Anda di halaman 1dari 3

Kumpulan Kisah Legenda : Cerita Rakyat Bengkulu Bujang Awang Tabuang

Tersebutlah sebuah kerajaan besar bernama Peremban Panas. Sang pemangku takhta adalah
Raja Kramo Kratu Agung. Sang raja memerintah dengan adil dan bijaksana. Rakyat sangat
menghormati dan mencintai sang raja. Segenap titah dan perintah Raja Kramo Kratu Agung
mereka turuti karena titah dan perintah itu lebih banyak demi kepentingan dan kesejahteraan
mereka.

Raja Kramo Kratu Agung mempunyai permaisuri bernama Putri Rimas Bangesu. Keduanya telah
enam tahun menikah, namun belum juga mereka dikaruniai anak. Kerabat kerajaan sangat
takut jika Raja Kramo Kratu Agung tidak mempunyai keturunan yang akan menjadi pewaris
takhta Peremban Panas. Mereka pun bersidang untuk membahas masalah itu. Keputusan dari
sidang kerabat kerajaan itu sangat mengejutkan Putri Rimas Bangesu. Ia harus dibuang ke
tengah hutan!

Sesungguhnya Putri Rimas Bangesu telah mengandung ketika ia harus melaksanakan basil
sidang kerabat kerajaan tersebut. Dengan ditemani seekor harimau dan sepasang kera, Putri
Rimas Bangesu tinggal di sebuah gubug kecil di tengah hutan. Sekitar sembilan bulan kernudian
Putri Rimas Bangesu melahirkan. Seorang bayi lelaki. Putri Rimas Bangesu memberinya nama
Bujang Awang Tabuang. Putri Rimas Bangesu mengasuh anaknya itu dengan penuh kasih
sayang. Bujang Awang Tabuang pun tumbuh membesar di dalam hutan itu. Ia tampak sehat,
tubuhnya kuat, dan wajahnya tampan. Waktu terus bergulir hingga tujuh belas tahun telah
terlewati. Hingga selama itu Bujang Awang Tabuang tetap berada di dalam hutan bersama
ibunda, seekor harimau, dan juga sepasang kera. Berkat didikan ibundanya, Bujang Awang
Tabuang juga berhasil mempunyai aneka kesaktian. Selain itu, harimau dan sepasang kera itu
juga mengajarkan aneka kesaktian untuk melengkapi kesaktian Bujang Awang Tabuang.

Selama itu Putri Rimas Bangesu senantiasa berdusta terhadap Bujang Awang Tabuang jika
anaknya itu bertanya perihal siapa ayahandanya. “Ayahmu adalah Dewata,” begitu jawaban
Putri Rimas Bangesu. Namun, seiring dengan kian bertambahnya usia Bujang Awang Tabuang,
Putri Rimas Bangesu merasa tidak bisa lagi berdusta. Ia pun menceritakan kejadian yang
dialaminya sekaligus membuka tabir siapa sesungguhnya ayahanda Bujang Awang Tabuang.

“Jadi, ayahandaku adalah raja Peremban Panas yang bernama Raja Kramo Kratu Agung?” tanya
Bujang Awang Tabuang.

“Benar, anakku.”

Bujang Awang Tabuang kemudian meminta izin kepada Putri Rimas Bangesu untuk berangkat
menuju kerajaan Peremban Panas untuk mencari ayahandanya.

Dengan berat hati Putri Rimas Bangesu mengijinkan. “Berhati-hatilah engkau selama dalam
perjalanan. Sebisa mungkin hindarkanlah pertengkaran atau perkelahian dalam perjalananmu
nanti. Semoga Dewata memberikan berkah dan pertolongan kepadamu.”

Keesokan harinya Bujang Awang Tabuang berangkat menuju Peremban Panas. Berhari- hari ia
menempuh perjalanannya seorang diri. Setelah berulang-ulang bertanya pada orang yang
ditemuinya dalam perjalanan, akhirnya Bujang Awang Tabuang tiba di gerbang kerajaan
Peremban Panas.

Bujang Awang Tabuang langsung saja masuk melewati pintu gerbang kerajaan. Para prajurit
bergegas menghentikan langkahnya. Meski Bujang Awang Tabuang telah menyatakan
kehendaknya untuk bertemu Raja Kramo Kratu Agung, namun para prajurit tidak
mengizinkannya.
“Yang Mulia Raja Kramo Kratu Agung tidak bisa diganggu karena beliau hendak melangsungkan
pernikahan dengan Putri Rambut Perak dari Kerajaan Pinang Jarang,” kata kepala prajurit
penjaga pintu gerbang.

Bujang Awang Tabuang tetap saja memaksa. Maka, para prajurit Iangsung menyerangnya untuk
mengusirnya menjauh dari pintu gerbang. Pertarungan antara Bujang Awang Tabuang melawan
para prajurit itu pun terjadi. Bujang Awang Tabuang mampu mengalahkan para prajurit yang
mengeroyoknya itu. Bahkan ketika para prajurit lainnya datang membantu dan mengeroyoknya
beramai-ramai, Bujang Awang Tabuang tetap mampu mengalahkan mereka semua. Para
prajurit pun akhirnya berlarian menjauhi pintu gerbang kerajaan.

Karena kelelahan bertarung, Bujang Awang Tabuang lantas tertidur di bawah pohon beringin di
dalam alun-alun kerajaan. Begitu pulasnya ia tertidur hingga ia mendengkur.

