Anda di halaman 1dari 36

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Indonesia

Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945,  adalah hukumdasar


tertulis (basic law), konstitusi pemerintahan negara Republik Indonesia saat ini. Istilah
konstitusi berasal dari bahasa Perancis yang berarti membentuk. Pemakaian istilah
konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu Negara atau menyusun dan
menyatakan suatu Negara. Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar merupakan
terjemahan istilah yang dalam bahasa Belandanya Grontwet. Perkataan Wet
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia undang-undang, dan Gront berarti tanah atau
dasar.

Menurut E.C.S. Wade dalam bukunya Constitutional Law, Undang Undang Dasar adalah naskah
yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok  dari badan pemerintahan suatu Negara dan
menentukan pokok-pokoknya cara kerja badan-badan tersebut.

Secara     etimologis     antara     kata     konstitusi, konstitusional dan konstitusionalisme inti


maknanya sama, namun penggunaan atau penerapan katanya berbeda. Konstitusi adalah
peraturan ketatanegaraan dalam hal ini  adalah subjek atau undang-undang dasar suatu
Negara, sedangkan tindakan objek konstitusi yang bertentangan dengan konstitusi disebut
tindakan konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme yaitu suatu paham mengenai
pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.

Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya


dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan, yaitu:
 Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama,
 Kesepaktan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau
penyelenggaraan negara, dan
 Kesepakatan tentang bentuk institusi dan prosedur ketatanegaraan.

Namun berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat, berdasarkan atas


kedaulatan yang dianut pada suatu negara. Jika suatu negara menganut paham demokrasi
maka sumber konstitusinya berasal dari rakyat, dan apabila yang berlaku adalah paham
kedaulatan Raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya konstitusi.
Konstitusi sangat berpengaruh terhadap pembentukan sistem politik dalam suatu Negara, selain
sebagai dokumen nasional konstitusi juga menjadi alat untuk membentuk sistem pemerintahan
yang ada. Oleh karena itu UUD biasanya secara umum akan memuat materi-materi tentang
sejarah perjuangan berdirinya suatu Negara dengan mewujudkan keinginan dan cita-cita para
tokoh bangsa baik masa sekarang maupun di masa akan datang serta pemikiran bagaimana
ketatanegaraan dalam Negara tersebut mampu membawa pada perkembangan yang lebih baik.
Pendapat ini dikemukan oleh seorang ahli hukum dari Belanda A.A.H. Struycken.

Karena banyaknya pengertian konstitusi menurut para ahli hukum tersebut disebabkan sudut
pandang yang berbeda yang juga tidak terlepas dari banyaknya klasifikasi konstitusi itu sendiri.
Oleh karena itu, seorang ahli konstitusi dari Inggris bernama K.C. Wheare setelah banyak
mengungkapkan secara panjang lebar mengenai konstitusi dan mengklasifikasikan konstitusi
sebagai berikut:
1. Konstitusi tertulis dan konstitusi bukan tertulis,
2. Konstitusi fleksibel dan konstitusi Rijid,
3. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi tidak derajat tinggi,
4. Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan,
5. Konstitusi sistem pemerintahan presidensiil dan konstitusi sistem pemerintahan
parlamenter.

Pada mulanya konstitusi tentunya kebanyakan bersifat tidak tertulis,  namun seiring
berkembangnya sistem hukum pemerintahan dunia menyebabkan adanya kodifikasi terhadap
hukum-hukum yang sebelumnya hanya sebuah kebiasaan dituangkan dalam sebuah kitab
undang-undang dan diiringi juga dengan pembentukan peraturan-peraturan yang sesuai dan
dibutuhkan pada masa pembuatan undang-undang, sehingga bersifat konkrit dan memiliki
kekuatan hukum. Namun, disamping itu ada juga di beberapa Negara yang menggunakan
konstitusi tidak tertulis dalam menegakkan hukum di Negara tersebut, seperti di Inggris, Israel,
dan New Zaeland.

James Bryce memberikan pemahaman tentang konstitusi fleksibel dengan melihat   keriteria  
cara   perubahan   terhadap   konstitusi   tersebut.  Menurutnya konstitusi yang mudah dalam
proses perubahan undang-undangnya disebut konstitusi fleksibel sedangkan yang susah dan
banyak persyaratan serta prosedur yang harus dilalui untuk mengubah suatu undang-undang
itulah yang disebut dengan konstitusi rijid.
Adapun ciri-ciri khusus dari konstitusi fleksibel menurut Bryce adalah; a. elastis, b. diumumkan
dan diubah dengan cara yang sama seperti undang-undang. Berbeda dengan ciri-ciri pokok
konstitusi yang rijid, meliputi; a. mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi dari
peraturan perundang-undangan yang lain, dan b. hanya dapat diubah dengan cara yang khusus
atau istimewa atau dengan persyaratan yang berat.

Dilihat dari ciri-ciri, kedudukan serta syarat untuk mengubah undang- undang tersebut konstitusi
rijid dapat disamakan dengan konstitusi derajat tinggi yang mana undang-undang ini
berkedudukan diatas peraturan perundang- undangan lainnya dan konstitusi derajat rendah
sama dengan konstitusi fleksibel.

Bentuk konstitusi serikat dan kesatuan ini sesuai dengan bentuk pemerintahannya, apabila suatu
Negara itu berbentuk serikat maka pembagian kekuasaannya adalah antara pemerintah Negara
serikat dengan Negara bagian dan masing-masing Negara memiliki konstitusi sendiri.
Sedangkan dalam Negara kesatuan pemerintahan terpusat pada satu pemerintah saja dan
konstitusinya yang bersifat satu untuk semua.

Sebagaimana halnya konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan yang tergantung pada bentuk
pemerintahannya maka pada konstitusi presidensiil dan konstitusi parlementer juga tergantung
pada jenis sistem pemerintahannya. Konstitusi ini mengikut pada ciri-ciri dan sifat sistem
pemerintahan yang berlaku.

Jadi, UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia termasuk pada konstitusi yang bersifat rijid, dan
berderajat tinggi, dengan bentuk konstitusi kesatuan dengan sistem presidensiil serta
memberlakukan konstitusi tertulis dan tidak tertulis.

UUD 1945 ini dirancang oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945. Pada masa sidang pertama yang
berlangsung dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan gagasan
tentang "Dasar Negara" yang diberi nama Pancasila. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota
BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam
Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak
kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk- pemeluknya" maka naskah
Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan  UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18
Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945
dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29
Agustus 1945.

Sebelum dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37
pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat berasal
dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan
Tambahan), serta Penjelasan.

UUD 1945 adalah konstitusi NKRI yang berdasarkan Pancasila, dengan tujuan negara seperti
yang termuat dalam pembukaan UUD 1945, yaitu : “melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan
keadilan soial”, bentuk susunan pemerintahan adalah kesatuan dengan kabinet presidensiil.
Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 ayat 1, undang-undang dasar
suatu negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar Negara itu. Yang dimaksud hanya
sebagian adalah karena selain UUD (hukum tertulis) juga berlaku hukum tidak tertulis. Sebagai
konstitusi negara Indonesia UUD 1945 berada di posisi tertinggi dalam tata urutan perundang-
undangan. Semua hukumyang berlaku di Indonesia haruslah sesuai dan berintisari dari UUD
1945. Akan tetapi biar bagaimanapun UUD 1945 adalah hukum yang di ciptakan manusia dan
tidak dapat dikatakan sempurna. Setidaknya telah ada 4 sejarah amandemen UUD 1945 dan
ada tiga macam UUD yang telah digunakan di Indonesia. Yang dimaksud ketiganya adalah UUD
1945, UUD RIS 1949, dan UUDS 1950. 

Ketiga  konstitusi tersebut berlaku dalam enam periode yang tercatat sebagai berikut:
1. Periode 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 berlaku UUD 1945;
2. Periode 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950 berlaku Konstitusi Republik
Indonesia Serikat (KRIS);
3. Periode 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959 berlaku UUDS 1950;
4. Periode Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai 22 Februari 1967 berlaku kembali UUD 1945
di bawah pemerintahan Orde Lama;
5. Periode 22 Februari 1967 sampai 21 Mei 1998 berlaku UUD 1945 di bawah
pemerintahan Orde Baru;
6. Periode 21 Mei 1998 sampai sekarang dengan era reformasi dan berkonstitusikan UUD
1945 yang telah di amandemen.

Beruntung saat ini kita tetap menggunakan produk pendiri bangsa kita sebagai konstitusi negara
yaitu UUD 1945. Namun dalam perjalanannya bangsa Indonesia semakin berkembang dan
memiliki kebutuhan yang lebih beragam lagi. UUD 1945 yang diposisikan sebagai dasar negara
ternyata memiliki beberapa kelemahan. Wajar saja karena dalam proses penyusunan UUD 1945
ini dilakukan dalam situasi kondisi genting, sama halnya seperti proses perumusan pancasila,
oleh karena itu keadaan dan perkembangan zaman menuntut untuk diadakan amandemen
terhadap UUD 1945.
BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum. Terbukti dengan adanya konstitusi yang berlaku di
Indonesia yaitu Undang – Undang Dasar 1945, seperti yang kita kenal saat ini. Tapi seolah-
olah warga negara Indonesia, tidak menganggap adanya UUD 1945 tersebut. Terbukti bahwa
mereka sangat tidak menghiraukan hukum, dengan melakukan berbagai macam
penyimpangan-penyimpangan hukum, baik hukum sosial, maupun Hak Asasi Manusia
(HAM).
Pengetahun ataupun materi tentang Undang-undang Dasar 1945 harus kita pelajari
sejak dini. Yang tentunya akan sangat bermanfaat bagi kita. Apalagi selaku tunas bangsa
yang nantinya akan ikut memimpin negeri ini harus mengetahui segala hal yang berkaitan
dengan kenegaraan termasuk Undang-undang Dasar 1945.
Sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memulai sejarahnya sebagai sebuah bangsa yang masih
muda dalam menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi negaranya. Landasan berpijaknya adalah
ideologi Pancasila yang diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri beberapa minggu sebelumnya dari penggalian
serta perkembangan budaya masyarakat Indonesia dan sebuah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pra Amandemen yang baru ditetapkan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945
oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) tersebut mengatur
berbagai macam lembaga negara dari Lembaga Tertinggi Negara hingga Lembaga Tinggi Negara. Konsepsi
penyelenggaraan negara yang demokratis oleh lembaga-lembaga negara tersebut sebagai perwujudan dari sila
keempat yang mengedepankan prinsip demokrasi perwakilan dituangkan secara utuh didalamnya. Kehendak
untuk mengejawantahkan aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan, untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Bung
Karno, pada pidatonya tanggal 01 Juni 1945. Muhammad Yamin juga mengemukakan perlunya prinsip
kerakyatan dalam konsepsi penyelenggaraan negara. Begitu pula dengan Soepomo yang mengutarakan idenya
akan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah dengan istilahBadan Permusyawaratan. Ide ini didasari
oleh prinsip kekeluargaan, dimana setiap anggota keluarga dapat memberikan pendapatnya.
Dalam rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, Soepomo menyampaikan bahwa ‘’Badan
Permusyawaratan’’ berubah menjadi ‘’Majelis Permusyawaratan Rakyat’’ dengan anggapan bahwa majelis ini
merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang mana anggotanya terdiri atas seluruh wakil rakyat,
seluruh wakil daerah, dan seluruh wakil golongan. Konsepsi Majelis Permusyawaratan Rakyat inilahang
akhirnya ditetapkan dalam Sidang PPKI pada acara pengesahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen).
Salah satu wewenang MPR hingga saat ini yaitu mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, anggota MPR tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan oleh
sekurang-kurangnya 1/3 (satu pertiga) dari jumlah anggota MPR. Setiap usul pengubahan diajukan secara
tertulis dengan menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan diubah beserta alasannya.
Usul pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan kepada
pimpinan MPR. Setelah menerima usul pengubahan, pimpinan MPR memeriksa kelengkapan persyaratannya,
yaitu jumlah pengusul dan pasal yang diusulkan diubah yang disertai alasan pengubahan yang paling lama
dilakukan selama 30 (tiga puluh) hari sejak usul diterima pimpinan MPR. Dalam pemeriksaan, pimpinan MPR
mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan pimpinan Kelompok Anggota MPR untuk membahas
kelengkapan persyaratan.
Jika usul pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR memberitahukan
penolakan usul pengubahan secara tertulis kepada pihak pengusul beserta alasannya. Namun, jika pengubahan
dinyatakan oleh pimpinan MPR memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR wajib menyelenggarakan
sidang paripurna MPR paling lambat 60 (enam puluh) hari. Anggota MPR menerima salinan usul pengubahan
yang telah memenuhi kelengkapan persyaratan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilaksanakan sidang
paripurna MPR.
Sidang paripurna MPR dapat memutuskan pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota
ditambah 1 (satu) anggota.

Selama kurun waktu sejak negara ini berdiri, UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan
(amandemen). Amandemen jelas bisa saja terjadi, dikarenakan peradaban manusia yang bisa
saja berubah. Maka dari itu amandemen dilakukan demi menyesuaikan kebutuhan manusia
berdasarkan zamannya.

