Anda di halaman 1dari 3

I GUSTI KETUT JELANTIK

Abstrak: I Gusti Ketut Jelantik yang berasal dari pulau dewata bali, adalah seorang pahlawan
penentang belanda yang seenaknya sendiri merebut kekuasaan di pulau bali.
Keberaniannya terungkap saat menantang belanda dalam pertempuran yang terjadi di
buleleng .

Orientasi: I Gusti Ketut Jelantik, lahir di desa Tukadmungga pada  tahun 1850. Beliau adalah
generasi ke IX dalam silsilah keturunan Ki Gusti Anglurah Panji Sakti. Pada usia 25
tahun, I Gusti Ketut Jelantik ditinggal wafat oleh ayahandanya, I Gusti Ketut Banjar,
yang pernah menjabat Sedahan Agung semasih Bali di bawah raja I Gusti Made Karang.
Ibunya, Gusti Biang Kompyang Keramas berasal dari Banjar Penataran desa Buleleng,
setelah menjanda diambil sebagai isteri oleh I Gusti Bagus Jelantik, yang tidak lain
adalah kakak kandung I Gusti Ketut Banjar almarhum. I Gusti Bagus Jelantik waktu itu
sebagai Punggawa Penarukan (1860-1880) yang kemudian merangkap jabatan sebagai
Patih Kerajaan Buleleng (1872-1887). Mereka tinggal di Puri
Kanginan beserta seluruh sanak keluarga.

            I Gusti Ketut Jelantik telah diangkat sebagai penguasa lokal, menjabat punggawa
district van Buleleng sejak 1898. Beliau bertugas dibawah asisten residen (pejabat)
Schwartz. Waktunya bertepatan dengan dimulainya politik luar negeri Belanda di Den
Haag, dengan "ethische politiek" atau politik ber-etika di Indonesia yang penerapan
lebih lunak setelah berlakunya "cultuurstelsel" yang mendapat kritik secara luas, baik di
negeri jajahan maupun di parlemen Belanda. Kebijakan baru ini memberi peluang lebih
besar kepada tokoh "pribumi" untuk mengatur pembangunan di wilayahnya. Demikian
juga di Buleleng.
Kesempatan ini digunakan oleh I Gusti Ketut Jelantik dengan membangun kehidupan
yang lebih baik bagi masyarakat.

           Komplikasi: I Gusti Ketut Jelantik tentunya tidak bebas menjalankan kebijakan sendiri dalam
tugasnya. Diatas beliau ada kekuasaan Asisten residen. Maka kerap kali beliau
mendampingi perjalanan kerja (tourne) ke berbagai wilayah kerajaan di Bali. Setelah
menguasai Buleleng dan Karangasem, sepertinya Belanda ingin menacapkan kukunya di
wilayah Badung dan Tabanan. Ini dialami langsung oleh I Gusti Ketut Jelantik dalam
menjalankan tugasnya sebai seorang punggawa yang diatur-atur oleh Belanda sebagai
atasannya.

            I Gusti Ketut Jelantik mengikuti perjalanan Asisten residan Schwartz ke berbagai daerah
di Bali. Pada tanggal 17 Juli 1899 dia memulai perjalanan ke Tabanan dan Badung,
dengan berkuda, dari Singaraja. Ikut dalam rombongan itu Ida Bagus Gelgel. Juga ikut
serta I Gusti Ketut Jiwa sebagai juru bahasa. Setelah enam setengah sampailah
rombongan d Pengastulan. Singgah di Bubunan memeriksa sebuah pesanggrahan yang
sedang dibangun.

            Tanggal 18 Juli, dilanjutkan ke desa Petemon, Ringdikit, Rangdu, Mayong,   Busugbiu
dan Kekeran. Penduduk di desa Bantiran waktu itu berjumlah 200 jiwa. Asisten residen
mencatat bahwa daerah ini juga seperti daerah lain di Buleleng sangatlah subur dan
indah. Di Pupuan terdapat kebun kopi yang saat itu sedang panen besar. Penduduk
berjumlah 200 jiwa dengan 16 orang keturuna Cina. Selain itu Pupuan terdapat
kegiatan penjualan candu selain di beberapa tempat di Buleleng. Sedangkan di
Pujungan berpenduduk 400 jiwa Sampailah  perjalanan rombongan di perbukitan
dengan hutan yang sangat lebat yang berada di perbatasan Buleleng dan Tabanan.
Beberapa "koelie" atau orang suruhan dikirim oleh Raja Tabanan menyongsong dan
membantu mengangkut barang bawaan para pejabat pemerintah.

            Ibukota Tabanan berbentuk hamparan memanjang dengan jalan lebar saling
berpotongan (pempatan) yang kelihatannya kurang terawat, berpenduduk sekitar 1000
orang. Di pusat kota terdapat beberapa puri, di antaranya Puri Agung sebagai istana
Raja (Cokorda), Puri Kaleran sebagao istana (Wakil Raja) Gusti Ngurah Made Kaleran.
Juga terdapat Puri Oka, Puri Anyar dan Puri Dangin yang menjadi tempat tinggal
sanakkeluarga Raja. 22 Juli 1899,pada pagi hari setelah kedatangan mereka diisi
dengan kunjungan resmi ke Puri agung menghadap kepada Cokorda. Waktu perjamuan
ditentukan oleh putra-putranya, dan sewaktu rombongan memasuki puri, para
Pedanda dan Punggawa menyongsong kedatangan rombongan tamu pembesar dari
Singaraja, diantar ke kediaman Raja. Melihat suasana penyambutan Tuan Schwartz
kelihatan sangat puas. Apalagi, tinggi di atas tiang terlihat bendera Belanda tigawarna
berkibar dengan megahnya.