Dengkuran Bujang Awang Tabuang membuat tiang-tiang istana bergetar. Seluruh penghuni
istana kerajaan terkejut dan berhamburan keluar istana kerajaan karena menyangka ada gempa
bumi. Persiapan pernikahan Raja Kramo Kratu Agung dengan Putri Rambut Perak yang sedianya
akan dilangsungkan pada hari itu menjadi terganggu.

Mereka kian terperanjat dan keheranan karena getaran yang berlangsung itu terjadi secara
teratur dan berulang-ulang.

Patih kerajaan Peremban Panas yang bernama Raden Tumenggung berusaha mencari sumber
getaran tersebut. Ia pun akhirnya mengetahui jika sumber getaran itu berasal dari suara
dengkuran seorang pemuda yang tengah tertidur di bawah pohon beringin di alun-alun
kerajaan.

Raden Tumenggung segera membangunkan Bujang Awang Tabuang dengan sikap kasar. “Hei
pemuda gembel! Siapa dirimu itu dan apa keperluanmu datang ke kerajaan Peremban Panas
ini?”

Bujang Awang Tabuang bangun. Setelah menggosok-gosok kedua kelopak matanya, ia segera
bangkit dan berjalan tenang menuju istana kerajaan tanpa menghiraukan Raden Tumenggung.
Raden Tumenggung berusaha mencegah, namun Bujang Awang Tabuang tetap juga berjalan.
Maka, Raden Tumenggung pun menyerang Bujang Awang Tabuang.

Pertarungan antara Bujang Awang Tabuang melawan Raden Tumenggung tidak terelakkan.
Namun, pertarungan itu tidak berjalan lama. Bujang Awang Tabuang mampu mengalahkan
Patih Kerajaan Peremban Panas itu.

Bujang Awang Tabuang lantas mengamuk di dalam istana kerajaan. Para prajurit kerajaan yang
mencoba menghadangnya dibuatnya berlarian karena tak mampu melawan kesaktian Bujang
Awang Tabuang. Raja Kramo Kratu Agung akhirnya turun tangan sendiri. Segera dihadangnya
Bujang Awang Tabuang. Pertarungan antara anak dan bapak yang sama-sama tidak mengetahui
siapa sesungguhnya lawannya itu pun terjadi.

Pertarungan itu berlangsung sangat seru. Keduanya sama-sama sakti. Meski telah mengerahkan
segenap kesaktiannya, masing- masing tidak dapat segera memenangkan pertarungan itu.
Hingga waktu terus bergulir selama sehari semalam, pertarungan antara Bujang Awang
Tabuang dan Raja Kramo Kratu Agung terus berlangsung.

Setelah merasakan kemampuannya seimbang dan bisa jadi akan terus berlarut-larut
berlangsung, Raja Kramo Kratu Agung meminta pertarungan mereka dihentikan. Tanyanya
kemudian setelah pertarungan berhenti, “Siapa engkau ini sesungguhnya, wahai anak muda?”
“Nama hamba Bujang Awang Tabuang. Ibunda hamba bernama Putri Rimas Bangesu dan
ayahanda hamba adalah Raja Kramo Kratu Agung,” jawab Bujang Awang Tabuang.

Raja Kramo Kratu Agung terperanjat mendengar jawaban Bujang Awang Tabuang. “Engkau ini
anakku, wahai anak muda?”

“Benar, ayahanda,” jawab Bujang Awang Tabuang.

Bujang Awang Tabuang lantas menceritakan kejadian yang dialami ibu dan dirinya selama
dalam pembuangan di tengah hutan. Selesai bercerita, Bujang Awang Tabuang lantas bersujud
di kaki Raja Kramo Kratu Agung.

Raja Kramo Kratu Agung meminta anaknya itu untuk berdiri. Dipeluknya dengan penuh kasih
sayang. Ia meminta maaf karena tidak menyangka jika istri tercintanya dahulu tengah
mengandung ketika dibuang ke tengah hutan. Ia lantas mengumumkan untuk membatalkan
rencana pernikahannya dengan Putri Rambut Perak.

Keesokan harinya Raja Kramo Kratu Agung beserta para prajurit bersenjata lantas menuju ke
hutan tempat pembuangan Putri Rimas Bangesu. Sebuah kereta indah yang ditarik empat ekor
kuda gagah tampak dalam rombongan Raja Kramo Kratu Agung itu. Kereta indah itu
dipersiapkan untuk kendaraan Putri Rimas Bangesu. Sementara Bujang Awang Tabuang
memimpin di barisan depan rombongan sebagai penunjuk jalan.

Bertemulah kembali Raja Kramo Kratu Agung dengan istri tercintanya. Keduanya saling
menangis. Putri Rimas Bangesu kemudian diajak kembali ke istana kerajaan dengan menaiki
kereta indah.

Bujang Awang Tabuang hidup berbahagia di istana kerajaan bersama ayahanda dan ibunda
tercintanya. Ia pun tidak melupakan harimau dan juga sepasang kera yang tetap memilih
berada di tengah hutan. Kerap Bujang Awang Tabuang mengunjungi sahabat-sahabatnya itu.
Mereka pun bermain dan bercengkrama seperti yang dahulu biasa mereka lakukan ketika
Bujang Awang Tabuang dan ibundanya masih tinggal di tengah hutan itu.

Anda mungkin juga menyukai