OLEH :
XI IPS 2
DEMOKRASI LIBERAL
Demokrasi liberal adalah sistem politik yang menganut kebebasan individu. Jadi,
setiap warga mempunyai hak untuk berkuasa dalam demokrasi jenis ini tanpa memandang
latar belakang, baik itu asal suku maupun agama. Biasanya jabatan ini ditempati oleh perdana
menteri pada wilayah yang menganut sistem parlementer.
Sistem demokrasi liberal diterapkan di indonesia dalam kurun waktu tahun 1950
sampai 1959 yang berbentuk parlementer. Pada saat itu pengangkatan jabatan Perdana
Menteri dilakukan oleh Presiden. Sedangkan penempatan badan Legislatif saat itu lebih
tinggi dibandingkan Eksekutif. Berikut ciri-ciri sistem demokrasi liberal di Indonesia :
Kelebihannya :
Kekurangannya :
2. Terlalu banyak partai tidak selalu berdampak baik dan pembuatan partai lebih
fokus terhadap cara mempertahankan kekuasaan. Bukan fokus dalam pembuatan kebijakan,
padahal stabilitas itu penting.
KABINET PADA MASA DEMOKRASI
PARLEMENTER
(1950 – 1959)
Sistem pemerintahan parlementer merupakan sistem pemerintahan di mana para pelaku dari
lembaga eksekutif bekerja serta bertanggung jawab langsung kepada para parlemen. Di dalam
sistem pemerintahan parlementer, lembaga parlemen mempunyai peranan yang sangat
penting dalam pemerintahan negara tersebut. selain itu, lembaga parlemen juga memegang
kekuasaan tertinggi serta memiliki hak dan kewenangan yang besar dalam mengawasi
kebijakan serta program kerja yang dilaksanakan oleh pelaku-pelaku lembaga eksekutif.
Kabinet pertama dipimpin oleh Natsir lalu dilanjut Kabinet Sukiman, Kabinet Wilopo,
Kabinet Ali Sastroamidjojo I, Kabinet Burhanuddin, Kabinet Ali Sastroamidjojo II dan
diakhiri oleh Kabinet Djuanda kemudian sistem pemerintahan berganti dari Sistem
Parlementer menjadi Presidensial, di mana kabinet dipimpin langsung oleh Presiden.
KABINET NATSIR
Kabinet Natsir adalah kabinet pertama yang dibentuk setelah pembubaran negara
Republik Indonesia Serikat, dan kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kabinet ini diumumkan pada 6 September 1950 dan bertugas sejak 7 September 1950 hingga
21 Maret 1951. Kabinet ini memiliki partai pendukung utama, yaitu Masyumi dan PSI.
Keberhasilan yang dicapai Kabinet Natsir diantaranya adalah di bidang ekonomi ada
Sumitro Plan yang berhasil mengubah ekonomi yang pada awalnya adalah ekonomi
kolonial menjadi ekonomi nasional. Selain itu, Indonesia juga berhasil masuk PBB.
Namun dalam penerapan Sumitro Plan, tidak bisa berjalan dengan maksimal. Hal ini
karena para pengusaha yang diberikan bantuan banyak diselewengkan sehingga banyak
yang tidak mencapai sasaran. Kemudian diplomasi mengenai masalah Irian Barat
mengalami kebuntuan alias mengalami kegagalan. Selain itu dalam hal keamanan juga
masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pemberontakan hampir di seluruh
wilayah Indonesia seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, dan
Gerakan RMS. Hingga pada akhirnya PNI menyampaikan mosi tidak percaya terkait
dengan pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. Yang membuat
Perdana Menteri Natsir mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
KABINET SUKIMAN
Merupakan kabinet kedua setelah kabinet Natsir. Kabinet ini diumumkan pada 26
April 1951 dan bertugas hingga 23 Februari 1952. Kabinet ini didukung oleh partai Masyumi
dan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Kabinet Wilopo adalah kabinet ketiga setelah kabinet sukiman yang diumumkan pada
1 April 1952 dan memerintah hingga 3 Juni 1953. Kabinet ini termasuk kabinet zaken, yang
artinya kabinet yang jajarannya diisi oleh para tokoh ahli di dalam bidangnya dan bukan
merupakan representatif dari partai politik tertentu.
