Anda di halaman 1dari 6

Pahlawan Biografi Cut Nyak Meutia - Aceh

muhamad nurdin fathurrohman Friday, January 10, 2014 Indonesia, Pahlawan Aceh, pahlawan
nasional

Cut Nyak Meutia

Cut Nyak Meutia

Lahir: Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, tahun 1870

Meninggal: Alue Kurieng, Aceh, 24 Oktober 1910

Agama: Islam

Suami:

pertama: Teuku Chik Di Tunong; kedua, Pang Nanggroe.

Ayah: Teuku Ben Daud Pirak


ibu: Cut Jah

Cut Nyak Meutia dilahirkan di Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, tahun 1870, beliau adalah salah satu
Pahlawan Nasional Indonesia yang berasal dari Aceh selain Cut nyak dhien.

Cut Meutia mulai melawan Belanda pada saat menjadi istri dari Teuku Chik Muhammad atau yang lebih
dikenal dengan nama Teuku Chik Di Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Chik Tunong berhasil
ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Chik Di
Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nanggroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya
Teuku Raja Sabi.

Sesuai wasiat suaminya maka Cut Meutia kemudian menikah dengan Pang Nanggroe dan bergabung
dengan pasukan lainnya dibawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran dengan Korps
Marechausée di Paya Cicem, Cut Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang Nagroe
sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada tanggal 26 September 1910.

Perjuangan melawan penjajahpun Cut Meutia lakukan bersama sisa-sisa pasukannya. Ia menyerang dan
merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melewati hutan belantara. Namun pada
tanggal 24 Oktober 1910, Cut Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan Marechausée di Alue
Kurieng. Dalam pertempuran itu Cut Meutia gugur.

Kehidupan Awal

Latar Belakang Keluarga

Cut Meutia adalah putri dari ayah yang bernamaTeuku Ben Daud Pirak dan ibu Cut Jah. Cut meutia
adalah putri satu-satunya dari empat saudara laki-laki yang lainnya yaitu:Teuku Cut Beurahim disusul
kemudian Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasan dan Teuku Muhammad Ali. Ayahnya adalah seorang
Uleebalalang di desa Pirak yang berada dalam daerah keuleebalangan Keureutoe.

Cut meutia lahir di daerah Uleebalang Pirak, daerah yang berdiri sendiri karena daerah ini mempunyai
pemerintahan dan kehakiman tersendiri sehingga dapat memutuskan perkara-perkara dalam tingkat
yang rendah. Saat daerah Uleebalang Pirak di bawah kepemimpinan Teuku Ben Daud (ayah Cut Meutia)
suasana penuh dengan ketenangan dan kedamaian. Sebagai seorang yang bijaksana perhatian Teuku
Ben Daud selalu tertumpah pada rakyatnya karena selain sebagai Uleebalang dia juga dikenal sebagai
seorang ulama yang sampai akhir hayatnya tidak mau tunduk dan patuh pada Belanda, tidaklah
mengherankan jika sifat kesatria itu terbina dalam diri Cut Meutia.

Masa Muda

Selain memiliki nama yang indah (Meutia) tapi Cut Meutia juga berparas cantik, serta bentuk tubuh yang
indah menyertainya. Seperti yang diungkapkan seorang penulis Belanda: Cut Meutia bukan saja amat
cantik, tetapi ia juga memiliki tubuh yang tampan dan mengga1rahkan. Dengan mengenakan pakaian
adatnya yang indah-indah menurut kebiasaan wanita di Aceh dengan silueue (celana) sutera bewarna
hitam dan baju dikancing perhiasan-perhiasan emas di dadanya serta tertutup ketat, dengan rambutnya
yang hitam pekat dihiasi ulee cemara emas (sejenis perhiasan rambut) dengan gelang di kakinya yang
melingkar pergelangan lunglai, wanita itu benar-benar seorang bidadari. (H.C Zentgraaff, 1983: 151)