            Kedatangan para pembesar dari Singaraja sebagai ibu kota Bali disongsong oleh Wakil
Raja Tababan Gusti Ngurah Made Kaleran. Sedangkan Cokorda Gusti Ngurah Agung,
berumur sekitar 80 tahun, menuggu di dalam Puri. Ketika mereka memasuki halaman
dalam, Cokorda Gusti Ngurah Agung turun menyongsong rombongan dengan tergopoh-
gopoh, seraya menunjukkan jalan ke ruangan tamu yang disebut Bale Petandakan.

 Kerajaan Tabanan memang sudah menandatangani kontrak dengan Belanda tahun


1844. Namun Belanda akhirnya memakai kekerasan perang, melalui tiga kali
penyerbuan, yang akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan Buleleng sehingga
kekuasaan Belanda di Bali sudah menjadi kenyataan. Setelah itu kembali pihak Belanda
menyodorkan surat kontrak pada tahun 1849. Kenyataan inilah yang menimbulkan
kekecewaan para raja di Bali. Maka dalam kegiatan pemerintahan banyak dilimpahkan
kepada para wakilnya bilamana kemudian berhadapan dengan pejabat pemerintah
Belanda.

            Dalam pembicaraan antara para pembesar pemerintahan, secara garis besar berkesan
sepertinya pihak Belanda, melalui kontlir bidang politik Schwartz atas nama Residen
Liefrinck tidak lain berbasa basi dengan berbagai upaya meningkatkan kesejahteraan
rakyat di Tabanan. Kemudian misi ini dilanjutkan ke Wilayah kerajaan Badung.

Pada saat perundingan itu pihak belanda diwakili oleh JPT Mayor Komisaris Hindia
Belanda, sedangkan Kerajaan Buleleng diwakili oleh raja Buleleng I Gusti Ngurah Mada
Karangasem dan Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik. "Tidak bisa menguasai negeri orang
lain hanya dengan sehelai kertas saja tapi harus diselesaikan diatas ujung keris. Selama
saya hidup kerajaan ini tidak akan pernah mengakui kedaulatan Belanda". Seperti itulah
kutipan perkataan I Gusti Ketut Jelantik yang marah besar dengan tuntutan pihak
Belanda.  

Klimaks: Tak habis akal, pihak Belanda terus mencoba mencari cela untuk melawan I Gusti Ketut
Jelantik, salah satunya dengan memanfaatkan Raja Klungkung. Dalam pertemuan yang
berlangsung pada tanggal 12 Mei 1845 ini Belanda menuntut agar Buleleng mengganti
rugi kapal dan menghapuskan hak "tawan karang" yakni merampas perahu yang
terdampar di kawasan Buleleng. I Gusti Ketut Jelantik pun naik pitam, bahkan beliau
menghunuskan sebilah keris pada kertas perjanjian. Beliau menantang Belanda untuk
menyerang den Bukit atau Bali Utara.

            Pada tanggal 27 Juni 1846 Belanda benar-benar melakukan serangan ke kerajaan
Buleleng. Namun akhirnya kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 29
Juni 1846. Kemudian raja buleleng dan patih I Gusti Ketut Jelantik mundur ke desa
Jagaraga untuk menyusun kekuatan. Patih I Gusti Ketut Jelantik adalah seseorang yang
ahli strategi perang dan menjadi sosok yang disegani oleh raja-raja lain karena sikapnya
yang teguh pendirian. Hal ini ditunjukkan ketika mempertahankan desa Jagaraga patih I
Gusti Ketut Jelantik terus memperkuat pasukannya dan mendapat bantuan dari
kerajaan lain seeperti klungkung, Karang Asem, Badung dan Mengwi.

Pada tanggal 6 sampai 8 Juni 1848 pihak Belanda melakukan serangan kedua dengan
mendaratkan pasukanya di sangsit. Pihak Bali dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik
dengan mengerahkan pasukan benteng Jagaraga yang merupakan benteng terkuat
dibandingkan dengan 4 benteng lainnya. Sedangkan pihak belanda dipimpin oleh
Jendral Van Der Wijck. Tetapi pihak Belanda gagal menembus benteng yang dipimpin
oleh I gusti Ketut Jelantik dan hanya mampu merebut satu benteng saja yakni benteng
sebelah timur sansit yang berada dekat Bungkulan.

Resolusi: Dengan adanya kekalahan ini semakin mengangkat semangat raja-raja lainnya untuk
semakin mengerahkan kekuatan dalam melawan Belanda. Namun pasukan patih
jelantik ini menggegerkan parlemen Belanda yang kemudian melancarkan serangan
besar-besaran yang dipimpin oleh Jendral Michiels pada tanggal 31 Maret 1849.
Belanda menyerang Bali dengan menembakan meriam-meriamnya. Pada tanggal 7
April 1849 raja buleleng dan patih jelantik bersama 12 ribu prajurit berhadapan dengan
jendral michiels. Namun karena kalah persenjataan bali terdesak dan mundur sampai
pegunungan Batur Kintamani. Jagaraga pun jatuh ke tangan Belanda pada 16 April
1849. Akhirnya patih jelantik gugur pada serangan karangasem oleh Belanda yang
didatangkan dari Lommbok dan menyerang hingga kepegunungan Bale Punduk.

 Koda: Atas keberanian sikap dan mental perjuangan yang ditunjukkan oleh I gusti Ketut
Jelantik tentu tidak ada kata ragu untuk kita memberikan gelar Pahlawan Nasional. Ia
sudah berjuang mati-matian melawan belanda. Namun apadaya kecanggihan
persenjataan mereka masih jauh diatas rakyat Indonesia pada saat itu.

Anda mungkin juga menyukai