Anda di halaman 1dari 12

LAHIRNYA KESULTANAN PALEMBANG

SUATU ANALISIS *
Oleh : Syafruddin Yusuf, MPd **

I. Pendahuluan
Menelusuri sejarah kesultanan Palembang Darussalam, merupakan suatu kajian
dengan kurun waktu yang cukup panjang sekitar 3 abad (1555- 1825). Kesulitan utama
dalam menelusuri kesultanan ini adalah keterbatasan sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan, terutama masa-masa awal terbentuknya kesultanan Palembang.
Selama kurun waktu tersebut Palembang sempat diperintah oleh 17 orang penguasa
(raja/sultan), dan selama kurun waktu itu pula kedudukan Palembang mengalami tiga
kali perubahan, yaitu Palembang sebagai bawahan dari kerajaan Demak/Pajang,
Mataram, dan berdiri sebagai sebuah kerajaan yang merdeka dengan segala aktivitas
pemerintahan yang dilakukan oleh para penguasa Palembang.
Untuk menentukan kapan kesultanan Palembang berdiri, maka dibutuhkan rambu-
rambu yang jelas yang memungkinkan kita menarik suatu simpulan yang dapat
dipertanggungjawabkan, bukan hanya berdasarkan kisah sejarah. Dalam makalah singkat
ini tinjauan tentang kesultanan Palembang akan dilihat dari aspek sejarah politik dengan
pertimbangan bahwa aktivitas kesultanan Palembang tidaklah dapat dipisahkan dari
aktivitas politik para penguasa Palembang. Apabila sebuah kerajaan dipandang sebagai
sebuah Negara, maka kesultanan Palembang yang dimaksud tentunya dalam kategori
sebagai sebuah negara harus terpenuhi. Menurut hasil konvensi Montevideo (1933), ada
empat syarat beridirinya sebuah negara, yaitu : (a) penduduk yang menetap, (b) Wilayah
yang tertentu batas-batasnya, (c) pemerintah, dan (d) ada kemampuan untuk mengadakan
hubungan dengan negara lain. Ini berarti pemerintah yang dimaksud adalah pemerintah
yang independent tidak terikat/ tunduk di bawah kuasa pemerintah lain.
Dalam konteks dengan sejarah politik, Sartono Kartodirdjo (1993:165)
mengatakan bahwa Sejarah politik berbicara tentang perang , diplomasi, peranan raja,
panglima perang atau negarawan tertentu. Hal ini disebabkan adanya pandangan bahwa
jalannya sejarah ditentukan oleh kejadian politik, perang, diplomasi, serta tindakan-
tindakan dari tokoh politik, militer dan diplomasi. Dengan demikian berbicara tentang
kesultanan Palembang, maka acuan yang kita pakai adalah sejauhmana tindakan-tindakan
politik yang dilakukan oleh penguasa (raja/sultan) Palembang yang berkaitan dengan
aktivitas politik/ pemerintahan dan berpengaruh terhadap kelangsungan kekuasaan
pemerintah tersebut.