Setelah dewasa Cut Meutia dinikahkan dengan Teuku Syamsarif yang bergelar Teuku Chik Bintara.
Namun Syamsarif mempunyai watak lemah dan sikap hidupnya yang ingin berdampingan dengan
Kompeni. Namun pernikahan mereka tidak bertahan lama, dan bercerai, Cut meutia kemudian menikah
dengan adik Teuku Syamsarif sendiri yaitu Teuku Chik Muhammad atau yang lebih dikenal dengan nama
Teuku Chik Tunong. Setelah itu ia dan suaminya berhijrah ke gunung untuk melawan Belanda

Perlawanan Melawan Belanda

Perjuangan dengan Teuku Chik Tunong:

Tahun 1901 adalah awal pergerakan, dengan basis perjuangan dari daerah Pasai atau Krueng Pasai
(Aceh Utara) di bawah komando perang Teuku Chik Tunong. Mereka memakai taktik gerilya dan
spionase dengan menggunakan untuk prajurit memata-matai gerak-gerik pasukan lawan terutama
rencana-rencana patroli dan pencegatan. Taktik spionase dilakukan oleh penduduk kampung yang
dengan keluguannya selalu mendapatkan informasi berharga dan tepat sehingga daerah lokasi patroli
yang akan dilalui pasukan Belanda dapat segera diketahui.
Terdapat banyak perlawanan yang dilakuakn oleh Chik Tunong beserta cut meutia dari Bulan Juni 1902,
Bulan Agustus November 1902 perlawanan yang sengit banyak merugikan pasukan belanda.

Selanjutnya tanggal 9 Januari 1903, Sultan bersama pengikutnya seperti Panglima Polem Muhammad
Daud, Teuku Raja Keumala dan pemuka kerajaan lainnnya telah menghentikan perlawanan dan
menyatakan turun dari usaha bergerilya melakukan penyerangan pasukan Belanda. Atas dasar itu, Cut
Nyak Meutia bersama suami pun turun gunung pada tanggal 5 Oktober 1903. Atas persetujuan
komandan datasemen Belanda di Lhokseumawe, HNA Swart, Teuku Tunong dan Cut Meutia dibenarkan
menetap di Keureutoe tepatnya di Jrat Manyang dan akhirnya pindah ke Teping Gajah daerah Panton
Labu.

Akhir perjuangan Teuku Chik Muhammad dan Cut Meutia adalah sebagai akibat dari peristiwa di
Meurandeh Paya sebelah timur kota Lhoksukon pada tanggal 26 Januari 1905. Peristiwa ini diawali
dengan terbunuhnya pasukan Belanda yang sedang berpatroli dan berteduh di Meunasah Meurandeh
Paya. Pembunuhan atas pasukan Belanda ini merupakan pukulan yang sangat berat bagi Belanda. Di
dalam penyelidikan Belanda, didapat bahwa Teuku Chik Tunong terlibat dalam pembunuhan itu. Maka
dari itu, Teuku ditangkap dan dihukum gantung. Namun pada akhirnya berubah menjadi hukum tembak
mati.

Pelaksanaan hukuman mati dilaksanakan pada bulan Maret 1905 di tepi pantai lhoksuemawe dan
dimakamkan di Masjid Mon Geudong. Sebelum dihukum mati, Teuku Tunong mewasiatkan agar Pang
Nanggroe yang merupakan sahabat perjuangannya untuk menikahi Cut Nyak Meutia serta menjaga
anak-anaknya.

Perjuangan dengan Pang Nanggroe

Sesuai amanah dari almarhum suaminya, Cut Meutia menerima lamaran Pang Nanggroe. Dan dengan
beliau, Cut Meutia melanjutkan perjuangan melawan Belanda dengan memindahkan markas basis
perjuangan ke Buket Bruek Ja. Pang Nanggroe mengatur siasat perlawanan melawan patroli marsose
Belanda bersama dengan Teuku Muda Gantoe. Penyerangan Cut Meutia dan Pang Nanggroe dimulai
dari hulu Kreueng Jambo Ayee, sebuah tempat pertahanan yang sangat strategis karena daerah tersebut
merupakan daerah hutan liar yang sangat banyak tempat persembunyian. Pasukan muslimin melakukan
penyerangan ke bivak-bivak Belanda dimana banyak pejuang muslim yang ditahan.
Pada tanggal 6 Mei 1907, pasukan Pang Nanggroe melakukan penyerbuan secara gerak cepat terhadap
bivak yang mengawal para pekerja kereta api. Dari hasil beberapa orang serdadu Belanda tewas dan
luka-luka. Bersama itu pula dapat direbut 10 pucuk senapan dan 750 butir peluru serta amunisi.

