Anda di halaman 1dari 20

Raden Trunajaya

Lukisan anonim yang menggambarkan Trunajaya ditusuk Sunan Amangkurat II, ca. 1890
(KITLV)[1]
1649
Lahir
Arosbaya (kini Bangkalan), Madura, Kesultanan Mataram
2 Januari 1680
Meninggal
Payak, Jawa Timur, Kesultanan Mataram
Nama lain Panembahan Maduretna Panatagama
Dikenal atas Pemberontakan Trunajaya

Raden Trunajaya (1649 – 2 Januari 1680), juga dieja Trunojoyo dan menyatakan dirinya
sebagai Panembahan Maduretna Panatagama,[2] adalah seorang bangsawan dari Madura
yang dikenal memimpin Pemberontakan Trunajaya terhadap pemerintahan Kesultanan
Mataram di Jawa.

Kehidupan awal
Trunajaya lahir sekitar tahun 1649.[3] Pamannya adalah seorang pangeran Sampang,
Cakraningrat II.[4] Trunajaya merupakan keturunan dari raja terakhir Madura Barat[a] yang
dipaksa tinggal di Mataram setelah dianeksasi dalam Penaklukan Surabaya oleh Sultan
Agung dari Mataram.[6]

Trunajaya membenci Amangkurat I karena ayahnya dibunuh atas perintahnya pada 1656 dan
intrik dalam keraton membuat Trunajaya meninggalkan Keraton Plered dan pindah ke
Kajoran, sebuah daerah berjarak sekitar 26 kilometer utara laut dari keraton dan berada di
dalam kawasan suci Tembayat.[3]

Kehidupan di Kajoran

Di Kajoran, Trunajaya bertemu dengan Raden Kajoran, seorang bangsawan yang merupakan
keturunan dari keluarga Sunan Bayat dan Wangsa Mataram, dan menikahi putri sulungnya.
Raden Kajoran kemudian memperkenalkan Trunajaya dengan putra mahkota Amangkurat I,
kelak Amangkurat II pada 1670 dan mendorong pemahaman antara menantunya yang merasa
diremehkan dan putra mahkota yang menyimpan dendam terhadap ayahnya. Hasilnya adalah
persekongkolan melawan Amangkurat I.[3][6]

Pemberontakan terhadap Kesultanan Mataram


Artikel utama: Pemberontakan Trunajaya

Pada 1674, Trunajaya memimpin pemberontakan terhadap raja Mataram Amangkurat I dan
Amangkurat II dengan dukungan dari para pejuang asal Makassar yang dipimpin oleh
Karaeng Galesong.[7] Pemberontakan bergerak cepat dan ibu kota Mataram Keraton Plered
berhasil direbut pada pertengahan 1677.

Selepas jatuhnya Plered, Amangkurat I melarikan diri ke pantai utara bersama putra
sulungnya Amangkurat II dan meninggalkan putra bungsunya Pangeran Puger. Karena
tampak lebih tertarik pada keuntungan dan balas dendam daripada menjalankan kerajaan
yang sedang direbut, pemberontak Trunajaya menjarah keraton dan mundur ke bentengnya di
Kediri, meninggalkan Pangeran Puger menguasai keraton yang lemah.

Ketika dalam perjalanan menuju Batavia meminta perlindungan VOC, Amangkurat I


meninggal dunia di Tegal. Amangkurat II kemudian naik menjadi raja Mataram
menggantikan ayahnya.[7] Amangkurat II pun hampir tidak berdaya sebagai raja setelah
melarikan diri tanpa sebuah pasukan atau sumber daya untuk membangunnya. Sebagai upaya
untuk mendapatkan kerajaanya kembali, ia membuat konsesi kepada VOC. Ia berjanji akan
memberikan Semarang jika VOC membantu ia untuk menumpas pemberontakan.

Lukisan anonim ca. 1890 yang menggambarkan Amangkurat II menghukum mati Trunajaya


dengan cara ditusuk dengan keris yang disaksikan oleh kedua istrinya dan perwira VOC.

VOC setuju, karena bagi mereka, sebuah Kesultanan Mataram yang stabil yang sangat
berutang budi kepada mereka akan membantu memastikan kelanjutan perdagangan dengan
syarat-syarat yang menguntungkan. Pasukan VOC, terdiri dari pasukan bersenjata ringan dari
Makassar dan Ambon, di samping tentara Eropa yang dipersenjatai lengkap, pertama kali
mengalahkan Trunajaya di Kediri pada November 1678. Trunajaya sendiri ditangkap pada
1679 di dekat Ngantang, Malang. Awalnya, dia diperlakukan dengan hormat sebagai tawanan
komandan VOC. Takut bahwa ia akan mengakhiri persekutuan antara Mataram dengan VOC,
Amangkurat II memutuskan untuk menikam Trunajaya dengan keris sebagai hukuman saat
melakukan kunjungan seremonial ke kediaman bangsawan di sebuah desa bernama Payak,
Jawa Timur, pada 2 Januari 1680.[8]

Peninggalan
Pemberontakan Trunajaya dikenang sebagai perjuangan heroik bagi rakyat Madura melawan
kekuatan asing Kesultanan Mataram dan VOC. Muncul usulan agar Raden Trunajaya
diangkat menjadi Pahlawan Nasional.[9][10] Namanya kemudian diabadikan sebagai nama
bandar udara di Sumenep, Bandar Udara Trunojoyo dan Universitas Trunojoyo di Bangkalan,
Madura.