Tujuan dan Manfaat                                                     


Adapun tujuan penulisan makalah Konstitusi dan Dasar Negara  ini adalah:
☻    Lebih meningkatkan pengetahuan tentang Konstitusi.
☻    Lebih mengetahui tentang UUD 1945
☻    Mengerti dan menghayati setiap butir-butir pasal yang terdapat pada Undang-Undang Dasar
1945.
☻    Meningkatkan rasa nasionalisme dan patriotisme terhadap NKRI.
☻    Menjadikan konstitusi NKRI ( UUD 1945 ) menjadi konstitusi yang kuat, kokoh, dan dapat
diterapkan oleh warga negara Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.
☻    Menyadarkan setiap warga negara agar hukum yang berlaku.
☻    Menjelaskan tentang kelemahan UUD 1945 Pasca-empat kali amandemen.
☻    Menjelaskan urgensi pembentukan Komisi Konstitusi sebagai upaya penguatan UUD 1945.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Konstitusi
Kontitusi itu berasal dari bahasa parancis yakni constituer yang berarti membentuk..
Dalam bahasa latin konstitusi berasal dari gabungan dua kata yaitu “Cume” berarti bersama
dengan dan “Statuere” berarti membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan, menetapkan
sesuatu, sehingga menjadi “constitution”. Dalam istilah bahasa inggris (constution) konstitusi
memiliki makna yang lebih luas dan undang-undang dasar. Yakni konstitusi adalah
keseluruhan dari peraturn-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur
secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu
masyarakat.  Dalam terminilogi hokum islam (Fiqh Siyasah) konstitusi dikenal dengan
sebutan DUSTUS yang berati kumpulan faedah yang mengatur dasar dan kerja sama antar
sesame anggota masyarakat dalam sebuah Negara.
Definisi Konstitusi menurut para ahli
 Herman Heller. Konstitusi mempunyai arti yang lebih luas daripada undang-undang
Dasar. Konstitusi tidah hanya bersifat yuridis, tetapi mengandung pengertian sosiologisdan
politis.
 Oliver Cromwell. Undang-undang Dasar itu merupakan “instrumen of govermen”,
yaitu bahwa Undang-undang dibuat sebagai pegangan untuk memerintah. Dalam arti ini,
Konstitusi identik dengan Undang-undang dasar.
 F. Lassalle. Konstitusi sesungguhnya menggambarkan hubungan antara kaekuasaan
yang terdapat didalam masyarakat seperti golongan yang mempunyai kedudukan nyata
didalam masyarakat, misalnya kepala negara, angkatan perang, partai politik, buruh tani,
pegawai, dan sebagainya.
 Prayudi Atmosudirdjo. Konstitusi adalah hasil atau produk sejarah dan proses
perjuangan bangsa yang bersangkutan, Konstitusi merupakan rumusan dari filsafat, cita-cita,
kehendak dan perjuangan suatu bangsa. Konstitusi adalah cermin dari jiwa, jalan pikiran,
mentalitas dan kebudayaan suatu bangsa.
 K. C. Wheare, konstitusi adalah keseluruhan sistem ketatanegaraaan suatu negara
yang berupa kumpulan peraturan yang membentuk mengatur /memerintah dalam
pemerintahan suatu negara.
 L.J Van Apeldoorn, konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun peraturan tak
tertulis.
 Koernimanto Soetopawiro, istilah konstitusi berasal dari bahasa latin cismeyang
berarti bersama dengan dan statute yang berarti membuat sesuatu agar berdiri. Jadi konstitusi
berarti menetapkan secara bersama.

2.2 Tujuan Konstitusi


Tujuan konstitusi yaitu:
1. Membatasi kekuasaan penguasa agar tidak bertindak sewenang – wenang maksudnya
tanpa membatasi kekuasaan penguasa, konstitusi tidak akan berjalan dengan baik dan bisa
saja kekuasaan penguasa akan merajalela Dan bisa merugikan rakyat banyak.
2. Melindungi HAM maksudnya setiap penguasa berhak menghormati HAM orang lain
dan hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya.
3. Pedoman penyelenggaraan negara maksudnya tanpa adanya pedoman konstitusi
negara kita tidak akan berdiri dengan kokoh.
 Fungsi Dan Ruang Lingkup Konstitusi

.      Fungsi UUD 1945


Sebagi Konstitusi tentulah UUD 1945 memiliki fungsi, bila dijabarkan fungsi UUD
1945 adalah sebagai berikut:
-           Sebagai sumber hukum dalam tertib hukum, merupakan perundang-undangan yang
tertinggi.
-        Sebagai alat kontrol bagi hukum yang berada di bawahnya.
-        Sebagai pedoman yang memberi arah bangsa.
-        Sebagai kerangka dasar dalam pembagian dan penyelenggaraan pemerintah negara.
Fungsi tersebut adalah suatu acuan dalam melakukan segala kehidupan berbangsa dan
keseimbangan dalam berprilaku bila diterapkan dengan baik.
            Dalam berbagai literature hokum tata Negara maupun ilmu politik ditegaskan bahwa
fungsi konstitusi adalah sebagai dokumen nasional dan alat untuk membentuk system politik
dan hokum Negara. Oleh karena itu ruang lingkup undang-undang dasar sebagai konstitusi
tertulis sebagaimana dikemukakan oleh A.A.HY Struycken memuat tentang :
1) Hasil perjuangan politik bangsa diwaktu lampau.
2) Tingkat-tingkat tinggi pembangunan ketatanegaraan bangsa.
3) Pandangan tokoh bangsa yang hendak di wujudkan, baik sekarang maupun masa yang akan
dating.
4) Suatu keinginan yang mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak
dipimpin.

Nilai konstitusi yaitu:
1. Nilai normatif adalah suatu konstitusi yang resmi diterima oleh suatu bangsa dan
bagi mereka konstitusi itu tidak hanya berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga nyata
berlaku dalam masyarakat dalam arti berlaku efektif dan dilaksanakan secara murni dan
konsekuen.
2. Nilai nominal adalah suatu konstitusi yang menurut hukum berlaku, tetapi tidak
sempurna. Ketidaksempurnaan itu disebabkan pasal – pasal tertentu tidak berlaku / tidsak
seluruh pasal – pasal yang terdapat dalam UUD itu berlaku bagi seluruh wilayah negara.
3. Nilai semantik adalah suatu konstitusi yang berlaku hanya untuk kepentingan
penguasa saja. Dalam memobilisasi kekuasaan, penguasa menggunakan konstitusi sebagai
alat untuk melaksanakan kekuasaan politik.
 Macam – macam konstitusi
1. Menurut CF. Strong konstitusi terdiri dari:
         Konstitusi tertulis (dokumentary constiutution / writen constitution) adalah aturan – aturan
pokok dasar negara , bangunan negara dan tata negara, demikian juga aturan dasar lainnya
yang mengatur perikehidupan suatu bangsa di dalam persekutuan hukum negara.
         Konstitusi tidak tertulis / konvensi (nondokumentary constitution) adalah berupa kebiasaan
ketatanegaraan yang sering timbul.

 Adapun syarat – syarat konvensi adalah:


1.      Diakui dan dipergunakan berulang – ulang dalam praktik penyelenggaraan negara.
2.      Tidak bertentangan dengan UUD 1945.
3.      Memperhatikan pelaksanaan UUD 1945.
4.      Secara teoritis konstitusi dibedakan menjadi:
         Konstitusi politik adalah berisi tentang norma- norma dalam penyelenggaraan negara,
hubungan rakyat dengan pemerintah, hubuyngan antar lembaga negara.
         Konstitusi
sosial adalah konstitusi yang mengandung cita – cita sosial bangsa, rumusan
filosofis negara, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik yang ingin dikembangkan
bangsa itu.

Berdasarkan sifat dari konstitusi yaitu: Konstitusi Fleksibel dan Konstitusi Kaku


1) Ciri-ciri konstitusi fleksibel yaitu
a. Elastic
b. Diumumkan dan diubah dengan cara yang sama.
2) Cirri-ciri konstitusi yang kaku
a. Mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi dan peraturan undang-undang yang lain.
b. Hanya dapat diubah dengan cara yang khusus, istimewa dan persyaratan yang berat.
Menurut Sri Sumantri konstitusi berisi 3 hal pokok yaitu
         Jaminan terhadap Ham dan warga negara.
         Susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental.
         Pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan.
Menurut Miriam Budiarjo, konstitusi memuat tentang
         Organisasi negara.
         HAM.
         Prosedur penyelesaian masalah pelanggaran hukum.
         Cara perubahan konstitusi.
Menurut Koerniatmanto Soetopawiro, konstitusi berisi tentang
         Pernyataan ideologis.
         Pembagian kekuasaan negara.
         Jaminan HAM (Hak Asasi Manusia).
         Perubahan konstitusi.
         Larangan perubahan konstitusi.
 Syarat terjadinya konstitusi yaitu:
1. Agar suatu bentuk pemerintahan dapat dijalankan secara demokrasi dengan
memperhatikan kepentingan rakyat.
2. Melindungi asas demokrasi.
3. Menciptakan kedaulatan tertinggi yang berada ditangan rakyat.
4. Untuk melaksanakan dasar negara.
5. Menentukan suatu hukum yang bersifat adil.
 Kedudukan konstitusi/UUD yaitu:
1. Dengan adanya UUD baik penguasa dapat mengetahui aturan / ketentuan pokok
mendasar mengenai ketatanegaraan.
2. Sebagai hukum dasar.
3. Sebagai hukum yang tertinggi.
 Perubahan konstitusi/UUD yaitu:
Secara revolusi, pemerintahan baru terbentuk sebagai hasil revolusi ini yang kadang – kadang
membuat sesuatu UUD yang kemudian mendapat persetujuan rakyat. Secara evolusi,
UUD/konstitusi berubah secara berangsur – angsur yang dapat menimbulkan suatu UUD,
secara otomatis UUD yang sama tidak berlaku lagi.
 Keterkaitan antara dasar negara dengan konstitusi yaitu:
Keterkaitan antara dasar negara dengan konstitusi nampak pada gagasan dasar, cita – cita dan
tujuan negara yang tertuang dalam pembukaan UUD suatu negara. Dasar negara sebagai
pedoaman penyelenggaraan negara secara tertulis termuat dalam konstitusi suatu negara.
 Keterkaitan konstitusi dengan UUD yaitu:
Konstitusi adalah hukum dasar tertulis dan tidak ter tulis sedangkan UUD adalah hukum
dasar tertulis. UUD memiliki sifat mengikat oleh karenanya makin elastik sifatnya aturan itui
makin baik, konstitusi menyangkut cara suatu pemerintahan diselenggarakan.
Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa konstitusi memiliki dua pengertian yaitu :
1. Konstitusi dalam arti sempit, yaitu sebagai hukum dasar yang tertulis atau undang-undang
Dasar.
2. Konstitusi dalan arti luas, yaitu sebagai hukum dasar yang tertulis atau undang-undang
Dasar dan hukum dasar yang tidak tertulis / Konvensi.
Konvensi sebagai aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan bearnegara mempunyai sifat :
 Merupakan kebiasaan yang berulangkali dalam prektek penyelenggaaraan Negara.
 Tidak beartentangan dengan hukum dasar tertulis/Undang-Undang Dasar dan
bearjalan sejajar.
 Diterima oleh rakyat negara.
 Bersifat melengkapi sehingga memungkinkan sebagai aturan dasar yang tidak
terdapat dalam Undang-undang Dasar.
Konstitusi sebagai hukum dasar memuat aturan-aturan dasar atau pokok-pokok
penyelenggaraan bernegara, yang masih bersifat umum atau bersifat garis besar dan perlu
dijabarkan lebih lanjut kedalam norma hukum dibawahnya.
Apabila dikaitkan dengan teori jenjang norma hukum dari Hans Nawiaski, maka dasar
negara pancasila sebagai Staatfundamentalnorm/norma fundamental negara, dan undang-
undang dasar negara 1945 sebagai staatgrundgesetz atau aturan dasar atau pokok negara.
Dahulu konstitusi digunakan sebagai penunjuk hukum penting biasanya dikeluarkan oleh
kaisar atau raja dan digunakan secara luas dalam hukum konon untuk menandakan keputusan
subsitusi tertentu terutama dari Paus.Konstitusi pada umumnya bersifat kondifaksi yaitu
sebuah dokumen yang berisian aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi
pemerintahan negara, namun dalam pengertian ini, konstitusi harus diartikan dalam artian
tidak semuanya berupa dokumen tertulis (formal). Namun menurut para ahli ilmu hukum
maupun ilmu politik konstitusi harus diterjemahkan termasuk kesepakatan politik, negara,
kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan dan distibusi maupun alokasi Konstitusi bagi
organisasi pemerintahan negara yang dimaksud terdapat beragam bentuk dan kompleksitas
strukturnya, terdapat konstitusi politik atau hukum akan tetapi mengandung pula arti
konstitusi ekonomi.
Konstitusi memuat aturan-aturan pokok (fundamental) yang menopang berdirinya suatu
negara. Terdapat dua jenis kontitusi, yaitu konstitusi tertulis (Written Constitution) dan
konstitusi tidak tertulis (Unwritten Constitution). Ini diartikan seperti halnya “Hukum
Tertulis” (geschreven Recht) yang termuat dalam undang-undang dan “Hukum Tidak
Tertulis” (ongeschreven recht) yang berdasar adat kebiasaan. Dalam karangan “Constitution
of Nations”, Amos J. Peaslee menyatakan hampir semua negara di dunia mempunyai
konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada.

2.3 Sejarah Perkembangan Konstitusi Dinegara Indonesia


Konstitusi sebagai satu kerangka kehidupan politik telah lama dikenal yaitu sejak
zaman yunani yang memiliki beberapa kumpulan hokum (semacam kitab hokum pada 624 –
404 SM) sehingga, sebagai Negara hokum Indonesia memiliki konstitusi yang dikenal
sebagai UUD 1945 yang telah dirancang sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juli 1945 oleh badan
penyelidik usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKU) yang mana tugas
pokok badan ini sebenarnya menyusun rancangan UUD. Namun dalam praktik
persidangannya berjalan berkepanjangan khususnya pada saat membahas masalah dasar
Negara.diakhir siding I BPUPKIberhasil membentuk panitia kecil yang disebut panitia
sembilang, panitia ini pada tanggal 22 juni 1945 berhasil mencapai kompromi untuk
menyetujui sebuah naskah mukhodimah UUD yang kemudian diterima dalam siding II
BPUPKI tanggal 11 Julu 1945. Setelah itu Ir. Soekarno membentuk panitia kecil pada tanggal
16 juli 1945 yang diketuai oleh Soepomo dengan tugas menyusun rancangan UUD dan
membentuk panitia persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang beranggotakan 21 orang.
Sehingga UUD atau konstitusi Negara republic Indonesia diatukan ditetapkan oleh PPKI
pada hari sabtu tanggal 18 Agustus 1945. Dengan demikian sejak itu Indonesia telah menjadi
suatu Negara modern karena telah memiliki suatu system ketatanegaraan yaitu dalam UUD
1945.
Dalam perjalanan sejarah, konstitusi Indonesia telah mengalami beberapa kali
pergantian baik nama maupun subtansi materi yang dikandungnya, yaitu :
1) UUD 1945 yang masa berlakunya sejak 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949.
2) Konstitusi republic Indonesia serikat yang lazim dikenal dengan sebutan konstitusi RIS (17
Desember 1949 – 17 Agustus 1950).
3) UUD 1950 (17 Agustus 1950 – 05 Juli 1959).
4) UUD 1945 yang merupakan pemberlakuan kembali konstitusi pertama Indonesia dengan masa
berlakunya sejak dekrit presiden 05 Juli 1959 – Sekarang.
2.4  Konstitusi Sebagai Piranti Kehidupan Negara Yang Demokrasi
Sebagaimana dijelaskan diawal, bahwa konstitusi berpesan sebagai sebuah aturan
dasar yang mengatur kehidupan dalam bernegara dan berbangsa maka aepatutnya konstitusi
dibuat atas dasar kesepakatan bersama antara negra dan warga Negara .
Kontitusi merupakan bagian dan terciptanya kehidupan yang demokratis bagi
seluruh warga Negara. Jika Negara yang memilih demokrasi, maka konstitusi demokratis
merupakan aturan yang dapat menjamin terwujudnya demokrasi dinegara tersebut. Setiap
konstitusi yang digolongkan sebagai konstitusi demokratis haruslah memiliki prinsip-prinsip
dasar demokrasi itu sendiri.

