Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN HASIL PENGAMATAN

PUPUTAN BADUNG

Kata Disusun Oleh :

- Kadek Adelia (23)

X Akomodasi Perhotelan B2

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkatnya dan
rahmat-Nyalah kita dapat menyelesaikan makalah laporan hasil pengamatan ini dengan baik
dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas “Puputan Badung”.

Makalah ini dibuat dengan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu
menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu,
kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.

Makalah ini tentunya jauh dari kata sempurna. Kami minta maaf apabila terdapat kesalahan.
Dalam penulisan makalah, dan kami juga mengharapkan kritik serta saran pembaca untuk
bahan pertimbangan dalam perbaikan makalah ini.

Denpasar, Mei 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………………………..i

Daftar Pusaka……………………………………………………

BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………………………….1

A. Latar Belakang…………………………………………………………………….1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………1
C. Tujuan……………………………………………………………………………...2

BAB II. PEMBAHASAN……………………………………………………………………2

A. Pemicu Terjadinya Perang Puputan Badung…………………………………..….2


B. Sejarah Perang Puputan Badung…………………………………………………..3

BAB III. PENUTUP…………………………………………………………………………6

KESIMPULAN……………………………………………………………………………...6

SARAN………………………………………………………………………………………6

i
BAB I

PENDAHULU

A. LATAR BELAKANG

Makna Lapangan Puputan Badung bagi Masyarakat Kota Denpasar Lapangan Puputan
Badung yang kini lebih dikenal sebagai Lapangan I Gusti Ngurah Made Agung merupakan
salah satu ruang terbuka publik di Kota Denpasar yang memiliki latar belakang historis yang
dibangun untuk memperingati seorang Raja Badung VII yakni I Gusti Ngurah Made Agung
yang gugur dalam perang Puputan tahun 1906. Puputan yang artinya "habis-habisan" dimana
pada tahun 1906 ketika Belanda menyerbu Denpasar, rakyat Bali dengan gigih
mempertahankan Kota Denpasar dari gempuran penjajah, peperangan yang dipimpin oleh Raja
Badung VII (Gusti Ngurah Made Agung) yang merupakan tokoh sentral dalam peristiwa
perang Puputan Badung tersebut memilih untuk bertempur habis-habisan daripada harus
menyerah terhadap penjajah Belanda pada waktu itu. Tidak kurang dari 4.000 rakyat Bali
termasuk Keluarga Raja Denpasar gugur dalam peristiwa itu. Lapangan Puputan Badung
terletak di jantung kota Denpasar, dekat dengan museum Bali dan Pura Jagadnatha serta tapal
batas kota Denpasar. Lapangan Puputan menjadi salah satu area publik di mana masyarakat
Bali sering melangsungkan kegiatan atau sekedar bersantai di bawah pohon perindang ataupun
bermain-main di sekitar lapangan. Di tempat ini pula terdapat titik nol kilometer Kota
Denpasar. Lapangan ini sering dikunjungi wisatawan dan keluarga untuk menikmati hamparan
rerimbunan pohon dan menikmati kuliner di pinggir jalan. Bagi publik yang menggunakan
lapangan ini sebagai tempat rekreasi, alunalun ini memiliki makna rekreatif dan mampu pula
memberi makna historis dengan adanya elemen patung heroik semangat “puputan” di sisi Utara
lapangan, bahkan mampu pula memberi makna religius dan edukatif dengan adanya pura
Jagatnatha dan Museum Bali di sisi Timur Alun-alun Puputan tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah:

1.Apa Pemicu Terjadinya Perang Puputan Badung?

2.Bagaimana Sejarah Puputan Badung?

(1)
C. TUJUAN

Tujuan makalah ini dibuat adalah mengharapkan para pembaca untuk dapat mengetahui:

1.Untuk mengetahui apa pemicu terjadinya perang puputan badung

2.Untuk mengetahui sejarah puputan badung

BAB II

PEMBAHASAN

A. PEMICU TERJADINYA PERANG PUPUTAN BADUNG

Perang puputan bermula dari kandasnya kapal berbendera Belanda milik Kwee Tek Tjiang,
Sri Kumala, di Pantai Sanur, malam hari 27 Mei ke dinihari 28 Mei 1904. Atas kandasnya
kapal, Belanda menuduh penduduk desa di sekitar pantai itu menjarah muatan kapal.

Ditulis P. Swantoro, dalam buku Dari Buku Ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi
Satu (2002), dengan alasan penjarahan kapal, pemerintah kolonial Belanda menuntut raja
Badung untuk membayar 3.000 ringgit. Akan tetapi, Raja Badung menolak. Raja Badung
meyakini apa yang dilakukan tidak melanggar aturan.

Singkat cerita, penolakan Raja Badung segera dijawab dengan aksi militer. “Tak bisa
dipungkiri bahwa peristiwa Sri Kumala itu hanya sekadar alasan untuk melancarkan ekspedisi
militer terhadap Badung. Tujuan Belanda sebenarnya adalah mewujudkan kekuasaan tertinggi
atas semua daerah yang menolak tunduk, untu melaksanakan kebijakan belanda “Pax
Neerlandica”.

