Oleh :
09. Sundhushin Masruriya Sagandhi _210201110145
10. Muhammad Ghazali _210201110146
11. Yuli Kurniawati Safitri _210201110147
12. Miqdad Husain _210201110148
1
DAFTAR ISI
2
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
haturkan puji syukur kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang MASA KHILAFAH
USMAN BIN AFFAN DAN KHILAFAH ALI BIN ABI THALIB.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah
ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang MASA KHILAFAH USMAN
BIN AFFAN DAN KHILAFAH ALI BIN ABI THALIB ini dapat memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap pembaca.
Penulis,
3
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, fungsi sebagai Rasullah tidak dapat
digantikan oleh siapa pun manusia di dunia ini, karena pemilihan fungsi tersebut adalah
mutlak dari Allah SWT. Fungsi beliau sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin
masyarakat harus ada yang menggantikannya. Selanjutnya pemerintahan Islam
dipimpin oleh empat orang sahabat terdekatnya, kepemimpinan dari para sahabat Rasul
ini disebut periode Khulafaur-Rasyidin ( para pengganti yang mendapatkan bimbingan
ke jalan lurus).
Abu Bakar dan Umar bin Al –Khattab merupakan sahabat nabi yang paling dekat,
setia serta mengikuti ajaran-ajarannya. Mereka berhasil menyelamatkan Islam,
mengkonsolidasi dan meletakkan dasar bagi keagungan umat islam.
2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah yang akan
dibahas dalam penulisan makalah ini yaitu :
3. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dituliskan makalah ini ialah
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah Islam pada masa Khilafah Utsman bin
Affan.
2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah Islam pada masa Khilafah Ali bin Abi
Thalib.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
Usman menjadi khalifah pada bulan Nopember ,644 Masehi / Muharram ,24 Hijriah.
Ia menjadi khalifah selama 12 tahun. Dengan demikian, ia menjadi khalifah pada usia 65
tahun.
Perluasan Wilayah
Selama satu tahun awal pemerintahan,Usman menumpas berbagai pemberontakan di
sejumlah daerah. Wilayah perluasan pada masa Usman Bin Affan, sebagai berikut :
6
1. Perluasan ke khursan dibawah pimpinan sa’ad bin ash dan huzaifah bin yaman.
2. Perluasan ke armenia yang dipimpin salam rabiah al bahly.
3. Perluasan ke Afrika utara (tunisia) dipimpin abdullah bin sa’ad bin abi sa’ad bin abi
sarah.
4. Penaklukan ray dan azerbeijen yang dipimpin oleh walid bin uqbah.
3. Perluasan Wilayah
Usman bin Affan adalah salah satu tokoh terkemuka umat Islam yang memiliki
kontribusi terhadap perkembangan peradaban Islam. Pada masa pemerintahan khalifah
Utsman bin Affan wilayah Islam semakin meluas. Usman memperluas wilayah hingga keluar
Jazirah Arab. Diantaranya :
1. Azerbaijan dan Armenia (24 H)
2. Iskandariah (25 H)
3. Sabur (26 H)
4. Afrika Utara
5. Cyprus (28 H)
6. Tibristan (30 H)
7. Tahun ke 31 H, menyerang daerah-daerah jajahan Romawi (Marwarrauz, Thaliqon,
Fariab, Jauzjan dan Tarkhastan).
4. Kekacauan Dan Konflik Politik Pada Masa Pemerintahan Ustman Bin Affan
1. Nepotisme
Sebagian ahli sejarah menilai, bahwa Utsman melakukan nepotisme. Ia mengangkat
sanak saudaranya, dalam jabatan-jabatan strategis yang paling besar dan paling banyak
7
menyebabkan suku-suku dan kabilah-kabilah lainnya merasakan pahitnya tindakan Utsman
itu. Oleh karena itu, banyak pejabat yang dipecat dan diganti oleh sanak kerabatnya. Pada
saat itulah oleh lawan-lawan politiknya, menuduhnya melakukan KKN (system family/
nepotisme).dalam manajemen pemerintahannya Utsman menempatkan beberapa anggota
keluarga dekatnya menduduki jabatan publik strategis. Hal ini memicu penilaian ahli sejarah
untuk menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan Utsman
tersebut.
Adapun daftar keluarga Utsman dalam pemerintahan yang dimaksud sebagi alasan
motif nepotisme tersebut adalah sebagai
Berikut :
1. Muawiyah Bin Abu Sufyan yang menjabat sebagai gubernur Syam, Beliau termasuk
Shahabat Nabi, keluarga dekat dan satu suku dengan Utsman.
