Anda di halaman 1dari 8

Cut

Nyak
Meuti
Lahir : Perlak, Aceh, pada 1870
Wafat: Alue Kurieng, Aceh, 1910

a
BIOGRAFI PAHLAWAN NASIONAL CUT NYAK MEUTIA
Sama seperti Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia berperang bersama suaminya.
kemudian mengambil alih pimpinan setelah gugurnya sang suami.

Biodat Cut Nyak Meutia


Nama Cut Nyak Meutia

Panggilan Cut Nyak Meutia

Tempat dan Tanggal Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, Kesultanan Aceh, 15


Lahir Februari 1870

Wafat Alue Kurieng, Aceh, Hindia Belanda, 24 Oktober 1910

Agama Islam

Ayah: Teuku Ben Daud Pirak

Orang Tua Ibu: Cut Jah

Teuku Syamsarif

Teuku Cik Muhammad

Pasangan Pang Nanggroe

Anak Teuku Raja Sabi

Gelar Pahlawan Nasional

Kehidupan awal Cut Nyak Meutia


Cut Nyak Meutia adalah satu-satunya putri dari perkawinan Teuku Ben Daud
Pirak dan Cut Jah, sedangkan saudaranya yang lain adalah laki-laki. Ia sendiri tepatnya
lahir pada 15 Februari 1870 di Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, Kesultanan Aceh.
Cut Nyak Meutia juga merupakan seorang gadis yang cantik dan memiliki tubuh
indah. Bahkan itu tertulis pada buku asal Belanda, H.C. Zentgraaff, 1983.
Namun, sedari kecil ia juga sudah memupuk sifat pejuang yang menurun dari
ayahnya. Ben Daud adalah seorang Uleebalang yang tak mau tunduk terhadap Belanda.
Perjuangan awal melawan Belanda
Perjuangan Cut Nyak Meutia melawan Belanda
Setelah dewasa, Cut Nyak Meutia dinikahkan dengan Teuku Syamsarif.
Sayangnya, Syamsarif adalah orang yang lemah dan lebih suka hidup berdampingan
dengan kompeni.
Hal itu membuat Cut Nyak Meutia pun bercerai dengan Syamsarif, dan menikah
lagi dengan adik dari Syamsarif sendiri, yaitu Teuku Chik Muhammad atau Teuku Chik
Tunong.
Bersama Chik Tunong, Meutia memulai kiprahnya pada perlawanan Belanda.
Tepatnya 1901, mereka mulai melakukan gerilya dan spionase.
Strategi yang diterapkan mereka benar-benar berhasil, bahkan dari Juni hingga
November 1902, Belanda benar-benar mendapatkan kerugian besar atas perang tersebut.
Namun, pada 1905, sebuah peristiwa di Meurandeh Paya, di mana para petugas
patroli Belanda dibunuh saat sedang berteduh, membuat Belanda sangat marah.
Hal itu pun membuat Teuku Chik Tunong ditangkap dan diadili. Ia pun
ditembak mati di pantai Lhoksuemawe pada Maret 1905.
Sebelum dieksekusi, Teuku Chik Tunong sempat memberi wasiat kepada Pang
Nanggroe untuk menikahi dan menjaga Cut Nyak Meutia.

Perlawanan bersama Pang Nanggroe


Sesuai wasiat Chik Tunong, Pang Nanggroe menikah dengan Cut Nyak Meutia
dan melanjutkan perlawanan terhadap Belanda.
Merekapun memindahkan basis markas perjuangan ke Buket Bruek Ja. Mereka
juga melakukan penyerangan melalui hutan ke hutan.
Pada 6 Mei 1907 pasukan Pang Nanggroe melakukan serangan ke bivak yang sedang
melakukan pengawalan terhadap pekerja kereta api.
Kemudian 15 Juni 1907, pasukan tersebut juga melakukan serangan terhadap
bivak Keude Bawang. Serangan tersebut membuat satu orang Belanda tewas dan
lainnya luka-luka.
Cut Nyak Meutia juga melakukan taktik jebakan, dengan membohongi para
pasukan Belanda dengan mengundang mereka ke acara Kenduri di sebuah rumah.
Setelah mereka masuk, rumah tersebut dirobohkan dan secara membabi buta,
menembak seluruh pasukan yang berada dalam rumah tersebut.
Sayang, pada tahun 1910, tepatnya pada penyerangan di Paya Cirem, Pang
Nanggroe harus gugur setelah terkena tembakan.
Mengambil alih kepemimpinan pasukan