Amandemen UUD 1945


Konstitusi suatu negara pada hakekatnya merupakan hukum dasar tertinggi yang
memuat hal-hal mengenai penyelenggaraan negara, karenanya suatu konstitusi harus
memiliki sifat yang lebih stabil dari pada produk hukum lainnya. Terlebih lagi jika jiwa dan
semangat pelaksanaan penyelenggaraan negara juga diatur dalam konstitusi sehingga
perubahan suatu konstitusi dapat membawa perubahan yang besar terhadap sistem
penyelenggaraan negara. Bisa jadi suatu negara yang demokratis berubah menjadi otoriter
karena terjadi perubahan dalam konstitusinya.
Adakalanya keinginan rakyat untuk mengadakan perubahan konstitusi merupakan suatu
hal yang tidak dapat dihindari. Hal ini terjadi apabila mekanisme penyelenggaraan negara
yang diatur dalam konstitusi yang berlaku dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan aspirasi
rakyat. Oleh karena itu, konstitusi biasanya juga mengandung ketentuan mengenai perubahan
konstitusi itu sendiri, yang kemudian prosedurnya dibuat sedemikian rupa sehingga
perubahan yang terjadi adalah benar-benar aspirasi rakyat dan bukan berdasarkan keinginan
semena-mena dan bersifat sementara atau pun keinginan dari sekelompok orang belaka.
Sejak Proklamasi hingga sekarang telah berlaku tiga macam Undang-undang Dasar
dalam delapan periode yaitu :

1. Periode 18 Agustus 1945 – 27 desember 1949


2. Periode 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950
3. Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959
4. Periode 5 Juli 1959 – 19 Oktober
5. Periode 19 Oktober 1999 – 18 Agustus 2000
6. Periode 18 Agustus 2000 – 9 November 2001
7. Periode 9 November 2001 – 10 Agustus 2002
8. Periode 10 Agustus 2002 – sampai sekarang

Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) ditetapkan dan disahkan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945. UUD 1945 terdiri dari :
1. Pembukaan (4 alinea) yang pada alinea ke-4tercantum dasar negara yaitu Pancasila;
2. Batang Tubuh (isi) yang meliputi :
1.    16 Bab;
2.    37 Pasal
3.    4 aturan peralihan;
4.    2 Aturan Tambahan.
UUD 1945 digantikan oleh Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) pada
27 Desember 1949, pada 17 Agustus 1950 Konstitusi RIS digantikan oleh Undang-undang
Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945
dinyatakan berlaku kembali di Indonesia hingga saat ini. Hingga tanggal 10 Agustus 2002,
UUD 1945 telah empat kali diamandemen oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Perubahan UUD 1945 dilakukan pada :


1. Perubahan I diadakan pada tanggal 19 Oktober 1999; Pada amandemen ini, pasal-pasal
UUD 1945 yang diubah ialah 9 pasal yaitu: Pasal 5 ayat (1), 7, 9 ayat (1) dan (2), 13 ayat (2)
dan (3),14 ayat (1) dan (2), 15, 17 ayat (2) dan (3), 20 ayat (1), (2), (3) dan (4), 21 ayat (1).
Beberapa perubahan yang penting adalah :
a. Pasal 5 ayat (1) berbunyi : Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan DPR;
Diubah menjadi : Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.
b. Pasal 7 berbunyi : Presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun,
dan sesudahnya dapat dipilih kembali;
Diubah menjadi : Preseiden dan wakil presiden memegang jabatan selama limatahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa
jabatan.
c. Pasal 14 berbunyi : Presiden memberi grasi, amnesty, abolisi dan rehabilitasi
Diubah menjadi :
(1) Presiden memberi grasi dan rehabili dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung;
(2) Presiden memberi Amnesti dan Abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
d. Pasal 20 ayat 1 : Tiap-tiap Undang-udang menhendaki persetujuan DPR;
Diubah menjadi : DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-undang.

2. Perubahan II diadakan pada tanggal 18 Agustus 2000;


Pada amandemen II ini, pasal-pasal UUD 1945 yang diubah ialah 24 pasal yaitu:
Pasal 18 ayat (1) s/d (7), 18A ayar (1) dan (2), 18B ayat (1) dan (2), 19 ayat (1) s/d (3), 20
ayat (5), 20A ayat (1) s/d (4), 22A, SSB, 25A, 26 ayat (2) dan (3), 27 ayat (3), 28A, 28B ayat
(1) dan (2), 28D ayat (1) s/d (4), 28E ayat (1) s/d (3), 28F, 28G ayat (1) dan (2), 28H ayat (1)
s/d (4), 28I ayat (1) s/d (5), 28J ayat (1) dan (2), 30 ayat (1) s/d (5), 36A, 36B, 36C.

Beberapa perubahan yang penting adalah :


a. Pasal 20 berbunyi : Tiap-tiap Undang-undang menghendaki persetujuan DPR;
Diubah menjadi : Pasal 20A; DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan.
b. Pasal 26 ayat (2) berbunyi : Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan Negara ditetapkan
dengan Undang-undang Diubah menjadi : Penduduk ialah warga NegaraIndonesia dan
orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia
c. Pasal 28 memuat 3 hak asasi manusia diperluas menjadi 13 hak asasi manusia.

3. Perubahan III diadakan pada tanggal 9 November 2001;


Pada amandemen III ini, pasal-pasal UUD 1945 yang diubah ialah 19 pasal yaitu: Pasal 1
ayat (2) dan (3), 3 ayat (1) s/d (3), 6 ayat (1) s/d (3), 6A ayat (1), (2), (3) dan (5), 7A, 7B ayat
(1) s/d (7), 7C, 8 ayat (1) s/d (3), 11 ayat (2) dan (3), 17 ayat (4), 22C ayat (1) s/d (4), 22D
ayat (1) s/d (4), 22E ayat (1) s/d (3), 23F ayat (1) dan (2), 23G ayat (1) dan (2), 24 ayat (1)
dan (2), 24A ayat (1) s/d (5), 24B ayat (1) s/d (4), 24C ayat (1) s/d (6). Beberapa perubahan
yang penting adalah :

a. Pasal 1 ayat (2) berbunyi : Kedaulatan adalah ditanag rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh
MPR
Diubah menjadi : Kedaulatan berada di tanagn rakyat dan dilaksanakan menurut UUD
b. Ditambah Pasal 6A : Presiden dan wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat
c. Pasal 8 ayat (1) berbunyi : Presiden ialah orang Indonesai asli;
Diubah menjadi : Calon Presiden dan wakil Presiden harus warga negara Indonesiasejak
kelahirannya
d. Pasal 24 tentang kekuasaan kehakiman ditambah:
1. Pasal 24B: Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung

3.      Pasal 24C : mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD (dan menurut
amandemen IV) UUD 1945, Komisi dan Konstitusi ditetapkan dengan ketentuan MPR
bertugas mengkaji ulang keempat amandemen UUD 1945 pada tahun 2003
4. Perubahan IV diadakan pada tanggal 10 Agustus 2002 Pada amandemen IV ini, pasal-
pasal UUD 1945 yang diubah ialah 17 pasal yaitu: pasal-pasal : 2 ayat (1), 6A ayat (4), 8 ayat
(3), 11 ayat (1), 16 23B, 23D, 24 ayat (3), 31 ayat (1) s/d (5), 32 ayat (1) dan (2), 33 ayat (4)
dan (5), 34 ayat (1) s/d (4), 37 ayat (1) s/d (5), Aturan Peralihan Pasal I s/d III, aturan
Tambahan pasal I dan II. Beberapa perubahan yang penting adalah :
a. Pasal 2 ayat (1) berbunyi : MPR terdiri atas anggota-anggota dan golongan-golongan menurut
aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang;
Diubah menjadi : MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui Pemilihan
Umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
b. Bab IV pasal 16 tetang Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dihapus. Diubah
menjadi :Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan
nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam Undang-undang
c. Pasal 29 ayat (1) berbunyi : Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal ini tetap
tidak berubah (walaupun pernah diusulkan penambahan 7 kata : dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya)
d. Aturan Peralihan Pasal III : Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17
Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa amandemen I,II,III dan IV terhadap UUD
1945, maka sejak 10 Agustus 2002 Ketatanegaraan Republik Indonesia telah mengalami
perubahan sebagai berikut :

a. Pasal 1 ayat (2): MPR bukan lagi pemegang kedaulatan (kekuasaan tertinggi) di Indonesia,
melainkan rakyat Indonesia yang memegang kedaulatan, MPR bukan Lembaga tertinggi
Negara lagi. MPR, DPR, dan Presiden yang bertanggung jawab kepada rakyat melalui
Pemilihan Umum. Presiden dan Wakil Presiden yang melangar hukum tidak akan terpilih
dalam pemilihan umum yang akan datang.

b. Pasal 2 ayat (1): MPR terdiri dari :


1. Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representatives : di Amerika Serikat)
2. Dewan Perwakilan Daerah (Senate : di Amerika Serikat)
MPR merupakan lembaga yang memiliki dua badan (Bicameral) seperti di Amerika
Serikat; Anggota DPR dipilih dalam pemilihan umum oleh seluruh rakyat, sedangkan DPD
dipilih oleh rakyat di daerah (Provinsi) masing-masing. Dengan ditetapkannya DPR dan DPD
sebagai anggota MPR, maka utusan golongan termasuk TNI/POLRI dihapuskan dari MPR.
Selain itu, MPR bukan lagi pemegang kedaulatan (kekuasaan tertinggi) di Indonesia,
melainkan rakat Indonesia yang memegang kedaulatan.

c. Pasal 5 ayat (1): Presiden bukan lagi pembentuk undang-undang, tetapi berkedudukan sebagai
Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan (Lembaga Eksekutif, Pemerintahan/Pelaksana
Undang-undang)

d. Pasal 6 ayat (1) dan 6A: Presiden Indonesia tidak harus orang Indonesia asli, tetapi calon
Presiden dan Wakil Presiden harus warga Negara Indonesia sejak kelahirannya. Presdien dan
Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat (bukan secara tidak langsung oleh MPR,
sedangkan DPR dipilih rakyat)
e. Pasal 7: Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat memegang jabatan selama paling lama 2 x
5 tahun : 10 tahun (dahulu Presiden memegang jabatan selama lebih dari 30 tahun, bahkan
seumur hidup).
f. Pasal 14: Presiden memberi : 
    Grasi dan Rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung

