Anda di halaman 1dari 2

Biografi Cut Meutia, Komandan Perlawanan dari Aceh

Cut Nyak Meutia atau yang akrab dikenal dengan nama Cut Meutia,
lahir pada 15 Februari 1870 di Pirak, Aceh Utara, dan wafat pada 24
Oktober 1910 di Paya Cicem, Aceh.
Meutia adalah putri satu-satunya di antara lima bersaudara yang lahir
dari pasangan suami-istri Daud Pirak, seorang ulama dan pimpinan
daerah di Pirak dan Cut Jah. Ia sendiri pernah menikah sebanyak tiga
kali, yaitu dengan Teuku Syamsarif atau yang juga dikenal dengan
nama Cik Bintara melalui perjodohan ketika usianya 20 tahun, Teuku
Cik Muhammad atau yang juga dikenal dengan nama Cik Tunong,
dan Pang Nanggroe.
Disebutkan bahwa ia akhirnya memutuskan untuk bercerai dengan Cik Bintara karena
mereka berbeda prinsip; laki-laki tersebut nggak menentang penjajahan Belanda dan malah
iya-iya aja. Nah, hal tersebut berbanding terbalik sama suami kedua dan ketiganya, yang
sama-sama berjuang untuk memukul mundur para penjajah Belanda dari Aceh. Oh iya, Cik
Tunong sendiri adalah adik dari Cik Bintara.

Awal Perjalanan Cut Meutia


Seperti yang udah sempat gue singgung, bahwa suami kedua Meutia, yaitu Cik
Tunong memang sedari dulu udah aktif sebagai bagian dari pasukan pribumi yang menentang
penjajahan Belanda. Pada 1901, ia bersama pasukannya berhasil menghancurkan pertahanan
Belanda di Aceh dengan cara melayangkan serangan mendadak.
Ketika itu, para tentara Belanda yang ada di Aceh mengira bahwa pasukan Aceh udah
menyerah. Hal ini karena setelah dua tahun berselang dari perlawanan terakhir mereka yang
berhasil melumpuhkan para tentara Belanda untuk sementara, nggak kelihatan ada tanda-
tanda bahwa pasukan Aceh bakal melayangkan serangan lain. Dikarenakan oleh kelengahan
mereka ini, para tentara Belanda pun harus menanggung akibatnya.
Usaha Cik Tunong nggak berhenti sampai di situ. Ia juga muncul sebagai komandan
selama pertarungan melawan Belanda berlangsung di wilayah bagian Aceh Utara pada 1901-
1903. Selama tahun-tahun itu, kabarnya Belanda kelimpungan merespon aksi perlawanan
yang dipimpin oleh pasukan Cik Tunong dan Meutia.
Cik Tunong diangkat sebagai Kepala Daerah Keureutoe sebagai kompensasi atas
kemenangannya memukul mundur para tentara Belanda, yang diberikan oleh Sultan Aceh
saat itu. Sayangnya, nggak lama berselang, suami pertama Meutia itu ditembak mati oleh
tentara Belanda setelah berhasil dipenjarakan sejak setahun sebelumnya.
Pencapaian Cut Meutia Semasa Hidupnya
Setelah kepergian Cik Tunong, pasukan pejuang Aceh pun
mendapatkan komandan baru, yaitu Pang Nanggroe. Yap, sosok yang
nantinya jadi suami ketiga Meutia. Mereka menikah atas wasiat yang
dititipkan oleh Cik Tunong sebelum ia menghembuskan napas
terakhir. Sayangnya, Meutia juga harus kehilangan suami ketiganya
di medan perang, tepatnya pada 26 September 1910. Dan sekali lagi,
pasukan Aceh harus kehilangan komandan mereka.
Mengisi kekosongan tersebut, Meutia pun maju menjadi komandan pasukan Aceh
yang selanjutnya. Sayangnya, ketika itu, situasinya udah nggak begitu bagus. Dengan
minimnya prajurit, senjata, dan pasokan pendukung lainnya, Meutia beserta pasukannya
masih harus terus berdiri melawan para tentara Belanda. Dalam pertempuran yang ini,
pasukan Aceh lagi-lagi harus bersiap untuk kehilangan komandan mereka untuk yang
kesekian kali.
Oh iya, selama melakukan perlawanan terhadap Belanda, Meutia dikenal baik atas
strategi cerdiknya di medan perang, yaitu strategi gerilya. Strategi ini punya prinsip
untuk nyerang lawan secara diam-diam aja, nggak perlu heboh berkoar-koar.

Masa-Masa Akhir Cut Meutia


Bisa dibilang, kisah di penghujung hidup Meutia ini cukup tragis dan heroik. Kenapa?
Ketika itu, Meutia masih bersama dengan para prajurit wanita yang lain di Paya Cicem,
sedang bersembunyi dari para tentara Belanda.
Sayangnya, para tentara Belanda berhasil menemukan keberadaan mereka. Meutia
dan pasukannya dipaksa untuk mundur, yang jelas-jelas langsung mereka tolak. Alhasil, salah
satu tentara Belanda pun melayangkan tembakan kepada Meutia, yang mengenai kepala dan
dadanya sebanyak tiga kali.
Pada hari itu, tepatnya 24 Oktober 1910, nyawanya pun dinyatakan nggak bisa
diselamatkan. Meutia, yang hingga akhir hayatnya masih nggak gentar untuk terus berjuang
meskipun hanya punya rencong di tangan, dimakamkan di Alue Kering, Aceh.

Anda mungkin juga menyukai