Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH BIOGRAFI PAHLAWAN

CUT NYAK MEUTIA

Disusun oleh :
Ayu Adristi Cahyadewi

XII IPS 2 / 10

SMA NEGERI 99 JAKARTA


Jalan Cibubur II, RT 09/ RW 003, Cibubur, Ciracas, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus
Ibukota Jakarta 13720, Indonesia
BIOGRAFI

A. Kehidupan Awal

1. Latar Belakang

Cut Meutia atau Cut Nyak Meutia lahir tahun 1870 di Keureutoe, Pirak, Aceh Utara.
Keluarga Cut Meutia adalah putri dari ayah yang bernama Teuku Ben Daud Pirak dan ibu Cut
Jah. Cut meutia adalah putri satu-satunya dari empat saudara laki-laki yang lainnya yaitu:
Teuku Cut Beurahim disusul kemudian Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasan dan Teuku
Muhammad. Orang tuanya merupakan keturunan Minangkabau asal Sijunjung, Sumatera
Barat.
Ayahnya adalah seorang Ulee balang desa Pirak. Ulee Balang adalah golongan
bangsawan dalam masyarakat Aceh yang memimpin sebuah pemerintahan atau nanggroe, yaitu
wilayah setingkat kabupaten dalam struktur pemerintahan Indonesia sekarang. Ia juga dikenal
sebagai seorang ulama di daerah tersebut. Daerah Pirak sendiri merupakan daerah yang
memiliki sistem pemerintahan tersendiri.

Cut meutia lahir di daerah Ulee balang Pirak, daerah yang berdiri sendiri karena daerah
ini mempunyai pemerintahan dan kehakiman tersendiri sehingga dapat memutuskan perkara-
perkara dalam tingkat yang rendah. Saat daerah Ulee balang Pirak di bawah kepemimpinan
Teuku Ben Daud (ayah Cut Meutia), suasana penuh dengan ketenangan dan kedamaian.
Sebagai seorang yang bijaksana perhatian Teuku Ben Daud selalu tertumpah pada rakyatnya
karena selain sebagai Ulee balang dia juga dikenal sebagai scorang ulama yang sampai akhir
hayatnya tidak mau tunduk dan patuh pada Belanda, tidaklah mengherankan jika sifat kesatria
itu terbina dalam diri Cut Meutia.

2. Masa Muda

Selain memiliki nama yang indah (Meutia) tapi Cut Meutia juga berparas cantik, serta
bentuk tubuh yang indah menyertainya. Seperti yang diungkapkan seorang penulis Belanda:
Cut Meutia bukan saja amat cantik, tetapi ia juga memiliki tubuh yang tampan dan
menggairahkan. Dengan mengenakan pakaian adatnya yang indah-indah menurut kebiasaan
wanita di Acch dengan silueue (celana) sutera bewarna hitam dan baju dikancing perhiasan-
perhiasan emas di dadanya yang hitam pekat dihiasi ulee cemara emas (sejenis perhiasan
rambut) dengan gelang di kakinya yang melingkar pergelangan lunglai.

Ketika dewasa Cut Meutia menikah dengan Teuku Samsyarif dengan gelar Teuku Chik
Bintara. Namun, Teuku Samsyarif berwatak lemah dan sikap hidupnya yang ingin
berdampingan dengan pihak Belanda. Akhirnya Cut Meutia bercerai dan kemudian menikah
dengan adik Teuku Samsyarif sendiri yaitu Teuku Chik Muhammad atau dikenal dengan nama
Teuku Chik Tunong. Persamaan visi dengan Teuku chik Tunong yang sama-sama menentang
penjajahan Belanda di bumi Aceh membuat Cut Meutia dan suaminya hijrah ke gunung dan
melakukan perlawanan dengan Belanda dengan taktik gerilya.
Perjuangan Cut Meutia Melawan Belanda

1) Bersama Teuku Chik Tunong

Pergerakan dimulai pada tahun 1901 dengan basis perjuangan di Krueng Pasai, Aceh
Utara. Di bawah komando Teuku Chik Tunong mereka mematai-matai gerak-gerik tentara
lawan terutama rencana patroli dan pencegatan sehingga lokasi patroli Belanda segera dapat
diketahui. Juni 1902 karena informasi pengikutnya, Teuku Chik Tunong berhasil mengalahkan
seorang pimpinan dan 8 pasukan Belanda.