Kelemahan Hasil Amandemen UUD 1945


Setelah empat kali melakukan amandemen UUD 1945, yang sejatinya dilakukan
untuk menutupi kelemahan sebelumnya namun ternyata hasil dari amandemen tersebut
menimbulkan beberapa kelemahan lagi. Hal ini menyebabkan terjadi pengelompokan sikap
masyarakat. Satu kelompok menghendaki UUD 1945 dikembalikan kepada yang asli,
kelompok lainnya menginginkan diadakan lagi perubahan atau amendemen kelima UUD
1945, dan kelompok terakhir tetap pada UUD 1945 pasca-amendemen.
Ada beberapa faktor menyangkut kelemahan UUD 1945 pasca-amendemen. Pertama,
adanya kekaburan dan inkonsistensi teori dan materi muatan UUD 1945. Kedua, kekacauan
struktur dan sistematisasi pasal-pasal UUD 1945. Ketiga, ketidaklengkapan konstitusi dan
pasal-pasal yang multi-interpretatif, yang menimbulkan instabilitas hukum dan politik.
Dalam hal ini, Komisi Konstitusi yang dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR No
1/2002 dan Keputusan MPR No 4/2003 dengan tugas melakukan pengkajian secara
komprehensif tentang perubahan UUD NKRI Tahun 1945 oleh MPR, juga menyebutkan hal
sama. Setelah bertugas selama tujuh bulan dan menyerahkan hasil kerjanya, berupa Naskah
Kajian Akademis Perubahan UUD NKRI Tahun 1945 dan Naskah Perubahan UUD NKRI
Tahun 1945 kepada Ketua MPR Amien Rais pada 24 April 2003, Komisi Konstitusi
menyatakan terdapat 31 butir kekurangan, kelemahan, dan ketidaksempurnaan UUD 1945
pasca-amendemen.
Dimulai dengan tawar-menawar atau bargaining, kompetisi, dan kompromi politik
berdasarkan kepentingan politik fraksi-fraksi di MPR dalam empat kali amandemen UUD
1945. Contohnya ketika MPR mulai membicarakan lembaga DPD, tanggal 7 November
2001, sebanyak 190 anggota MPR menyatakan tidak setuju terhadap lembaga DPD. Mereka
lebih memilih untuk tetap pada struktur ketatanegaraan UUD 1945 yang berdasarkan negara
kesatuan dengan sistem satu kamar atau uni-cameral.
Ketidaksetujuan itu disebabkan adanya kekhawatiran bahwa lembaga DPD akan
merubah struktur negara kesatuan menjadi negara federal dengan sistem dua kamar atau bi-
cameral. Padahal, banyak negara kesatuan atau unitary state di dunia mempunyai sistem
perwakilan dua kamar. Lalu, kompromi politik menghasilkan rumusan Pasal 22D UUD 1945
di mana kewenangan dan kekuasaan DPD, sebagai spatial representation, tidak seimbang dan
bersifat asimetrik dengan kewenangan DPR. Hal ini disebut sistem dua kamar yang lunak
atau soft bi-cameral.z
Kewenangan dan kekuasaan DPD, sesuai dengan sistem checks and balances
seharusnya bersifat seimbang dan simetrik dengan DPR dalam sistem perwakilan dua kamar
yang seimbang atau balanced bi-cameral. Dengan pertimbangan bahwa DPD, yang
anggotanya dipilih melalui sistem distrik dengan keanggotaan majemuk atau multi-member
district, dapat menjalankan fungsi integrasi sesuai Sila Ketiga Pancasila, yakni Persatuan
Indonesia, dengan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam koridor NKRI.
Selanjutnya, ketidaksempurnaan UUD 1945 pascaperubahan, berdasarkan fenomena
dominasi kekuasaan DPR atau legislative heavy. Salah satu bukti adalah Pasal 13 ayat (3)
UUD 1945, yakni Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan
pertimbangan DPR. Biasanya kewenangan menerima duta negara lain adalah domain
eksekutif atau Presiden, maka ketentuan adanya pertimbangan DPR menunjukkan dominasi
kekuasaan DPR yang telah memasuki domain Presiden.
Kemudian inkonsistensi dan kekaburan teori UUD 1945 yang berhubungan dengan
sistem pemerintahan presidensial. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang
berisikan, “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang
tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan”.
Pasal ini, bersifat inkonsisten dan kabur, sebab dalam sistem pemerintahan
presidensial segenap legislasi (pembuatan UU) merupakan wewenang badan legislatif.
Sehingga Presiden tidak mengambil keputusan terhadap hasil akhir legislasi walaupun
Presiden berhak mengajukan suatu RUU kepada DPR dan DPD untuk sektor hubungan pusat
dan daerah.
Oleh karena itu, Presiden berhak menolak RUU atau hak veto, dengan ketentuan
bahwa bobot keputusan parlemen yang menentukan validitas dari RUU tersebut. Misalnya,
dengan 2/3 dukungan suara di DPR atau 2/3 suara pada masing-masing kamar untuk
menghasilkan rancangan undang-undang yang tidak boleh ditolak oleh Presiden. Oleh sebab
itu, bisa dikatakan bahwa Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 adalah legislative heavy.
Selanjutnya, masalah penyebutan dengan perubahan atau amandemen UUD 1945
yang berarti mengubah pasal-pasal tertentu tanpa mengubah teks asli, tetapi memberi
tambahan terhadap pasal-pasal yang sudah ada. Seperti diketahui, setelah dilakukan
perubahan oleh MPR, dari 37 Pasal UUD 1945, ditambah empat pasal Aturan Peralihan dan
dua ayat Aturan Tambahan serta Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal demi Pasal UUD
1945 yang diputuskan oleh Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18
Agustus 1945, hanya 6 pasal (sekitar 16,21%) yang belum diubah.
Pasal-pasal tersebut adalah, 1) Pasal 4 tentang Presiden memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang Undang Dasar; 2) Pasal 10 tentang Presiden memegang
kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara; 3) Pasal
12 tentang kewenangan Presiden menyatakan keadaan bahaya; 4) Pasal 22 tentang
kewenangan Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang; 5)
Pasal 25 tentang syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim; dan 6)
Pasal 29 tentang agama.
Sedangkan pasal-pasal yang diubah berjumlah 31 Pasal (83,79%) ditambah dengan
pasal-pasal baru dengan sistem penomoran pasal lama ditambah huruf A, B, C, D, dan
seterusnya beserta ayat-ayat yang baru dalam pasal-pasal lama. Dengan pasal-pasal baru yang
berjumlah 36 pasal atau 97,30% dari UUD 1945 asli, patut dipersoalkan bahwa MPR telah
mengganti konstitusi lama dengan yang baru, dan bukan amandemen UUD 1945.
Kemudian, masalah inkonsistensi yang menyangkut bagian mana dari UUD 1945
pasca-amandemen yang tidak dapat diubah atau dapat diubah dengan persyaratan tertentu.
Dalam UUD 1945 pasca-amandemen yang tidak dapat diubah adalah hanya bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini berarti bahwa terhadap landasan dasar filosofis
kehidupan bangsa dan negara yakni Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, secara teoritis,
terbuka penafsiran untuk dapat diubah sekalipun diperlukan persyaratan sesuai Pasal 37 ayat
(1) UUD 1945, karena Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 tidak mencantumkannya. Sedangkan,
Pembukaan UUD 1945 yang berisikan Pancasila, adalah perjanjian luhur bangsa atau pacta
sunt seranda.
Kelemahan, kekurangan, dan ketidaksempurnaan yang bersifat mendasar dari UUD
1945 pasca-amandemen itulah yang menyebabkan UUD 1945 tidak bisa berlaku sebagai
konstitusi yang hidup, yang berlaku puluhan tahun ke depan. Oleh karena itu dibutuhkan
sebuah solusi untuk mencegah kelemahan-kelemahan ini kembali bermunculan di masa yang
akan datang, karena tidak menutup kemungkinan amandemen UUD 1945 kembali akan
dilakukan. Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah dengan membentuk Komisi
Konstitusi dalam membuat draft konstitusi sebelum dibahas dalam rapat paripurna MPR.

Pembentukan Komisi Konstitusi Sebagai Upaya Penguatan UUD 1945


Selama ini MPR dalam membahas dan memutuskan perubahan UUD
1945sebelumnya tidak membuat dan memiliki content draft konstitusi secara utuh sebagai
langkah awal yang menjadi dasar perubahan (preliminary) yang dapat ditawarkan kepada
publik untuk dibahas dan diperdebatkan. Content draft yang didasari paradigma yang jelas
yang menjadi kerangka (overview) tentang eksposisi ide-ide kenegaraan yang luas dan
mendalam mengenai hubungan Negara dengan warga negara, negara dan agama, negara
dengan Negara hukum, negara dalam pluralitasnya, serta negara dengan sejarahnya. Juga
eksposisi yang mendalam tentang esensi demokrasi, apa syaratnya dan prinsip-prinsipnya
serta check and balancesnya bagaimana dilakukan secara mendalam.
MPR lebih menekankan perubahan itu dilakukan secara adendum, dengan memakai
kerangka yang sudah ada dalam UUD 1945. Cara semacam ini membuat perubahan itu
menjadi parsial, sepotong-sepotong dan tambal sulam saja sifatnya. MPR tidak  berani keluar
dari kerangka dan sistem nilai UUD 1945 yang relevansinya sudah tidak layak lagi
dipertahankan. Proses Amandemen secara parsial seperti diatas tidak dapat memberikan
kejelasan terhadap konstruksi nilai dan bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk.
Sehingga terlihat adanya paradoks dan inkonsistensi terhadap hasil-hasilnya yang telah
diputuskan. Hal ini bisa dilihat dari pasal-pasal yang secara redaksional maupun
sistematikanya yang tidak konsisten satu sama lain. Seperti misalnya, penetapan prinsip
sistem Presidensial namun dalam elaborasi pasal-pasalnya menunjukkan sistem Parlementer
yang memperkuat posisi dan kewenangan MPR/DPR.
Selain itu MPR yang dikarenakan keanggotaannya terdiri dari fraksi-fraksi politik
menyebabkan dalam setiap pembahasan dan keputusanamat kental diwarnai oleh kepentingan
politik masing-masing.Fraksi-fraksi politik yang ada lebih mengedepankan kepentingandan
selera politiknya dibandingkan kepentingan bangsa yang lebihluas. Hal ini dapat dilihat dari
pengambilan keputusan finalmengenai Amandemen UUD 1945 dilakukan oleh
sekelompok kecil elit fraksi dalam rapat Tim Lobby dan Tim Perumus tanpaadanya risalah
rapat.
Mengapa hal itu terjadi? Penulis berpendapat, di samping kepentingan politik fraksi-
fraksi di MPR ditambah beberapa faktor seperti minimnya pengalaman para anggota MPR,
juga akibat tidak adanya kerangka acuan dan/atau naskah akademik yang dipersiapkan
dengan matang oleh suatu Tim Pembuat Draft Amandemen yang terdiri dari para ahli
konstitusi dan ahli-ahli lainnya serta wakil-wakil dari daerah.

K.C. Wheare, seorang ahli hukum konstitusi Inggris, menjelaskan tentang arti penting
konstitusi berderajat tertinggi atau supreme constitution. Pada intinya, kedudukan konstitusi
dilihat dari aspek hukum mempunyai derajat tertinggi atau supremasi. Dasar pertimbangan
supremasi konstitusi terdapat beberapa hal, yakni: 1) konstitusi dibuat oleh Badan Pembuat
Undang-Undang Dasar; 2) konstitusi dibentuk atas nama rakyat, berasal dari rakyat, kekuatan
berlakunya dijamin oleh rakyat, dan ia harus dilaksanakan langsung kepada masyarakat untuk
kepentingan mereka; dan 3) konstitusi ditetapkan oleh lembaga atau badan yang diakui
keabsahannya.
Mencermati diktum pertama dasar pertimbangan supremasi konstitusi di atas, bahwa
untuk melakukan perubahan UUD 1945 merupakan sesuatu yang bersifat spesifik. Untuk
membuatnya haruslah ditangani oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan dan
kompetensi untuk itu, dilakukan seleksi yang ketat oleh MPR secara terbuka, transparan, dan
diketahui oleh publik. Jadi perubahan UUD 1945 tidak ditangani oleh MPR, karena
keterlibatan unsur partisan akan menjadikan setiap proses pembicaraan sebagai wahana untuk
mendesakkan kepentingan masing-masing. Mereka lupa untuk memikirkan kepentingan
rakyat, dan tak jarang pula menimbulkan berbagai konflik. Sebagai solusi terhadap perubahan
konstitusi haruslah deserahkan kepada Komisi Konstitusi atau Constitutional
Commission yang independen, sehingga kata “dibuat” dalam diktum pertama akan terpenuhi.
Sejalan dengan adanya Komisi Konstitusi, Haysom mengemukakan adanya empat
proses pembuatan konstitusi yang demokratis, yaitu: 1) by a democratically constituted
assembly; 2) by a democratically elected parliament; 3) by a popular referendum; dan 4) by
a popularly supported constitutional commission.

Dengan cara keempat, sebagai salah satu proses pembuatan konstitusi di atas,
merupakan konstitusi yang kokoh bagi suatu negara konstitusional (constitutional state) yang
mampu menjamin suatu demokrasi yang berkelanjutan (a sustainable democracy), juga harus
merupakan konstitusi yang legitimate, dalam arti proses pembuatannya harus secara
demokratis, diterima dan didukung sepenuhnya oleh seluruh komponen masyarakat dari
berbagai aliran dan faham, aspirasi, dan kepentingan.
Untuk dapat menjalankan tugasnya dengan efektif, Komisi Konstitusi harus memiliki
tugas dan wewenang, yaitu: a) melakukan penyelidikan dalam rangka penyusunan naskah
konstitusi; b) melakukan upaya-upaya untuk memperoleh masukan dari publik dan lembaga-
lembaga negara; c) menyusun masukan di masyarakat menjadi naskah rancangan konstitusi
secara komprehensif untuk disahkan; dan d) melakukan sosialisasi naskah rancangan
konstitusi kepada publik.
Dimasukkannya tugas dan wewenang Komisi Konstitusi untuk melakukan
penyelidikan dalam rangka penyusunan konstitusi dan untuk merumuskan naskah konstitusi,
merupakan tujuan utama dari pembentukan komisi ini. Tugas dan wewenang untuk
melakukan upaya guna menerima masukan dan sosialisasi naskah pada publik, dimaksudkan
untuk melibatkan secara aktif peran-serta masyarakat dalam penyusunan konstitusi.
Sementara itu, keanggotaan Komisi Konstitusi harus terdiri atas: 1) pakar dari
berbagai disiplin ilmu; 2) perwakilan dari tiap daerah di Indonesia. Secara keseluruhan,
anggota Komisi Konstitusi haruslah non-partisan, dengan komposisi yang mencerminkan
kesetaraan jender, keadilan agama dan etnis, serta mengakomodasi unsur dan kepentingan
daerah.
Keanggotaan Komisi Konstitusi di atas, diyakini dapat menjembatani secara optimal
mayoritas kepentingan-kepentingan rakyat Indonesia terhadap materi muatan konstitusi yang
akan dibuat, sekaligus meminimalisasi materi muatan konstitusi yang berorientasi jangka
pendek dan sarat kepentingan sekelompok orang atau golongan.
Komisi Konstitusi harus mendapatkan legitimasi yang kuat, baik secara konstitusional
maupun oleh rakyat, demikian pula hasilnya. Seleksi Ketua dan Angota Komisi Konstitusi –
diangkat oleh MPR dalam Sidang Tahunan – melalui proses yang transparan, partisipatif, dan
akuntabel. Waktu pelaksanaan seleksi harus memadahi, tidak terlalu singkat, untuk
mengoptimalkan partisipasimasyarakat.

         Komisi Konstitusi ini diangkat oleh MPR dengan pertimbangan, bahwa MPR
merupakan lembaga yang berwenang untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang
Dasar, berdasarkan atas ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan.

           

PENUTUP

Kesimpulan
            Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
            Konstitusi adalah hukum dasar tertulis ataupun hukum dasar tak tertulis. Konstitusi
yang berlaku di Indonesia saat ini adalah Undang-undang 1945 yang dibentuk sejak
Indonesia sukses memproklamasikan kemerdekaannya. Karena Indonesia ingin berdiri
sendiri sebagai suatu negara yang mengurus rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan
negara lain.