2. Pimpinan Basrah, Abu Musa Al Asy’ari, diganti oleh Utsman dengan abdullah bin
Amir, sepupu Utsman.
3. Pimpinan Kufah, Sa’ad Bin Abu Waqqash, diganti dengan Walid Bin ‘Uqbah, saudara
tiri Utsman. Lantas Walid ternyata kurang mampu menjalankan syariat Islam dengan
baik akibat minum-minuman keras, maka diganti oleh Sa’id Bin al-Ash. Sa’id sendiri
merupakan saudara sepupu utsman.
4. Pemimpin Mesir, Amr Bin al-Ash, diganti dengan Abdullah Bin Sa’ad Bin abu Sarah,
yang masih merupakan saudara seangkat ( dalam sumber lain saudara sepersusuan, atau
bahkan saudara sepupu) Utsman.
5. Marwan Bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, diangkat menjadi sekretaris
Negara.
6. Khalifah dituduh sebagai koruptor dan nepotis dalam kasus pemberian dana khumus
(seperlima harta dari rampasan perang) kepada Abdullah Bin Sa’ad bin Abu Sarah,
kepada Marwan bin Al Hakam, dan kepada Al Harits Bin Al Hakam.
2. Pemberontakan
Sebab-sebab terjadinya pemberontakan yang berakhir dengan terbunuhnya Khalifah
usman dapat diteliti dari beberapa segi. Pertama, bahwa di tengah-tengah masyarakat terdapat
sejumlah kelompok yang memeluk islam tidak dengan sepenuh kesadaran tetapi melainkan
untuk kepentingan tertentu. Kedua, persaingan dan permusuhan antara keluarga Hasyim dan
keluarga Umayyah turut memperlemah kekuatan Usman. Sebelum Nabi Muhammad lahir telah
berlangsung persaingan kedua keturunan yang masih bersaudari ini. Pada masa pemerintahan
8
usman benih kebencian ini tumbuh kembali. Ketiga, lemahnya karakter kepemimpinan Usman
turut pula menyokongnya, khususnya dalam menghadapi gejolak pemberontakan. Bahwa
usman adalah pribadi yang yang sederhana dan sikap lemah lembut sangat tidak sesuai dalam
urusan politik dan pemerintahan, lebih-lebih lagi dalam kondisi yang kritis. Pada kondisi yang
demikian dibutuhkan sikap yang tegas untuk menegakkan stabilitas pemerintahan.
9
PERANG JAMAL
Pengertian Perang Jamal adalah perang unta yang melibatkan pendukung Ali Bin Abu
Thalib melawan kubu Aisyah RA.Perang Jamal atau dikenal juga dengan sebutan
Pertempuran Basra adalah perang antara pendukung Khalifah Ali Bin Abi Thalib melawan
pendukung Aisyah, perang ini sendiri terjadi di daerah Basra, Irak, pada tahun 656 Masehi.
Penyebab terjadinya perang ini adalah adanya tuntutan Aisyah RA yang merupakan
istri mendiang Nabi Muhammad, untuk menegakkan keadilan atas kematian Utsman Bin
Affan (selaku Khalifah sebelum Ali), sebelum berbaiat kepada Ali sebagai Khalifah ummat
Islam pasca terbunuhnya Utsman. Perang Jamal terjadi antara pihak Ali bin Abi Thalib dan
Aisyah. Disebut dengan nama perang unta karena pada saat itu, prajurit di medan perang
Jamal banyak yang mengendarai unta. Selain itu, perang Jamal juga dikenal dengan nama lain
perang Basra karena terjadi di Basra, Irak.
Pemicu utama perang Jamal adalah adanya adu domba oleh seseorang tak
bertanggungjawab pada pasukan Ali bin Abi Thalib dengan pasukan yang berpihak kepada
Aisyah. Padahal saat itu, keduanya berusaha bekerja sama untuk mengusut pembunuhan yang
menimpa Utsman bin Affan.
Perang yang terjadi akibat ulah oknum provokator tersebut menyisakan duka yang
mendalam dalam sejarah Islam karena banyaknya korban jiwa. Pasukan Ali bin Abi Thalib
dan Aisyah sama-sama banyak dan kuat sehingga saat perang Jamal terjadi, pertumpahan
darah tak terelakan lagi. Dan pada akhirnya banyak korban syahid yang berguguran.