1
II. Kesultanan Palembang
Secara umum pendapat mengatakan bahwa Cikal bakal pendiri kesultanan
Palembang adalah Ki Gede Ing Suro, seorang bangsawan Demak yang melarikan diri dari
Surabaya dan mendarat di Palembang pada pertengahan abad ke 15. Pelariannya ke
Palembang selalu dikaitkan dengan terjadinya konflik intern keluarga dalam
memperebutkan kekuasaan atas Demak. Konflik intern ini kemudian berkembang
menjadi perang saudara yang banyak memakan korban. Palembang dipilih sebagai
tempat pelarian disebabkan adanya ikatan darah dan dipandang sebagai negeri leluhurnya
Raden Fatah pendiri Demak. Selain itu Palembang juga merupakan daerah yang jauh dan
aman dari ancaman pihak-pihak yang bertikai di Demak. Selama 39 tahun (1547-1586),
Palembang menjadi daerah yang tunduk di bawah Demak /Pajang. Selama kurun waktu
tersebut terdapat tiga orang penguasa (raja) di Palembang, yaitu: Ki gede Ing Suro (tuo)
1547-1552; Ki Gede Ing Suro Mudo (1552-1573), dan Kyai Mas Adipati (putera Ki
Gede Ing Suro Ilir) 1573-1595. Data-data mengenai aktifitas penguasa Palembang pada
masa ini tidaklah banyak ditemukan. Tampaknya penguasa disini hanyalah sebagai
penguasa lokal yang bertugas mengatur kehidupan masyarakat di Palembang. Oleh
karena penguasa di Palembang ini berasal dari keluarga bangsawan Demak, maka
tidaklah mengherankan kalau mereka memberikan pengakuan kepada Demak dan Pajang
sebagai yang dipertuannya atau negeri pelindungnya.
Sementara itu pada tahun 1582 Joko Tingkir atau Sultan Adiwijaya meninggal.D
Pajang kembali dilanda kerusuhan. Dalam kerusuhan ini Sutowijoyo (putra Ki Gede
Pemanahan) berhasil mengambil alih kekuasaan dan mendirikan kerajaan Mataram
(1586), sejak itu (1586) berdirilah kerajaan Mataram dengan raja pertamanya Sutowijoyo.
Bagaimanakah dengan Palembang ?
Berakhirnya kekuasaan Pajang dan berganti dengan mataram, ternyata tidak
mempengaruhi politik dan pemerintahan di Palembang. Para penguasa Palembang
mengakui Mataram sebagai pelindungnya menggantikan Pajang. Selama berada dibawah
kekuasaan Mataram ada tujuh penguasa Palembang yang terdapat dalam catatan sejarah,
yaitu Pangeran Madi Ing Angsoko (1595-1629), Pangeran Madi Alit (1629-1630),
Pangeran Sido Ing Puro (1630-1639), Pangeran Sido Ing Kenayan (1639-1650),
Pangeran Sedo Ing Pasarean (1651-1652), Pangeran Sedo Ing Rejek (1652-1659), dan Ki
Mas Hindi (1659-1706).
Pangeran Madi Ing Angsoko adalah penguasa pertama Palembang ketika
Palembang tunduk di bawah Mataram. Pada masa pemerintahannya mulai dirintis

2
hubungan dengan Belanda (VOC) di Batavia (Jakarta) tahun 1617 (P.de Roo de La
Faille, 1971 : 20). Inilah untuk pertama kalinya Palembang mengadakan hubungan
langsung dengan Belanda. Selain itu pada masa Madi Angsoko pula terjadi penyerbuan
pasukan dari Banten yang dipimpin langsung oleh Sultan Maulana Muhammad.
Penyerbuan ini disebabkan Banten Ingin menguasai Palembang. Serangan tersebut gagal
dan bahkan Maulana Muhammad sendiri gugur dalam pertempuran.
Setelah Pangeran Madi Ing Angsoko meninggal di Palembang terjadi perebutan
kekuasaan antara menantunya (Pangeran Jambi) dengan saudara Pangeran Madi Angsoko
yaitu Pangeran Madi Alit. Perebutan kekuasaan ini dimenangkan oleh Madi Alit. Ia
berkuasa selama satu tahun (1629-1630). Sepeninggal Madi Alit kekuasaan dipegang oleh
saudaranya Pangeran Sido Ing Puro yang juga dikenal dengan nama Raden Aria (1630-
1639). Setelah berkuasa selama sembilan tahun kedudukannya digantikan oleh
saudaranya yang bernama Pangeran Sido Ing Kenayan (1639-1650).
Pangeran Sido Ing Kenayan mempunyai Isteri yang bernama Ratu Sinuhun. Hal
terpenting yang dilakukan oleh Sido Ing Kenayan adalah menjaga stabilitas keamanan
Palembang, sementara itu untuk mengatur daerah di luar Palembang dikeluarkan Undang-
Undang Simbur Cahaya, yang diyakini hasil kerja dari Ratu Sinuhun. Pangeran Sido Ing
Kenayan cukup banyak melakukan aktifitas politik, diantaranya melakukan milir seba ke
kraton Mataram, memberikan bantuan kepada Mataram dalam menghadapi Belanda di
Selat Malaka, serta perjanjian dengan Belanda pada 20 Oktober 1642. Perjanjian ini
berisikan antara lain membolehkan Belanda untuk mendirikan kantor dagangnya di
Palembang. Tahun 1650 Pangeran Sido Ing Kenayan ** meninggal kedudukannya
digantikan oleh Pangeran Sedo Ing Pesarean (saudara dari Ratu Sinuhun) yang berkuasa
hanya selama satu tahun. Kedudukan penguasa Palembang selanjutnya jatuh ke tangan
anaknya Pangeran Sido Ing Rejek. Pada masa pemerintahannya (1652-1659), Belanda
menempatkan Antonij Boeij sebagai wakil pedagang VOC di Palembang (1655). Namun
karena tindak tanduknya yang tidak menyenangkan Palembang, antara lain merampas
sebuah Jung (kapal) cina yang bermuatan lada akhirnya ia ditarik ke Batavia.
Pengganti Antonij Boeij ditunjuk Cornelis Ockerz yang datang ke Palembang
1658. Selama di Palembang Ockerz melakukan tindakan yang tidak terpuji berupa
penahanan terhadap kapal-kapal yang berdagang dengan Palembang, termasuk kapal
Putera mahkota Mataram. Tindakannya tersebut mendapat tantangan dari Palembang dan
tidak dapat dimaafkan oleh penguasa Palembang. Pada tanggal 22 Agustus 1658 beberapa
bangsawan Palembang dan rakyat naik ke kapal yang ditumpangi Ockerz dan melakukan