            Dengan terjadinya perkembangan sistem kenegaraan, maka baik perubahan,


pertambahan, maupun pengurangan, atau yang biasa disebut amandemenpun dilakukan
terhadap isi UUD 1945. Hingga akhirnya menjadi Undang-undang Dasar 1945 Hasil
Amandemen.1.      Setelah empat kali melakukan amandemen UUD 1945, yang sejatinya dilakukan untuk
menutupi kelemahan sebelumnya namun ternyata hasil dari amandemen tersebut menimbulkan beberapa
kelemahan lagi. Hal ini menyebabkan terjadi pengelompokan sikap masyarakat. Satu kelompok menghendaki
UUD 1945 dikembalikan kepada yang asli, kelompok lainnya menginginkan diadakan lagi perubahan atau
amendemen kelima UUD 1945, dan kelompok terakhir tetap pada UUD 1945 pasca-amendemen.
                        Ada beberapa faktor menyangkut kelemahan UUD 1945 pasca-amendemen. Pertama, adanya

kekaburan dan inkonsistensi teori dan materi muatan UUD 1945. Kedua, kekacauan struktur dan sistematisasi
pasal-pasal UUD 1945. Ketiga, ketidaklengkapan konstitusi dan pasal-pasal yang multi-interpretatif, yang
menimbulkan instabilitas hukum dan politik.
 Selama ini MPR dalam membahas dan memutuskan perubahan UUD 1945 sebelumnya tidak membuat

dan memiliki content draft konstitusi secara utuh sebagai langkah awal yang menjadi dasar perubahan
(preliminary) yang dapat ditawarkan kepada publik untuk dibahas dan diperdebatkan.
 Sebagai solusi terhadap perubahan konstitusi haruslah deserahkan kepada Komisi Konstitusi

atauConstitutional Commission yang independen, sehingga kata “dibuat” dalam diktum “konstitusi dibuat oleh
Badan Pembuat Undang-Undang Dasar” akan terpenuhi.

B.     Saran
Setelah menyimpulkan hasil pembahasan dari makalah ini berdasarkan teori-teori yang ada, maka
Kami mencoba untuk memberikan masukan atau saran sebagai berikut:
1.                  Bagi pemerintah,  kami menyarankan agar berhati-hati dalam melakukan perubahan ataupun melaksanakan
Undang-Undang agar tetap terjalin keselarasan antara Dasar Negara dan Konstitusi.
2             Bagi pembaca, kami menyarankan agar dapat mengambil hal-hal positif dari makalah ini untuk pembelajaran
dan lebih banyak membaca buku yang berkaitan dengan Dasar Negara dan Konstitusi agar lebih memahami
makna dari kedua hal tersebut.
Demikianlah makalah yang berjudul ‘Konstitusi dan UUD 1945’ ini kami tulis dengan harapan dapat
menjadi manfaat bagi setiap pembaca khususnya penulis. Bila ada kesalahan dalam penulisan makalah ini saya
memohon maaf, karena tidak ada manusia yang sempurna dalam mengerjakan apapun.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
          Pengertian konstitusi, dalam praktik dapat berarti lebih luas dari pada UUD, tetapi ada juga
yang menyamakan dengan pengertian UUD. Bagi para sarjana ilmu politik istilah constitutin
merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-perturan baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara bagaimana suatu pemerintahan
diselenggarakan dalam suatu masyarakat.
          Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar tertulis yang menjadi dasar semua undang-
undang dan peraturan lain dalam suatu negara yang mengatur bentuk, sistem pemerintahan,
pembagian kekuasaan, wewenang badan-badan pemerintahan,dll.
          Keterkaitan konstitusi dengan UUD yaitu konstitusi adalah hukum dasar tertulis dan tidak ter
tulis sedangkan UUD adalah hukum dasar tertulis. UUD memiliki sifat mengikat oleh karenanya makin
elastik sifatnya aturan itu makin baik, konstitusi menyangkut cara suatu pemeritahan diselenggarakan
          Konstitusi model Amerika (yang tertulis) sekaligus dapat dikatakan “Abad UUD” dimulai dengan
diundangkannya UUD tertulis yang pertama yaitu UUD Amerika Serikat pada tahun 1789 dan
deklarasi francis tentang hak-hak manusia dan warga negara 1789. Kedua dokumen tersebut selain
memberikan model yang kemudian diikuti oleh para perancng UUD yang lain, dalam hal bentuk
maupun substansi, juga memberikan berbagai wawasan mengenai mengapa dan bagaimana UUD
harus ada yang  kemudian diikuti oleh berbagai konstitusi tertulis di berbagai negara di Eropa.
Undang-Undang Dasar berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa
yang selanjutnya ditentukan sebagai ideologi yang melandasi negara. UUD menentukan cara-cara
bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini melakukan kerjasama dan menyesuaikan diri satu sama lain;
UUD merekam hubungan kekuasaan dalam suatu negara.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD
1945 atau UUD '45, adalah hukum dasar tertulis (basiclaw), konstitusi pemerintahan negara Republik
Indonesiasaat ini.

1.2         Rumusan Masalah
1.    Bagaimana peranan konstitusi dan Undang-Undang Dasar dalam praktik ketatanegaraan
2.    Bagaimana peranan konvensi dalam praktik ketatanegaraan
3.    Seperi apa Undang-Undang yang berlaku di Indonesia

1.3     Tujuan Penulisan
1.    Mendeskripsikan  peranan konstitusi dan Undang-Undang Dasar dalam praktik ketatanegaraan
2.    Mendeskripsikan peranan konvensi dalam praktik ketatanegaraan
3.    Mendeskripsikan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.

 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Sejarah Pertumbuhan Konstitusi


          Secara etimologis antara kata” konstitusi” ,”konstitusional”, dan,”konstitusionalisme” inti
maknanya sama, namun penggunaan atau penerapannya berbeda. Konstitusi adalah segala
ketentuan da aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-undang Dasar, dan sebagainya), atau
Undang-Undang Dasar suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang
maupun penguasa berupa kebijakan yang didasarkan atau tidak menyimpangi konstitusi, berarti
tindakan ( kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitualisme,
yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak – hak rakyat melalui
konstitusi.
          Catatan historis timbulnya negara konstitusional, sebenarnya merupakan proses sejarah yang
panjang dan selalu menarik untuk dikaji. Konstitusi sebagai suatu kerangka kehidupan politik telah
disusun melalui dan oleh hukum, yaitu sejak jaman sejarah Yunani, di mana mereka telah mengenal
beberapa kumpulan hukum (secara kitab hukum). Pada masa kejayaannya ( antara tahun 624-404
S.M.) Athena pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Koleksi Aristoteles sendiri berhasil
terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai negara.
          Pemahaman awal tentang”konstitusi” pada masa itu, hanyalah merupakan suatu kumpulan dari
peraturan serta adat kebiasaan semata-mata. Kemudian pada masa kekaisaran Roma, pengertian
constitusionnes memperoleh tambahan arti sebagai suatu kumpulan ketentuan serta peraturan yang
dibuat oleh para kaisar atau para preator. Termasuk didalamnya pernyataan-pernyataan pendapat
dari para ahli hukum/negarawan, serta adat kebiasaan setempat, disamping undang-undang.
Konstitusi Roma mempunyai pengaruh cukup besar sampai abad pertengahan. Dimana konsep
tentang kekuasaan tertinggi (ultimate power) dari para kaisar Roma, telah menjelma dalam bentuk
L’Etat general di prancis, bahkan kegandrungan orang Romawi akan ordo et unitas telah memberikan
inspirasi bagi tumbuhnya paham:” demokrasi perwakilan” dan “Nasionalisme” . dua paham inilah
merupakan cikal bakal munculnya paham konstitusionalisme modern.
          Pada zaman abad pertengahan, corak konstitusionalismenya bergeser kearah feodalisme.
Sistem feodal ini mengandung suatu pengertian bahwa tanah dikuasai oleh para tuan tanah. Suasana
seperti ini dibarengi oleh adanya keyakinan bahwa setiap orang harus mengabdi pada salah satu
tuan tanahnya. Sehingga raja yang semestinya mempunyai status lebih tinggi dari pada tuan tanah,
menjadi tidak mendapat tempat.
          Pada abad VII (zaman klasik) lahirlah piagam/konstitusi Madinah. Piagam Madinah adalah
konstitusi Negara Madinah yang dibentuk pada awal masa klasik islam, tepat nya sekitar tahun 622
M.
          Di Eropa kontinental, pihak rajalah yang memperoleh kemenangan yaitu ditandai dengan
semakin kokohnya absolutisme, khususnya di Prancis, Rusia, Prusia, dan Austria pada abad  ke 15.
Gejala ini dimahkotai oleh ucapan L’Etat C’est moi-nya Louis XIV (1638-1715) dari Prancis.
          Lain halnya dengan di inggris, kaum bangsawanlah yang mendapat kemenangan dan sebagai
puncak kemenangannya di tandai dengan pecahnya The Glorious Revolution (1688). Kemenangan
kaum bangsawan dalam revolusi istana ini telah menyebabkan berakhirnya absolutisme di inggris,
serta munculnya parlemen sebagai pemegang kedaulatan. Pada akhirnya, 12 negara koloni inggris
mengeluarkan Declarations of  Independence dan menetapkan konstitusi-konstitusinya sebagai dasar
negara yang berdaulat yaitu tepatnya pada tahun 1776. Deklarasi ini merupakan bentuk konkretisasi
dari berbagai teori perjanjian.
          Perjalanan sejarah berikutnya, pada tahun 1789 meletus revolusi dalam monarki absolutisme di
Prancis yang ditandai dengan ketegangan-ketegangan dimasyarakat dan terganggunya stabilitas
keamanan negara. Sampai pada akhirnya, 20 juni 1789 Estats Generaux memproklamirkan dirinya
konstituante, walaupun baru pada tanggal 14 septembr 1791 konstitusi pertama di Eropa diterima
oleh Louis XVI. Sejak itu, sebagia besar dari negara – negara di dunia, baik monarki maupun
republik, negara kesatuan maupun federal, sama-sama mendasarkan atas suatu konstitusi.
          Di Prancis muncul sebuah buku yang berjudul Du Contract Social karya J.J. Rousseau. Dalam
buku ini Rosseau mengatakan “ manusia itu lahir bebas dan sederajat dalam hak-haknya “,
sedangkan hukum merupakan ekspresi dari kehendak umum (rakyat). Tesis Rousseau ini sangat
menjiwai De Declaration des Droit de I’Homme et du Citoyen, karena deklarasi inilah yang
mengilhami pembentukan konstitusi Prancis (1791) khusus nya yang menyangkut hak-hak asasi
manusia. Pada masa inilah awal dari konkretisasi konstitusi dalam arti tertulis (modern) seperti yang
ada di Amerika.
   Konstitusi model Amerika (yang tertulis) sekaligus dapat dikatakan “Abad UUD” dimulai
dengan diundangkannya UUD tertulis yang pertama yaitu UUD Amerika Serikat pada tahun 1789 dan
deklarasi francis tentang hak-hak manusia dan warga negara 1789. Kedua dokumen tersebut selain
memberikan model yang kemudian diikuti oleh para perancng UUD yang lain, dalam hal bentuk
maupun substansi, juga memberikan berbagai wawasan mengenai mengapa dan bagaimana UUD
harus ada yang  kemudian diikuti oleh berbagai konstitusi tertulis di berbagai negara di Eropa. Seperti
konstitusi Spanyol (1812), konstitusi di Nerwegia (1814), konstitusi di Nederland (1815), konstitusi di
Belgia (1831), konstitusi di Itali (1848), konstitusi di Australia (1861), dan konstitusi di Swedia (1866),
sampai pada abad XIX, tinggal Inggris, Hongaria dan Rusia yang belum mempunyai konstitusi secara
tertulis. Tapi perlu diingat bahwa konstitusi-konstitusi waktu itu belum menjadi hukum dasar yang
penting.
          Konstitusi sebagai Undang-Undang Dasar dan hukum dasar yang mempunyai arti penting atau
sering disebut dengan “konstitusi modern”, baru muncul bersamaan dengan semakin berkembangnya
“sistem demokrasi perwakilan dan konsep nasionalisme” . demokrasi perwakilan muncul sebagai
pemenuhan kebutuhan rakyat akan kehadiran lembaga legislatif. Lembaga ini diharapkan dapat
membuat undang-undang untuk mengurangi serta membatasi dominasi hak-hak raja. Alasan inilah
yang mendudukan konstitusi (yang tertulis) itu sebagai hukum dasar yang lebih tinggi dari pada raja,
sekaligus terkandung maksud memperkokoh Lembaga Perwakilan Rakyat.
          Pada giliran berikutnya, masa Perang Dunia I tahun 1914 telah banyak memberikan dorongan
yang dahsyat bagi konstitusionalisme, yaitu dengan jalan menghancurkan pemerintahan yang tidak
liberal, dan menciptakan negara-negara baru dengan konstitusi yang berasarkan demokrasi dan
nasionalisme. Upaya itu di konkretkan dengan didirikannya Liga Bangsa-Bangsa untuk perdamaian
dunia. Tiga tahun kemudian muncul reaksi keras melawan konstitusionalisme politik yang ditandai
dengan Revolusi Rusia (1917), di ikuti meletusnya fasisme di Italia, dan pemberontakan Nazi di
Jerman, sampai pada akhirnya meletus perang dunia ke II.