Tirtayasa dari Banten


)
Tirtayasa
(Abu al-Fath 'Abdul-Fattah)

Lukisan Sultan Ageng Tirtayasa Karya Kang Alam


Sultan Banten ke-6
Berkuasa 1651–1683
Pendahulu Abu al-Ma'ali Ahmad dari Banten
Penerus Haji dari Banten
1631
Lahir
Kesultanan Banten
Wafat 1692 – 1631; umur -62–-61 tahun
Batavia, Hindia Belanda
Pemakaman Pemakaman Raja-raja Banten, Kota Kuno Banten, Kota Serang
Wangsa Azmatkhan
Ayah Abu al-Ma'ali Ahmad dari Banten
Haji dari Banten
Anak Pangeran Purbaya
dan lainnya
Agama Sunni Islam

Tirtayasa dari Banten (lahir di Kesultanan Banten, 1631 – meninggal di Batavia, Hindia
Belanda, 1692 pada umur 60–61 tahun)[1] adalah sultan Banten ke-6. Ia naik takhta pada usia
20 tahun menggantikan kakeknya, Sultan Abdul Mafakhir yang wafat pada tanggal 10 Maret
1651, setelah sebelumnya ia diangkat menjadi Sultan Muda dengan gelar Pangeran Adipati
atau Pangeran Dipati, menggantikan ayahnya[2] yang wafat lebih dulu pada tahun 1650.[3]
Pada tahun 2017 sutradara Darwin Mahesa mengangkat film Tirtayasa The Sultan of Banten
bergenre dokudrama yang diproduksi oleh Kremov Pictures.[4]

Biografi
Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra dari Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad (Sultan Banten
periode 1640–1650) dan Ratu Martakusuma. Sejak kecil ia bergelar Pangeran Surya,
kemudian ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran
Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia pada tanggal 10 Maret 1651, ia diangkat sebagai
Sultan Banten ke-6 dengan gelar Sulthan 'Abdul-Fattah al-Mafaqih.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa
(terletak di Kabupaten Serang).

Perjuangan
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651–1683. Dia
memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Pada masa itu, VOC menerapkan perjanjian
monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak
perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan Ageng
Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia
(Nusantara).

Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka


sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi.[butuh rujukan]

Di bidang keagamaan, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti
sekaligus penasehat kesultanan. Ia juga memberikan kepercayaan kepada Syek Yusuf untuk
mendidik anak-anaknya tentang agama. Selain itu, Sultan Ageng Tirtayasa juga menikahkan
putrinya yang bernama Siti Syarifah dengan Syaikh Yusuf.[5]

Ketika terjadi sengketa dengan putra mahkota, Sultan Haji dan, Belanda ikut campur dengan
cara bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat
Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan
Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin

Hubungan diplomatik
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten aktif membina
hubungan baik dan kerjasama dengan berbagai kesultanan di sekitarnya, bahkan dengan
negara lain di luar Nusantara. Banten menjalin hubungan dengan Turki, Inggris, Aceh,
Makassar, Arab, dan kerajaan lain.[6][7]

Banten dan kerajaan Nusantara lain

Sekitar tahun 1677, Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang
memberontak terhadap Mataram. Tidak hanya itu, Banten juga menjalin hubungan baik
dengan Makassar, Bangka, Cirebon dan Inderapura.[8]

Banten dan Prancis

Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menjalin hubungan dagang dan kerja sama dengan
pedagang-pedagang Eropa selain Belanda, seperti Inggris, Denmark, dan Prancis.

Pada tahun 1671, Raja Prancis Louis XIV mengutus François Caron, pimpinan Kongsi
Dagang Prancis di Asia sekaligus pemimpin armada pelayaran ke Nusantara. Setelah
mendarat di pelabuhan Banten, ia diterima oleh Syahbandar Kaytsu, seorang Tionghoa
muslim. Pada 16 Juli 1671, raja didampingi oleh beberapa pembesar kerajaan mendatangi
kediaman orang-orang Prancis di kawasan Pecinan. Caron meminta izin untuk membuka
kantor perwakilan di Banten. Hal itu berangkat dari pengalaman Caron yang pernah bekerja
pada VOC dan berambisi membuat kongsi dagang Prancis sebesar VOC.[9] Raja kemudian
menanyakan tujuan kongsi dagang mereka, ke mana tujuan kapal-kapal mereka, barang
dagangan yang diinginkan, dan jumlah uang tunai yang mereka miliki. Sesudah itu pihak
Prancis berusaha menjual barang muatan mereka. Barang-barang dagangan apa saja dapat
dijual, kecuali candu yang dilarang keras beredar di Banten.

Caron kembali mengunjungi raja dan menghadiahkan getah damar, dua meja besar (yang
dibawa dari Surat, India), dua belas pucuk senapan, dua jenis mortir, beberapa granat, dan
hadiah lain.

Caron dan Gubernur Banten kemudian menyetujui perjanjian yang berisi sepuluh
kesepakatan mengenai pemberian kemudahan dan hak-hak khusus kepada pihak Prancis,
sama dengan yang diberikan kepada pihak Inggris.[10]

Banten dan Inggris

Hubungan baik antara Inggris dan Banten sudah terjalin sejak lama, salah satunya adalah
ketika Sultan Abdul Mafakhir mengirimkan surat ucapan selamat pada tahun 1602 kepada
Kerajaan Inggris atas dinobatkannya Charles I sebagai Raja Inggris. Sultan Abdul Mafakhir
juga memberikan izin kepada Inggris untuk membuka kantor dagang. Bahkan, Banten
menjadi pusat kegiatan dagang Inggris sampai akhir masa penerintahan Sultan Ageng
Tirtayasa tahun 1682, karena saat itu terjadi perang saudara antara Sultan dengan putranya,
Sultan Haji. Sultan Haji meminta bantuan Belanda, sedangkan Sultan Ageng Tirtayasa
diketahui meminta bantuan dari Kerajaan Inggris untuk melawan kekuatan anaknya itu.[11][12]

Pada 1681, Sultan Haji mengirim surat kepada Raja Charles II. Dalam suratnya, dia berminat
membeli senapan sebanyak 4.000 pucuk dan peluru sebanyak 5.000 butir dari Inggris.
Sebagai tanda persahabatan, Sultan Haji menghadiahkan permata sebanyak 1757 butir. Surat
ini juga merupakan pengantar untuk dua utusan Banten bernama Kiai Ngabehi Naya Wipraya
dan Kiai Ngabehi Jaya Sedana. Tidak lama kemudian, Sultan Ageng Tirtayasa mengirim
surat kepada Raja Charles II meminta bantuan berupa senjata dan mesiu untuk berperang
melawan putranya yang dibantu VOC.[13][14]