3
pembunuhan terhadap orang-orang Belanda, 42 orang Belanda termasuk Ockerz tewas
dalam serbuan itu, dan 28 orang lainnya ditawan.
Terhadap kejadian tersebut, pemerintah Belanda di Batavia mengirimkan
pasukannya yang dipimpin Laksamana Johan Van der Laan. Armada Belanda terdiri dari
kapal Orangie, 8 kapal galjot dan 5 perahu perang dengan jumlah personil militernya
sebanyak 1172 orang (Johan Hanafiah, tt ; 91). Penguasa Palembang Pangeran Sido Ing
Rejek, memimpin langsung perlawanan terhadap Belanda. Beberapa benteng pertahanan
Palembang yang terdapat disekitar Plaju dan pulau Kembara dapat direbut Belanda. Kota
Palembang akhirnya dibakar habis oleh Belanda termasuk kraton Kuto Gawang***
Pangeran Sido Ing Rejek **** mengundurkan diri ke Indralaya dan kemudian ke
Sakatiga.
Perang Palembang I berakhir tahun 1659. Keraton Kuto Gawang yang menjadi
pusat pemerintahan Palembang berhasil dihancurkan oleh Belanda. Sedangkan Pangeran
Sido Ing Rejek menyingkir ke luar kota (Sakatiga) dan meninggal di sana. Palembang
kehilangan pemimpinnya yang berani bersikap tegas terhadap Belanda. Dalam situasi
yang demikian Palembang membutuhkan figur seorang pemimpin yang dapat diterima
oleh masyarakat Palembang dan juga oleh penguasa Kolonial Belanda di Batavia. Dalam
hubungan ini maka Ki Mas Hindi adik dari Sida Ing Rejek dipandang memenuhi
persyaratan tersebut. Pihak Belanda kemudian atas saran dari penguasa jambi menyetujui
Ki Mas Hindi sebagai raja Palembang.
Ki Mas Hindi sebagai penguasa baru Palembang mempunyai tugas yang cukup
berat untuk menegakkan kembali eksistensi Palembang sebagai sebuah kerajaan. Untuk
itu ia harus memperbaiki kembali hubungan dengan mataram yang telah renggang, karena
sebagai daerah yang hancur Palembang membutuhkan perlindungan dari kerajaan lain.
Dalam rangka itu maka Ki Mas Hindi mengirimkan utusannya ke Mataram dengan
membawa berbagai upeti yang dipersembahkan kepada Amangkurat II penguasa
Mataram. Namun utusan tersebut ditolak oleh penguasa Mataram. Penolakan tersebut
dalam perkembangan selanjutnya ikut mempengaruhi sikap Palembang untuk lebih dekat
kepada Belanda dan tidak lagi tergantung kepada Mataram.
Dalam rangka menegakkan kembali eksistensi Palembang, maka Ki Mas Hindi
sebagai penguasa baru, memindahkan pusat pemerintahan dari Kraton Kuto Gawang ke
keraton baru di Beringin Janggut. Pada tahun 1662 Ki Mas Hindi mengikat perjanjian
formal dengan Belanda. Perjanjian itu tidak hanya terbatas pada urusan dagang, tetapi
juga telah meningkat kearah usaha-usaha untuk menguasai dan memonopoli semua hasil

