini, sebanyak 250 serdadu Belanda tewas. Hal ini menandai, kekalahan Belanda.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemenangan I Gusti Ketut Jelantik, Raja Buleleng, dan
Jro Jempiring dalan Perang Jagaraga pertama, yaitu:
Adanya jiwa patriotisme prajurit Jagaraga bersama sekutunya yang sangat
tinggi.
Mentaati perintah perang I Gusti Ketut Jelantik, Raja Buleleng, dan Jro
Jempiring.
Melakukan serangan terpadu dengan tangguh dan kuat.
Dapat menggunakan senjata bus (bedil bus), berupa meriam tradisional yang
diletakkan di benteng utama.
Siasat perang berjalan sesuai rencana, dimana dapat menggiring pasukan
Belanda masuk perangkap ke benteng Supit Surang (Makara Wyuhana).
Belanda menganggap remeh prajurit Jagaraga serta sekutunya.
Belanda tidak mengenal medan pertempuran Jagaraga. Belanda tidak mampu
melakukan konsolidasi karena situasi politik, baik di Indonesia maupun Eropa.
Setelah kemenangan Perang Jagaraga pertama, I Gusti Ketut Jelantik menyadari bahwa
Belanda akan melakukan serangan balasan. Untuk itu, I Gusti Ketut Jelantik dan Jro Jempiring
selalu membakar semangat patriotirme para prajurit dan melakukan latihan perang bersama
prajurit dan sekutu-sekutunya. Upaya lain adalah meningkatkan logistik dan peralatan perang
dan selalu waspada jika terjadi serangan musuh yang sifatnya mendadak.
Saat, I Gusti Ketut Jelantik bersama Raja Buleleng serta pasukannya pulang menuju Desa
Jagaraga, ternyata benteng-benteng Jagaraga sudah diserang habis-habisan oleh Belanda di
bawah pimpinan Letkol CA de Brauw.
I Gusti Ketut Jelantik dengan Raja Buleleng lari ke Karangasem bermaksud meminta
bantuan pasukan Raja Karangasem, namun di tengah perjalanan mereka diserang secara
mendadak dan gugur. Pertempuran Jagaraga dipimpin Jro Jempiring yang dibantu sejumlah
prajurit, yaitu pimpinan prajurit Jembrana (Pan Kelab), pimpinan prajurit Mengwi Gusti Nyoman
Munggu, pimpinan prajurit gabungan Gianyar dan Klungkung dipimpin Cokorda Rai Puri Satria.
Jro Jempiring sudah menginstruksikan perang Puputan dengan mengendus dua buah keris.
Dalam pertempuran itu, tidak ada satupun pasukan Jagaraga yang mundur atau
melarikan diri. Hasil pertempuran ini, semua pasukan Jagaraga gugur dan Bentang Jagaraga
jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 19 April 1849, Sejak saat itu, Belanda berhasil menguasai
Bali Utara.
PERISTIWA PENTING
Dalam Perang Puputan Jagaraga yang terjadi pada tahun 1908, beberapa peristiwa
penting meliputi:
1. Perang dimulai: Konflik dimulai ketika pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal
Michiels menyerang desa Jagaraga, yang dipimpin oleh Raja Anak Agung Ketut
Karangasem. Perang dimulai pada tanggal 28 September 1908.
2. Pertempuran sengit: Pasukan Bali dan Belanda terlibat dalam pertempuran sengit di
sekitar desa Jagaraga. Pasukan Bali menggunakan senjata tradisional seperti keris dan
tombak sementara pasukan Belanda dilengkapi dengan senjata modern.
3. Raja Anak Agung Ketut Karangasem gugur: Salah satu momen penting adalah tewasnya
Raja Anak Agung Ketut Karangasem dalam pertempuran. Kematian raja ini memberikan
inspirasi kepada pasukan Bali untuk melakukan puputan.
4. Puputan: Setelah kematian Raja Anak Agung Ketut Karangasem, pasukan Bali
memutuskan untuk melakukan puputan, yaitu bunuh diri massal sebagai bentuk
perlawanan terakhir. Mereka lebih memilih mati sebagai pahlawan daripada menyerah
kepada penjajah Belanda.
5. Bunuh diri massal: Pasukan Bali dan banyak warga sipil mengikuti tradisi puputan
dengan melakukan bunuh diri massal. Mereka berjuang sampai akhir dan
mengorbankan nyawa mereka sebagai tanda perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
6. Akhir perang: Perang Puputan Jagaraga berakhir dengan kemenangan Belanda, tetapi
juga dengan kerugian besar bagi pasukan Bali. Peristiwa ini menjadi simbol semangat
perjuangan dan keteguhan hati dalam mempertahankan budaya dan kehormatan.
Perpecahan masyarakat, konflik memecah belah komunitas dan menciptakan ketegangan antar
kelompok.
Solidaritass komunitas, beberapa elompok masyarakat menjadi lebih solidaritas dalam
menghadapi anccaman bersama.
Pendidikan terhenti, banyak anak anak terpaksa berheenti sekolah karena konflik.
Organisasi sosial, masyarakat menciptakan organisasi sosial untuk mendukung satu sama lain.