Anda di halaman 1dari 6

Nama : Tjoet Nyak Meutia

Lahir : 1870, Kesultanan Aceh


Meninggal : 24 Oktober 1910, Aceh
Kebangsaan : Indonesia
Anak : Teuku Raja Sabi
Pasangan : Teuku Muhammad (m. ?–1905)
Pang Nanggroe (m. ?–1910)
Orang Tua : Teuku Ben Daud Pirak (ayah)
Cut Jah (ibu)
Agama : Islam

Cut Nyak Meutia dilahirkan di Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, tahun 1870,
beliau adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang berasal dari Aceh
selain Cut nyak dhien. Cut Meutia mulai melawan Belanda pada saat menjadi
istri dari Teuku Chik Muhammad atau yang lebih dikenal dengan nama Teuku
Chik Di Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Chik Tunong berhasil
ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum
meninggal, Teuku Chik Di Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nanggroe
agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.
Sesuai wasiat suaminya maka Cut Meutia kemudian menikah dengan
Pang Nanggroe dan bergabung dengan pasukan lainnya dibawah pimpinan
Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran dengan Korps Marechausée di
Paya Cicem, Cut Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang
Nagroe sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada
tanggal 26 September 1910.
Perjuangan melawan penjajahpun Cut Meutia lakukan bersama sisa-sisa
pasukannya. Ia menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak
menuju Gayo melewati hutan belantara. Namun pada tanggal 24 Oktober 1910,
Cut Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan Marechausée di Alue
Kurieng. Dalam pertempuran itu Cut Meutia gugur.

Kehidupan Awal
Latar Belakang Keluarga
Cut Meutia adalah putri dari ayah yang bernamaTeuku Ben Daud Pirak
dan ibu Cut Jah. Cut meutia adalah putri satu-satunya dari empat saudara
laki-laki yang lainnya yaitu:Teuku Cut Beurahim disusul kemudian Teuku
Muhammadsyah, Teuku Cut Hasan dan Teuku Muhammad Ali. Ayahnya
adalah seorang Uleebalalang di desa Pirak yang berada dalam daerah
keuleebalangan Keureutoe.
Cut meutia lahir di daerah Uleebalang Pirak, daerah yang berdiri sendiri
karena daerah ini mempunyai pemerintahan dan kehakiman tersendiri
sehingga dapat memutuskan perkara-perkara dalam tingkat yang rendah. Saat
daerah Uleebalang Pirak di bawah kepemimpinan Teuku Ben Daud (ayah Cut
Meutia) suasana penuh dengan ketenangan dan kedamaian. Sebagai seorang
yang bijaksana perhatian Teuku Ben Daud selalu tertumpah pada rakyatnya
karena selain sebagai Uleebalang dia juga dikenal sebagai seorang ulama yang
sampai akhir hayatnya tidak mau tunduk dan patuh pada Belanda, tidaklah
mengherankan jika sifat kesatria itu terbina dalam diri Cut Meutia.

Masa Muda
Selain memiliki nama yang indah (Meutia) tapi Cut Meutia juga berparas
cantik, serta bentuk tubuh yang indah menyertainya. Seperti yang
diungkapkan seorang penulis Belanda: Cut Meutia bukan saja amat cantik,
tetapi ia juga memiliki tubuh yang tampan dan mengga1rahkan. Dengan
mengenakan pakaian adatnya yang indah-indah menurut kebiasaan wanita di
Aceh dengan silueue (celana) sutera bewarna hitam dan baju dikancing
perhiasan-perhiasan emas di dadanya serta tertutup ketat, dengan rambutnya
yang hitam pekat dihiasi ulee cemara emas (sejenis perhiasan rambut) dengan
gelang di kakinya yang melingkar pergelangan lunglai, wanita itu benar-benar
seorang bidadari. (H.C Zentgraaff, 1983: 151)
Setelah dewasa Cut Meutia dinikahkan dengan Teuku Syamsarif yang
bergelar Teuku Chik Bintara. Namun Syamsarif mempunyai watak lemah dan
sikap hidupnya yang ingin berdampingan dengan Kompeni. Namun pernikahan
mereka tidak bertahan lama, dan bercerai, Cut meutia kemudian menikah
dengan adik Teuku Syamsarif sendiri yaitu Teuku Chik Muhammad atau yang
lebih dikenal dengan nama Teuku Chik Tunong. Setelah itu ia dan suaminya
berhijrah ke gunung untuk melawan Belanda.
Tahun 1901 adalah awal pergerakan, dengan basis perjuangan dari
daerah Pasai atau Krueng Pasai (Aceh Utara) di bawah komando perang Teuku
Chik Tunong. Mereka memakai taktik gerilya dan spionase dengan
menggunakan untuk prajurit memata-matai gerak-gerik pasukan lawan
terutama rencana-rencana patroli dan pencegatan. Taktik spionase dilakukan
oleh penduduk kampung yang dengan keluguannya selalu mendapatkan
informasi berharga dan tepat sehingga daerah lokasi patroli yang akan dilalui
pasukan Belanda dapat segera diketahui.