Hidayatullah II dari Banjar


Hidayatullah II

Lukisan Sultan Hidayatullah II di Museum Lambung Mangkurat


Sultan Banjar
Berkuasa September 1859 – 2 Maret 1862
Penobatan September 1859 di Banua Lima
Pendahulu Tamjidullah II
Penerus Panembahan Amiruddin
Mangkubumi Banjar
Berkuasa 9 Oktober 1856 – 5 Februari 1860
Penobatan 9 Oktober 1856
Lahir Gusti Andarun
1822
Martapura, Kesultanan Banjar
24 November 1904 (umur 81–82)
Wafat
Cianjur, Karesidenan Parahyangan, Hindia Belanda
Pemakaman Sawah Gede, Cianjur
Wangsa Wangsa Banjar
Nama takhta
Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Hidayatullah Halil illah bin
Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman[1]
Ayah Sultan Muda Abdur Rahman
Ibu Ratu Siti
 Ratu Mas Bandara
 Ratu Mas Ratna Kediri
 Gusti Siti Aer Mas
 Nyai Arpiah
 Nyai Rahamah
 Nyai Umpay
Pasangan  Nyai Putih
 Nyai Jamedah
 Nyai Ampit
 Nyai Semarang
 Nyai Noerain
 Nyai Etjeuh

 Pangeran Sasra Kasuma ♂


 Pangeran Abdul Rahman ♂
 Gusti Muhammad Saleh ♂
 Putri Bulan ♀
 Putri Bintang ♀
Anak
 Ratu Kasuma Indra ♀
 Ratu Saleha ♀
 Gusti Serief Banun ♀
 Rattena Wandarie ♀

Agama Islam Sunni

Sultan Hidayatullah II, terlahir dengan nama Gusti Andarun, dengan gelar mangkubumi
Pangeran Hidayatullah kemudian bergelar Sultan Hidayatullah Halil Illah (lahir di
Martapura, 1822 – meninggal di Cianjur, Jawa Barat, 24 November 1904 pada umur 82
tahun), adalah pemimpin Kesultanan Banjar yang memerintah antara tahun 1859 sampai
1862.[2][3] Ia dikenal sebagai salah seorang tokoh pemimpin Perang Banjar melawan
pemerintahan Hindia Belanda.[4][5][6]

Terlahir sebagai anak dari Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-
Watsiq Billah, Gusti Andarun merupakan kandidat utama pewaris takhta Kesultanan Banjar
untuk menggantikan kakeknya Sultan Adam, namun posisi tersebut malah diisi oleh kakak
tirinya Tamjidullah II yang mendapat dukungan dari pemerintah Hindia Belanda.[7] Peristiwa
ini menimbulkan perpecahan di lingkungan keluarga bangsawan Banjar dan masyarakat,
dimana terdapat kubu pendukung Tamjidullah yang dekat dengan Belanda dan kubu
pendukung Gusti Andarun yang tidak setuju dengan keputusan pemerintah Hindia Belanda
tersebut.[2] Untuk meredam ketegangan tersebut, di tahun 1856 pemerintah Hindia Belanda
lalu mengangkat Gusti Andarun sebagai mangkubumi (kepala pemerintahan) Banjar dengan
gelar Pangeran Hidayatullah.[8][9]

Pengangkatan tersebut ternyata tidak bisa meredakan ketegangan antara keluarga bangsawan,
masyarakat, dan pemerintah Hindia Belanda. Ketegangan ini pun menjadi pemicu dimulainya
Perang Banjar, dimana pada 18 April 1859, pasukan Banjar yang dipimpin oleh Pangeran
Antasari menyerang tambang batu bara Oranje-Nassau di Pengaron.[10][11] Pemerintah kolonial
lalu memakzulkan Tamjidullah dan mencoba menobatkan Hidayatullah sebagai sultan,
namun Hidayatullah menolak tawaran tersebut. Ia sendiri dinobatkan oleh para panglima
Banjar menjadi sultan pada September 1859, dengan gelar Sultan Hidayatullah Halil Illah.[12]
[13]

Ia memimpin Perang Banjar sampai di tahun 1862, ketika ia dan keluarganya berhasil
ditangkap oleh pihak Hindia Belanda.[14] Sultan Hidayatullah beserta keluarga dan sebagian
pengikutnya lalu diasingkan ke Cianjur, dimana ia menghabiskan sisa hidupnya disana
sampai ia wafat di tahun 1904.[15] Atas sikapnya yang anti-imperialis dan kepemimpinannya
dalam melawan pemerintahan Hindia Belanda dalam Perang Banjar, di tahun 1999
pemerintah Republik Indonesia menganugerahkannya Bintang Mahaputera Utama.[16]

Kehidupan awal
Silsilah

Gusti Andarun lahir di Martapura di tahun 1822, dari pasangan Pangeran Ratu Sultan Muda
Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah dan Ratu Siti binti Pangeran Mangkubumi
Nata, yang juga bangsawan keraton Banjar (golongan tutus/purih raja). Ia mewarisi darah
biru keraton Banjar (berdarah kasuma alias ningrat murni) dari kedua orangtuanya, dimana
Gusti Andarun merupakan calon utama penerus kepepimpinan Kesultanan Banjar, sesuai
dengan surat wasiat dari kakeknya Sultan Adam.[17] Gusti Andarun juga memiliki kekerabatan
dengan keluarga ningrat Sumbawa, dimana bibi buyutnya yang bernama Putri Sarah/Laiya
binti Sultan Tahmidullah I menikah dengan Dewa Masmawa Sultan Mahmud, sultan
Sumbawa kesepuluh dan menurunkan sultan-sultan Sumbawa di generasi selanjutnya.[18][19]

Polemik suksesi Banjar

Sultan muda Abdurrahman awalnya merupakan putra mahkota Kesultanan Banjar, namun ia
wafat lebih awal dari ayahnya Sultan Adam di tahun 1852.[20] Peristiwa ini menimbulkan
polemik dalam keluarga ningrat Banjar mengenai siapa yang paling berhak menggantikan
Sultan Adam. Terdapat tiga kandidat penerus takhta Banjar, yaitu Gusti Andarun, cucu Sultan
Adam dari menantu permaisurinya Ratu Siti, Gusti Wayuri atau Tamjidullah II, cucu dari
menantu selirnya Nyai Besar Aminah yang merupakan keturunan Dayak-Pacinan. Ia berusia
lebih tua 5 tahun dari Gusti Andarun, dan Prabu Anom, anak Sultan Adam juga adik dari
Abdurrahman, yang diusulkan oleh Nyai Ratu Kamala Sari, permaisuri dari Sultan Adam.[9]
[21]