4
bumi di Kesultanan Palembang. Hal ini adalah wajar karena Palembang memang sedang
membutuhkan ketenteraman untuk menegakkan kembali kekuasaannya. Melalui
perjanjian itu penguasa Palembang terlepas dari ancaman Belanda. Disisi lain perjanjian
itu pula menunjukkan penguasa Palembang mempunyai wewenang untuk mengatur
negerinya sendiri.
Pada tahun 1675, Ki Mas Hindi memakai Gelar Sultan. Pemakaian gelar ini adalah
untuk pertama kalinya bagi penguasa Palembang, kerena sebelumnya penguasa
Palembang hanya memakai gelar Pangeran, atau Kiai. Pemakaian gelar ini secara politis
menunjukkan bahwa status Ki Mas Hindi setara dengan penguasa Mataram yakni sebagai
raja.. Adapun gelar yang dipakai Ki Mas Hindi adalah Pangeran Ario Kesumo
Abdurrohim Sultan Abdurrahman Khalifatulmukminin Sayyidul Imam. Sering juga
disebut Susuhunan Abdurrahman Cinde Welan ( Ali Amin, HM, 1993:75)
Untuk melegitimasikan kekuasaannya dimata rakyat, maka diberlakukanlah
bahasa Palembang (lamo) dikalangan keraton dan bangsawan/priyayi, sedangkan pada
masyarakat biasa diperkenankan memakai bahasa Palembang harian. Bahasa Palembang
lamo (asli) adalah bahasa Palembang yang mirip dengan bahasa Jawa kromo Inggil,
sedangkan bahasa Palembang harian adalah bahasa Palembang yang digunakan sehari-
hari seperti saat ini. Selanjutnya susunan masyarakat Palembang dibagi atas dua golongan
besar yaitu golongan priyayi dan rakyat (Van Sevenhoven, JL, 1971: 25-28). Golongan
priyayi terdiri dari Pangeran, Raden dan Masagus, sedangkan golongan rakyat terdiri dari
kiai Mas (kemas), Kiai Agus (Kiagus) dan rakyat jelata. Pangeran berarti yang
memerintah. Gelar ini hanya diberikan raja kepada orang yang memegang jabatan, gelar
ini juga diberikan kepada anak raja yang berkuasa. Gelar ini tidaklah diwariskan, artinya
jika si pemakai gelar wafat maka gelarnya tersebut otomatis tidak bisa dipakai oleh
keturunannya. Raden berarti tinggi, luhur atau orang yang terpilih. Gelar ini diberikan
kepada anak laki-laki hasil perkawinan dari seorang pangeran dengan anak perempuan
seorang pangeran.. Masagus berarti berharga banyak. Gelar ini diberikan kepada anak
hasil perkawinan seorang pangeran atau raden dengan seorang perempuan dari golongan
rakyat. Isteri Sultan (raja) diberi gelar Ratu. Isteri para pangeran dan anak perempuan dari
pangeran dan raden diberi gelar Raden Ayu yang berarti cantik, terpilih atau agung. Isteri
dan anak perempuan dari masagus diberi gelar Masayu yang berarti si cantik yang banyak
harganya.
Golongan rakyat terbagi menjadi tiga golongan, yaitu Kiai Mas (kemas), Kiai
Agus (Kiagus) dan rakyat jelata. Kemas adalah gelar yang diberikan kepada anak laki-