Perlawanan Melawan Belanda


Perjuangan dengan Teuku Chik Tunong:
Terdapat banyak perlawanan yang dilakuakn oleh Chik Tunong beserta
cut meutia dari Bulan Juni 1902, Bulan Agustus November 1902 perlawanan
yang sengit banyak merugikan pasukan belanda.
Selanjutnya tanggal 9 Januari 1903, Sultan bersama pengikutnya
seperti Panglima Polem Muhammad Daud, Teuku Raja Keumala dan pemuka
kerajaan lainnnya telah menghentikan perlawanan dan menyatakan turun dari
usaha bergerilya melakukan penyerangan pasukan Belanda. Atas dasar itu, Cut
Nyak Meutia bersama suami pun turun gunung pada tanggal 5 Oktober 1903.
Atas persetujuan komandan datasemen Belanda di Lhokseumawe, HNA Swart,
Teuku Tunong dan Cut Meutia dibenarkan menetap di Keureutoe tepatnya di
Jrat Manyang dan akhirnya pindah ke Teping Gajah daerah Panton Labu.
Akhir perjuangan Teuku Chik Muhammad dan Cut Meutia adalah
sebagai akibat dari peristiwa di Meurandeh Paya sebelah timur kota Lhoksukon
pada tanggal 26 Januari 1905. Peristiwa ini diawali dengan terbunuhnya
pasukan Belanda yang sedang berpatroli dan berteduh di Meunasah
Meurandeh Paya. Pembunuhan atas pasukan Belanda ini merupakan pukulan
yang sangat berat bagi Belanda. Di dalam penyelidikan Belanda, didapat bahwa
Teuku Chik Tunong terlibat dalam pembunuhan itu. Maka dari itu, Teuku
ditangkap dan dihukum gantung. Namun pada akhirnya berubah menjadi
hukum tembak mati.
Pelaksanaan hukuman mati dilaksanakan pada bulan Maret 1905 di tepi
pantai lhoksuemawe dan dimakamkan di Masjid Mon Geudong. Sebelum
dihukum mati, Teuku Tunong mewasiatkan agar Pang Nanggroe yang
merupakan sahabat perjuangannya untuk menikahi Cut Nyak Meutia serta
menjaga anak-anaknya.

