Anda di halaman 1dari 8

Kelompok 3 Sejarah

Perang Puputan Jagaraga (1848-1849)

Nama Anggota :
2.Afrian Rassya Lanang Sejati
4. Ahmad Ridhwan Syah
6. Alia Natasya
8. Arthakia Bendrata Adidarma
33. Titis Kawani
35. Violin Alya Syafa Kamila
37. Wardah Maulida Ulya
39. Yunita Santa Putri

LATAR BELAKANG PERJUANGAN


Perang Puputan Jagaraga yang juga disebut Perang Bali II ini terjadi pada 1848 hingga
1849. Perang ini dilakukan oleh Patih Jelantik bersama dengan rakyat Buleleng, Bali. Puputan
Jagaraga disebabkan oleh ketidaktaatan Raja Buleleng, I Gusti Ngurah Made Karangasem dan
Maha Patih I Gusti Ketut Jelantik pada perjanjian damai kekalahan perang Buleleng pada 1846.
Mengutip dari situs Pemerintah Kabupaten Buleleng, perjanjian tersebut ditandatangani oleh
Raja Buleleng serta Raja Karangasem yang membantu Perang Buleleng.
Berikut merupakan isi perjanjian damai tersebut Kedua kerajaan harus mengakui Raja
Belanda sebagai tuannya serta berada di bawah kekuasaan Gubernemen :

 Tidak diperbolehkan membuat perjanjian dengan bangsa kulit putih lainnya.


 Penghapusan peraturan Tawan Karang.
 Tawan Karang adalah hak raja-raja Bali untuk merampas kapal yang karam di
perairannya.
 Harus membayar biaya perang sebesar 300 ribu Gulden.
 Raja Buleleng harus membayar 2/3 dari biaya perang.
 Sedangkan Raja Karangasem membayar 1/3 biaya yang harus dilunasi dalam jangka
waktu 10 tahun.

Gusti Ketut Jelantik bersama pasukannya memindahkan Kerajaan Buleleng ke Desa Jagaraga
karena Letaknya yang berada di bukit dan banyak jurang, memudahkan mereka untuk
melakukan serangan mendadak. Hanya ada satu jalan penghubung, yakni melalui Desa Sangsit.
Hal ini memudahkan mereka untuk mengintai musuh yang hendak menyerang.

Jarak antara Jagaraga serta Pabean tergolong pendek sehingga mereka mudah mengawasi
gerak gerik pasukan Belanda. Istri dari I Gusti Ketut Jelantik berasal dari Desa Jagaraga. Selama
di Jagaraga, I Gusti Ketut Jelantik dan Raja Buleleng dengan dibantu oleh Jro Jempiring telah
menyusun strategi perang, yakni membangun berbagai benteng pertahanan di Desa Jagaraga.

TOKOH PERJUANGAN
1. I Gusti Ngurah Made Karangasem (Raja Buleleng): raja Buleleng yang memiliki
kebijaksanaan dan pasukan kuat, dan memerintah pada tahun 1808-1818
2. I Gusti Ketut Jelantik: patih dari Kerajaan Buleleng yang berperan dalam Perang Bali I,
Perang Jagaraga, dan Perang Bali III pada 1849.
3. Jro Jempiring: pemimpin Perang Puputan Jagaraga II, dibantu pimpinan prajurit
Jembrana (Pan Kelab), pimpinan prajurit Mengwi Gusti Nyoman Munggu, pimpinan
prajurit gabungan Gianyar dan Klungkung dipimpin Cokorda Rai Puri Satria.

JALANNYA PERLAWANAN
Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia jilid IV (1975) karya Sartono Kartodirdjo dkk,
disebutkan bahwa Belanda datang untuk menyerang Bali pada pertengahan 1846.

Armada Belanda terdiri dari 1.700 prajurit gabungan dari Batavia dan Surabaya dan
dipimpin oleh komandan tertinggi Van Den Bosch. Selama 2 hari, pasukan dari kerajaan
Buleleng, Karangasem dan Kalungkung bertempur mati-matian mempertahankan kedaulatan
Bali. Namun, karena persenjataan Belanda yg lebih lengkap dan modern, maka para pejuang
mengalami kekalahan. Kekalahan tersebut menyebabkan raja Buleleng I Gusti Ngurah Made
dan Ketut Jelantik mundur ke daerah Jagaraga. Pihak Bali juga terpaksa menandatangani
perjanjian damai pada 6 Juli 1846. Penandatanganan perjanjian oleh pihak Bali merupakan
salah satu siasat untuk membangun kembali kekuatan demi melawan Belanda pada periode
berikutnya

Setelah Perang Buleleng selesai, I Gusti Ngurah Made Karangasem, I Gusti Ketut Jelantik,
pimpinan pasukan dan para prajurit memindahkan Kerajaan Buleleng ke Desa Jagaraga.

Pilihan pemindahan Kerajaan Buleleng ke Desa Jagaraga, karena desa tersebut memiliki
beberapa kelebihan.

 Medannya berbukit, banyak jurang untuk melaksanakan serangan mendadak.