5
laki hasil perkawinan seorang masayu dengan rakyat jelata. Kiagus adalah gelar yang
diberikan kepada anak laki-laki hasil perkawinan seorang manteri atau turunan raden
dengan wanita dari rakyat jelata. Dalam konteks pemberian dan pemakaian gelar tersebut,
Sultan Abdurrahman Cinde Welan mengeluarkan aturan bahwa pemberian gelar
dilakukan secara patrilenal dan matrilineal. Secara patrilineal artinya gelar diberikan atas
dasar gelar yang dimiliki orang tuanya. Matrileneal artinya seseorang dapat menyandang
gelar asalkan ibunya mempunyai gelar, misalnya lelaki yang tidak mempunyai gelar
kawin dengan gadis Palembang yang bergelar Raden Ayu, maka anaknya berhak
memakai gelar Raden (untuk laki-laki) dan Raden Ayu (untuk perempuan). Rakyat Jelata
terbagi atas orang Miji, Senan dan orang-orang yang menggadaikan diri dan budak-
budak. Model pemberian gelar ini diterapkan dalam rangka untuk lebih memperkuat
kedudukan Sultan dan sekaligus etnis Melayu- Jawa.
Pada masa Sultan Abdurrahman, hubungan dengan Jambi berlangsung sangat baik
yang dibuktikan dengan adanya pengiriman pasukan bantuan dari Palembang, yang
diminta oleh penguasa Jambi untuk menumpas pemberontakan di daerah Jambi Hulu
tahun 1700. Pasukan Palembang dipimpin oleh anak kedua Sultan yaitu Raden Ario
sukses dalam menumpas pemberontakan tersebut. Kesuksesan itu menjadikan hubungan
Palembang jambi semakin baik. Sebagai balas jasanya Pangeran Dipo Anom (penguasa
Jambi) menikahkan putrinya yang bernama Nyai Mas Ratu Senguk dengan Raden Ario.
Raden Ario sendiri karena kesuksesannya tersebut diberi gelar Senopati Jayo Ing Lago.
Dalam perkembangan selanjutnya Raden Ario oleh Sultan Abdurraman ditetapkan
sebagai calon penggantinya jika ia telah tiada.
Untuk mengatur pemerintahan di daerah pedalaman kesultanan Palembang, Sultan
Abdurrahman menempatkan wakil-wakilnya yang disebut raban dan jenang. Raban
adalah seorang priyayi yang diberi tugas untuk mengatur beberapa marga dan dusun
baik dari segi ekonomi maupun urusan lain. Raban bertanggungjawab kepada kepala
urusan pemeritahan kerajaan dan jika perlu dapat berhubungan langsung dengan Sultan.
Perintah atau keputusan Sultan disampaikan kepada Raban untuk selanjutnya diteruskan
kepada para kepala Marga dan dusun untuk dilaksanakan.
Dari aspek hubungan internasional, Sultan Abdurrahman melakukan hubungan baik
dengan Belanda melalui jalur perdagangan. Perang dengan Belanda (1659) pada masa
Pangeran Sido Ing Rejek bukanlah suatu hambatan baginya untuk membuka lembaran
baru dalam hubungan diplomatic. Tujuh kontrak perjanjian dibuat Sultan Abdurrahman
dengan pihak Belanda selama ia berkuasa. Dalam perjanjian tahun 1662, Sultan