2.2     Pengertian Konstitusi dan Undang-Undang Dasar


          Istilah konstitusi berasal dari bahasa Francis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian
istilah konstitusi yang dimaksudkan adalah pembentukan suatu negara atau menyusun dan
menyatakan suatu negara.
          Pengertian konstitusi, dalam praktik dapat berarti lebih luas dari pada UUD, tetapi ada juga
yang menyamakan dengan pengertian UUD. Bagi para sarjana ilmu politik istilah constitutin
merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-perturan baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara bagaimana suatu pemerintahan
diselenggarakan dalam suatu masyarakat.
          Sedangkan pengertian Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar tertulis yang menjadi dasar
semua undang-undang dan peraturan lain dalam suatu negara yang mengatur bentuk, sistem
pemerintahan, pembagian kekuasaan, wewenang badan-badan pemerintahan,dll.
          Keterkaitan konstitusi dengan UUD yaitu konstitusi adalah hukum dasar tertulis dan tidak ter
tulis sedangkan UUD adalah hukum dasar tertulis. UUD memiliki sifat mengikat oleh karenanya makin
elastik sifatnya aturan itu makin baik, konstitusi menyangkut cara suatu pemeritahan diselenggarakan
          Berikut ini para ahli hukum yang mendukung antara yang membedakan dan yang menyamakan
pengertian konstitusi dengan UUD.
          Penganut paham yang membedakan pengertian konstitusi dengan dengan UUD antara lain
sebagai berkiut:
1.    Herman Heller
              Herman Heller membagi pengertian konstitusi menjadi tiga yaitu:
1)   Konstitusi adalah mencerminkan kehidupan politik didalam masyarakat sebagai suatu kenyataan.
Jadi mengandung pengertian politis dan sosiologis.
2)   Konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat. Jadi mengandung
pengertian yuridis.
3)   Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku
dalam suatu negara.
          Dari pendapat Herman Heller tersebut dapatlah disimpulkan bahwa jika pengertian undang-
undang itu harus dihubungkan dengan pengertian konstitusi, maka artinya UUD itu baru merupakan
sebagian dari konstitusi, yaitu konstitusi yang tertulis saja. Disamping itu konstitusi tidak hanya
bersifat yuridis semata-mata, tetapi mengandung pengertian logis dan poitis.
2.  F. Lassalle
          F. Lassalle dalam bukunya Uber Verfassungwesen, membagi konstitusi dalam dua pengertian,
yaitu:
1)   Pengertian sosiologis atau politis. Konstitusi adalah sintesis faktor-faktor kekuatan nyata dalam
masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuatan yang terdapat dengan nyata
dalm suatu negara. kekuasaan tersebut diantaranya: raja, parlemen, kabinet, pressure groups, partai
politik, dan lain-lain; itulah konstitusi yang sesungguhnya.
2)   Pengertian yuridis. Konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-
sendi pemerintahan.
          Dari pengertian sosiologis dan politik, ternyata Lassale menganut paham bahwa konstitusi
sesungguhnya mengandung pengertian yang lebih luas dari sekedar UUD. Namun dalam pengertian
yuridis, Lassale terpengaruh pula oleh paham kodifikasi yang menyamakan konstitusi dengan UUD.
          Kelihatannya para penyusun UUD 1945 menganut pemikiran sosiologis diatas, sebab dalam
penjelasan UUD 1945 dikatakan: “UUD suatu negara adalah hanya sebagian dari hukumnya dasar
negara itu. UUD adalah hukum dasar yang tertulis , disamping UUD itu berlaku juga hukum dasar
yang tidak tetulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik
penyelengaraan negara, meskipun tidak tertulis.
          Adapun penganut paham modern yang tegas-tegas menyamakan konstitusi dengan UUD
antara lain sebagai berkut:
1.               1.  C.F. Strong.
           Pendapat  James Bryce sebagaimana dikutip C.F Strong dalam bukunya: Modern Poitikal
Constittion menyatakan konstitusi adalah:
“ Konstitusi dapat disederhanakan rumusannya sebagai kerangka negara yang diorganisir dengan
dan melalui hukum, dalam hal mana hukum menetpakan:
1)   Pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen.
2)   Fungsi dari alat-alat perlengkapan
3)   Hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.
          Kemudian C.F. Strong melengkapi pendapat tersebut dengan pendapatnya sendiri yang
menyatakan bahwa konstitusi juga dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan asas-asas yang
menyelenggarakan:
1)   Kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas)
2)   Hak-hak yang diperintah
3)   Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut didalamnya masalah hak asasi
manusia)
2.  K.C. Wheare
          K.C. Wheare mengartiakn konstitusi sebagai: “keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu
negara berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur, atau memerintah dalam
pemerintahan suatu negara”. peraturan disini merupakan gabungan antara ketentuan-ketentuan yang
memiliki sifat hukum (legal) dan tidak memiliki sifat hukum (nonlegal).
          Konstitusi dalam dunia politik sering digunakan paling tidak dalam dua pengertian,
sebagaimana dikemukakan oleh K.C. Wheare dalam bukunya Modern Constitusions: pertama,
dipergunakan dalam arti luas yaitu sistem pemerintahan suatu negara dan merupakan suatu
himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-
tugasnya. Sebagai sistem pemerintahan didalamnya terdapat campuran tataperaturan baik yang
bersifat hukum (legal) maupun yang bukan peraturan hukum (nonlegal). Kedua, pengertian dalam arti
sempit, yakni sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara yang
dimuat dalam “suatu dokumen” atau “beberapa dokumen” yang terkait satu sama lain.
          Berangkat dari beberapa pendapat para ahli tentang pengertian konstitusi diatas, dapatlah
ditarik kesimpulan bahwa pengertian konstitusi meliputi konstitusi yang tertulis dan tidak tertulis. UUD
merupakan konstitusi yang tertulis. Adapun batasannya  dapat dirumuskan dalam pengertian sebagai
berikut:
1)   Suatu kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan kepada para
penguasa.
2)   Suatu dokumen tentang pembagian tugasdan sekaligus petugasnya dari suatu sistem politik.
3)   Suatu deskripsi dari lembaga-lembaga negara
4)   Suatu deskripsi yang menyangkut masalah hak-hak asasi manusia.

2.3     Undang-Undang Dasar dan Konstitusionalisme


          UUD sebenarnya tidak bisa dilihat lepas dari konsep konstitusionalisme, suatu konsep yang
telah berkembang sebelum UUD pertama dirumuskan. Ide pokok dari konstitusionalisme adalah
bahwa pemerintah perlu dibatasi kekuasaannya, agar penyelenggaraannya tidak bersifat sewenang-
wenang.Dianggap suatu UUD adalah jaminan utama untuk melindungi warga dari perlakuan yang
semena-mena. Dengan demikian timbul konsep the constitusinal state, dimana UUD dinggap sebagai
institusi yang paling efektif untuk melindungi warganya melalui konsep Rule of the Law atau
Rechtsstaat.
Dengan demikian telah terbukti sepanjang sejarah bahwa manusia atau golongan yang
mempunyai kekuasaan tidak terbatas akan menyalahgunakan atau menyelewengkannya sehingga
berakibat diinjak-injaknya hak-hak asasi manusia. Maka dari itu tepatlah diktum yang dikemukakan
oleh Lord Acton: “Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakannya,
akan tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan absolut sudah pasti akan menyalahgunakannya”.
Mulai akhir abad ke-18 muncul berbagai rumusan UUD dalam bentuknya seperti yang kita
kenal dewasa ini. UUD dianggap sebagai jaminan yang paling efektif bahwa kekuasaan tidak
disalahgunakan dan hak warga negara tidak dilanggar. Untuk itu perlu dicari suatu sistem asas pokok
yang menentukan kekuasaan itu dan hak baik bagi yang memerintah (penguasa), maupun bagi yang
diperintah (rakyat).
Dinegara-negara komunis UUD mempunyai fungsi ganda, disatu pihak mencerminkan
kemenangan-kemenangan yang telah dicapai dalam perjuangan ke arah tercapainya masyarakat
komunis, sekaligus merupakan pencatatan formal dan legal dari kemajuan yang telah dicapai.
Negara-negara yang timbul di Asia dan Afrika semuanya mempunyai UUD sebagai salah satu
atribut kenegaraan yang melambangkan kemerdekaan yang baru diperoleh itu. Dinegara-negara itu
yang menganggap UUD sebagai suatu dokumen yang mempunyai arti yang khas (Konstitusinalisme),
seperti misalnya India, Filipina, dan juga Indonesia. Sebaliknya negara-negara komunis di Asia
seperti China dan Korea Utara menganggap UUD sebagai suatu registrasi belaka dari perkembangan
yang telah dicapai, serta rangka legal untuk masa depan, sesuai dengan anggapan Uni Soviet.

2.4     Sifat Dan Fungsi Undang-Undang Dasar


          Pada umumnya sifat dan fungsi undang-undang dasar itu merupakan suatu perangkat
peraturan yang menentukan kekuasaan dan tanggung jawab dari berbagai alat kenegaraan. UUD
juga menentukan batas-batas berbagai pusat kekuasaan itu dan memaparkan hubungan-hubungan
diantara mereka.
Menurut sarjana hukum EC.S. Wade dalam buku Constitusional Law, UUD adalah “ naskah
yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan
menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut” jadi pada dasarnya setiap sistem
pemerintahan diatur dalam UUD.
UUD menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini melakukan kerjasama dan
menyesuaikan diri satu sama lain; UUD merekam hubungan kekuasaan dalam suatu negara.
          Definisi UUD dari sudut pandang filsafat diberikan oleh Ricard S. Kay. seorang ahli yang ahli
dalam bidang kontemporer. Menurut Kay “maksud diadakannya UUD adalah untuk meletakan aturan-
aturan yang pasti yang mempengaruhi prilaku manusia dan dengan demikian menjaga agar
pemerintah tetap berjalan dengan baik.
          Di dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, Undang-
Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas  yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian
rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang, dengan demikian hak-
hak warga negara akan terlindungi.

2.5         Kedudukan dan Tujuan Undang-Undang Dasar


          Undang-Undang Dasar berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa
yang selanjutnya ditentukan sebagai ideologi yang melandasi negara.
          Sedangkan tujuan Undang-Undang Dasar adalah sebagai berikut:
1.    Membatasi kekuasaan penguasa agar tidak bertindak sewenang – wenang maksudnya tanpa
membatasi kekuasaan penguasa, konstitusi tidak akan berjalan dengan baik dan bisa saja kekuasaan
penguasa akan merajalela Dan bisa merugikan rakyat banyak
2.    Melindungi Ham maksudnya setiap penguasa berhak menghormati Ham orang lain dan hak
memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya.
3.    Pedoman penyelengaraan negara maksudnya tanpa adanya pedoman konstitusi negara kita tidak
akan berdiri dengan kokoh.

2.6     Materi Muatan Dalam Undang-Undang Dasar


          Menurut Mr. J.G. Steenbeek pada umumnya Undang-Undang Dasar berisi tiga hal pokok,
yaitu:
1.    Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganya
2.    Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental
3.    Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental
          Sedangkan menurut Miriam Budiardjo, setiap Undang-Undang Dasar memuat ketenttuan-
ketentuan mengenai hal-hal sebagai berikut:
1.    Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif
atau juga pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian
2.    Hak-hak asasi manusia
3.    Prosedur mengubah Undang-Undang Dasar
4.    Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sfat tertentu dari Undang-Undang Dasar

2.7     Ciri-ciri Undang-Undang Dasar


Walaupun UUD satu negara berbeda dengan negara lain, kalau diperhatikan secara cermat
ada ciri-ciri yang sama, yaitu biasanya memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.    Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif
serta hubungan antara ketiganya. UUD juga memuat bentuk negara (Misalnya Federal atau
kesatuan), serta pembagian kekuasaan antara pemerintah federal degan pemerintah negara-negara
bagian atau antara pemerintah daerah. Selain itu UUD memuat prosedur untuk menyelesaikan
masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan negara atau pemerintah dan sebgainya.
Dalam arti UUD mempunyai kedudukan sebagai dokumen legal yang khusus.
2.    Hak-hak asasi manusia (biasanya disebtu Bill of Right kalau berbentuk naskah tersendiri)
3.    Prosedur mengubah UUD (amandemen)
4.    Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD. Hal ini biasanya ada jika para
penyusun UUD ingin menghindari terulangnya kembali hal-hal yang abru saja diatasi, seperti
misalnya munculnya seorang diktator atau kembalinya suatu monarki, misalnya UUD federasi Jerman
melarang untuk mengubah sifat federalisme karena dikhawatirkan bahwa sifat unitarisme dapat
melicinkan jalan untuk munculnya kembali seorang diktator seperti Hitler.
5.    Merupakan aturan hukum yang tertinggi yang mengikat semua warga negara dan lembaga negara
tanpa kecuali.

2.8     Nilai Penting Undang-Undang Dasar


           Struycken dalam bukunya Het Staatsrecht van Het Koninkrijk der Nederlanden menyatakan
bahwa Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang
berisi tentang
1.    Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau
2.    Tingkat-tingkat perkembangan ketatanegaraan bangsa
3.    Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun untuk
masa yang akan datang
4.    Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin

2.9     Perubahan Undang-Undang Dasar (Amandemen)


          Selain pergantian secara menyeluruh, tidak jarang pula negara mengadakan perubahan
sebagian dari UUD nya. Perubahan ini dinamakan amandemen. UUD biasanya memuat prosedur
untuk menampung hasrat melakukan perubahan parsial tersebut. Pada umumnya dianggap bahwa
suatu UUD tidak boleh terlalu mudah diubah, oleh karena hal itu akan merendahkan arti simbolis
UUD itu sendiri. Di lain pihak hendaknya jangan pula terlalu sukar untuk mengadakan amandemen,
supaya mencegah generasi mendatang merasa terlalu terkekang dan karenanya bertindak di luar
UUD.
            Terdapat prosedur yang berbeda-beda di antara satu negara dengan yang lain dalam
melakukan perubahan UUD, namun secara umum bisa disebutkan sebagai berikut:
1.    Melalui sidang badan legislatif, kadang-kadang dengan ditambah beberapa syarat, misalnya dapat
diterapkan kuorum untuk sidang yang membicarakan usul amandemen dan jumlah minimum anggota
badan legislatif untuk menerimanya (contoh: Inggris, Israel, Belgia, dan UUD Republik Indonesia
Serikat 1949). Di Inggris, bahkan secara ekstrem dapat dikatakan bahwa parlemenlah yang paling
berwenang untuk mengubah atau tidak mengubah UUD. Demikian pula Israel, Knessetlah yang
mempunyai wewenang tersebut.
2.    Referendum atau plebisit (contoh: Swiss, Australia, Denmark, Irlandia, dan Spanyol). Di negara-
negara ini referendum dilaksanakan untuk memintakan  persetujuan atas usul peubahan atau
amandemen yang diajukan oleh anggota parlemen.
3.    Negara – negara bagian dalam negara federal ( contoh: Amerika Serikat: ¾ dari lima puluh negara
bagian harus menyetujui; contoh lain India). Di Jerman, untuk mengubah BasicLawharus ada
persetujuan 2/3 dari anggota Bundesrat.
4.    Musyawarah khusus (specialconvention) seperti yang diberlakukan di beberapa negara Amerika latin.
          Di Indonesia perubahan Undang-undang Dasar dapat dilakukan dengan cara:
1.    Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis
Permusyawaratan rakyat
2.    Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukan
dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
3.    Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan rakyat
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaran Rakyat.
4.    Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan
sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.