Meski Gusti Andarun merupakan keturunan tutus atau ningrat murni, Tamjidullah lebih
mendapat dukungan dari pemerintah Hindia Belanda sebagai penerus takhta Banjar
dikarenakan kedekatannya dengan kalangan pejabat kolonial selama membantu Pangeran
Mangkubumi Nata dalam menjalankan tugas-tugasnya.[21] Campur tangan Belanda dalam
pengangkatan Sultan Banjar berawal dari status Kesultanan Banjar sendiri yang menjadi
tanah perlindungan (protektorat) dari VOC-Belanda sejak 13 Agustus 1787 di masa
pemerintahan sultan Nata Alam. Pemerintah Hindia Belanda lalu menetapkan Tamjidullah
sebagai sultan muda baru pada 8 Agustus 1852.[8] Sultan Adam memprotes penetapan
tersebut karena Tamjidullah bukan keturunan ningrat murni, namun utusan yang dikirim
untuk menyampaikan protesnya tersebut tidak diterima secara resmi oleh pusat pemerintahan
Hindia Belanda di Batavia. Sultan Adam pun lalu menulis surat wasiat yang menyatakan
bahwa Gusti Andarun merupakan pewaris takhta Banjar yang sah dan menginginkan rakyat
Banjar untuk mengangkatnya sebagai Sultan.[22]

Pada 30 April 1856, setelah mendapatkan tekanan dari pihak Hindia Belanda, Sultan Adam
menyetujui pemberian konsesi tambang batu bara kepada pemerintah kolonial. Gusti
Andarun sebenarnya sudah memahami bahaya yang dapat ditimbulkan dari pemberian
konsesi ini, namun ia terpaksa ikut menyetujuinya karena pasukan Belanda sudah
ditempatkan di berbagai pusat tambang tersebut.[23]

Diangkat sebagai mangkubumi


Untuk memulihkan keadaan di Banjar yang tidak kondusif karena diangkatnya Tamjidullah
sebagai sultan muda, pemerintah Hindia Belanda mengangkat Gusti Andarun sebagai
mangkubumi yang mengatur pemerintahan dari Martapura dengan gelar Pangeran
Hidayatullah pada tanggal 9 Oktober 1856. Pengangkatan Hidayatullah sebagai
mangkubumi tertuang dalam Akte Van Beeediging Van Den Rijksbestierder Van
Bandjarmasin, Pangeran Hidajat Oellah op 9 October 1856. (Besluit 4 Januari 1857 No. 41)
Borneo, tertulis dalam bahasa Melayu di bawah:[24]

Besluit 4 Januari 1857 No. 41

Setelah Sultan Adam wafat pada November 1857, pemerintah Hindia Belanda menobatkan
Tamjidullah II sebagai sultan Banjar yang baru dan Banjarmasin dipilih sebagai pusat
pemerintahannya,[22] dimana penobatan ini ditentang oleh rakyat Banjar. Sehari setelah
penobatannya, ia menandatangani surat yang menyetujui pengasingan Belanda atas
pamannya Prabu Anom ke Jawa.[21] Prabu Anom berhasil ditangkap di awal tahun 1858 dan
akhirnya ia diasingkan ke Kota Bandung pada tanggal 23 Februari 1858.[25] Peristiwa
pengasingan ini membuat geram Gusti Andarun dan bangsawan lainnya, serta mengakibatkan
keadaan keraton Banjar tegang dan tidak kondusif. Muncul gerakan perlawanan terhadap
kepemimpinan Tamjidullah yang dimulai oleh tokoh karismatik bernama Aling atau
Panembahan Muning, dimana pengikut gerakan ini semakin bertambah banyak karena
banyak rakyat yang tidak puas terhadap kepemimpinan Tamjidullah.[26]

Perang Banjar dimulai

Langkah Hidayatullah untuk menggantikan Sultan Adam sebagai sultan menjadi lebih
terbuka pada pada Februari 1859, ketika Nyai Ratu Kamala Sari beserta puteri-puterinya
menyerahkan surat kepada Pangeran Hidayat, bahwa kesultanan Banjar diwariskan
kepadanya, sesuai dengan surat wasiat Sultan Adam. Sultan Adam juga mewariskan Keris
Abu Gagang sebagai salah-satu regalia Banjar untuk mendukung keabsahan Hidayatullah
sebagai penerus takhta Banjar.[22] Hidayatullah lalu mulai menghimpun kekuatan untuk
bersiap melakukan serangan terhadap daerah-daerah yang dikuasai pemerintah kolonial
seperti tambang batu bara. Pada 18 April 1859 terjadi penyerangan terhadap tambang batu
bara Oranje-Nassau milik Hindia Belanda di Pengaron, yang dipimpin oleh Pangeran
Antasari, Pembekal Ali Akbar, dan Mantri Temeng Yuda Panakawan atas persetujuan
Hidayatulah.[10] Penyerangan ini menandai dimulainya Perang Banjar yang akan berlangsung
sampai tahun 1906.[27] Setelah serangan yang dilancarkan terhadap tambang Oranje-Nassau,
Hidayatullah lalu menggunakan taktik gerilya untuk menghadapi Belanda yang memiliki
persenjataan yang lebih canggih. Di bawah kepemimpinan Antasari, pasukan Banjar mampu
menguasai seluruh Martapura pada Mei 1859.[11] Sementara Hidayatullah sendiri memilih
Karang Intan sebagai basis pertahanannya dalam menghadapi pasukan Belanda.[11]

Pada 25 Juni 1859, Hindia Belanda melalui komando Kolonel A. J. Andresen memakzulkan
Tamjidullah sebagai Sultan Banjar karena dianggap tidak bisa mengendalikan keadaan di
Banjar. Belanda menilai penyerbuan tambang batubara yang dilakukan rakyat Banjar
berkaitan dengan polemik suksesi Kesultanan Banjar. Pemerintah kolonial ingin
menempatkan Hidayatullah sebagai sultan Banjar karena Hidayatulllah dinilai sebagai tokoh
penting dalam penyerbuan ke tambang Pengaron. Hidayatullah harus bisa dijinakkan oleh
Belanda melalui cara menempatkannya sebagai sultan sesuai dengan surat wasiat Sultan
Adam. Namun rencana pengangkatan oleh Belanda ini ditolak mentah-mentah oleh
Hidayatullah dan seluruh bangsawan maupun rakyat Banjar, karena Belanda dianggap sudah
terlalu banyak mencampuri urusan keluarga kesultanan, juga adanya kecurigaan bahwa
pemerintah kolonial berencana untuk menangkap Hidayatullah jika ia memenuhi panggilan
dari kolonel Andersen untuk datang ke Banjarmasin.[21][13]