(Steemit/mahlilfisher) Makam Cut Nyak Meutia


Meski Pang Nanggroe telah gugur di medan perang, Cut Nyak Meutia tidak
mengendurkan perjuangannya, bahkan ia mengambil alih kepemimpinan pasukan.
Basis pertahanan pun berpindah ke daerah Gayo dan Alas. Tapi, mereka terus
dikejar oleh pasukan Belanda.
Pasukan Cut Nyak Meutia pun terus berpindah-pindah tempat di belantara hutan.
Merekapun semakin terjepit oleh pasukan Belanda.
Sayang, pada tanggal 25 Oktober 1910 di Krueng Putoe, pasukannya terdesak
dan harus melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Cut Nyak Meutia pun gugur bersama beberapa pasukannya, seperti Teuku Chik
Paya Bakong, Teuku Seupot Mata dan Teuku Mat Saleh.
Sebelum kematiannya, Cut Nyak Meutia sempat memberi wasiat kepada Teuku
Syech Buwah untuk tidak lagi melawan Belanda dan mundur, lalu rencanakan serangan
kembali.
Dinobatkan sebagai pahlawan nasional

(Bank Indonesia) Cut Nyak Meutia di mata uang Rupiah


Berkat jasanya dan perlawanannya yang sangat luar biasa terhadap Belanda
untuk bangsa Indonesia, Cut Nyak Meutia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Selain gelar, sosok Cut Nyak Meutia juga diabadikan pada mata uanga Rupiah
cetakan versi 2016, tepatnya untuk nominal Rp1.000.
Tentunya, Cut Nyak Meutia adalah salah satu pahlawan wanita, yang
membuktikan bahwa para wanita juga mampu melakukan jasa yang besar untuk negara.
Kisahnya pun harus kita teladani dan melestarikan semangatnya, untuk memajukan
Indonesia di masa mendatang.
BIOGRAFI CUT NYAK DHIEN
Cut Nyak Dhien adalah gambaran dan teladan bagi wanita Indonesia, bahwa perjuangan
kaum perempuan juga tak bisa dipandang sebelah mata.
Biodata Cut Nyak Dhien
Nama Cut Nyak Dhien

Panggilan Ibu Perbu, Ibu Suci, Ibu Ratu

Tempat dan Tanggal


Lahir Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848

Wafat Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908

Agama Islam

Orang Tua Ayah: Teuku Nanta Seutia

Teuku Ibrahim Lamnga

Pasangan Teuku Umar

Dari Teuku Umar:

Anak Cut Gambang

Gelar Pahlawan Nasional

Masa Kecil
(Wikipedia/Si Gam) Rumah Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien merupakan putri dari seorang Uleebalang 6 mukim, yaitu
Teuku Nanta Seutia. Sedangkan ibunya adalah putri dari Uleebalang Lampageu.
Tepatnya, ia lahir di tahun 1848 di Lampadang, Kesultanan Aceh. Ia pun
tumbuh menjadi putri yang sangat cantik.
Ia juga diajarkan pendidikan agama Islam dan juga mempelajari bagaimana
menjadi seorang ibu rumah tangga.
Karena kecantikannya, banyak pria yang ingin melamar dirinya. Lalu pada umur
12 tahun, ia pun dipersunting oleh Teuku Ibrahim Lamnga pada tahun 1862.
Tewasnya Sang Suami di Tangan Belanda
Pada tahun 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureuman dan
menyerang Masjid Raya Baiturahman, bahkan membakarnya.
Namun, pasukan Belanda yang berada dibawah kepemimpinan Kohler akhirnya
harus bertekuk lutut dari pasukan Kesultanan Aceh, di mana Ibrahim Lamnga berada di
garis depan.
Namun setelah Kohler tewas dan digantikan oleh Jenderal Jan van Swieten,
Kesultanan runtuh pada tahun 1874.
Cut Nyak Dhien pun mengungsi bersama bayinya pada 24 Desember 1875.
Sedangkan suaminya ikut berperang untuk merebut daerah 6 mukim.
Setelahnya, suaminya dikabarkan meninggal di Gle Tarum pada 29 Juni 1878.
Kabar ini membuat Cut Nyak Dhien marah besar dan bersumpah akan menghancurkan
Belanda.
Cut Nyak Dhien Memimpin Pasukan
Cut Nyak Dhien yang tahu Teuku Umar meninggal di tangan Belanda, langsung
mengambil alih pimpinan pasukan Aceh.
Ia bersama pasukan kecilnya lalu pergi berperang melawan Belanda di
pedalaman Meulaboh.
Tapi, lama kelamaan para tentara Belanda semakin sulit dilawan karena mereka
sudah terbiasa dengan perang di dataran Aceh.
Pasukan Cut Nyak Dhien pun mencapai kehancurannya di tahun 1901. Apalagi
saat itu, Cut Nyak Dhien sudah semakin tua dan terkena penyaki rabun serta encok.
Jumlah pasukannya pun jumlahnya terus berkurang, bahkan mereka juga
kesulitan mencari makanan.

Cut Nyak Dhien Tertangkap


Karena rasa iba terhadap kondisi Cut Nyak Dhien, anak buahnya yang bernama
Pang Laot, melaporkan lokasi markas mereka di Beutong Le Sageu kepada Belanda.
Kedatangan Belanda secara tiba-tiba menimbulkan pertempuran mati-matian.
Cut Nyak Dhien sempat mengambil senjata Rencong untuk ikut bertempur.
Tapi, pada akhirnya ia harus bertekuk lutut dan ditangkap oleh pasukan Belanda.
Ia pun dibawa ke Banda Aceh.
Disana ia dirawat dan diberikan terapi untuk penyakitnya. Alhasil kondisinya
pun semakin membaik.

Diasingkan ke Sumedang

(Tropenmuseum)
Cut Nyak Dhien di Sumedang
Karena kondisinya yang semakin baik, Belanda takut Cut Nyak Dhien akan
kembali ke medan perang dan menyulut semangat para pasukan Aceh.
Untuk menghindari hal tersebut, Cut Nyak Dhien langsung diterbangkan ke
Sumedang, Jawa Barat dan diasingkan disana bersama para tahanan politik lainnya.
Kemudian, untuk memperkecil hal yang tidak d`iinginkan, Belanda
menyembunyikan identitas dari Cut Nyak Dhien.
Bahkan, para tahanan lain yang mengetahui dan memberi perhatian kepada Cut
Nyak Dhien, dilarang untuk membuka identitasnya.

Wafatnya Cut Nyak Dhien


Di Sumedang, Cut Nyak Dhien ditahan bersama ulama bernama Ilyas. Ulama
tersebut pun menyadari bahwa perempuan tersebut seorang ahli agama, ia pun dijuluki
Ibu Perbu.
Namun, pada 6 November 1908, Cut Nyak Dhien menghembuskan nafas
terakhirnya karena memang sudah sangat tua.
Ia pun dimakamkan di Sumedang, tapi awalnya banyak yang tidak tahu letak
kuburan dari mendiang.
Pada 1959, Gubernur Aceh, Ali Hasan, memerintahkan untuk melakukan misi
pencarian makam dari Cut Nyak Dhien, yang akhirnya ditemukan di Sumedang.
Pada 1987, makam tersebut untuk pertama kalinya dipugar dan dibuatkan
bangunan yang layak.
Cut Nyak Dhien juga diabadikan pada mata uang Rupiah nominal 10.000 versi
tahun 1998.
Perjuangan Cut Nyak Dhien memang harus kita kenang sebagai perlawanan
yang amat panjang dan pantang menyerah.
Kesetiannya membela tanah air harus kita hormati dan teladani untuk perjuangan
kita dalam memajukan Indonesia kedepannya.

Anda mungkin juga menyukai