Pada hari Kamis pertengahan bulan Jumadil Akhir, Perang Jamal meletus. Sebelum
pertempuran dimulai, Sahabat Ali membacakan salah satu mushaf dan berharap perang tidak
jadi dilakukan. Namun, pihak Aisyah tidak mau mendengarkannya. Salah seorang sahabat
Ali bin Abi Thalib justru terbunuh, dan pasukannya juga dihujani menggunakan anak panah.
Akhirnya Ali mengatakan kepada pasukannya bahwa perang sudah boleh dilakukan dengan
beberapa ketentuan. Mereka tidak boleh menyerang terlebih dahulu, tidak boleh membunuh
yang terluka, tidak boleh melukai anak-anak dan wanita, serta ketentuan lainnya. Sedangkan
Aisyah telah siap di atas unta dengan pakaian besi yang lengkap.
Ibnu Katsir menyebut kurang lebih dari sepuluh ribu orang dari kedua belah pihak
perang Jamal menjadi korban. Abu Khatsamah dari Wahab bin Jarir meriwayatkan bahwa
jumlah pasukan Basrah yang terbunuh mencapai 2500 orang. Sedangkan riwayat lain
menyebutkan bahwa jumlah korban dalam Perang Jamal berkisar antara 2500 – 6000 orang.
10
Di sisi lainnya lagi, pasukan Ali ibn Abi Thalib RA kehilangan 400 – 600 sebagai
korban. Bahkan dua tokoh sahabat, Thalhah dan Zubeir yang oleh Rasulullah SAW dijamin
masuk surga, meninggal dunia.
Thalhah mendapatkan serangan anak panah di kakinya. Ia dirawat di salah satu rumah
warga di Basra karena mengalami pendarahan yang hebat. Akhirnya Thalhah meninggal
karena telah kehabisan banyak darah.
Sementara Zubair melarikan diri dengan kembali ke Madinah setelah perang Jamal
selesai. Namun, Amru bin Jurmuz yang mengetahui bahwa Zubair melarikan diri
mengikutinya kembali ke Madinah. Amru pun membunuh Zubair di tengah perjalanan.
PERANG SHIFFIN
Pertempuran Shiffin adalah pertempuran yang terjadi antara pasukan khalifah keempat,
sahabat Ali bin Abi Thalib dan pasukan sahabat Muawiyah bin Abu Sufyan pada bulan Shafar
tahun 37 Hijriyah; setahun setelah Perang Jamal. Pertempuran itu terjadi di daerah yang saat
ini dikenal sebagai Perbatasan Suriah-Irak, dan berakhir dengan proses arbitrase di bulan
Ramadhan pada tahun yang sama.
11
Latar belakang
Peperangan ini berlangsung imbang sehingga kemudian kedua belah pihak setuju untuk
berunding dengan ditengahi seorang juru runding. Pertempuran dan perundingan membuat
posisi Ali bin Abi Thalib melemah tetapi tidak membuat ketegangan yang melanda
kekhalifahan mereda. Oleh penganut aliran Syiah, Ali bin Abi Talib dianggap sebagai Imam
pertama. Oleh penganut aliran Sunni, Ali bin Abi Thalib adalah khulafaur rasyidin yang ke
empat dan Muawiyah adalah khalifah pertama dari Dinasti Umayyah. Kejadian kejadian
disekitar pertempuran Shiffin sangatlah kontroversial untuk Sunni dan Syiah dan menjadi
salah satu penyebab perpecahan di antara keduanya.
Awalnya, Setelah pasukan Syam dan Kufah sampai di wilayah Shiffin, kedua pihak
mengambil posisi masing-masing. Utusan keduanya sibuk melakukan perundingan, dengan
mengharap pertempuran bisa terhindar.
Diriwayat yang lain juga disebutkan, bahwa Abu Darda’ dan Abu Umamah mendatangi
Muawiyah, dengan isi percakapan yang hampir sama dengan riwayat sebelumnya. Setelah itu
keduanya kembali kepada Ali bin Abi Thalib, dan dia mengatakan, ”Mereka adalah orang-
orang yang kalian maksudkan.” Maka keluarlah banyak orang, dan mengatakan, ”Kami
semua yang telah membunuh Utsman, siapa yang berkehendak maka silahkan dia
melemparkan kami.”