2.10   Supremasi Undang-Undang Dasar


          UUD berbeda dengan undang-undang biasa. Undang-Undang Dasar dibentuk menurut cara
yang istimewa. Cara tersebut berlainan dengan cara pembentukan undang-undang biasa.
          Demikian pula badan membuat UUD berbeda dengan badan yang membuat undang-undang
biasa. Karena dibuat secara istimewa, maka UUD dapat dianggap sesuatu yang luhur. Ditinjau dari
sudut politis, dapat dikatakan bahwa undang-undang dasar sifatnya lebih sempurna dan lebih tinggi
dari pada undang-undang biasa.
            Dengan adanya gagasan bahwa UUD adalah hukum tertinggi (Supremes law) yang harus
ditaati baik oleh rakyat maupun oleh alat-alat perlengkapan negara. Yang akan menjamin bahwa
ketentuan-ketentuan UUD benar-benar diselenggarakan menurut jiwa dan kata-kata dari naskah, baik
oleh badan eksekutif maupun oleh badan-badan pemerintahan lainnya. Di sini ada beberapa pikiran
yang berbeda.
          Di inggris, parlemenlah yang diangga sebagai badan yang tertinggi (Parliamentary
supremacyatau legislative supremacy) dan oleh karena itu hanya parlemenlah yang boleh
menafsirkan ketentuan-ketentuan konstitusional dan menjaga agar semua undang-undang dan
peraturan sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konstitusional itu. Ini berarti
bahwa parlemen merupakan satu-satunya badan yang boleh mengubah ataupun membatalkan
undang-undang yang dianggapnya tidak sesuai dan bertentangan dengan ketentuan UUD. Hal ini
berdasarkan gagasan bahwa kedaulatan rakyat diwakilkan kepada parlemen sehingga badan itu
merupakan pemegang kedaulatan yang tertinggi. Akan tetapi dalam perkembangannya kemudian
kekuasaan yang terlalu terpusat pada parlemen ini menuai kritik. Sebab keadaan demikian dapat
menimbulkan apa yang disebut oleh Lord Hailsham (1976) electivedictatorship, dalam arti bahwa
pemerintah dapat melakukan apa saja sepanjang ia mampu memegang kontrol mayoritas di
parlemen. Kritik-kritik demikian pada gilirannya mengarah ke berkembangnya keinginan untuk
merevisi struktur UUD yang lebih menjamin terdistribusinya kekuasaan pemerintah, misalnya melalui
reformasi sistem pemilihan umum; atau dengan mengodifikasikan UUD yang lebih menjamin
terlindunginya hak-hak asasi.
          Berbeda halnya dengan paham yang berlaku di negara-negara yang berbentuk federasi.
Paham yang berlaku di sana adalah bahwa perlu ada satu badan di luar badan legislatif yang berhak
meneliti apakah sesuatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan UUD. Di Amerika Serikat,
India, dan Jerman barat wewenang itu ada ditangan Mahkamah Agung Federal. Di negara-negara itu
berlaku asas judicialsupremacy dan Mahkamah Agung dianggap sebagai pengaman UUD (Guardian
of theConstitution). Wewenang Mahkamah Agung ini antara lain berdasarkan anggapan bahwa
anggota badan legislatif terlalu mudah terpengaruh oleh pihak lain dan kedudukanya pun terpengaruh
oleh oleh fluktuasi politik, sehingga lebih wajarlah wewenang ini diberikan kepada hakim-hakim
Mahkamah Agung. Mereka dianggap lebih bijak dan profesional karena pendidikan dan
pengalamannya di bidang hukum, dan karena kedudukannya yang agak bebas dari tekanan dan
fluktuasi politik.
          Di beberapa negara lain dibentuk suatu badan khusus untuk itu. Misalnya di Prancis ada
Mahkamah UUD yang terdiri dari hakim-hakim mahkamah Agung ditambah dengan beberapa hakim
lain.
             Di negara yang mempunyai UUD tak tertulis (seperti di Inggris da Israel) adalah sukar untuk
membedakan antara hukum UUD dan hukum biasa, oleh karena setiap ketentuan konstitusional –
apakah berupa undang-undang biasa atau keputusan hakim – dapat diubah atau ditinjau kembali oleh
parlemen ; jadi statusnya tidak berbeda dengan undang-undang biasa. Di negara-negara lain yang
mempunyai UUD tertulis, UUD dianggap sebagai hukum yang tertinggi yang lebih bersifat mengikat
daripada undang-undang biasa.
Di Indonesia, berdasarkan UUD 1945 yang di amandemen, juga telah dibentuk satu mahkamah
konstitusi. Lembaga inilah yang berwenang menguji apakah sebuah undang-undang bertentangan
dengan UUD atau tidak.
Dasar pertimbangan supremasi Undang-Undang Dasar dalam suatu negara adalah karena
beberapa hal yaitu:
1.    Undang-Undang Dasar dibuat oleh Badan Pembuat Undang-Undang
2.    Undang-Undang Dasar dibentuk atas nama rakyat, berasal dari rakyat, kekuatan berlakunya dijamin
oleh rakyat, dan harus dilaksanakan langsung kepada masyarakat untuk kepentingan mereka.
3.    Dilihat dari sudut hukum yang sempit yaitu dari proses pembuatannya, Undang-Undang Dasar
diteteapkan oleh lembaga atau badan yang diakui keabsahannya.

2.11   Konvensi Dalam Praktik Ketatanegaraan


          Istilah konvensi berasal dari bahasa Inggris yaitu convention. Konvensi diartikan sebagai
kebiasaaan yang dilakukan oleh pemerintah yang berlaku dan dihormati dalam praktik
ketatanegaraan..
          A.V. Dicey mengemukakan bahwa konvensi ketatanegaraan harus memenuhi ciri-ciri sebagai
berikut:
1.    Konvensi itu berkenaan dalam hal-hal bidang ketatanegaraan
2.    Konvensi tumbuh, berlaku, diikuti, dan dihormati dalam praktik penyelenggaran negara
3.    Konvensi bagian dari konstitusi, apabila ada pelanggaran dari terhadapnya tak dapat diadili oleh
badan pengadilan
          Dari ketentuan diatas dapat diketahui bahwa konvensi itu berkembang karena kebutuhan
dalam praktik penyelenggaraan negara. Konvensi dapat terjadi melalui suatu praktik berulang-ulang
yang tumbuh menjadi kewajiban yang harus ditaati oleh penyelenggara negara.

 2.12   Konvensi dan UUD 1945


          Penjelasan Umum UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa “Undang-Undang Dasar suatu
negara ialah hanya sebagaian dari hukum dasar negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum
dasar yang tertulis, sedangkan di samping undang-undang itu berlaku juga hukum dasar yang tak
tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara,
meskipun tidak tertulis (konvensi).
          Menggarisbawahi Penjelsan Umum UUD 1945 tersebut dapat disimpulkan bahwa kehidupan
ketatanegaraan Republik Indonesia selain dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah hukum tertulis
(UUD), juga memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang tertulis (konvensi). Kaidah-kaidah hukum
yang tak tertulis itu tumbuh dan berkembang berdampingan secara paralel dengan kaidah-kaidah
hukum yang tertulis.
          Di Indonesia, konvensi tumbuh menurut atau sesuai dengan kebutuhan negara Indonesia.
Peranan konvensi dalam rangka melengkapi hukum dasar tertulis yaitu UUD 1945 yang singkat,
maka kiranya konvensi merupakan salah satu alternatif rasional yang harus dan dapat diterima
secara konstitusional dalam praktik penyelenggaraan Negara Indonesia.
          Kehadiran konvensi dalam praktik penyelenggaraan di Indonesia bukan untuk mengubah UUD
1945. Oleh karena itu konvensi tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945, konvensi berperan
sebagai partnership  memperkokoh kehidupan ketatanegaraan Indonesia di bawah sistem UUD 1945.
          Berikut contoh-contoh beberapa praktik ketatanegaraan yang dapat dipandang sebagai
konvensi yang sifatnya melengakapi dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 adalah sebagai
berikut:
1.    Praktik dilembaga tertinggi negara bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), mengenai
pengambilan keputusan berdasarkan musyarawah untuk mufakat.
2.    Pidato presiden pada tanggal 16 Agustus didepan sidang paripurna DPR yang disatu pihak memberi
laporan pelaksanaan tugas pemerintah dalam tahun anggaran yang lewat, dan dilain pihak
mengandung arah kebijaksanaan tahun mendatang. Secara konstitusional tidak ada ketentuan yang
mewajibkan presiden menyampaikan pidato resmi tahunan semacam itu dihadapan sidang paripurna
DPR.
3.    Jauh dari sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang presiden telah menyampaikan
rancangan bahan-bahan untuk sidang umum MPR yang akan datang itu. Dalam UUD 1945 hal ini
tidak diatur bahkan menurut pasal 3 UUD 1945 MPR lah yang harus merumuskan  dan akhirnya
menetapkan garis-garis besar haluan negara. namun untuk memudahkan MPR, presiden
menghimpun rancangan GBHN yang merupakan sumbangan pikiran presiden sebagai mandataris
MPR yang disampaikan dalam upacara pelantikan anggota-anggota MPR.
4.    Pada setiap minggu pertama bulan Januari, presiden Republik Indonesia selalu menyampaikan
penjelasan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran pendapatan dan belanja Negara
dihadapan DPR, pebuatan presiden tersebut termasuk kedalam konvensi. Hal ini pun tidak diatur
dalam UUD 1945 dalam pasal 23 ayat 1 UUD 1945 hanya disebutkan bahwa “anggaran pendapatan
dan belanja ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang.
5.    Adanya Menteri Negara Nondepartemen dalam praktik ketatanegaraan dibawah pemerintahan Orde
Baru. Pasal 17 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa “menteri-menteri itu memimpin Departemen
Pemerintahan”. Jika ditinjau dari ketentuan pasal 17 ayat 3 UUD 1945, maka menteri-menteri itu
harus memimpin departemen. Namun demikian prktik ketatanegaarn dimasa Orde baru dengan
kabinet yang dikenal Kabinet Pembangunan. Adanya menteri Nondepartemen berkaitan dengan
kebutuhan pada era pembangunan dewasa ini. Karena adanya menteri Nondepartemen sudah
berulang-ulang dalam praktik penyelenggaraan negara, maka dapatlah dipandang sebagai konvensi
dalam ketatanegaraan kita dewasa ini.
6.    Pengesahan Rancangan Undang-undang yang telah disetujui oleh DPR. Secara konstitusional
presiden sebenarnya mempunyai hak untuk menolak mengesahkan Rancangan Undang-undang
yang telah dietujui DPR, sebagaimana diisyaratkan oleh pasal 21 ayat 2 UUD 1945. Tetapi dalam
praktik presiden belum pernah mengguanakan wewenang konstitusional tersebut, presiden selalu
mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah disetuji oleh DPR, meskipun Rancanagn
Undang-Undang itu telah mengalami berbagai pembahsan dan amandemen di DPR. Rancanagn
Undang-Undang kebanyakan berasal dari pemerintah (presiden) sebagai bagaimana ketentuan yang
terdapat dalam pasal 5 ayat 1 UUD 1945. Dalam pembahasan RUU tersebut kedudukan DPR
merupakan partner dari presiden c.q. pemerintah. Maka pengesahan RUU oleh presiden sangat
dimungkinkan karena RUU tersebut akhirnya merupakan kesepakatan antara DPR dengan
pemerintah.
          Kemudian ada beberapa seputar masalah konvensi dimasa datang adalah sebagai berikut:
1.    Pertanggung jawaban wakil presiden terhadap MPR
          Pasal 4 ayat 2 UUD 1945 hanya menyebutkan bahwa dalam menjalankan pemerintahan
negara, presiden dibantu oleh wakil presiden. Secara konstitusional wakil presiden adalah juga
pembantu presiden disamping menteri-menteri. Kendatipun wakil presiden dipilih oleh MPR tetapi
UUD 1945 secara eksplisit tidak mengatur pertanggung jawaban wakil presiden kepada MPR.
Penjelasan UUD 1945 hanya memberi keterangan tentang pertanggung jawaban presiden “bertunduk
dan bertanggung jawab kepada majelis”. Presiden adaah mandataris majelis. Karena kedudukan
wakil presiden adalah pembantu presiden, maka akhirnya presiden yang juga bertanggung jawab
atas segala tindakan pemerintahan, termasuk pelanggaran haluan negra atau Undang-Undang oleh
wakil presiden.
          Tetapi dengan demikian apakah wajar kalau presiden ditarik mandatnya atau diberhentikan
oleh MPR karena kesalahan wakil presiden?selanjutnya secara konstitusional dikatakan bahwa
apabila presiden diberhentikan, wakil presiden akan menjadi presiden (Pasal 8 UUD 1945). Dengan
demikian berarti wakil presiden yang melanggar haluan negara menjadi presiden menggantikan
presiden yang sebenarnya menjalankan tugas dengan baik dan tidak melanggar haluan negara.
          Karena itu sangat wajar apabila dalam peangaran haluan negara atau Undang-Undang dasar,
wakil presiden bertanggung jawab sendiri kepada MPR, meskipun UUD tidak mengaturnya, tetapi
juga UUD 1945 tidak mencegahnya, karena pertanggung jawaban wakil presiden termausuk kategori
melengkapi UUD 1945 secara tidak bertentangan dengan makna yang terkandung didalamnya.
Berdasarkan pikiran diatas, dapat ditumbuhkan praktik (konvensi) yang memungknkan wakil presiden
bertanggung jawab sendiri kepada MPR.
2.    Komposisi menteri-menteri kabinet berdasarkan pertimbangan kekuatan Sospol.
          Pasal 17 UUD 1945 menyatakan bahwa menteri-menteri adalah pembantu presiden. Dengan
demikian presiden bebas untuk mengangkat dan memberhentikan menteri. Dalam mengangkat
menteri, presiden adalah formatur tunggal. Ini adalah sebagai salah satu konsekuensi dari asas yang
dianut oleh UUD 1945 yakni kekuasaan dan tanggung jawab ditangan prsiden. namun demikian
tanpa mengurangi wewenang tersbut, perlu juga dipikirkan agar dalam praktik ketatanegaraan yang
akan datang penempatan menteri-menteri kabinet disamping mementingkan unsur keahlian dan
keesamaan pandangan politik, perlu juga dipertimbangkan basis politik menteri-menteri yang
mencerminkan kekuatan sosial yang terdapat di masyarakat. Sehingga dengan demikian pemerintah
atau kabinet akan mendapat dukungan dari seluruh kekuatan sosial/politik yang diakui. Hal ini sesuai
pula dengan konsep negara integralistik yang dicita-citakan.
3.    Sebuah undang-undang sebelum disahkan oleh presiden terlebih dahulu disampaikan kepda
Mahkamah Agung
          Pasal 5 ayat 1 UUD 1945 mengatur bahwa UUD 1945 merupakan produk bersama antara
presiden dengan DPR. Persoalannya adalah terhadap undang-undang yang telah diproduk oleh
presiden dan DPR.
UUD 1945 tidak mengatur hak menguji material Mahkamah Agung. Hal ini dikarenakan UUD
1945 tidak mengenal teori Trias Politika. Sedangkan hak menguji material hanya dijumpai dinegara-
negara yang menganut teori Trias Politika. Namun praktik ketatanegaraan yang akan datang untuk
menjaga pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, agar tidak terjadi penyimpangan
dalam perbuatan berbagai undang-undang, maka kiranya perlu dipertimbangkan cara-cara untuk
menjaga konstitualitas sebuah undang-undang. Salah satu alternatif sebelum presiden
mengundangkan suatu undang-undangyang telah disetujui oleh DPR, undang-undang tersebut telah
terlebih dahulu perlu disampaikan ke Mahkamah Agung, tidak diperiksa ada dan tidak adanya hal
yang bertentangan dengan UUD. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 11 ayat 2 TAP MPR No.
III/MPR/1978 yang menyatakan “Mahakamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan
dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak, kepada lembaga-lembaga tinggi negara”.
Dengan demikian bebrapa praktik ketatanegaraan (konvensi) atau kemungkinan-kemungkinan
yang dapat tumbuh untuk menjadi konvensi dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia.