6
Abdurrahman mengizinkan pendirian sebuah loji oleh Belanda di Sungai Aur. Inilah
untuk pertama kalinya Belanda dapat tinggal di daratan Palembang yang berseberangan
dengan keratonnya di Beringin Janggut. Perjanjian yang dibuat pada umumnya bersifat
menguntungkan kedua belah pihak.
Demikianlah apa yang telah dirintis dan dilakukan oleh Sultan Abdurrahman Cinde
Welan . Kebijakan-kebijakan yang telah diambilnya mempunyai pengaruh yang besar
terhadap perkembangan kesultanan dan masyarakat Palembang selanjutnya. Oleh karena
itu Sultan Abdurrahman dapat dipandang sebagai tokoh yang meletakkan dasar-dasar
pembangunan kesultanan Palembang.
Setelah meninggalnya Sultan Abdurrahman*, kesultanan Palembang diperintah
oleh Sultan Muhammad Mansyur (1706-1714). Selama delapan tahun pemerintahannya,
Sultan Muhammad mansyur disibukkan oleh pergolakan di dalam lingkungan keluarga
Sultan. Beliau lebih banyak menghadapi tentangan dari keluarga Sultan. Salah satu
penyebabnya adalah masalah penunjukkan dan pengangkatannya sebagai Sultan oleh
Sultan Abdurrahman tidak mengikuti tradisi sebelumnya yang berlaku di kesultanan
Palembang. Sultan Muhammad Mansyur bukanlah putra pertama dari Ratu Agung
( permaisuri Sultan Abdurrahman ), tetapi ia adalah putra yang kedua. Tampaknya
---------------
* Makam Sultan Abdurrahman terdapat di belakang pasar Cinde, 24 ilir Palembang.
kesuksesan Muhammad Mansyur memimpin pasukan Palembang yang dibantukan pada
penguasa Jambi dalam mengatasi pemberontakan di Hulu Jambi menjadi pertimbangan
Sultan Abdurrahman untuk mempercayakan calon penggantinya kepada Muhammad
Mansyur, bukan kepada putera mahkota Pangeran Adipati Ing Sepuh.
Sultan Muhammad Mansyur menyadari bahwa konflik internal yang terjadi pada
masa pemerintahannya akan semakin berkembang jika tidak ditunjuk calon penggantinya
sebelum ia meninggal. Oleh karena itu ia kemudian menetapkan anaknya dari permaisuri
Ratu Pamekas yang bernama Raden Abubakar sebagai putra mahkota dengan gelar
Pangeran Ratu Purboyo. Penunjukkan Raden Abubakar sebagai putra mahkota,
menunjukkan bahwa Sultan Muhammad Mansyur ingin mengembalikan tradisi dalam
pengangkatan putra mahkota. Namun sayangnya putra mahkota ini tewas sebelum sempat
memegang jabatannya akibat penghianatan sekelompok kerabat Sultan yang tidak
menginginkannya berkuasa. Pembunuhan terhadap Pangeran Ratu Purboyo, membuat
Sultan Muhammad Mansyur harus mencari penggantinya. Akhirnya beliau menunjuk
anaknya dari isterinya Nyai Mas Senguk yang bernama Raden Lambu sebagai putera

7
mahkota. Oleh karena Raden Lambu belum dewasa, maka Sultan Muhammad Mansyur
mengangkat adik Sultan yang bernama Raden Uju sebagai Wali Kerajaan.

B. MASA KESULTANAN PALEMBANG

Sebuah negara dituntut untuk memiliki kemampuan untuk mengadakan hubungan


dengan Negara lain. Mengutip pendapat I.G Starke kemampuan untuk
mengadakan hubungan dengan Negara lain membedakan Negara itu dengan
Negara bagian, federasi atau protektorat.
Para penguasa Palembang yang sempat memegang jabatan

Apabila kita mengacu pada priode tersebut di atas, maka pada masa kerajaan
Palembang, status palembang sebagai daerah protektorat Jawa dapat
dikelompokkan pada dua bagian, yaitu masa sebagai protektorat Demak (1500-
1568) *, Pajang (1568-1586) dan Mataram (1586-1675).

* Ketika Sultan Trenggana meninggal (1546), Demak dilanda kerusuhan dan perang saudara
memperebutkan kekuasaan. Perang tersebut akhirnya dimenangkan oleh Adiwijaya atau Joko
Tingkir (1568) yang selanjutnya mendirikan Pajang.