Dinukil juga bagaimana sikap para pendukung Muawiyah, mengapa mereka tidak
membaiat Ali. ”Kami jika membaiat Ali, maka pasukannya akan mendzalimi kami,
sebagaimana mereka mendzalimi Utsman, sedangkan Ali tidak mampu melakukan
pembelaan terhadap kami.[9]
Dari periwayatan di atas semakin jelas, bahwa memang kedua belah pihak, baik Ali dan
Muawiyah tidak berselisih mengenai jabatan kekhalifahan, dan keduanya memang tidak
bermaksud menyerang satu sama lain.
Berbagai upaya menghentikan peperangan dilakukan kedua belah pihak. Para utusan
terus melakukan perundingan, dan pasukan kedua belah pihak sama-sama menahan diri untuk
melakukan serangan, hingga berakhirnya bulan-bulan haram pada tahun itu (37 H). Pasukan
Kufah menyeru kepada pasukan Syam, ”Amirul Mukminin telah menyeru kepada kalian, aku
telah memberi tenggang waktu untuk kalian, agar kembali kepada al haq, dan saya telah
menegakkan atas kalian hujjah, akan tetapi kalian tidak menjawab.”
Pasukan Syam menyambut seruan itu, dengan mempersiapkan diri di shafnya masing-
masing. Pada hari Rabu, tanggal 7 pada bulan Safar, pertempuran berlangsung pada hari
Rabu, Kamis, Jumat serta malam Sabtu. Disebutkan bahwa kedua pihak bersepakat bahwa
12
mereka yang terluka harus dibiarkan, begitu pula mereka yang melarikan diri tidak boleh
dikejar, mereka yang meletakkan senjata akan aman, tidak boleh mengambil benda milik
mereka yang meninggal, serta mereka mendoakan dan menshalati jenazah yang berada di
antara kedua belah pihak.
PERANG NAHRAWAN
Perang Nahrawan (bahasa Arab: )معركة النهروانadalah perang pada masa kekhalifahan
Imam Ali as yang meletus setelah perang Shiffin. Yang melatarbelakangi perang ini adalah
peristiwa hakamiyah pada bulan Safar tahun 38 H. Pihak yang diperangi oleh Imam Ali as
pada perang ini adalah sebuah kelompok yang dikenal dengan nama Mariqin atau Khawarij.
Pada perang ini kelompok Khawarij menderita kekalahan dan dikatakan bahwa kurang dari
10 orang Khawarij yang berhasil melarikan diri dari medan peperangan, salah satunya adalah
Ibnu Muljam, yang nantinya menjadi pembunuh Imam Ali.
Masa Perang
Protes keras yang dilakukan oleh kelompok Khawarij terus berlanjut hingga enam
bulan setelah perang Shiffin. Oleh karena itulah Imam Ali as mengirim Abdullah bin Abbas
dan Sha'sha'ah bin Shauhan untuk berbicara dengan mereka. Mereka tidak mau menyerah
kepada dua utusan Imam Ali tersebut dan tidak mau kembali. Setelah itu, Ali meminta mereka
untuk menentukan 12 orang dan dari kelompok Imam Ali juga memilih 12 orang untuk
berunding.
Ali juga menulis surat yang ditujukan kepada para pemipin Khawarij dan mengajak
mereka untuk kembali ke masyarakat, namun Abdullah bin Wahab justru mengingatkan
peristiwa Shiffin dan menegaskan bahwa Ali as telah keluar dari agama sehingga harus
bertaubat.
Kemudian Ali as berkali-kali melalui para sahabatnya seperti Qais bin Sa'ad dan Abu
Ayub Anshari mengajak golongan Khawarij kembali, sambil memberi jaminan keamanan
kepada mereka. Setelah merasa tidak lagi bermanfaat mengajak mereka untuk kembali, Imam
Ali as menggerakkan pasukannya yang terdiri dari 14 ribu orang untuk menghadapi kaum
Khawarij. Saat dua pasukan berhadapan, sekali lagi Ali menasehati mereka untuk kembali ke
jalan yang benar. Imam Ali berpesan kepada pasukannya yang berjumlah 14 ribu orang untuk
tidak memulai perang.
13
Akhir Perang
Dengan dimulainya perang, dengan cepat pasukan Khawarij segera lumpuh hanya
beberapa saat setelah perang dimulai. Banyak dari mereka yang terbunuh dan terluka-luka.
Jumlah kaum Khawarij yang terluka sebanyak 400 orang dan diserahkan kepada keluarganya
masing-masing dan di pihak Imam Ali as jumlah prajurit yang gugur kurang dari 10 orang.