 Jalan penghubung hanya ada satu, yakni melalui Desa Sangsit, sehingga musuh
mudah diintai.
 Jarak Jagaraga Pabean relatif pendek, sehingga mudah mengetahui pergerakan
Belanda.
 Istri dari I Gusti Ketut Jelantik berasal dari Desa Jagaraga memiliki naluri perang.
Selama di Jagaraga, I Gusti Ketut Jelantik, I Gusti Ngurah Made Karangasem (Raja
Buleleng), dengan dibantu oleh Jro Jempiring sudah menyusun strategi perang dalam kurun
waktu 1846-1848.

 Menyusun benteng pertahan di sekitar Jagaraga.


 Melatih teknik berperang untuk prajurit-prajurit Buleleng dan Jagaraga.
 Membangkitkan semangat warga Jagaraga untuk berperang dan menggunakan
rumah mereka sebagai lokasi penyimpanan logistik perang.
 Meminta dukungan kepada raja-raja di Bali, seperti Raja Karangasem, Raja
Gianyar, Raja Klungkung, Raja Mengwi, dan Raja Jembrana beserta dengan
persenjataannya.
 Strategi perang yang digunakan adalah Supit Surang Makara Wyuhana, yaitu
strategi perang yang digunakan oleh Prabu Yudhistira dalam cerita Bharata
Yudha.
 Dibelakang tembok benteng menjadi pusat markas dan komando I Gusti Ketut
Jelantik berdiri Pura Dalem Segara Madu Jagaraga.

Belanda tidak pernah merasalan kenyaman dan keamanan selama menguasai Buleleng.
Karena, I Gusti Ketut Jelantik selalu membuat huru-hara di sekitar Buleleng dan Pabean. Mereka
merampok kapal-kapal Belanda di Pelabuhan Pabean, memboikot penjualan bahan makanan
kepada serdadu Belanda, dan melanggar semua perjanjian yang disepakati pada perang
Buleleng.

1. Perang Jagaraga Pertama

Pada tanggal 8 Juni 1848, Belanda melakukan penyerbuan melalui Pelabuhan Sangsit
dengan kekuatan 22 kapal perang yang dilengkapi meriam. Dalam aksi ini, sebanyak 250
serdadu Belanda tewas. Hal ini menandai, kekalahan Belanda pada Perang Jagaraga pertama.
Dalam aksi ini, sebanyak 250 serdadu Belanda tewas. Hal ini menandai, kekalahan Belanda.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemenangan I Gusti Ketut Jelantik, Raja Buleleng, dan
Jro Jempiring dalan Perang Jagaraga pertama, yaitu:
 Adanya jiwa patriotisme prajurit Jagaraga bersama sekutunya yang sangat
tinggi.
 Mentaati perintah perang I Gusti Ketut Jelantik, Raja Buleleng, dan Jro
Jempiring.
 Melakukan serangan terpadu dengan tangguh dan kuat.
 Dapat menggunakan senjata bus (bedil bus), berupa meriam tradisional yang
diletakkan di benteng utama.
 Siasat perang berjalan sesuai rencana, dimana dapat menggiring pasukan
Belanda masuk perangkap ke benteng Supit Surang (Makara Wyuhana).
 Belanda menganggap remeh prajurit Jagaraga serta sekutunya.
 Belanda tidak mengenal medan pertempuran Jagaraga. Belanda tidak mampu
melakukan konsolidasi karena situasi politik, baik di Indonesia maupun Eropa.

2. Perang Jagaraga Kedua

Setelah kemenangan Perang Jagaraga pertama, I Gusti Ketut Jelantik menyadari bahwa
Belanda akan melakukan serangan balasan. Untuk itu, I Gusti Ketut Jelantik dan Jro Jempiring
selalu membakar semangat patriotirme para prajurit dan melakukan latihan perang bersama
prajurit dan sekutu-sekutunya. Upaya lain adalah meningkatkan logistik dan peralatan perang
dan selalu waspada jika terjadi serangan musuh yang sifatnya mendadak.

Sementara di Batavia, pada April 1849, Pemerintah Belanda melakukan melakukan


persiapan kedua untuk menggempur prajurit Jagaraga. Pemimpin Perang Jagaraga kedua
Pemerintah Hindia Belanda adalah Jenderal Michiels dan Letkol CA de Brauw dengan kekuatan
60 kapal dan senjata moderen lengkap. Sebelum perang, mereka mengirim pasukan khusus
untuk mempelajari sistem strategi perang yang digunakan I Gusti Ketut Jelantik. Jenderal
Michiels juga mencari petunjuk jalan untuk melakukan gerakan memutar ke belakang lambung
sebelah barat benteng pertahanan utama Jagaraga. Strategi yang tidak pernah disadari oleh I
Gusti Ketut Jelantik, Raja Buleleng, dan Jro Jempiring.
Pada tanggal 14 April 1849, armada Belanda sudah mendarat di Pelabuhan Pabean dan
Pelabuhan Sangsit untuk melakukan serangan dari dua arah. Mengetahui kedatangan Belanda, I
Gusti Ketut Jelantik bersama pasukannya menuju Pelabuhan Pabean untuk melakukan
perdamaian dengan Belanda. Namun, utusan Jenderal Michiels menolak permintaan I Gusti
Ketut Jelantik. Karena, pihak Belanda mengetahui itu siasat dan taktik I Gusti Ketut Jelantik
untuk mengulur waktu agar dapat berkonsolidasi dan meminta bantuan pasukan kepada raja-
raja Bali.