Agustus 1902 pasukan Chik Tunong dan Cut Meutia mencegat pasukan Belanda yang
berpatroli di daerah Simpang Ulim, Blang Nie. Strategi yang dipakai oleh pasukan Aceh untuk
mencegat pesukan Belanda adalah dengan menempatkan pasukannya di daerah yang beralang-
alang tinggi dekat jalan tidak jauh dari Meunasah Jeuro sehingga memudahkan para pejuang
menyintai dan sekaligus melakukan penyerangan secara tiba-tiba. Di dalam penyerangan ini
pasukan Belanda lumpuh total dan para pejuang muslim dapat merebut 5 pucuk senapan.

November 1902 jebakan kabar burung yang disusun oleh Cut Meutia berhasil dilakukan
oleh Chik Tunong dan pasukannya yang menewaskan Letnan De Cok dan 28 prajuritnya serta
42 pucuk senapan diperoleh kaum muslimin. Selain itu pasukan Cut Meutia juga sering
menyabotase kerta api, penghancuran hubungan telepon hingga jalur perhubungan untuk
mengangkut logistik pasukan Belanda.

Pada 9 Januari 1903, Sultan bersama dengan Panglima Polem Muhammad Daud, Teuku
Kumala dan beberapa pemuka kerajaan lainnya telah menghentikan perlawanan terhadap
Belanda. Atas dasar tersebut Cut Meutia dan Teuku Chik Tunong pun juga ikut turun tanggal
5 Oktober 1903. Kemudian mereka tinggal di Keureutoe tepatnya di Jrat Manyang yang
kemudian pindah ke Teping Gajah daerah Panton Labu atas persetujan Komandan datasemen
Belanda di Lhokseumawe.

Akhir perjuangan Chik Tunong dengan Cut Meutia yaitu ketika peristiwa di Meurandeh
tanggal 26 Januari 1905. Pembunuhan pasukan patroli Belanda di Meunasah Meurandeh Paya.
Menurut penyelidikan Belanda bahwa Teuku Chik Tunong terlibat dalam pembunuhan
tersebut. Akhirnya Teuku Chik Tunong ditangkap dan ditembak mati. Sebelum mati, Teuku
Chik Tunong memberikan wasiat kepada sahabatnya untuk menjaga Cut Meutia dan putranya
yaitu Teuku Raja Sabi. Hukuman tersebut dilaksanakan pada bulan Maret 1905 di tepi Pantai
Lhokseumawe dan kemudian di jenazah Chik Tunong di makamkan di Masjid Mon Geudong.

2) Bersama Pang Nanggroe

Ketika Cut Meutia ditinggal wafat oleh Teuku Chik Tunong, ia sedang hamil tua. Baru
setelah melahirkan ia mendapat kabar bahwa suaminya telah wafat ditembak mati oleh
Belanda. Keadaan Cut Meutia pada saat itu sedang sakit parah karena kehabisan darah setelah
melahirkan. Jadi perjuangan bersama Pang Naggroe dilakukan setelah Cut Meutia sehat
kembali seperti semula. Dalam proses penyembuhan tersebut Pang Nanggroe juga menikahi
Cut Meutia karena wasiat yang telah diberikan oleh sahabatnya. Dengan perkawinannya,
wanita ini bagaikan meneruskan obor perlawanan kepada Nanggroe. Beberapa waktu
kemudian keadaan Cut Meutia sudah sehat dan siap untuk perang bersama suaminya melawan
Belanda.

Di pihak Belanda mendatangkan pimpinan Marsuse yang kejam dan tidak berperi
kemanusiaan, namanya yaitu Kapitan Christoffel. Pasukan Belanda diperkuat dan penjagaan
disetiap pelosok yang selama ini menjadi daerah pertempuran antara mereka dengan barisan
muslimin. Karena hal tersebut banyak umat muslimin yang syahid dalam peperangan. Namun
Pang Nanggroe tetap utuh dalam kepemimpinannya meskipun sedikit kenunduran.

Suasana perjuangan kaum muslimin semakin terdesak karena pasukan Belanda yang
dipimpin oleh Christoffel. Siapa pun orang muslim yang ditemuinya langsung di tembak di
tempat. Namun Pang Nanggroe dan Cut Meutia tetap berada di garis depan untuk melawan
Belanda. Putranya selalu berpindah-pindah tempat sembunyi supaya tidak terjebak oleh patroli
marsuse.