Hidayatullah sebagai Sultan Banjar


Selanjutnya Pangeran Hidayat mengadakan rapat-rapat untuk menyusun kekuatan dan pada
bulan September 1859, Pangeran Hidayatullah II dinobatkan oleh para panglima perang
sebagai Sultan Banjar dan sebagai mangkubumi adalah Pangeran Wirakasuma, putera
Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur Rahman dengan Nyai Alimah. Penobatan Hidayatullah ini
menjadikan dirinya sebagai satu-satunya pemimpin rakyat Banjar antara tahun 1859 sampai
1862[28]

Pada 5 Februari 1860 Belanda mengumumkan bahwa jabatan Mangkubumi Pangeran Hidayat
dihapuskan.[29] Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1860, Residen F. N. Nieuwenhuijzen secara
sepihak mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar, melalui surat berpernyataan di
bawah:

Surat Bepernyatan dari Residen Surakarta, Komisaris Gubernemen untuk Afdeeling Selatan dan
Timur Borneo, Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen[24]

Pada 10 Desember 1860, Sultan Hidayatullah melantik Gamar dengan gelar Tumenggung
Cakra Yuda sebagai panglima perang Sabil terhadap Belanda, sementara Tagab Wajir
dilantik menjadi Kiai Singapati.[30] Ia juga menjadikan Gunung Pamaton sebagai basis
pertahanannya. Rakyat di Gunung Pamaton menyambut kedatangannya dan mulai membuat
benteng pertahanan sebagai usaha menghalau tentara Belanda yang akan menangkapnya. Di
bulan Juni 1861, Sultan Hidayatullah berunding dengan para Mufti di daerah Martapura.
Perundingan pertama diadakan di Kalampayan dan yang kedua di kampung Dalam Pagar.
Dalam perundingan itu disepakati rencana untuk melakukan serangan umum terhadap kota
Martapura.[31] Serangan umum ini direncanakan untuk dilakukan di tanggal 20 Juni 1861,
namun rencana itu bocor ke pihak Belanda. Untuk menghadapi serangan umum pasukan
Banjar terhadap Martapura, Asisten Residen Mayor Koch yang juga merangkap sebagai
panglima daerah Martapura meminta bantuan kepada Residen Gustave Verspijck di
Banjarmasin. Residen segera mengirimkan bantuan dengan mengirimkan kapal perang Van
Os yang mengangkut meriam dan perlengkapan perang lainnya.[31]

Pertempuran Gunung Pamaton Pertama

Mayor Koch pun lalu melakukan penyerangan besar-besaran secara tiba-tiba ke benteng
Gunung Pamaton tempat pertahanan Sultan Hidayatullah di tanggal 19 Juni 1861,
mendahului rencana serangan umum terhadap Martapura oleh rakyat yang telah bocor ke
pihak Belanda.[32] Rakyat seluruh daerah Martapura dan sekitarnya bangkit menahan serangan
Belanda sehingga hampir di seluruh pelosok terjadi pertempuran. Pertempuran bahkan terjadi
pula di daerah Kuala Tambangan di selatan. Di sekitar daerah Mataraman, panglima
Pambakal Mail juga terlibat pertempuran menghadapi serdadu Belanda. Sementara itu di
kampung Kiram, tidak jauh dari Gunung Pamaton dan daerah Banyu Irang, Pambakal Intal
dan pasukan Tumenggung Gumar telah berhasil menghancurkan kekuatan Kopral Neyeelie.
[16]
Pasukan Belanda bukan saja menyerang benteng Gunung Pamaton yang belum berhasil
dikuasainya, namun juga membakar rumah-rumah penduduk warga sipil, membinasakan
kebun-kebun dan menangkapi penduduk, sehingga penjara Martapura penuh sesak.[33]
Tumenggung Gamar yang lalu membawa pasukannya untuk memasuki kota Martapura
ternyata tidak berhasil melakukan serangan, karena Belanda telah mempersiapkan pertahanan
yang lebih kuat.[33]

Serangan Belanda di tanggal 19 Juni 1861 terhadap benteng Gunung Pamaton akhirnya
berhasil digagalkan oleh rakyat Banjar yang memiliki persenjataan yang lebih sederhana.
Dalam pertempuran di Gunung Pamaton, banyak sekali jatuh korban di kedua belah pihak.
Letnan Ter Dwerde dan Kopral Grimm yang memimpin langsung serangan Belanda tewas
terkena tombak dan tusukan keris di perutnya.[31] Sementara mayat-mayat pasukan Belanda
yang terbunuh dihanyutkan di sungai Pasiraman, dimana Pambakal Intal dan pasukannya
berhasil menguasai senjata para serdadu Belanda.[31] Benteng Gunung Pamaton saat itu
dipertahankan oleh banyak pimpinan perang Banjar, selain Sultan Hidayatullah terdapat pula
Demang Lehman, Tumenggung Gamar, Raksapati, Kiai Puspa Yuda Negara.[34] Terdapat juga
panglima perempuan dalam pertempuran ini yaitu Kiai Cakrawati yang selalu menunggang
kuda, dimana ia sebelumnya juga ikut mempertahankan benteng Gunung Madang.[31]

Pertempuran Gunung Pamaton Kedua

Di bulan Agustus 1861, Mayor Koch sekali lagi mengerahkan pasukannya untuk menyerbu
Gunung Pamaton. Sebelum serangan dilakukan. Mayor Koch menghancurkan semua ladang,
lumbung padi rakyat, hutan-hutan, dengan harapan menghancurkan persediaan bahan
makanan, serta menghancurkan hutan-hutan yang berpotensi dapat dijadikan benteng
pertahanan oleh rakyat Banjar.[9] Mayor Koch gagal dalam usahanya untuk menangkap Sultan
Hidayatullah dan pimpinan perang lainnya, karena sebelumnya benteng ini telah
ditinggalkan, karena Hidayatullah menggunakan siasat gerilya dalam usaha melawan Belanda
yang memiliki persenjataan yang lebih unggul.[35] Namun ibu dari Sultan Hidayatullah, Ratu
Siti, berhasil ditemukan oleh pasukan Hindia Belanda dan disandera di Martapura.[36]
Setelah ditipu dengan terlebih dahulu menyandera ibunya, Sultan Hidayatullah ditangkap
oleh pihak Hindia Belanda pada 28 Januari 1862, dikarenakan adanya kabar bahwa ibunya
akan dihukum gantung.[37] Hidayatullah menyerahkan diri karena ia mendengar kabar bahwa
ada kemungkinan setelah ibunya dihukum gantung, jasadnya akan dimutilasi oleh pihak
pemerintahan kolonial.[36] Lalu pada 2 Maret 1862 ia dibawa dari Martapura ke Banjarmasin,
lalu menuju Batavia menggunakan kapal uap di tanggal 3 Maret 1862 dan akhirnya
diasingkan ke Cianjur.[10][38] Tampuk kepemimpinan Kesultanan Banjar lalu diserahkan
kepada Pangeran Antasari, yang dinobatkan pada 14 Maret 1862 dengan gelar Panembahan
Amiruddin Khalifatul Mukminin.[39] Perang Banjar sendiri baru benar-benar berakhir di tahun
1906.[40]