2.13   Undang-Undang yang Berlaku di Indonesia


          Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD
1945 atau UUD '45, adalah hukum dasar tertulis (basiclaw), konstitusi pemerintahan negara Republik
Indonesiasaat ini.
A.         Sejarah Awal UUD 1945
          Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada
tanggal 29 April 1945 adalah badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa sidang
pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan
gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi nama Pancasila. Pada tanggal 22 Juni1945, 38 anggota
BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam
Jakartayang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945.
          Setelah dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi
pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang
disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
          Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang
bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada
masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI).
          Nama Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di
Sumatera ada BPUPKI untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli1945. Tanggal 18
Agustus1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
          Sejarah ketatanegaraan Indonesia telah membuktikan bahwa pernah berlaku tiga macam
Undang-Undang Dasar (konstitusi), adalah sebagai berikut:
1.    Undang-Undang Dasar 1945, yang berlaku antara 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949.
2.    Konstitusi Republik Indonesia Serikat, yang berlaku antara 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus
1950
3.    Undang-Undang Dasar Sementara, yang berlaku antara 17 Agustus 1950 sampai 05 Juli 1959
4.    Undang-Undang dasar 1945, yang berlaku sejak dikeluarkan Dekrit Presiden 05 Juli 1959
B.       Fungsi dan Tujuan UUD 1945
          Tujuan dan fungsi UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, adalah
sebagai berikut:
1.    Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
2.    Memajukan kesejahteraan umum
3.    Mencerdaskan kehidupan bangsa
4.    Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.
C.      Naskah Undang-Undang Dasar 1945
          Sebelum dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37
pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari
21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan),
serta Penjelasan.
          Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 20 bab, 37 pasal, 194 ayat, 3 pasal
Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.
          Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi
Tanpa Ada Opini.
D.     Amandemen UUD 1945
          Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap
UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 adalah mengklasifikasi beberapa
kelemahan UUD 1945, antara lain: UUD 1945 telah memposisikan kekuasaan presiden begitu besar
(executive power), sistem check and balances tidak diautr secara tegas diadalamnya, ketentuan UUD
1945 banyak yang tidak jelas dan multitafsir, tentang minimnya pengaturan masalah hak-hak asasi
manusia, sistem kepresidenan, dan sistem perekonomian yang kurang jelas.
          Alasan lain yang dapat dijadikan dasar pertimbangan perlunya mengamandemen UUD 1945,
karena secara historis UUD 1945 memang didesain oleh para pendiri negara sebagai konstitusi yang
bersifat sementara dan ditetapkan dalam suasana tergesa-gesa. Secara filosofis, ide dasar dan
substansi UUD 1945 telah mencampuradukkan antara paham kedaulatan rakyat dengan paham
integralistik. Padahal antara keduanya bertolak belakang, bahkan paham integralistiklah yang
memberangus demokratisasi di Indonesia. Kemudian secara yuridis, karena UUD 1945 sendiri telah
mengatur prinsip dalam mekanisme perubahan konstitusi (Pasal 37). Adapun dasar pertimbangan
praktis-politisnya sesuai dengan sinyalemen Mochtar Pabottinggi bahwa konstitusi/UUD 1945-nya
sudah lama tidak dijalankan secara murni dan konsekuen.
          Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan
negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara
hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
          Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD
1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staatstructuur) kesatuan atau selanjutnya lebih
dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem
pemerintahan presidensiil.
          Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang
ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
1.    Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober1999 → Perubahan Pertama UUD 1945
2.    Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
3.    Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945
4.    Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus2002 → Perubahan Keempat UUD 194
E.       Analisis Kritis Atas Hasl Amandemen Tahap I Dan II
          Mecermati hasil kinerja Ad-Hoc Badan pekerja MPR RI berupa amandemen tahap I (melalui
sidang Umum MPR RI tertanggal 9 Oktober 1999) dan amandemen tahap II (melalui Sidang Tahunan
MPR RI tertanggal 18 Agustus 2000), terdapat sisi kelebihan dan kelemahannya.
1.    Kelebihan dari hasil amandemen (tahap I dan II) dapat diinformasikan sebagai berikut:
1)        Momentum Amandemen ini merupakakan langkah dan strategi desakralisasi UUD 1945 yang selama
ini dikeramatkan.
2)        Terjadi peralihan kekuasaan legislatif dari eksekutif (Presiden) kepada legislatif (DPR). Dalam arti
kalau semula Pasal 5 ayat (1) presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang, diubah
menjadi presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR. Sedangkan
amandemen pasal 20 ayat (1) DPR beralih sebagai pemegang kekuasaan membentuk UU.
3)        Periodisasi jabatan presiden menjadi lebih tegas yaitu masa jabatan presiden lima tahun dan dibatasi
hanya dua periode.
4)        Hak prerogratif presiden sedikit diperjelas sekaligus dibatasi (dalam arti positif). Sebagai contoh:
dalam hal mengangkat duta dan menerima dua dari negara lain presiden memperhatikan
pertimbangan DPR (pasal 13), begitu juga dalam memberikan amnesti dan abolisi perlu
pertimbangan DPR (pasal 14 ayat 2). Sedangkan untuk pemberian grasi dan rehabilitasi presiden
perlu memperhatikan pertimbangan MA (pasal 14 ayat 1).
5)        Penegasan susunan negara kasatuan RI terdiri dari pusat, propinsi, kabupaten, dan kota atas dasar
penyelenggaraan prinsip otonomi dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah,
daerah yang bersifat khusus atau istimewa, serta menghargai/menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya. Meskipun dalam implementasinya hasil
amandemen pasal 18 ini masih belum seragam dan membingungkan.
6)        Terdapat atribusi langsung dari amandemen pasal 22 A akan perlunya UU yang mengatur tentang
teknik dan tata cara pembentukan Undang-undang, yang selama ini masih diatur dengan Keppres
No. 188 Tahun 1998 dan Keppres No. 44 Tahun 1999. Harapannya kekaburan mengenai hal ini
dapat dihilangkan.
7)        Ketentuan mengenai wilayah negara diatur lebih lanjut dengan UU. Hal ini penting, karena bisa jadi
jika tidak segera diatur, maka nasib pelepasan wilayah Timor Timur dari wilayah RI akan sangat
memungkinkan diikuti oleh daerah yang lain (pasal 25E).
8)        Pengaturan mengenai hak asasi manusia menjadi lebih rinci dan luas (seperti pasal 28A- 28J dan
30), meskipun tidak ada konssistensi penggunaan istilah anatar hak asasi, kebebasan, dan kewajiban
asasi.
9)        Terdapat pemisahan secara tegas mengenai posisi kelembagaan, struktur, dan ruang lingkup anatar
TNI sebagai alat negara yang bertugas mempertahankan, memelihara, dan melindungi keutuhan dan
kedaulatan negara, dengan kepolisian Negara sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat serta unsur penegak hukum (pasal 30).
10)    Penetapan atas lambang negara, lagu kebangsaan, dan bahasa Indonesia yang selama ini belum
dimasukkan dalam konstitusi (pasal 36A- 36C).
2.    Kelemahan dari proses dan hasil amandemen (tahap I dan II) kurang lebih sebagai berikut:
1)        Terlihat sekali dalam proses awal amandemen UUD 1945 ini kurang memenuhi kaidah penyiapan
dan penyusunan UUD (kaidah-kaidah legislative drafting).
2)        Misalnya pada tahap perencanaan penyusunan draf amandemen, seyogyanya didahului dengan
pembuatan naskah akademik amandemen yang disusun atas dasar hasil penelitian yang mendalam.
Pengguanan bahasa Indonesia yang tidak mengikuti kaidah bahasa yang baku, tidak sistematik, dan
menimbulkan tumpang tindih norma, contoh ketentuan tersendiri mengenai HAM pada Bab XA pasal
28A – 28J, utamanya pasal 28E.
3)        Proses penyiapan dan pembahasan draf amandemen kurang melibatkan rakyat (partisipasi publik)
dan kalaulah panitia Ad-Hoc (PAH) I BP MPR RI  melakukan, itu hanya bersifat formalitas untuk
mendapatkan legitimasi rakyat. Lebih-lebih proses pembahasannya cenderung elitis, karena
perdebatan yang sebenarnya terdiri dari MPR tidak diketahui oleh rakyat banyak, sehingga
keputusannya pun sangat elitis sifatnya.
4)        Hasil amandemen (tahap I dan II) belum menyentuh beberapa persoalan ketatanegaraan secara
mendasar sehingga belum membawa kepada arah perubahan fundamental. Contoh soal mengenai
negara hukum, asas rekomendasi, dan asas berketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas fundmental
bernegara belum terakomodasi.
5)        Beberapa pasal yang rawan konflik (misal: tentang bentuk negara dan pemerintahan, sistem
perekonomian, kebebasan beragama dan sebagainya) yang ditangguhkan mengamandemen hingga
tahun 2002, mestinya sejak dini dilakukan penelitian secara mendalam terebih dahulu, kemudian
disosialisasikan kepada rakyat secara arif, bijak, dan transparan. Penulis yakin akan membawa hasil
yang lebih memuaskan dan bisa diterima oleh semua pihak.
6)        Beberapa ketentuan amandemen masih banyak yang belum diikuti dengan pembaharuan peraturan
pelaksanaannya sehingga terkesan terjadi antinomi norma hukum antara hukum dasar dengan
peraturan dibawahnya. Contoh adanya pergeseran kekuasaan bidang legislatif kepada dewan (pasal
5 dan 20 amandemen), namun dalam praktik eksekutif masih dominan (lihat ketentuan UU No. 22
Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah).
7)        Masih banyak persoalan ketatanegaraan yang belum terakomodasi oleh hasil amandemen (tahap I
dan II), sehingga menimbulkan kekosongan dan kemadekkan konstitusi. Contoh soal mengenai hak
angket DPR, proses impeachment presiden yang sedang ramai menjadi perdebatan politik dan opini
publik dewasa ini.
8)        Tentang lembaga kepresidenan, perlu dipertegas dalam UUD, meskipun secara lebih detil akan
diatur lebih lanjut dalam sebuah UU tersendiri. Banyak hal yang bisa dikaji dan selanjutnya
dinormatifkan dalam konstitusi, misalnya: menyangkut sistem pemerintahan yang “quasi presidensial
parlementer”, pembagian tugas presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, mengenai
tugas, fungsi, dan tanggung jawab wakil prsiden, dan masalah suksesi.
 
BAB III
PENUTUP

3.1     Kesimpulan
          Konstitusi model Amerika (yang tertulis) sekaligus dapat dikatakan “Abad UUD” dimulai dengan
diundangkannya UUD tertulis yang pertama yaitu UUD Amerika Serikat pada tahun 1789 dan
deklarasi francis tentang hak-hak manusia dan warga negara 1789.
          Konstitusi dalam praktik dapat berarti lebih luas dari pada UUD, tetapi ada juga yang
menyamakan dengan pengertian UUD. Istilah constitutin merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu
keseluruhan dari peraturan-perturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur
secara mengikat cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu
masyarakat.Sedangkan pengertian Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar tertulis yang menjadi
dasar semua undang-undang dan peraturan lain dalam suatu negara
             Keterkaitan konstitusi dengan UUD yaitu konstitusi adalah hukum dasar tertulis dan tidak
tertulis sedangkan UUD adalah hukum dasar tertulis. UUD memiliki sifat mengikat oleh karenanya
makin elastik sifatnya aturan itu makin baik, konstitusi menyangkut cara suatu pemeritahan
diselenggarakan.
          Di dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, Undang-
Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas  yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sehingga
penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang, dengan demikian hak warga negara
akan terlindungi.

3.2     Saran
          Konstitusi tertulis negara Indonesia mengamanatkan dalam dalam pembukaan UUD 1945
sesuai dengan tujuan dan fungsi negara, oleh karena itu agar kepada para penyelenggara negara
supaya lebih menfokuskan kebijakannya sesuai dengan amanat UUD 1945 supaya dapat
memberikan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi rakyat.

Anda mungkin juga menyukai