Pada tanggal 15 Juni 1907, pasukan Pang Nanggroe menggempur kembali sebuah bivak di Keude
Bawang (Idi), pasukan Belanda mengalami kekalahan dengan tewasnya seorang anggota pasukan dan 8
orang luka-luka.

Taktik penyerangan Cut Meutia yang lain pula adalah jebakan yang dirancang dengan penyebaran kabar
bahwa adanya acara kenduri di sebuah rumah dengan mengundang pasukan Belanda. Rumah tersebut
telah diberikan jebakan berupa makanan yang lezat, padahal pondasi rumah itu telah diakali dengan
potongan bambu sehingga mudah diruntuhkan. Pada saat pasukan Belanda berada di dalam rumah
tersebut, rumah diruntuhkan dan pasukan Cut Meutia menyerang secara membabibuta.

Penyerangan pasukan Cut Meutia juga terjadi pada rel kereta api sebagai usaha untuk memutuskan jalur
distribusi logistik dan jalur kereta apinya. Di pertengahan tahun 1909 sampai Agustus 1910 pihak
Belanda atas petunjuk orang kampung yang dijadikan tawanan telah mengetahui pusat pertahanan
pasukan Pang Nanggroe dan Cut Nyak Meutia. Beberapa penyerangan dilakukan, namun pasukan Cut
Meutia yang selalu berpindah tempat membuat Belanda susah untuk menangkapnya. Beberapa
penyerangan dilakukan di daerah Jambo aye, Peutoe, Bukit Hague, Paya Surien dan Matang Raya.
Namun pada tanggal 25 September 1910, saat terjadi penyerangan di daerah Paya Cicem, Pang
Nanggroe terkena tembakan Belanda sehingga meninggal dunia setelah mewasiatkan kepada anaknya
Teuku Raja Sabi untuk mengambil rencong dan pengikat kepala ayahnya dan menjaga ibundanya Cut
Nyak Meutia. Makam Pang Nanggroe terletak di samping Mesjid Lhoksukon.

Cut Meutia Memimpin Pasukan

Kepemimpinan pasukan diambil alih oleh Cut Meutia setelah Pang Nanggroe syahid, dan basis
pertahanan dipindahkan ke daerah Gayo dan Alas bersama pasukan yang dipimpin oleh Teuku Seupot
Mata. Pada tanggal 22 Oktober 1910, pasukan Belanda mengejar pasukan Cut Meutia yang diperkirakan
berada di daerah Lhokreuhat. Esoknya pengejaran dilakukan kembali ke daerah Krueng Putoe menuju
Bukit Paya sehingga membuat pasukan Cut Meutia semakin terjepit dan selalu berpindah antar gunung
dan hutan belantaraa yang sangat banyak.
Dalam pertempuran tanggal 25 Oktober di Krueng Putoe, pasukan Cut Meutia menghadapi serangan
Belanda. Di sinilah Cut Meutia syahid bersama pasukan muslim yang lain seperti Teuku Chik Paya
Bakong, Teungku Seupot Mata dan Teuku Mat Saleh. Menjelang gugurnya, Cut Meutia mewasiatkan
kepada Teuku Syech Buwah untuk tidak lagi menghadapi serangan belanda, taktik selanjutnya adalah
mundur sejauh mungkin dan menyusun serangan kembali, karena posisi mereka sudah sangat terjepit
kali ini. Cut Meutia juga menitipkan anaknya untuk dicari dan dijaga.

Cut Meutia wafat di Alue Kurieng, Aceh, 24 Oktober 1910, dinobatkan menjadi Pahlawan Kemerdekaan
Nasional pada 2 Mei 1964 berdasarkan Keppres No. 106 Tahun 1964.

Anda mungkin juga menyukai