Saat, I Gusti Ketut Jelantik bersama Raja Buleleng serta pasukannya pulang menuju Desa
Jagaraga, ternyata benteng-benteng Jagaraga sudah diserang habis-habisan oleh Belanda di
bawah pimpinan Letkol CA de Brauw.

I Gusti Ketut Jelantik dengan Raja Buleleng lari ke Karangasem bermaksud meminta
bantuan pasukan Raja Karangasem, namun di tengah perjalanan mereka diserang secara
mendadak dan gugur. Pertempuran Jagaraga dipimpin Jro Jempiring yang dibantu sejumlah
prajurit, yaitu pimpinan prajurit Jembrana (Pan Kelab), pimpinan prajurit Mengwi Gusti Nyoman
Munggu, pimpinan prajurit gabungan Gianyar dan Klungkung dipimpin Cokorda Rai Puri Satria.
Jro Jempiring sudah menginstruksikan perang Puputan dengan mengendus dua buah keris.

Dalam pertempuran itu, tidak ada satupun pasukan Jagaraga yang mundur atau
melarikan diri. Hasil pertempuran ini, semua pasukan Jagaraga gugur dan Bentang Jagaraga
jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 19 April 1849, Sejak saat itu, Belanda berhasil menguasai
Bali Utara.

PERISTIWA PENTING
Dalam Perang Puputan Jagaraga yang terjadi pada tahun 1908, beberapa peristiwa
penting meliputi:

1. Perang dimulai: Konflik dimulai ketika pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal
Michiels menyerang desa Jagaraga, yang dipimpin oleh Raja Anak Agung Ketut
Karangasem. Perang dimulai pada tanggal 28 September 1908.
2. Pertempuran sengit: Pasukan Bali dan Belanda terlibat dalam pertempuran sengit di
sekitar desa Jagaraga. Pasukan Bali menggunakan senjata tradisional seperti keris dan
tombak sementara pasukan Belanda dilengkapi dengan senjata modern.
3. Raja Anak Agung Ketut Karangasem gugur: Salah satu momen penting adalah tewasnya
Raja Anak Agung Ketut Karangasem dalam pertempuran. Kematian raja ini memberikan
inspirasi kepada pasukan Bali untuk melakukan puputan.

4. Puputan: Setelah kematian Raja Anak Agung Ketut Karangasem, pasukan Bali
memutuskan untuk melakukan puputan, yaitu bunuh diri massal sebagai bentuk
perlawanan terakhir. Mereka lebih memilih mati sebagai pahlawan daripada menyerah
kepada penjajah Belanda.

5. Bunuh diri massal: Pasukan Bali dan banyak warga sipil mengikuti tradisi puputan
dengan melakukan bunuh diri massal. Mereka berjuang sampai akhir dan
mengorbankan nyawa mereka sebagai tanda perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

6. Akhir perang: Perang Puputan Jagaraga berakhir dengan kemenangan Belanda, tetapi
juga dengan kerugian besar bagi pasukan Bali. Peristiwa ini menjadi simbol semangat
perjuangan dan keteguhan hati dalam mempertahankan budaya dan kehormatan.

FAKTOR KEKALAHAN PASUKAN JAGARAGA

1. Kekalahan Perang Jagaraga kedua sebagai akibat kalah dalam persenjataan;


2. Kurang melakukan pembinaan kepada orang pesisir pantai yang dapat dijadikan kontak
atau mata-mata Belanda;
3. Patih Jelantik terpancing keluar dari benteng Supit Surang melihat pasukan Belanda
begitu besar;
4. Patih Jelantik tidak melakukan perubahan sistem pertahanan dan penyerangan
terutama di dalam lambung belakang;
5. Jendral Michiels berhasil memecah pasukan I Gusti Ketut Jelantik.
AKHIR DAN DAMPAKNYA
Akhir pertempuran Puputan jagaraga, pasukan Ngurah Rai melakukan ''puputan'' atau perang
habis-habisan. Mereka bertekad tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Pertempuran
berakhir dengan gugurnya Letkol I Gusti Ngurah Rai bersama 96 orang anggota pasukannya.

Beberapa dampak sosial perang jagaraga :

 Perpecahan masyarakat, konflik memecah belah komunitas dan menciptakan ketegangan antar
kelompok.
 Solidaritass komunitas, beberapa elompok masyarakat menjadi lebih solidaritas dalam
menghadapi anccaman bersama.
 Pendidikan terhenti, banyak anak anak terpaksa berheenti sekolah karena konflik.
 Organisasi sosial, masyarakat menciptakan organisasi sosial untuk mendukung satu sama lain.

Anda mungkin juga menyukai