Di tahun 1907, Pasukan Pang Nangroe bersama Cut Meutia menyerang pos dari
pasukan Belanda yang mengaawal para pekerja kereta api. Penyerangan itu membuat beberapa
serdadu Belanda tewas dan yang lainnya luka-luka. Di bulan Juninya, Pasukan pang Nangroe
kemudian menyerang pos Belanda di daerah Keude Bawang yang mengakibatkan seorang
serdadu Belanda tewas dan yang lainnya terluka. Serta sabotase jalur logistik dan kereta api
membuat, taktik perang gerilya yang dilakukan oleh Pang Nangroe bersama Cut Meutia
membuat Belanda kesulitan dalam mengatasinya.
Belanda sempat mengetahui basis pertahanan Pang Nangroe dan Cut Meutia pada bulan
agustus 1910 namun sebelum dilakukan pengepungan oleh Belanda, Pasukan Pang nagroe
bersama Cut Meutia sudah berpindah tempat terlebih dahulu. Perjuangan Cut Nyak Meutia
bersama suaminya terus berlanjut dengan melakukan Penyerangan ke pos-pos Belanda untuk
melemahkan kekuatan Belanda.

Namun pada bulan september 1910, Pang Nangroe gugur setelah terkena tembakan dari
Belanda di wilayah Paya Cicem dan dimakamkan di samping masjid Lhoksukon. Keteladanan
Cut Nyak Meutia dapat dilihat dari perannya yang mengambil alih kepemimpinan pasukan dan
melanjutkan perlawanannya dengan Belanda sepeninggal suaminya. Untuk itu basis
pertahanan kemudian pindah ke Gayo dan Alas dan bergabung dengan pasukan lain yang
dipimpin oleh Teuku Seupot Mata.
Perjuangan Cut Meutia Melawan Belanda Sebagai Pemimpin Perang

Setelah berjalan beberapa lama kemudian malam hari Teuku Raja Sabi bertemu dengan
Cut Meutia bersama rombongan yang lain. Pagi harinya kaum muslimin yang bersama Cut
Meutia dan Tuanku Raja Sabi sepakat kepemimpinan perang digantikan oleh Cut Meutia dan
beliau menerimanya dengan syarat jika ia kurang sempurna agar cepat ditegur sehingga segala
urusan dapat berjalan dengan lancar.

Alasan mereka para pengikut Cut Meutia memilih Cut Meutia sebagai pemimpin
menggantikan suaminya yang telah gugur adalah tidak hanya sebagai mantan istri seorang
pejuang dengan pengalaman berperang yang sudah cukup banyak, tetapi juga semangat Cut
Meutia yang sangat besar dalam berjuang melawan pasukan Belanda walaupun dia seorang
wanita. Cut Meutia termasuk tipe pemimpin karismatik karena pengalamanya dan
semangatnya dalam perang dapat mempengaruhi teman-teman dan pengikutnya untuk ikut
berperang dan pantang menyerah terhadap Belanda.

Setelah selesai menentukan pemimpin perang, mereka lalu berencana untuk pindah ke
Gayo. Untuk pergi ke sana mereka harus keluar masuk hutan dan naik turun gunung. Sampai
akhirnya mereka sampai di tempat yang dangkal. Mereka beristirahat dan menanak nasi untuk
makan siang. Belum sempat mereka makan tiba-tiba datang patroli musuh. Teuku Raja Sabi
yang berada kira-kira seratus meter dari tempat ibunya, mendengar teriakan bahwa musuh
datang. Keadaan menjadi kacau. Diantara mereka ada yang melarikan diri, ada pula yang tetap
berada disana.

Cut Meutia berusaha memanggil putranya sehingga ia lupa untuk melarikan diri.
Tuanku Raja Sabi dibawa oleh seorang muslimin dan secepat mungkin melarikannya.
Tinggalah Cut Meutia, Teungku Seupot Mata dan 15 orang lainnya. Perang mulai terjadi antara
pihak Belanda dan kelopok dari Cut Meutia.
Akhir Hidup

Dari peperangan tersebut Cut Meutia terkena peluru di kakinya. Di saat genting itu ia
juga sempat membisikkan sesuatu kepada teman yang berada disampingnya yaitu Teungku
Syaikh Buwah bahwa ia diminta untuk mencari dan menjaga putranya dengan baik. Kemudian
Teungku Syaikh Buwah langsung pergi mencari Tuanku Raja Sabi. Cut Meutia gugur karena
terkena peluru pasukan Sersan W. J. Mosselman. Teungku Seupot Mata dan lima belas orang
pengikutnya juga wafat dalam pertempuran tersebut. Perjuangan Cut Meutia berakhir bersama
dengan beberapa pengikutnya yang menjadi korban pula.