Pengasingan
Setelah menyerahkan diri kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda, Sultan Hidayatullah
bersama dengan keluarga dan pengikutnya sejumlah 76 orang dibawa ke Batavia di tanggal 3
Maret 1862, lalu kemudian diasingkan ke Cianjur dimana ia menetap disana sampai akhir
hayatnya.[41] Di tempat pengasingannya, ia menjadi seorang yang aktif dalam menyebarkan
ilmu agama Islam kepada masyarakat setempat.[36]

Catatan Jean M. C. E. Le Rutte mengenai perjalanan pengasingan Sultan Hidayatullah [42][43]

Selama menetap di tempat pengasingannya di Cianjur, Hidayatullah menempati suatu


pemukiman sekitar barak militer Hindia Belanda yang sekarang dinamakan Kampung
Banjar/Gang Banjar, yang sekarang masuk dalam daerah Kel. Sayang, Kec. Cianjur.[36] Dari
tempat ini Hidayatullah menjalankan peran sebagai pendakwah untuk masyarakat setempat,
dimana masyarakat Cianjur menjulukinya "ulama berjubah kuning" dikarenakan pakaian
kuning yang sering dikenakannya.[44][41] Selama pengasingannya, hanya residen Priangan,
Christiaan van der Moore dan bupati Cianjur, Raden Prawiradireja II yang mengetahui
identitas aslinya.[15] Di Cianjur, Hidayatullah juga menikahi Nyai Etjeuh, seorang bangsawan
setempat yang menurunkan orang-orang blasteran Banjar-Sunda di Cianjur.[45]

Sultan Hidayatullah wafat di tanggal 24 November 1904 pada usia 82 tahun. Ia dimakamkan
di daerah Bukit Joglo yang sekarang masuk Kel. Sawah Gede, Cianjur, yang letaknya dekat
dengan Taman Prawatasari.[36][46] Kelak di area pemakaman yang sama, dimakamkan juga
Sultan Ibrahim Khaliluddin, sultan terakhir dari Kesultanan Paser yang juga berperang
melawan pemerintahan kolonial Belanda.[47]

Keturunan
Anak-anak dari Sultan Hidayatullah diantaranya:

1. Putri Bintang (anak Ratu Mas Bandara)


2. Putri Bulan (anak Ratu Siti Aer Mas)
3. Ratu Kusuma Indra (anak Ratu Siti Aer Mas)
4. Pangeran Abdul Rahman (anak Ratu Mas Ratna Kediri)
5. Ratu Saleha (anak Nyai Rahamah)
6. Gusti Sari Banun (anak Nyai Rahamah)
7. Pangeran Sasra Kasuma (anak Nyai Noerain)
8. Gusti Muhammad Saleh (anak Nyai Arpiah)
9. Pangeran Amarullah (anak Nyai Etjeuh, Cianjur)
10. Pangeran Alibasah (anak Nyai Etjeuh, Cianjur)
11. Dan lain-lain

Teungku Chik di Tiro


Muhammad Saman Tiro

Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman


Nama asal Muhammad Saman
1 Januari 1836
Lahir
Tiro, Pidie, Kesultanan Aceh Darussalam
31 Januari 1891 (umur 55)
Meninggal
Aneuk Galong, Aceh Besar, Kesultanan Aceh Darussalam
Sebab meninggal Meninggal karena diracun oleh Belanda
Meureu,Indrapuri, Aceh Besar
Tempat pemakaman
5°24′52.3″N 95°28′29.2″EKoordinat: 5°24′52.3″N
95°28′29.2″E
Ulama
Dikenal atas
Pahlawan Kemerdekaan Aceh
Lawan politik Hindia Belanda
Anak 1.Fatimah
2.Muhammad Amin,
3.Mahyiddin,
4.Ubaidillah,
5.Muhammad Ali Zainal Abidin, dan
6.Teungku Lambada.
Teungku Sjech Abdullah
Orang tua
Siti Aisyah
Kerabat Teungku Chik Dayah Tjut di Tiro (Paman)
Teungku Ma'at Di Tiro (Cucu)
Keluarga
Teungku Hasan Tiro (Cicit)
Penghormatan Pahlawan Kemerdekaan Aceh

Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman (Tiro, Pidie, 1 Januari 1836 – Aneuk Galong,
Aceh Besar, 31 Januari 1891) adalah seorang pahlawan nasional dari Pedir.

Riwayat

Gerbang masuk makam Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman.

Teungku Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya
bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada 1 Januari
1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro,
daerah Pidie, Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.

Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain
itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai
tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan
kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup
berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama
dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal
dengan Perang Sabil.[1]

Memimpin perjuangan
Pada 1880, ketika pasukan Belanda dipimpin Jenderal Karen van der Heyden telah
menaklukkan daerah Aceh Besar, pejuang Aceh yang bersembunyi di kaki Gunung Seulawah
datang berkumpul di Gunung Biram, Lamtamot. Mereka memikirkan langkah yang harus
diambil: menyerah atau melawan. Hasil pertemuan itu adalah mereka meminta bantuan
dengan mengirim utusan ke daerah Pidie.