8
Seiring dengan terjadinya perubahan dan perebutan kekuasaan di Pajang

II. Tokoh-tokoh yang berperan dalam kesultanan Palembang


Sebuah negara dituntut untuk memiliki kemampuan untuk mengadakan
hubungan dengan Negara lain. Mengutip pendapat I.G Starke kemampuan untuk
mengadakan hubungan dengan Negara lain membedakan Negara itu dengan
Negara bagian, federasi atau protektorat.

suksesi (pergantian kekuasaan) di Demak yang berakhir dengan jalan peperangan.

Oleh karena itu untuk mengatasi kekeliruan dan kejelasan proses berdirinya
kesultanan Palembang, maka dibutuhkan pembabakan sejarah kesultanan
Palembang. Dalam hal ini menurut hemat penulis, kesultanan Palembang dapat
dibagi pada tiga babakan (priode), yaitu , pertama Masa Pra kesultanan
Palembang; kedua Masa Kesultanan Palembang; dan ketiga Masa Kesultanan
Palembang Mempertahankan eksistensinya. Masa pra kesultanan Palembang
ditandai dengan adanya kedatangan sekelompok bangsawan Demak asal Surabaya
yang dipimpin oleh Ki Gede Ing Suro (Tuo) yang mendarat di Palembang dan
kemudian membentuk satu perkampungan di daerah 1 ilir Palembang, sekitar
tahun 1550 an. dan berakhir sampai dengan dihancurkannya Palembang oleh
pihak Belanda tahun 1659. Pada masa ini status Palembang hanyalah sebagai
daerah protektorat (perlindungan) dari penguasa di Jawa, khususnya kerajaan
Demak dan Mataram. Selama kurun waktu tersebut jumlah penguasa Palembang
sebanyak 10 orang (lihat lampiran). Untuk membedakannya dengan masa
kesultanan menurut hemat kami istilah yang tepat digunakan adalah masa
kerajaan Palembang. Hal ini disebabkan nama-nama penguasa Palembang pada

9
masa itu masih menggunakan istilah Pangeran yang menunjukkan bahwa mereka
keturunan raja.
Kedua, masa Kesultanan Palembang, masa ini ditandai dengan
dibangunnya kembali kesultanan Palembang oleh Ki Mas Hindi yang
menggantikan kedudukan kakaknya Pangeran Sido Ing Rejek (1662) hingga
kepemimpinan Palembang dipegang oleh Sultan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo
(Ahmad Najamuddin I), selama kurun waktu ini raja-raja Palembang sebanyak 6
orang (lihat lampiran). Ketiga masa Palembang mempertahankan eksistensinya
sebagai Kesultanan yang merdeka. Sultan yang berkuasa di Palembang saat itu
adalah Sultan Mahmud Badaruddin II yang ditandai dengan terjadinya perang
Palembang melawan Belanda, Inggris pada masa Sultan Mahmud Badaruddin II.
Hingga dihapuskannya kesultanan Palembang pada tahun 1823. Ada 4 sultan yang
berkuasa pada masa itu.
II. Tinjauan aktivitas Penguasa Palembang dalam catatan Sejarah.

3.2 Palembang sebagai bawahan kerajaan Mataram (1595- 1659)


Berakhirnya kekuasaan Pajang dan digantikan oleh Mataram ikut mempengaruhi
pula posisi Palembang sebagai daerah protektorat Pajang
Pada saat Joko Tingkir berperang melawan keturunan Sekar Seda Lepen, salah
seorang pengawalnya yang bernama Ki Gede Pemanahan berhasil menewaskan Arya
Panangsang anak dari Sekar Seda Lepen yang menjadi musuh utamanya untuk
memperebutkan kekuasaan Demak. Atas jasanya tersebut Ki Gede Pemanahan diberikan
satu daerah kekuasaan di Mataram (Jawa tengah). Ketika Joko Tingkir meninggal 1595,
puteranya pangeran Benowo tidak siap untuk menggantikannya, sehingga situasi tersebut
dimanfaatkan oleh Sutawijaya (anak Ki Gede Pemanahan) untuk mengambil alih
kekuasaan Pajang dan mendirikan kerajaan Mataram, sehingga sejak itu berakhirlah
kekuasaan Pajang berganti dengan kekuasaan Mataram. Penggantian penguasa tersebut
ikut pula mempengaruhi Palembang sebagai daerah bawahan Pajang berubah menjadi
bawahan kerajaan mataram.

