Anda di halaman 1dari 2

PANGERAN ANTASARI

Pangeran Antasari lahir sekitar tahun 1790 di kampung Sungai Batang Martapura. Ayah
beliau bernama Mas’ud (masohot) dan ibunya Mas Teroda. Beliau merupakan keturunan bangsawan
Banjarmasin. Dan kakeknya bernama Pangeran Amir, kakeknya merupakan putra mahkota kerajaan
Banjar yaitu Sultan Tahmidillah I. Pangeran Antasari pada masa kecilnya dikenal sebagai Gusti Inu.
Masa kecil pangeran Antasari tidak tinggal di keraton karena beliau sering bermain dengan anak
kampung Sungai Batang. Keseharian pangeran Antasari seperti rakyat jelata karena beliau melakukan
kegiatan seperti bertani, menangkap ikan, dan berburu. Beliau memiliki kelebihan yaitu bisa
menggunakan senjata tajam dan pencak silat. Walaupun beliau merupakan keturunan bangsawan,
beliau memiliki watak yang rendah hati dan tidak memiliki sifat yang pendendam kepada keturunan
kesultanan Banjar yang dulunya memusuhi kakeknya. Beliau juga memiliki ilmu agama Islam, kelak
akan diangkat menjadi Khalifatul Mu’minin oleh rakyatnya.
Perang Banjar meletus di tahun 1859 dan berakhir pada tahun 1905, ketika terbunuhnya raja
Banjar yang terakhir yaitu Sultan Muhammad Seman. Dalam perang Banjar tersebut, pangeran
Antasari ikut berperan penting. Beliau selalu melakukan pemberontakan dengan Belanda. Dalam
kondisi berperang pangeran Antasari juga melakukan dakwah dan menyebarkan agama Islam di
daerah-daerah yang disinggahinya. Ini terbukti dengan adanya para masyarakat di hulu sungai Barito
yang menjadi muslim.
Pangeran Antasari juga pernah melakukan Akulturasi dan Asimilasi dengan menikahkan anak
dan cucunya dengan suku Dayak, sehingga saat itu tercipta persatuan yang tak terpisahkan antara suku
Dayak dengan suku Banjar. Ketika itu Belanda mengangkat pangeran Tamjid sebagai pemimpin
kerajaan. Rakyat tidak menyukainya, karena pangeran Tamjid dekat dengan Belanda sehingga saat itu
timbul pemberontakan dimana-mana. Pangeran Hidayat yang ketika itu menjabat sebagai Mangkubumi
diutus untuk meredakan pemberontakan tersebut. Namun saat berada di suatu daerah yang terjadi
pemberontakan, pangeran Hidayat melihat yang memimpin pemberontakan ternyata pangeran Antasari
yang tidak lain adalah sepupunya sendiri. Akhirnya pangeran Hidayat berbalik memihak pangeran
Antasari dan bersama-sama membawa pasukan untuk menyerang benteng Belanda di Pangaron.
Banyak korban jiwa saat itu, namun juga melahirkan para pejuang yang gagah berani, seperti demang
Lehman dari Martapura.
Pangeran antasari menyatukan perjuangan rakyat yang bertujuan untuk melawan dan
menentang kolonial Belanda yang ingin menguasai kerajaan Banjar dan rakyat Banjar. Perjuangan
pangeran Antasari sangat berat, karena sebagian rakyat Banjar dan suku Dayak berkhianat dan
berpihak kepada Belanda. Dalam pertempuranya, pangeran Antasari menjalin kerjasama dengan
beberapa tokoh Dayak di hulu sungai Barito sehingga pertempuran saat itu tidak hanya di jalan darat
tetapi juga terjadi di jalur sungai dan laut.
Pada bulan Februari tahun 1860, terjadi pengepungan pada benteng Leogong sehingga
pangeran Antasari dan tumenggung Surapati menggunakan strategi mundur, agar tidak banyak korban
jiwa. Hal ini membuat Belanda tidak puas. Markas besar tempat perjuangan pangeran Antasari
dipindahkan ke Barito karena dianggap lebih menguntungkan untuk pertempuran selanjutnya, sehingga
Barito dikatakan daerah yang penting dalam sejarah. Ketika itu pangeran Antasari diangkat menjadi
pemimpin tertinggi di kerajaan Banjar dengan gelar Panembahan Khalifatul Mu’minin, dengan
mengikrarkan prinsip teguh yang berbunyi “Hidup untuk Allah dan mati untuk Allah”.
Berulang kali Belanda mengajak berunding pangeran Antasari, namun selalu ditolak karena
pangeran Antasari tahu bahwa itu hanya siasat Belanda untuk menangkapnya. Belanda juga pernah
mengadakan sayembara “Barangsiapa yang bisa membawa pangeran Antasari dengan hidup maupun
mati akan diberikan hadiah yang sangat besar” namun hasilnya hanya sia-sia belaka.
Perjuangan pangeran Antasari sangat panjang, sehingga pada akhirnya beliau mengambil
pilihan “lebih baik meninggal di medan perang daripada binasa di penjara musuh, yaitu Belanda”.
Sekian lama aktif berperang, akhirnya pangeran Antasari jatuh sakit di usia hampir 60 tahun. Namun,
walau kondisi beliau seperti itu, pangeran Antasari tetap tidak mau menyerah atau berunding dengan
Belanda. Pada saat itu juga, pangeran Antasari membagikan tugas masing-masing kepada anaknya
yang bernama Gusti Muhammad Seman serta pahlawan lainnya untuk menjaga benteng rakyat di
sekitar Barito.
Akhirnya pangeran Antasari wafat pada 11 Oktober 1862 dalam kondisi sakit, dengan
memegang gelar “Panembahan Amiruddin Khalifatul Mu’minin”. Beliau dimakamkan di kampung
Sampirang, Bayan Begok, Puruk Cabu.
Namun saat Indonesia sudah merdeka, pada tanggal 11 November 1958 jenazah beliau
dipindahkan ke makam pahlawan Banjar, dekat masjid Jami Banjarmasin bersama jenazah Istri beliau.
Saat pengangkatan jenazah beliau, sebagian masyarakat suku Dayak menangis, karena mereka
mengganggap pangeran Antasari sebagai pemimpin suku Dayak dan suku Banjar. Setelah sepuluh
tahun pemindahan makamnya, pangeran Antasari mendapat gelar Pahlawan Nasional, melalui surat
keputusan Presiden RI nomor 95/TK/1968 bertanggal 27 Maret 1968. Pangeran Antasari adalah
Pahlawan Nasional yang pertama dari Banjar karena jasa-jasa beliau ketika perang Banjar berlangsung.

Anda mungkin juga menyukai