Dari semua pasukan kelompok Khawarij yang hadir di Nahrawan, tidak ada yang tersisa
kecuali kurang dari 10 orang yang berhasil melarikan lari dari medan perang, salah satunya
adalah Abdurahman bin Muljan Muradi yang di masa kemudian merupakan pembunuh Imam
Ali as. Mayoritas sahabat tidak ikut serta dalam pertempuran ini. Pada saat itu jumlah mereka
sekitar 10 ribu, akan tetapi yang ikut serta tidak lebih dari 30 sahabat saja.[11]
Riwayat mengenai jumlah pasukan yang terbunuh di kedua belah pihak berbeda satu
sama lain, akan tetapi Ibnu Katsir menyebutkan bahwa pasukan Kufah berjumlah 120 ribu
orang, terbunuh 40 ribu, sedangkan pasukan Syam berjumlah 60 ribu, dan yang terbunuh dari
mereka 20 ribu orang, namun menurut Joesoef Sou'yb, pasukan Ali bin Abi Thalib berjumlah
95.000 Prajurit dan yang terbunuh 35.000,sedangkan dari Pasukan Syam berjumlah 85.000
dan yang terbunuh berjumlah 45.000 Prajurit.
Meninggikan Mushaf
Bisa dikatakan bahwa peristiwa penting dalam perang Shiffin adalah pangangkatan
tinggi-tinggi mushaf Al Qur`an, hingga pertempuran itu berakhir. Disebutkan dalam beberapa
periwayatan bahwa ketika pertempuran berlangsung amat sengit banyak sahabat yang
menyeru, dengan mengangkat Al Quran tinggi-tinggi, ”Jika kita tidak berhenti (bertempur)
maka Arab akan sirna, dan hilanglah kehormatan.”
Muawiyah yang juga mendengar khutbah itu membenarkan, ”Benar, demi Rabb
Ka’bah, jika kita masih berperang esok, maka Romawi akan mengincar para wanita dan
keturunan kita. Sedangkan Persia akan mengincar para wanita dan keturunan Iraq. Ikatlah
mushaf-mushaf di ujung tombak kalian.”
Maka saat itu, pasukan Syam menyeru, ”Wahai pasukan Iraq di antara kami dan kalian
adalah Kitabullah!” Muawiyah memerintahkan seorang utusan untuk menghadap kepada
Khalifah Ali bin Abi Thalib, ”Iya, di antara kami dan kalian adalah Kitabullah, dan kami telah
mendahulukan hal itu.” Jawab dia.
Diriwayatkan bahwa kaum Khawarij mendatangi Ali bin Abi Thalib, dengan pedang di
atas pundak mereka, ”Wahai Amirul Mukminin, tidakkah sebaiknya kita menyongsong
mereka, hingga Allah memberi keputusan antara kita dan mereka.” Usulan ini ditentang keras
14
oleh sahabat Sahl bin Hunaif Al Anshari. ”Tuduhlah diri kalian! Kami telah bersama
Rasulullah saat peristiwa Hudaibiyah. Kalau seandainya kami berpendapat akan berperang,
maka kami perangi (tapi kenyataannya mereka tidak berperang)”.
Sahl juga menjelaskan bahwa setelah perjanjian damai dengan kaum musyrikin itu
turunlah surat Al Fath kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Ali bin Abi Thalib
pun menyambut pendapat Sahl, ”Wahai manusia, ini adalah fath (hari pembebasan).” Seru
Ali bin Abi Thalib, akhirnya pertempuran itu pun berakhir.
15
dari pihak Ali mengirimkan Abu Musa al-Asy'ari dan di pihak Mu'awiyah mengirimkan Amr
bin Ash sebagai hakim dalam perundingan tersebut. Perundingan yang dihadiri oleh 400
orang dari dua belah pihak dilakukan di Adhruh jalan utama antara Madinah dan Damaskus.
Dalam perundingan ini menyebabkan terpecahnya pasukan dari pihak Ali karena sebagian
kelompok mengklaim bahwa perundingan itu tidak sesuai dengan Islam, kelompok yang
memberontak yaitu kelompok Khawarij dan kelompok yang tetap mendukung Ali yaitu
kelompok Syiah. Akan tetapi perundingan itu di khianati oleh Mu'awiyah dan secara sepihak
ia menurunkan Ali dari jabatan khalifah. Akibat dari perundingan (tahkim) Islam terbagi
menjadi tiga kelompok yaitu Mu'awiyah, Syiah dan Khawarij. Kedua kelompok yaitu Syiah
dan Khawarij yang pada masa yang akan datang menjadi kelompok aliran atau sekte agama.
