Anda di halaman 1dari 10

Rumah cut mutia

Disusun oleh: Kelompok 1

Kelas: X.1

Anggota:
1. Adinda Fildzah Hasya
2. Arisca Afila
3. Adelia Bilbina
4. Adinda Keisya Zuhra
5. Andrian Maulana
6. Bunga Herianti

SMA NEGERI 1 LHOKSEUMAWE


Tahun Pelajaran 2022/2023
Kata Pengantar
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dengan judul “RUNAH CUT
MUTIA” dapat diselesaikan dengan baik dan sesuai dengan waktu yang telah
direncanakan. Shalawat beriring salam sudah sepantasnya kita persembahkan
kepada sebaik-baik makhluk Allah Nabi Besar Muhammad SAW yang telah
membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan.

Dalam penulisan makalah ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan


dan dukungan dari guru pembimbing, orang tua maupun teman-teman
seperjuangan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritikan dan saran yang bersifat membangun
sangat dibutuhkan.

Akhirnya hanya Allah SWT yang dapat membalas segala bentuk kebaikan
dari semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan makalah ini.
Kepada Allah jua kita meminta petunjuk dan ampunan.

Amin Ya Rabbal ’Alamin.

Lhokseumawe, Agustus 2022

Penulis
DAFTAR ISI
Hal
Kata pengantar
BAB I
PENDAHULUAN

Rumah Cut Mutia  terletak di desa Pirak Kecamatan Pirak Timu


Kabupaten Aceh Utara yang lokasinya secara geografis  berada pada titik
koordinat 5o00’39. 1”N 97o16’00.7”E, untuk mencapai ke kompleks ini dengan
menempuh jarak kurang lebih 31 kilometer dari simpang Mulieng atau dengan
perjalanan sekitar satu jam dari Kota Lhokseumawe atau sekitar 9 kilometer dari
Lhoksukon Ibukota  kabupaten Aceh Utara.

Rumah kediaman Cut Mutia  merupakan salah satu tinggalan cagar budaya
di Kabupaten Aceh Utara yang direnovasi oleh pemerintah Aceh pada tahun 1982,
rumah ini memiliki gaya dan khas masyarakat Aceh yang unik,  pada umumunya
rumah masyarakat Aceh terbuat dari kayu yang dipilih dari bahan kayu 
Semantok, kayu ini sangat keras dan tahan  terhadap rayap, pelapukan, usia
sehingga  terjamin kwalitasnya dan kayu ini sangat diminati oleh masyarakat
Aceh  untuk membangun dengan jenis kayu yang merupakan kwalitas utama.

Rumah Cut Mutia terdiri dari tiang-tiang bulat berdiameter 80 cm dengan


ketingginya 2,5 m, rumah bentuk panggung dengan filosofis terhindar dari
bermacam-macam ancaman seperti banjir, binatang buas dan lain sebagainya juga
dengan ketinggian yang cukup dan luas maka penghuni rumah juga masyarakat
dapat melakukan aktifitasnya seperti menganyam, membuat tikar dan bisa untuk
anak-anak bermain tanpa ada gangguan.

Rumah Cut Mutia dibangun dengan kontruksi kayu yang memiliki 16


tiang (Tameh) dalam bahasa Aceh, dinding papan dan beratap rumbia dengan
dominan cat hitam, rumah ini memiliki 2 selasar atau serambi (seramoe dalam
bahasa Aceh) seramoe keu (serambi depan) dan serambi belakang  (seramoe likot)
yang bentuk memanjang, seramoe (serambi depan) dipergunakan untuk para tamu
laki-laki dan (seramoe likot) untuk tamu perempuan sedangkan bagian tengah
kamar tidur dan saat ini Rumah Cut Mutia dipergunakan sebagai Museum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Rumah Cut Mutia adalah salah satu rumah adat aceh yang berada di
Matangkuli, Aceh Utara. Rumah Cut Mutia ini terbuat dari kontruksi kayu yang
memili 16 tiang atau dalam bahasa aceh nya yaitu tameh, dinding papan dan
beratap rumbia dengan dominan bewarna hitam. Rumah ini memiliki 2 selasar
atau serambi yang biasa nya di sebut seramoe dalam bahasa Aceh, serambi
tersebut terbagi menjadi 2 yaitu serambi depan dan serambi belakang atau dalam
bahasa Aceh nya seramoe keu dan seramoe likot. Seramoe keu digunakan untuk
menyambut tamu,berkumpul bersama keluarga atau kerabat. Seramoe likot
digunakan sebagai ruang khusus untuk keluarga atau saudara dan anak kerabat
perempuan berkumpul dan area yang paling dekat dengan dapur. Ada juga rumoh
inong yang biasanya digunakan sebagai kamar utama bagi pemilik rumah,
ruangan ini berisi kamar tidur utama untuk istri atau permaisuri.