Cut Meutia sebagai pelopor dan pemimpin perjuangan mampu mengalahkan pasukan
Belanda bersama dengan teman-teman dan pengikut-pengikutnya walaupun pada akhirnya
beliau dan banyak dari teman dan pengikutnya gugur dalam peperangan. Namun yang patut di
teladani adalah sikap pantang menyerahnya yang sangat besar, keberaniannya sebagai
pemimpin perang dan pengatur strategi dan siasat yang sangat cerdik.

Perjuangan Cut Meutia bersama dengan pahlawan-pahlawan lain dalam melawan


Belanda memang sangat berat. Dengan alat perang yang sederhana dari pihak penduduk dan
jumlah pasukan yang tidak tentu besarnya mereka harus berhadapan dengan sekelompok
pasukan Belanda dengan senjata yang modern dan lengkap serta pasukan yang cukup banyak
dan kuat untuk dilawan. Beberapa kali mengalami kekalahan dan kehilangan banyak pasukan
namun tidak sedikit pula memenangkan perang dan merampas senjata dari pihak Belanda yang
kalah.

Semangat mereka pantang menyerah untuk melawan Belanda. Mereka tidak


menginginkan tempat tinggal mereka dikuasai oleh Belanda. Mereka berkata bahwa lebih baik
mati syahid daripada harus menyerah kepada Belanda. Atas jasa-jasanya, Cut Meutia
kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Indonesia oleh pemerintah Indonesia melalui SK
Presiden Nomor 107/1964 di tahun 1964. Pemerintah Indonesia juga mengabadikannya dalam
pecahan uang mata uang rupiah pada tahun 2016.
Sikap Kepahlawanan yang Dimiliki Cut Nyak Meutia

1. Orang yang taat beribadah. Meskipun perempuan Aceh di zaman dahulu hanya memakai
selendang tipis menutupi sebagian kepala dan tidak berjilbab. Perempuan Aceh mulai berhijab
mulai tahun 1990-an.

2. Tegas, karena suaminya telah menyerah pada Belanda dan bekerjasama dengan Belanda.
Oleh karena itu dia minta cerai kepada suaminya. Suaminya membujuk agar tidak minta cerai.
Tetapi karena berbeda prinsip maka Cut Meutia minta cerai. Suami Cut Meutia (Teuku
Syamsarif) mengantarkan Cut Meutia ke Pirak utnuk dikembalikan kepada ayahnya. Cut Mutia
dengan suka rela meninggalkan kesenangan dan kemewahan hidupnya sebagai seorang istri
uleebalang, begitu mengetahui suaminya menjalin kerja sama dengan Belanda. Setelah
suaminya bersedia menandatangani korte verklaring yang diajukan Belanda, Cut Nyak Meutia
memilih berpisah dengan suaminya dan mengembara untuk berjuang melawan penjajahan
Belanda. Teuku Syamsarif bersedia bekerja sama dengan Belanda, sehingga Teuku Syamsarif
mendapat kehormatan dan kedudukan dengan berbagai fasilitas dari Belanda.

3. Berjuang hingga titik darah penghabisan.

4. Pemberani

5. Pantang menyerah. Cut Nyak Meutia lahir di daerah Uleebalang Keureutoe pada tahun
1870. Cut Nyak Meutia adalah putri dari Teuku Ben Daud, uleebalang Pirak yang masuk dalam
wilayah Keureutoe. Ibu Cut Nyak Meutia bernama Cut Jah putri dari Ben Seuleumak. Ibu Cut
Nyak Meutia juga dipanggil Cut Mulieng karena berasal dari Gampong Mulieng. Dari kedua
orang tuanya itu, Cut Nyak Meutia mempunyai empat orang saudara laki-laki, yaitu Teuku Cut
Brahim, Teuku Cut Hasan, Teuku Cut Muhammad Syah dan Teuku Cut Muhammad Ali.