Munculnya golongan Khawarij ini membuat kekuatan pasukan Ali manjadi lemah dan posisi
Mu'awiyah menjadi kuat. Selain terpecahnya umat Islam, peristiwa ini juga merubah system
pemerintahan dari demokratis ke monarki, karena pada saat Mu'awiyah menjabat sebagai
khalifah ia mengangkat putranya sebagai putra mahkota.
16
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Khalifah Usman memerintah selama 13 tahun yakni dari 644-655 M atau 23-35 H.. Usman
menggantikan Umar bin Khattab menjadi khalifah yang ketiga. Sebelum Umar wafat, Umar
telah mengangkat enam orang yang bertugas menentukan khalifah selanjutnya. Keenamnya
bermusyawarah untuk menentukan pengganti. Usman bin Affan dipilih karena paling senior.
Ia pun dibaiat sebagai khalifah di Masjid Nabawi pada 23 H atau 644 M di usia 70 tahun. Di
masa pemerintahan Usman, ekspansi terus dilakukan. Atas usul Muawiyah, Usman juga
membentuk armada angkatan laut. Ia membagi kekuasaan Islam menjadi 10 provinsi dengan
masing-masing amir atau gubernur. Di bawah Usman, umat Islam mengalami era paling
makmur dan sejahtera. Prestasi Usman yang paling gemilang yakni membukukan Al-Quran..
Pemerintahan Usman berlangsung selama dua periode, masing-masing enam tahun.
Kejayaannya di periode pertama membuatnya dipilih lagi memimpin di periode kedua.
Namun di periode kedua, terjadi perpecahan dan pemberontakan. Usman diprotes karena
jabatan-jabatan strategis di pemerintahan diberikan kepada keluarganya dari Bani Umayyah.
Pada tahun 35 H atau 655 M, sekitar 1.500 orang datang ke Madinah untuk memprotes
kebijakan Usman ini. Karena tak ditanggapi, protes berubah menjadi pemberontakan.
Akibatnya, rumah Usman dikepung dan ia didesak mundur sebagai khalifah. Seorang
pemberontak bernama Al-Gafiqi berhasil masuk lewat atap dan membunuh Usman. Usman
wafat di usia 82 tahun pada 20 Mei 656 M.
Ali bin Abi Talib berasal dari keturunan Bani Hasyim. Ali memerintah selama enam
tahun dari 35 hingga 40 H atau 655-660 M. Setelah Usman wafat, keadaan semakin kacau.
Kaum muslimin mendesak agar Ali dibaiat sebagai khalifah. Dalam suasana kacau, Ali pun
dibaiat. Peristiwa itu berlangsung pada 25 Zulhijah 35 H di Masjid Madinah. Ali diwarisi
berbagai pergolakan. Masa pemerintahannya penuh dengan cobaan. Ia berusaha
mengatasinya dengan menarik para amir yang sebelumnya diangkat oleh Usman bin Affan.
Pemberontakan yang dihadapi Ali bin Abi Talib di antaranya datang dari Talhah, Zubair, dan
Aisyah. Masa kepemimpinan yang penuh gejolak ini membuat tak banyak warisan yang
ditinggalkan Ali. Salah satu dari sedikit warisan itu yakni penyempurnaan bahasa Arab. Di
akhir masa pemerintahan Ali bin Abi Talib, umat terpecah menjadi tiga golongan, yakni:
17
Muawiyah Syiah, pengikut Abdullah bin Saba' al-Yahudi yang menyusup barisan tentara Ali
bin Abi Talib Al Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Talib Ini
menyebabkan tentara makin lemah. Hingga pada 20 Ramadan 40 H atau 660 M, Ali bin Abi
Talib dibunuh oleh Abdullah bin Muljam, anggota Khawarij.
18
DAFTAR PUSTAKA
Maisyaroh, M. (2019). Kepemimpinan'Utsman bin'Affan dan'Ali bin Abi Thalib. Ihya al-
Arabiyah: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Arab, 5(2), 176-185._
http://jurnal.uinsu.ac.id/
Wikishia_ https://id.wikishia.net/view/Perang_Nahrawan
WikipediA_ https://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Shiffin
19