B. Biografi Cut Mutia

Cut Meutia lahir pada tahun 1870, beliau merupakan anak dari Teuku Ben
Daud (Raja Pirak) dan Cut Jah.  Cut Meutia merupakan keluarga dari 6 orang
bersaudara yaitu;Teuku Ali, Teuku Muhammad Syah, Cut Banta, Cut Hasan dan
Teuku Cut Ibrahim. Cut Meutia adalah sosok wanita yang lemah lembut, cerdas,
suka menolong, pemberani, gagah dan parasnya cantik, sehingga tidak heran bila
beliau sangat dihormati bukan hanya dikarenakan anak seorang raja tetapi
dikarenakan sifat dan  budi pekertinya. Sifat kepahlawanan untuk membela
agama, bangsa dan negaranya dari penjajahan, seperti terwariskan padanya.
C. Sejarah singkat Cut Mutia

Dari perkawinannya dengan Teuku Syamsarif tidak memberi kebahagiaan


dikarenakan Teuku Syamsarif tidak sehaluan mengenai perjuangan, dia lebih
memihak kepada Belanda. Akhirnya mereka bercerai.

Bersama suaminya yang kedua Teuku Cut Muhammad (Teuku Chik


Ditunong) beliau bersama-sama memimpin pasukan bergerilya, naik turun gunung
dan bermarkas didalam hutan, menyusun  strategi peperangan. dengan tekad hidup
untuk berjuang dan mati syahid. Peperangan demi peperangan mereka lalui yang
membuat Belanda kebingungan untuk menakluk dan menghabiskan pejuang
Aceh, sehingga dipakai strategi yang sangat licik dengan mengancam akan
menyandera keluarga Teuku Cut Muhammad.  Teuku Cut Muhammad turun
gunung dan bukan berarti menyerah kepada penjajah tetapi perjungan ditipkan
pada pejuang lainnya yang masih didalam hutan.

Pada tanggal 26 Januari 1905 terjadi pertempuran Meurandeh Paya yang


membuat kemarahan Belanda dan menduga kejadian ini didalangi oleh Teuku Cut
Muhammad, Belanda kemudian menangkap Teuku Cut Muhammad pada tanggal
5 Maret 1905, dua puluh hari kemudian Teuku Cut Muhammad Dijatuhi
Hukuman mati. Sesuai pesan Teuku Cut Muhammad kepada isterinya Cut Meutia
agar melanjutkan perjuangan dan menikahlah dengan sahabatnya Pang Nanggroe. 
Pesan itu dijalankan Cut Meutia, beliau kembali menyusun strategi bersama Pang
Nanggroe.

Pada tanggal 26 September 1910  dalam satu pertempuran dengan belanda 


di daerah Paya Cicem yang dipimpin oleh Van Sloten, gugurlah Pang Nanggroe. 
Meskipun Pang Nanggroe telah pergi namun perjuangan terus dilanjutkan oleh
Cut Meutia.

Pada tanggal 25 Oktober 1910, Serdadu Belanda melakukan penyerbuan


ke markas pejuang yang dipimpin Cut Meutia di Bukit Lipeh.  Belanda memasang
sangkur dan membidik senjata dan meminta Cut Meutia menyerah.  Hal itu
membuat Cut Meutia semakin marah dan menghunus pedangnya dan diisitulah
peluru peluru jarak dekat menembus kepala Cut Meutia, beliau gugur sebagai
bunga bangsa. Pemerintah menabalkan nama beliau sebagai pahlawan Nasional
dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia, Nomor 107 tahun 1964.(sejarah
singkat,sumber : Andi Irfansyam)

D. Perjuangan perlawanan Cut Mutia

Pada awalnya Cut Mutia melakukan perlawanan terhadap Belanda


bersama suaminya Teuku Muhammad atau Teuku Chik DiTunong. Akan tetapi,
pada bulan Maret 1905, Chik DiTunong berhasil ditangkap Belanda dan dihukum
mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Chik DiTunong
berpesan kepada sahabatnya Pang Nangroe agar mau menikahi istrinya dan
merawat anaknya Teuku Raja Sabi.

Sesuai wasiat suaminya Cut Meutia kemudian menikah dengan Pang


Nangroe dan bergabung dengan pasukan lainnya di bawah pimpinan Teuku Muda
Gantoe. Pada suatu pertempuran dengan Korps Marechausée di Paya Cicem, Cut
Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang Nangroe sendiri terus
melakukan perlawanan hingga akhirnya, ia tewas pada tanggal 26 September
1910.