10
Selama kurun waktu tersebut terdapat 17 penguasa Palembang, yang
mempunyai aktvitas dan peran dalam membangun kesultanan Palembang. Pada
priode I, dari 10 penguasa Palembang terdapat beberapa nama penting yang
berjasa bagi Palembang, yaitu

para penguasa Palembang dalam melaksanakan pemerintahan kekuasaannya,


banyak melakukancara umum tokoh-tokoh yang pernah memegang kekuasaan di
Palembang, dapat dikelompokkan pada
Kesultanan Palembang Darussalam, merupakan salah satu kesultanan
(kerajaan) Islam yang pernah ada di Sumatera Selatan. Kesultanan Palembang
Darussalam merupakan salah satu kesultanan yang ada di Nusantara yang dalam
sejarahnya pernah melakukan perlawanan terhadap kolonialis Belanda pada
sekitar abad ke 19. Cikal bakal kesultanan Palembang telah muncul pada sekitar
pertengahan abad ke 16 yang ditandai dengan kedatangan sekelompok bangsawan
Demak yang dipimpin oleh Ki Gede Ing Suro yang membuat dan menetap di
perkampungan Palembang lamo (1 ilir). Selama beberapa abad Palembang berada
statusnya sebagai daerah bawahan Demak (Pajang) dan kemudian Mataram. Hal
itu adalah wajar karena rasa keterikatan sebagai keluarga keturunan Demak masih
kuat menghinggapi para pemimpin/penguasa Palembang. Lagi pula di lihat dari
aspek kekuatan militer keadaan Palembang tidaklah berapa kuat, sehingga
membutuhkan perlindungan dari kerajaan yang telah mapan.

11
Namun dalam perkembangan selanjutnya Palembang muncul sebagai
sebuah Negara /kesultanan yang berdiri sendiri lepas dari pengaruh mataram.

Namun pada awal abad ke 17, Palembang kemudian melepaskan diri dari
pengaruh Mataram dan memproklamirkan berdirinya Kesultanan Palembang
dengan tokoh utamanya Ki Mas Hindi yang kemudian bergelar Sultan
Abdurrahman.
------------------
* Makam Ki Gede ing Suro terdapat di Lr. H. Umar, kelurahan 1 ilir Palembang.
--------------
* Makam Pangeran Madi Ing Angsoko terdapat di Jalan Candi Angsoko kelurahan 20 ilir 1
Palembang.
* Makam Pangeran Madi Alit terdapat di Samping RS. Charitas Palembang
** Makam Pangeran Sido Ing Kenayan, Ratu Sinuhun, dan Pangeran Sedo Ing Pesarean
terdapat di Sabokingking 2 ilir Palembang
*** Keraton Kuto Gawang adalah Benteng dan pusat pemerintahan pertama penguasa
Palembang, terletak
di sekitar Pabrik PT.Pusri I dan II.
** ** Makam Pangeran Sido Ing Rejek terdapat di Sakatiga.

Pada saat Joko Tingkir berperang melawan keturunan Sekar Seda Lepen, salah seorang
pengawalnya yang bernama Ki Gede Pemanahan berhasil menewaskan Arya Panangsang
anak dari Sekar Seda Lepen yang menjadi musuh utamanya untuk memperebutkan
kekuasaan Demak. Atas jasanya tersebut Ki Gede Pemanahan diberikan satu daerah
kekuasaan di Mataram (Jawa tengah). Ketika Joko Tingkir meninggal 1595, puteranya
pangeran Benowo tidak siap untuk menggantikannya, sehingga situasi tersebut
dimanfaatkan oleh Sutawijaya (anak Ki Gede Pemanahan) untuk mengambil alih
kekuasaan Pajang dan mendirikan kerajaan Mataram, sehingga sejak itu berakhirlah
kekuasaan Pajang berganti dengan kekuasaan Mataram.

12

Anda mungkin juga menyukai