Perjuangan dengan Pang Nanggroe


Sesuai amanah dari almarhum suaminya, Cut Meutia menerima lamaran
Pang Nanggroe. Dan dengan beliau, Cut Meutia melanjutkan perjuangan
melawan Belanda dengan memindahkan markas basis perjuangan ke Buket
Bruek Ja. Pang Nanggroe mengatur siasat perlawanan melawan patroli marsose
Belanda bersama dengan Teuku Muda Gantoe. Penyerangan Cut Meutia dan
Pang Nanggroe dimulai dari hulu Kreueng Jambo Ayee, sebuah tempat
pertahanan yang sangat strategis karena daerah tersebut merupakan daerah
hutan liar yang sangat banyak tempat persembunyian. Pasukan muslimin
melakukan penyerangan ke bivak-bivak Belanda dimana banyak pejuang
muslim yang ditahan.
Pada tanggal 6 Mei 1907, pasukan Pang Nanggroe melakukan
penyerbuan secara gerak cepat terhadap bivak yang mengawal para pekerja
kereta api. Dari hasil beberapa orang serdadu Belanda tewas dan luka-luka.
Bersama itu pula dapat direbut 10 pucuk senapan dan 750 butir peluru serta
amunisi.
Pada tanggal 15 Juni 1907, pasukan Pang Nanggroe menggempur
kembali sebuah bivak di Keude Bawang (Idi), pasukan Belanda mengalami
kekalahan dengan tewasnya seorang anggota pasukan dan 8 orang luka-luka.
Taktik penyerangan Cut Meutia yang lain pula adalah jebakan yang dirancang
dengan penyebaran kabar bahwa adanya acara kenduri di sebuah rumah
dengan mengundang pasukan Belanda. Rumah tersebut telah diberikan
jebakan berupa makanan yang lezat, padahal pondasi rumah itu telah diakali
dengan potongan bambu sehingga mudah diruntuhkan. Pada saat pasukan
Belanda berada di dalam rumah tersebut, rumah diruntuhkan dan pasukan
Cut Meutia menyerang secara membabibuta.
Penyerangan pasukan Cut Meutia juga terjadi pada rel kereta api sebagai
usaha untuk memutuskan jalur distribusi logistik dan jalur kereta apinya. Di
pertengahan tahun 1909 sampai Agustus 1910 pihak Belanda atas petunjuk
orang kampung yang dijadikan tawanan telah mengetahui pusat pertahanan
pasukan Pang Nanggroe dan Cut Nyak Meutia. Beberapa penyerangan
dilakukan, namun pasukan Cut Meutia yang selalu berpindah tempat membuat
Belanda susah untuk menangkapnya. Beberapa penyerangan dilakukan di
daerah Jambo aye, Peutoe, Bukit Hague, Paya Surien dan Matang Raya. Namun
pada tanggal 25 September 1910, saat terjadi penyerangan di daerah Paya
Cicem, Pang Nanggroe terkena tembakan Belanda sehingga meninggal dunia
setelah mewasiatkan kepada anaknya Teuku Raja Sabi untuk mengambil
rencong dan pengikat kepala ayahnya dan menjaga ibundanya Cut Nyak
Meutia. Makam Pang Nanggroe terletak di samping Mesjid Lhoksukon.

Cut Meutia Memimpin Pasukan


Kepemimpinan pasukan diambil alih oleh Cut Meutia setelah Pang
Nanggroe syahid, dan basis pertahanan dipindahkan ke daerah Gayo dan Alas
bersama pasukan yang dipimpin oleh Teuku Seupot Mata. Pada tanggal 22
Oktober 1910, pasukan Belanda mengejar pasukan Cut Meutia yang
diperkirakan berada di daerah Lhokreuhat. Esoknya pengejaran dilakukan
kembali ke daerah Krueng Putoe menuju Bukit Paya sehingga membuat
pasukan Cut Meutia semakin terjepit dan selalu berpindah antar gunung dan
hutan belantaraa yang sangat banyak.
Dalam pertempuran tanggal 25 Oktober di Krueng Putoe, pasukan Cut
Meutia menghadapi serangan Belanda. Di sinilah Cut Meutia syahid bersama
pasukan muslim yang lain seperti Teuku Chik Paya Bakong, Teungku Seupot
Mata dan Teuku Mat Saleh. Menjelang gugurnya, Cut Meutia mewasiatkan
kepada Teuku Syech Buwah untuk tidak lagi menghadapi serangan belanda,
taktik selanjutnya adalah mundur sejauh mungkin dan menyusun serangan
kembali, karena posisi mereka sudah sangat terjepit kali ini. Cut Meutia juga
menitipkan anaknya untuk dicari dan dijaga.
Cut Meutia wafat di Alue Kurieng, Aceh, 24 Oktober 1910, dinobatkan
menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 2 Mei 1964 berdasarkan
Keppres No. 106 Tahun 1964.
BIOGRAFI
TJOET NYAK MEUTIA

SRY AULIA APRIANI


0035

DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


SMP NEGERI 1 KOTA BIMA
TAHUN 2019

Anda mungkin juga menyukai