Kemudian, Cut Meutia bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama


sisa-sisa pasukkannya. Waktu itu kekuatan pasukan tinggal 45 orang dengan 13
pucuk senapan. Setelah bermufakat, mereka lalu berangkat ke Gayo untuk
menggabungkan diri dengan pasukan yang lainnya. Di tengah perjalanan, di Paya
Beuranang, mereka bertemu dengan Teungku Seupot Mata dan lalu bersama
meneruskan perjalanan ke Gayo yang sulit dan gawat. Pada 24 Oktober 1910, di
persimpangan Krueng Peutoe yaitu di Alue Kurieng, rombongan tersebut berhenti
untuk menanak nasi. Disana secara tiba-tiba mereka diserang oleh pasukan
Christoffel (Marechausée). Pasukan Cut Nyak Mutia dan Teungku Seupot Mata
yang sudah amat kecil kekuatannya itu siap menghadapi lawan. Pertempuran
tersebut terjadi dengan sangat sengit. Pada pertempuran itulah Cut Meutia
tertembak kakinya dan terus terduduk di tanah. Cut Meutia tidak menyerah,
bahkan dengan pedang terhunus ia terus mengadakan perlawanan hingga akhirnya
ia terbunuh oleh musuh.

Sebelum gugur, Cut Meutia masih sempat berpesan kepada Teuku Syakh
Buwah yang berada di dekatnya. Katanya dengan pendek, “Selamatkanlah
anakku, Raja Sabi. Aku serahkan dia ke tanganmu”. Dan amanat itu dapat
dilaksanakan dengan baik sehingga Teuku Raja Sabi putera Cik Tunong dan Cut
Meutia selamat hingga dapat mengalami kemerdekaan Indonesia, namun dalam
tahun 1946, Teuku Raja Sabi mati terbunuh seperti yang disebutkan dalam
Revolusi sosial di Sumatera Utara.

Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa-jasa yang pernah dilakukan Cut
Meutia, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikannya dalam pecahan uang
kertas rupiah baru Republik Indonesia yaitu pecahan uang Rp.1.000.

Dibawah ini adalah gambar Kroeng Padee


Biasanya kroeng padee ini di gunakan untuk penyimpanan padi sebelum di
tumbuk menjadi beras atau tepung, pada zaman dahulu ini sangat sering di temui
tetapi sekarang ini sudah sangat jarang kita temui,dikarenakan masyarakat
sekarang sudah jarang menggunakan kroeng padee ini sebagai tempat
penyimpanan padi.

Dan ada juga yang nama nya jeungki,jeungki ini digunakan sebagai alat
penumbuk padi mengubah menjadi beras maupun tepung ,tetapi jaman sekarang
sudah jarang masyarakan menggunakan jeungki, mengapa demikian? Karena pada
zaman sekarang sudah ada alat yang lebih cangging untuk menumbuk padi dan
mengubah nya menjadi tepung,dikarenakan itu di era sekarang jeungki menjadi
barang salah satu peninggalan jaman dulu yang sudah jarang kita temui.Kita dapat
menemui jeungki salah satu nya di rumah adat Cut Mutia.

Dibawah ini adalah gambar jeungki


     

Jingki atau Jeungki adalah sebuah alat tradisional terbuat dari kayu pilihan
yang digunakan oleh masyarakat Aceh, baik untuk menumbuk kopi, sagu, emping
beras, tepung atau menumbuk bumbu masakan dan kelapa dalam proses
pengolahan minyak kelapa dengan cara tradisional Aceh. Dahulu, menjelang hari-
hari besar tiba, baik Idul Fitri maupun Idul Adha, jeungki mulai beroperasional,
iramanya terdengar riuh rendah dari rumah-rumah panggung di Aceh

WAFAT

Pada Oktober 1910, dalam sebuah pasukan dari Belanda telah mengintensifkan
pengejaran pasukan Cut Meutia. Ketika Cut Meutia merasa dalam posisinya yakni
semakin terjepit, dia memindahkan dalam pasukannya dari gunung ke gunung
yakni sebagai menghindari adanya sebuah pengepungan oleh Belanda.

Pada 24 Oktober 1910, dalam pasukan Belanda di wilayah Alue Kurieng terlibat
dalam sebuah pertempuran sengit antara pasukan yang telah dipimpin oleh Cut
Meutia dan pasukan Belanda. Dalam pertempuran, Cut Meutia akhirnya wafat.
Sebelum Cut Meutia meninggal, dia mempercayakan anaknya Teuku Syech
Buwah untuk melindunginya.

Untuk kebaikannya, Cut Meutia kemudian telah dianugerahi dalam sebuah gelar
pahlawan Indonesia dengan pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden
dalam Pemerintah Indonesia yang telah melabuhkannya pada tahun 2016 dalam
mata uang rupiah.
Cut Meutia telah lahir pada tahun 1870 di wilayah Pirak, Keureutoe, Aceh Utara
dan telah meninggal pada 24 Oktober 1910 di Alue Kurieng, daerah Aceh.

Anda mungkin juga menyukai