Kabinet Ali Sastroamidjojo adalah kabinet keempat setelah kabinet Wilopo yang
diumumkan pada 30 Juli 1953 dan memerintah hingga 24 Juli 1955. Kabinet ini didukung
oleh Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan Nahdatul Ulama (NU).
Keberhasilan program kabinet ini berupa persiapan pemilu yang berhasil rampung.
Pemilu direncanakan akan dilakukan pada 29 September 1955, lalu kabinet ini juga membuat
hubungan Kerjasama ekonomi antara Indonesia dan Cina berupa Ali-baba dan
diselenggarakanya Konferensi Asia-Afrika (KAA). Ada beberapa permasalahan yang
menyebabkan jatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo 1 ini seperti Konflik internal antara
kabinet dan TNI-AD, konflik antara PNI dan NU, pemberontakan DI/TII, Konflik antara PNI
dan NU dan adanya Mosi tidak percaya dari Masyumi. Akhirnya Ali harus mengembalikan
mandat pada presiden Soekarno pada 24 Juli 1955.
Kabinet Burhanuddin Harahap
Kabinet Burhanuddin Harahap merupakan kabinet koalisi yang terdiri dari beberapa
partai dan hampir merupakan kabinet Nasional, karena jumlah partai yang tergabung dalam
koalisi kabinet ini semua berjumlah 13 partai. Kabinet ini didominasi oleh partai Masyumi
walaupun terdapat banyak partai dalam kabinet ini, tetapi seakan-akan hanya menjadi
pelengkap saja. Selain itu, ada pihak yang menyebut kabinet ini sebagai kabinet Masyumi
karena Masyumi yang mendominasi kabinet ini. PNI tidak duduk kabinet ini, tetapi PNI
bersama-sama PIR Wongsonegoro, SKI, PKI dan Progresif bertindak sebagai oposisi.
Seakan-akan kabinet ini sebagai ganti kabinet Ali-Wongso-Arifin, karena pada masa Kabinet
Ali Sastroamidjojo I sebagai partai yang besar Masyumi untuk pertama kali tidak duduk
dalam kabinet tersebut dan bertindak sebagai oposisi. Kabinet ini diumumkan pada 11
Agustus 1955 dan bertugas sejak 12 Agustus 1955 hingga 3 Maret 1956.
Berbeda dengan Kabinet Ali sebelumnya yang bertugas selama dua tahun, Kabinet
Ali Sastroamidjojo 2 ini hanya mendapat mandat selama satu tahun saja, tepatnya pada
periode 24 Maret 1956 – 14 Maret 1957. Partai pendukung kabinet Ali Sastroamidjojo II
adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, dan Nahdatul Ulama (NU).
Kabinet Djuanda disebut juga Kabinet Karya adalah kabinet pemerintahan Indonesia
pimpinan Presiden Soekarno. Kabinet ini diumumkan pada 8 April 1957 dan bertugas sejak 9
April 1957 hingga 6 Juli 1959. Kabinet ini merupakan salah satu kabinet zaken.
Kabinet ini dikenal dengan nama kabinet Panca Karya dengan programnya:
Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada.
Dengan diumumkannya Dekrit Presiden, maka Indonesia kembali kepada UUD 1945
sedangkan UUDS sudah tidak berlaku lagi. Perubahan ini jelas sangat memberikan pengaruh
yang signifikan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sistem yang selama ini
menggunakan Parlementer, diganti dengan sistem presidensil. Sehingga dengan otomatis
ketika menggunakan sistem presidensil, maka Presiden memiliki peran sebagai kepala
Pemerintahan dan sekaligus juga sebagai kepala negara. Dan tentunya keberadaan Perdana
Menteri sudah tidak diperlukan lagi. Maka selanjutnya Djuanda dan Kebinetnya
mengembalikan mandat kepada Presiden sehingga Kabinet Djuanda pun berakhir.