Ketika utusan Gunung Biram tiba di Pidie, mereka mendapat kesan dari ulama dan
uleebalang Pidie bahwa pusat pimpinan ulama Pidie adalah di Tiro. Mereka kemudian
menemui Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut, paman Teungku Chik di Tiro
Muhammad Saman. Kepadanyalah utusan Gunung Biram menyampaikan amanat yang
dibawanya itu.
Bangunan makam Teungku Chik di Tiro

Setelah kedatangan utusan Gunung Biram, ulama Tiro menggelar rapat dua kali di Dayah
Krueng dan Daya Lampoh Raja. Hasil pertemuan itu menyepakati bahwa ulama Tiro harus
segera membantu perjuangan di Aceh Besar. Namun, utusan Gunung Biram meminta seorang
pemimpin dari Tiro, karena semangat perlawanan di sana sudah luntur sehingga
membutuhkan pemimpin yang dapat membangkit kembali semangat mengusir Belanda.
Pemimpin itu juga harus ikut ke medan perang.

Orang-orang yang hadir dalam rapat itu tidak ada yang ingin mengemukakan diri menjadi
sosok pemimpin perlawanan terhadap Belanda di Aceh Besar. Tiba-tiba, Teungku Chik di
Tiro Muhammad Amin Dayah Cut mengatakan bahwa keponakannya, Teungku Chik di Tiro
Muhammad Saman yang baru pulang dari Mekkah, hendak berbicara. Dia mengatakan
bersedia memimpin perang di Aceh Besar. [2]

Kubur Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman

Di bawah pimpinan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman dalam perang sabil, satu
persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini
diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan
Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain.
Belanda akhirnya terjepit di sekitar kota Banda Aceh dengan mempergunakan taktik lini
konsentrasi (concentratie stelsel) yaitu membuat benteng yang mengelilingi wilayah yang
masih dikuasainya.

Teungku Chik di Tiro adalah tokoh yang kembali menggairahkan Perang Aceh pada tahun
1881 setelah menurunnya kegiatan penyerangan terhadap Belanda.[3] Selama ia memimpin
peperangan terjadi 4 kali pergantian gubernur Belanda yaitu Abraham Pruijs van der Hoeven
(1881-1883), Philip Franz Laging Tobias (1883-1884), Henry Demmeni (1884-1886) dan
Henri Karel Frederik van Teijn (1886-1891)

Belanda akhirnya memakai siasat lain dengan cara meracunnya. Muhammad Saman akhirnya
meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.[4]

Oemar Said Tjokroaminoto


image|Flag of the Netherlands.svg}} | death_date = 17 Desember 1934 (umur 51) |

death_place = Yogyakarta, Hindia Belanda | occupation = Pendiri sekaligus ketua


pertama organisasi Sarekat Islam, guru Soekarno, Semaoen, Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo, Alimin, Musso, dan Tan Malaka | religion = Islam | children = Siti Oetari
Oetarjo Anwar Tjokroaminoto
Harsono Tjokroaminoto
Siti Islamiyah
Ahmad Suyud | spouse = Suharsikin | relations = Soekarno (murid dan mantan menantu)
R.M. Tjokroamiseno (ayah)
Warok R.M. Adipati Tjokronegoro (kakek)
R.M Mangoensoemo (Mertua)
Abikoesno Tjokrosoejoso (adik)
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (murid)
Musso (murid)
Semaoen (murid)
Aulia Tahkim
Maia Estianty (cicit)
Kyai Ageng Kasan Besari II (buyut)
Pakubuwono III (wareng)
Raden Mas Oemar Djaman Tjokroprawiro, Raden Ayu Tjokrodisoerjo, Raden Mas Poerwadi
Tjokrosoedirjo, Raden Mas Oemar Sabib Tjokrosoeprodjo, Raden Ajeng Adiati, Raden Ayu
Mamowinoto, Raden Mas AbikoesnoTjokrosoejoso, Raden Ajeng Istingatin, Raden Mas
Poewoto, Raden Adjeng Istidja Tjokrosoedarmo, Raden Aju Istirah Mohammad Soebari
(Saudara)[1] }} Raden Mas Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (16 Agustus 1882 – 17
Desember 1934),[2] lebih dikenal di Indonesia sebagai H.O.S. Tjokroaminoto, adalah
seorang nasionalis Indonesia. Ia menjadi salah satu pemimpin Sarekat Dagang Islam, yang
didirikan oleh Samanhudi, yang menjadi Sarekat Islam, yang mereka dirikan bersama.[3][4]

Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (16 Agustus 1882 – 17 Desember 1934[5][6][7][8]
(sebagaimana tercatat dalam Arsip Nasional Republik Indonesia dan Direktorat Pahlawan
Nasional Kementrian Sosial Republik Indonesia))[9] , lebih dikenal dengan nama H.O.S
Cokroaminoto, merupakan salah satu pemimpin organisasi pertama di Indonesia, yaitu
Sarekat Islam (SI).[10][11][12]

Kehidupan awal
Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara[2]:12 dari ayah bernama R.M.
Tjokroamiseno, salah seorang pejabat wedana Kleco, Magetan pada saat itu. Kakeknya, R.M.
Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai Bupati Ponorogo, Mertuanya adalah
R.M. Mangoensoemo yang merupakan wakil bupati Ponorogo. Beliau adalah keturunan
langsung dari Kiai Ageng Hasan Besari dari Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo.[13]

Setelah lulus dari sekolah rendah, ia melanjutkan pendidikannya di sekolah pamong praja di
Magelang. Setelah lulus, ia bekerja sebagai juru tulis patih di Ngawi. Tiga tahun kemudian, ia
berhenti. Tjokromaninoto pindah dan menetap di Surabaya pada 1906. Di Surabaya, ia
bekerja sebagai juru tulis di firma Inggris Kooy & Co dan melanjutkan pendidikannya di
sekolah kejuruan Burgerlijk Avondschool, jurusan Teknik Mesin.[14]

Pada bulan Mei 1912, HOS Tjokroaminoto mendirikan organisasi Sarekat Islam yang
sebelumnya dikenal Serikat Dagang Islam dan terpilih menjadi ketua.

Salah satu trilogi darinya yang termasyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid,
sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang
memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan. Dari berbagai muridnya
yang paling ia sukai adalah Soekarno hingga ia menikahkan Soekarno dengan anaknya yakni
Siti Oetari, istri pertama Soekarno. Pesannya kepada Para murid-muridnya ialah "Jika kalian
ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator".
Perkataan ini membius murid-muridnya hingga membuat Soekarno setiap malam berteriak
belajar pidato hingga membuat kawannya, Muso, Alimin, S.M. Kartosuwiryo, Darsono, dan
yang lainnya terbangun dan tertawa menyaksikannya.