Kendati demikian, sebelum melakukan aksi militer, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda,


Joannes Benedictus van Heutsz (1904–1909) mengirim surat lebih dulu kepada Menteri
Jajahan pada oktober 1905. Isi surat tersebut tak lain untuk meyakinkan sang menteri bahwa
Raja Badung perlu menyadari pemerintah Hindia-Belanda adalah “penguasa sesungguhnya
yang harus dipatuhi.”

(2)
B. SEJARAH PERANG PUPUTAN BADUNG

Perang Puputan Badung 1906 merupakan salah satu perang melawan penjajah Belanda
yang paling diingat dan membekas di ingatan masyarakat Bali. Dalam perang itu segenap
masyarakat Bali yang dipimpin oleh Raja Badung VII, I Gusti Ngurah Made Agung memilih
melanggengkan tradisi puputan atau perang habis-habisan sampai mati melawan
Belanda.Puputan merupakan istilah yang berasal dari bahasa Bali "puput", yang artinya tangga,
putus, habis, ataupun mati. Istilah tersebut tak jauh beda kala puputan diterjemahkan dalam
bahasa Inggris, yang berarti “conclusion” atau “bringing to the end.”

Intinya, puputan berarti suatu akhir yang betul-betul tuntas sebagai bentuk jalan terhormat
yang dipilih Raja Badung ketika berlangsungnya perang. Karenanya, orang Bali mengenal
tradisi puputan sebagai bentuk menjaga harga diri raja dan masyarakat Bali. Sebagaimana
dijelaskan Joko Darmawan dalam buku Ketika Nusantara Berbicara (2017), orang Bali percaya
akan tiga hal tentang puputan. Pertama, nyawa seorang ksatria berada di ujung senjata.
Kematian di medan pertempuran adalah kehormatan. Kedua, dalam mempertahankan
kehormatan tidak dikenal istilah menyerah kepada musuh. Ketiga, merujuk ajaran Hindu,
mereka yang mati dalam peperangan maka roh mereka akan masuk surga.

Wujud ksatria dalam perang puputan sempat pula ditulis dalam laporan surat kabar Hindia-
Belanda, De Lokomotief. Pada 1908, mereka menulis bahwa keyakinan masyarakat Bali yang
memilih melanggengkan puputan adalah bentuk jalan hidup seorang ksatria sejati. “Tidak
boleh mati di rumahnya. Itu adalah pengecut. Itulah sebabnya mengapa ada puputan”. Pasukan
Belanda yang telah tiba di Bali pada 20 September 1906 segera melakukan aksi militernya.
Belanda, dengan peralatan perang modern segera membombardir daerah kekuasaan kerajaan
Badung sejak pagi buta. Mereka pun melontarkan bom-bom lewat kapal perang belanda yang
berjatuhan dari langit Denpasar.

Alhasil, istana, puri-puri, hingga rumah warga ikut terbakar. Oleh sebab itu, serdadu
Belanda dengan cepat dapat memasuki wilayah kerajaan. Lantas, dalam kondisi terdesak, raja
kemudian memutuskan untuk segara melawan. Sebab, untuk terus bertahan sudah tidak
mungkin lagi dilakukan. Artinya, puputan menjadi pilihan satu-satunya. Rincian peristiwa
puputan ditulis dalam laporan seorang saksi mata, H.M van Weede. Kala itu, Weede
merupakan seorang turis kaya. Ia mendapatkan izin untuk mengikuti ekspedisi Belanda di Bali.
Dengan izin itu,

(3)
Weede menjadi embedded journalist atau jurnalis yang mengikuti pasukan perang. Weede
menulis, pada 20 September 1906 pagi, di halaman depan Puri Denpasar nampak pemandangan
yang sangat mengesankan. Digambarkan, mulai dari raja, permaisuri, para pangeran, pelayan,
pendeta, dan seluruh warga kerajaan memakai pakaian serba putih yang dilengkapi keris
sebagai senjata. “Kelihatan orang-orang terkemuka berkumpul untuk mengakhiri nyawanya di
hadapan pasukan Belanda. Raja dengan pangeran dan para pengikutnya mengenakan busana
yang serba indah, bersenjatakan keris yang hulunya terbuat dari emas berwarna merah atau
hitam. Rambut mereka diatur rapi berminyak wangi,” ungkap Weede. Tak hanya itu, para
wanita mengenakan pakaian mereka yang paling indah dan semua berselendang putih. Raja
lalu memerintahkan agar Puri dibakar, dan semua yang dapat dirusak supaya segera
dihancurkan.

Rombongan raja terus bergerak, sampai akhirnya mereka bertemu dengan pasukan infanteri
dari Batalyon ke-11. Kala itu, mereka dipisahkan oleh sebidang tanah lapang. Saat pasukan
Belanda memerintahkan agar tidak bergerak, yang didapat malah sebaliknya. Rombongan raja
bergerak cepat ke depan, dan akhirnya berlari menuju kubu lawan. Karena itu, pasukan Belanda
melepaskan tembakan pertama. Di antara mereka yang gugur pertama adalah Raja Badung.
Namun, bukannya mundur, perlawanan makin deras. Mereka kemudian mencoba menyerang
sampai akhirnya dibredel oleh peluru.

