Kelas: X.1
Anggota:
1. Adinda Fildzah Hasya
2. Arisca Afila
3. Adelia Bilbina
4. Adinda Keisya Zuhra
5. Andrian Maulana
6. Bunga Herianti
Akhirnya hanya Allah SWT yang dapat membalas segala bentuk kebaikan
dari semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan makalah ini.
Kepada Allah jua kita meminta petunjuk dan ampunan.
Penulis
DAFTAR ISI
Hal
Kata pengantar
BAB I
PENDAHULUAN
Rumah kediaman Cut Mutia merupakan salah satu tinggalan cagar budaya
di Kabupaten Aceh Utara yang direnovasi oleh pemerintah Aceh pada tahun 1982,
rumah ini memiliki gaya dan khas masyarakat Aceh yang unik, pada umumunya
rumah masyarakat Aceh terbuat dari kayu yang dipilih dari bahan kayu
Semantok, kayu ini sangat keras dan tahan terhadap rayap, pelapukan, usia
sehingga terjamin kwalitasnya dan kayu ini sangat diminati oleh masyarakat
Aceh untuk membangun dengan jenis kayu yang merupakan kwalitas utama.
Cut Meutia lahir pada tahun 1870, beliau merupakan anak dari Teuku Ben
Daud (Raja Pirak) dan Cut Jah. Cut Meutia merupakan keluarga dari 6 orang
bersaudara yaitu;Teuku Ali, Teuku Muhammad Syah, Cut Banta, Cut Hasan dan
Teuku Cut Ibrahim. Cut Meutia adalah sosok wanita yang lemah lembut, cerdas,
suka menolong, pemberani, gagah dan parasnya cantik, sehingga tidak heran bila
beliau sangat dihormati bukan hanya dikarenakan anak seorang raja tetapi
dikarenakan sifat dan budi pekertinya. Sifat kepahlawanan untuk membela
agama, bangsa dan negaranya dari penjajahan, seperti terwariskan padanya.
C. Sejarah singkat Cut Mutia
Sebelum gugur, Cut Meutia masih sempat berpesan kepada Teuku Syakh
Buwah yang berada di dekatnya. Katanya dengan pendek, “Selamatkanlah
anakku, Raja Sabi. Aku serahkan dia ke tanganmu”. Dan amanat itu dapat
dilaksanakan dengan baik sehingga Teuku Raja Sabi putera Cik Tunong dan Cut
Meutia selamat hingga dapat mengalami kemerdekaan Indonesia, namun dalam
tahun 1946, Teuku Raja Sabi mati terbunuh seperti yang disebutkan dalam
Revolusi sosial di Sumatera Utara.
Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa-jasa yang pernah dilakukan Cut
Meutia, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikannya dalam pecahan uang
kertas rupiah baru Republik Indonesia yaitu pecahan uang Rp.1.000.
Dan ada juga yang nama nya jeungki,jeungki ini digunakan sebagai alat
penumbuk padi mengubah menjadi beras maupun tepung ,tetapi jaman sekarang
sudah jarang masyarakan menggunakan jeungki, mengapa demikian? Karena pada
zaman sekarang sudah ada alat yang lebih cangging untuk menumbuk padi dan
mengubah nya menjadi tepung,dikarenakan itu di era sekarang jeungki menjadi
barang salah satu peninggalan jaman dulu yang sudah jarang kita temui.Kita dapat
menemui jeungki salah satu nya di rumah adat Cut Mutia.
Jingki atau Jeungki adalah sebuah alat tradisional terbuat dari kayu pilihan
yang digunakan oleh masyarakat Aceh, baik untuk menumbuk kopi, sagu, emping
beras, tepung atau menumbuk bumbu masakan dan kelapa dalam proses
pengolahan minyak kelapa dengan cara tradisional Aceh. Dahulu, menjelang hari-
hari besar tiba, baik Idul Fitri maupun Idul Adha, jeungki mulai beroperasional,
iramanya terdengar riuh rendah dari rumah-rumah panggung di Aceh
WAFAT
Pada Oktober 1910, dalam sebuah pasukan dari Belanda telah mengintensifkan
pengejaran pasukan Cut Meutia. Ketika Cut Meutia merasa dalam posisinya yakni
semakin terjepit, dia memindahkan dalam pasukannya dari gunung ke gunung
yakni sebagai menghindari adanya sebuah pengepungan oleh Belanda.
Pada 24 Oktober 1910, dalam pasukan Belanda di wilayah Alue Kurieng terlibat
dalam sebuah pertempuran sengit antara pasukan yang telah dipimpin oleh Cut
Meutia dan pasukan Belanda. Dalam pertempuran, Cut Meutia akhirnya wafat.
Sebelum Cut Meutia meninggal, dia mempercayakan anaknya Teuku Syech
Buwah untuk melindunginya.
Untuk kebaikannya, Cut Meutia kemudian telah dianugerahi dalam sebuah gelar
pahlawan Indonesia dengan pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden
dalam Pemerintah Indonesia yang telah melabuhkannya pada tahun 2016 dalam
mata uang rupiah.
Cut Meutia telah lahir pada tahun 1870 di wilayah Pirak, Keureutoe, Aceh Utara
dan telah meninggal pada 24 Oktober 1910 di Alue Kurieng, daerah Aceh.