Tjokro meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Ia


dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta, setelah jatuh sakit sehabis mengikuti Kongres
SI di Banjarmasin.

Gelar "Raja Jawa tanpa mahkota"


Oleh Belgia, beliau dijuluki sebagai De Ongekroonde van Java atau "Raja Jawa Tanpa
Mahkota", Tjokroaminoto adalah salah satu pelopor pergerakan di Indonesia dan sebagai
guru para pemimpin-pemimpin besar di Indonesia. Berangkat dari pemikirannya pula yang
melahirkan berbagai macam ideologi bangsa Indonesia pada saat itu. Rumahnya sempat
dijadikan rumah kost para pemimpin besar untuk menimbah ilmu padanya, yaitu Semaoen,
Alimin, Muso, Ananda Hirdan, Imran Halomoan, bahkan Fajri Hamonangan pernah berguru
padanya. Ia adalah orang yang pertama kali menolak untuk tunduk pada Belanda. Setelah ia
meninggal pada tahun 17 Desember 1934 , lahirlah warna-warni pergerakan Indonesia yang
dibangun oleh murid-muridnya, yakni kaum sosialis/komunis yang dianut oleh Semaoen,
Muso, Alimin. Soekarno yang nasionalis, dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang
Islam merangkap sebagai sekretaris pribadi.

Namun, ketiga muridnya itu saling berselisih menurut paham masing-masing. Pengaruh
kekuatan politik pada saat itu memungkinkan para pemimpin yang sekawanan itu saling
berhadap-hadapan hingga terjadi Pemberontakan Madiun 1948 yang dilakukan Partai
Komunis Indonesia karena memproklamasikan "Republik Soviet Indonesia" yang dipimpin
Muso. Dengan terpaksa Presiden Soekarno mengirimkan pasukan elite TNI yakni Divisi
Siliwangi yang mengakibatkan "abang", sapaan akrab Soekarno kepada Muso, pemimpin
Partai komunis pada saat itu tertembak mati pada 31 Oktober 1948.

Pemberontakan kemudian dilakukan oleh Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin oleh
S.M. Kartosuwiryo dan akhirnya hukuman mati yang dijatuhkan oleh Soekarno kepada
kawannya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada 12 September 1962.

Yos Sudarso

.
Yos Sudarso
Informasi pribadi
24 November 1925
Lahir
Salatiga, Jawa Tengah
15 Januari 1962 (umur 36)
Meninggal
Laut Aru, Papua
Suami/istri Siti Kustini (1955-1962)
Anak 5
Pekerjaan TNI
Karier militer
Pihak  Indonesia
Dinas/cabang TNI Angkatan Laut
Masa dinas 1945 - 1962
Pangkat
Laksamana Madya TNI
(Anumerta)
Satuan Korps Pelaut

Laksamana Madya TNI (Ant.) Yosaphat Soedarso (24 November 1925 – 15 Januari 1962)
adalah seorang pahlawan nasional Indonesia.[1] Ia gugur di atas KRI Macan Tutul dalam
peristiwa pertempuran Laut Aru setelah ditembak oleh kapal patroli Hr. Ms. Eversten milik
armada Belanda pada masa kampanye Trikora. .Beliau mendapat pendidikan di bidang
pelayaran di Sekolah Pelayaran Tinggi yang kini menjadi Politeknik Ilmu Pelayaran
Semarang. Namanya kini diabadikan menjadi nama KRI dan pulau.

Kehidupan pribadi

Perangko memperingati Yos Sudarso keluaran tahun 1974

Yos Soedarso menganut agama Katolik.[2] Ia menikah dengan Siti Kustini (1935-2006) pada
tahun 1955 dan meninggalkan lima orang anak (dua di antaranya meninggal).[butuh rujukan]

.M. Thalib

A.M thalib (23 Februari 1922 – 17 Juni 2000) adalah mantan tokoh militer Indonesia dan
pengusaha.

A.M Thalib merupakan salah satu pejuang yang semasa hidupnya pernah menjadi seorang
jurnalis atau wartawan dan seorang wirausaha. Ia bersama-sama rakyat dan pejuang di
Sumatra Selatan pernah mengangkat senjata melawan pasukan Belanda yang melakukan
agresi militer pada tahun 1948. Pada saat itu, A.M Thalib menjabat Kepala Penerangan
Gubernur Militer Sumatra Selatan dan masih merangkap di Intel. Selain itu, A.M Thalib
secara tegas menolak ajakan Dewan Banteng untuk memutuskan hubungan dengan
pemerintah pusat (Jakarta). A.M Thalib juga aktif di dunia sosial politik di Tanah Air.

Memasuki tahun 1955, A.M Thalib masuk menjadi anggota PSI. Sementara pada tahun 1959
menjadi anggota IP-KI. Dalam konferensi IP-KI Sumatra Selatan pada tahun 1963, A.M
Thalib terpilih menjadi Ketua Umum IP-KI wilayah Sumatra Selatan. Sementara pada tahun
1957 – 1958, beliau masih aktif di gerakan daerah Sumatra Selatan dalam perjuangan
pembangunan daerah (otonomi daerah) dan menentang PKI. Pada tahun 1967, A.M Thalib
menjabat sebagai Ketua Seksi Sosial Politik Corps Sriwijaya sub Komando Jakarta Raya.
Selanjutnya pada tahun 1968, mendirikan Indonesia Business Centre (IBC) Provinsi Sumatra
Selatan, serta beliau langsung menjadi ketua umumnya. Pada tahun 1969, oleh Departemen
Perdagangan RI saat itu, A.M Thalib ditunjuk sebagai Ketua Koordinator sindikat Gula Pasir
Seluruh Indonesia. Sementara pada tahun 1971, beliau menjabat Ketua Presidium
Konsentrasi Usahawan SOKSI di Jakarta. Pada tahun 1971 – 1973, A.M Thalib menjabat
menjadi Wakil Koordinator Usahawan Golkar. Beliau juga memprakarsai pendirian Yayasan
SUB-KOSS Garuda Sriwijaya dan Meseum Perjuangan di lubuk Linggau.

Ia juga pernah menjabat wakil ketua KADIN pusat.[1]

Anda mungkin juga menyukai