Para prajurit Bali yang luka ringan pun menikam sampai mati rekan-rekan mereka yang
luka luka berat. Sedangkan kaum wanita mencoba membuka dada untuk mengakhiri hidupnya.
Sampai-sampai beberapa wanita bahkan melemparkan uang emas kepada para serdadu Belanda
sebagai bentuk upah untuk kematian mereka. Iksana Banu turut merekam detik-detik peristiwa
puputan dalam buku Semua Untuk Hindia (2014). Iksaka menegaskan rombongan Raja
memang menghendaki kematian. “Setiap kali satu deret manusia tumbang tersapu peluru,
segera terbentuk lapisan lain di belakang mereka, meneruskan maju menyambung maut.”

Dirinya juga menceritakan seorang pendeta mencoba merapal doa sembari melompat ke
kiri-kanan dan menusukkan kerisnya ke tubuh rekan mereka yang sekarat. Hal itu disinyalir
untuk memastikan agar nyawa rekan-rekannya benar lepas dari raga. Peristiwa puputan pun
hanya berlansung selama satu jam, yakni 11 hingga 12 siang. Selepas itu, keadaan menjadi
sunyi sepi dengan timbunan mayat yang menggunung di lapangan.

(4)
Untuk mendapatkan gambaran makna dari peristiwa itu, syair ciptaan Sang Raja I Gusti
Ngurah Made Agung yang memiliki gelar kehormatan, Ida Betara Tjokorda Mantuk Ring Rana
(Raja yang Gugur di Medan Laga) sebelum dirinya tewas dalam perang, dapat didalami:

Ande capung ngumbara ring langit, yan mating gah, ring tanah tan tanah, ring kayu boya
kayune, ring batu boya batu, ring parigi boya parigi, ring apa boya apa, saru lebih saru, tingkah
manone ring awak, sajatine, ada matukul ring ati, mati tan tumut pejah.

Sebagaimana yang dikutip dari Wayan Kun Adnyana dalam buku Pita Maha: Gerakan Seni
Lukis Bali 1930-an (2018), Syair itu merupakan tembang geguritan yang telah mengamanatkan
pendirian raja tentang kematian yang sempurna (mati tan tumut pejah).

“Kematian sebagai muara dari kesejatian jalan hidup. Mati bukanlah kesia-siaan, ataupun
sebaliknya, tidak menyia-nyiakan kematian. Baginya, lebih baik mati daripada hidup terjajah,”
tutup Wayan Kun Adnyana.

(5)
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Nilai kepahlawanan dan semangat puputan atau perjuangan sampai akhir patut diteladani
dan dilestarikan di era kekinian. Di Bali, semangat puputan bermakna pengorbanan secara tulus
dan ikhlas untuk membela kebenaran.

Kita juga telah mengetahui bagaimana perjuangan para pahlawan dalam memperjuangkan
bangsa ini titik sehingga kita sebagai generasi muda harus mempertahankan agar kita akan
terus merdeka tanpa dikuasai oleh negara asing. Karena Bangsa yang besar adalah bangsa yang
mau menghargai jasa pahlawan.

SARAN

SARAN UNTUK PEMBACA

Dari makalah ini, kita dapat belajar bagaimana sejarah dari perang puputan badung dan itu
akan membuat pembaca lebih menghargai jasa- jasa para pahlawan yang rela berkorban demi
bangsa dan negaranya.Tak lepas dari itu semua, kami sebagai penyusun juga mengaharapkan
saran – saran yang membangun guna hasil yang jauh lebih baik kedepannya.

SARAN UNTUK DIRI SENDIRI

Penulis menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya pada pembaca apabila


terdapat kesalahan dalam penulisan ataupun kekeliruan dalam penyusunan makalah ini.
Untuk itu, saran dan kritikan dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah
ini. Akhir kata, semoga makalah ini bisa menambah wawasan dan pengetahuan kita terutama
mengenai Sejarah Perang Puputan Badung.

(6)
DAFTAR PUSAKA

https://voi.id/memori/13898/perang-puputan-badung-1906-yang-memaksa-raja-dan-rakyat-bali-
berperang-sampai-mati -
amp_tf=Dari%20%251%24s&aoh=16835332831811&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&a
mpshare=https%3A%2F%2Fvoi.id%2Fmemori%2F13898%2Fperang-puputan-badung-1906-yang-
memaksa-raja-dan-rakyat-bali-berperang-sampai-mati

https://www.kompas.com/stori/read/2021/12/13/130000979/sejarah-perang-puputan-badung-
1906- -
amp_tf=Dari%20%251%24s&aoh=16835337453566&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&a
mpshare=https%3A%2F%2Fwww.kompas.com%2Fstori%2Fread%2F2021%2F12%2F13%2F13000097
9%2Fsejarah-perang-puputan-badung-1906-

DOKUMENTASI

Anda mungkin juga menyukai