Masa kecil Cut Nyak Meutia hidup dalam didikan agama yang diajarkan oleh para ulama yang
didatangkan oleh ayahnya sebagai tenaga pengajar, sebagaimana lazimnya dilakukan oleh
keluarga uleebalang di Aceh. Hal itu membuat Cut Nyak Meutia menjadi pribadi yang taat dan
teguh memegang prinsip. Ia rela berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan dan nyawanya
untuk membela agama dan bangsanya. Untuk melawan Belanda, rakyat Keuretoe dan Pirak
dipersiapkan melalui pendidikan di dayah-dayah. Di Keuereutoe saat itu terdapat sebuah dayah
yang sangat terkenal yakni Dayah Teungku Beuringen.
Ayah Cut Nyak Meutia, Teuku Ben Daud terus menggalakkan peperangan untuk melawan
Belanda. Teuku Be Daud merupakan pengikut setia Sulthan Aceh, Muhammad Daud Syah,
yang saat itu sudah memindahkan pusat pemerintahan dan pertahanan ke Keumala, Pidie.
Bantuan yang diberikan Teuku Ben Daud kepada sulthan semakin besar ketika sebagian Aceh
Utara sudah dikuasai Belanda. Ia mengkoordinasi rakyatnya untuk mengumpulkan perbekalan
serta membentuk angkatan perang.

Teuku Ben Daud yang dibantu oleh anak-anaknya, para ulama dan pengikutnya, tetap menolak
untuk bekerja sama dengan Belanda. Ia tidak bersedia menandatangani Korte Verklaring yang
ditawarkn Belanda meskipun beberapa uleebalang yang ada disekitarnya sudah melakukannya.
Maka perang pun berlanjut dan Belanda akhirnya bisa menuasai darah kekuasaan Teuku Ben
Daud.

Walaupun daerah kekuasaannya telah dikuasai Belanda, Teuku Ben Daud terus melakukan
perlawanan. Teuku Ben Daud melarikan diri ke daerah hulu Krueng Jambo Aye, dari sana ia
terus mengkoordinir pasukannya untuk menyerang Belanda, hingga ia syahid di sana. Sejak
tahun 1905, daerah itu pula yang digunakan Cut Nyak Meutia sebagai pusat pertahanan.

Cut Nyak Meutia kemudian meninggalkan Keureuto kembali ke Pirak ke tempat ayahnya,
Teuku Syamsyarif tidak pernah menjenguknya, dan bahkan tidak pernah mengirim nafkah.
Karena tidak dijemput dan menafkahi istrinya sampai beberapa lama, maka Teuku Syamsyarif
dinyatakan dipasah (diceraikan) dari istrinya. Setelah bercerai, Cut Nyak Meutia terbebas dari
penderitaan batin. Ia kemudian menyatakan keinginannya pada ayahnya untuk ikut berperang
melawan Belanda. Tapi keinginan itu tidak dikabulkan oleh ayahnya karena Cut Nyak Meutia
baru menjadi janda.

Cut Meutia Memimpin Pergerakan Walaupun Pang Nanggroe suami kedua sekaligus
pemimpin perlawanan telah syahid. Cut Meutia tetap melanjutkan perjuangan dan perlawanan
bersenjata bersama-sama sahabat setia pejuang muslimin dan terus bergerilya naik gunung
turun gunung melakukan penyerangan dan penyergapan. Mereka tidak mau menyerah kepada
Belanda. Untuk melaksanakan perjuangan yang berlanjut tersebut diperlukan seorang
pemimpin yang tangguh dipercayai, serta disegani oleh lawan maupun kawan. Oleh karena itu,
atas kesepakatan dan saran pejuang muslim pimpinan pergerakan diserahkan kepada Cut
Meutia. Jiwa semangat pejuang dan kearifannya muncul saat ia diminta untuk memimpin
pergerakan dengan rasa haru dan senyum.
Penghargaan Cut Nyak Meutia

 Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh.


 Mata Uang Nominal 1.000 Rupiah
 Nama Cut Meutia juga diabadikan di beberapa tempat:
 Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia, Aceh Utara.
 Museum Rumah Cut Meutia, Aceh Utara
 Masjid Cut Meutia, Jakarta Pusat.
 Taman Cut Meutia, Bekasi, Jawa Barat.
 Dan beberapa nama - nama Jalan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.parapuan.co/read/532984383/kisah-cut-meutia-pahlawan-perempuan-yang-ahli-
strategi-perang

https://id.wikipedia.org/wiki/Cut_Nyak_Meutia

https://www.geografi.org/2017/11/sejarah-cut-meutia.html

https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.com/2014/01/biografi-cut-nyak-meutia-pahlawan-
aceh.html

https://www.infobiografi.com/biografi-dan-profil-lengkap-cut-nyak-meutia-pahlawan-
nasional-wanita-indonesia-dari-aceh/

https://beritalima.com/sejarah-singkat-perjalanan-kehidupannya-cut-nyak-meutia/

https://www.biografiku.com/biografi-cut-nyak-meutia

Anda mungkin juga menyukai