Anda di halaman 1dari 3

Biografi Abu Hasan Al-Asyari

Siapa yang tidak kenal Imam Abu Hasan al-Asyari   ‫ )أبو الحسن األشعري‬ )?  Nama lengkap beliau:  Abu al-Hasan Ali
bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu
Musa Al-Asy’ari Abdullah bin Qais bin Hadhar.  Imam Asy’ari adalah salah seorang keturunan dari sahabat
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, Abu Musa Al-Asy’ari. Beliau lahir di Bashrah pada tahun 260 H/873 M
dan wafat di Baghdad pada tahun 324 H/935 M. Sebagian besar hidupnya berada di Baghdad.

Orang Pondok Pesantren seringkali mengatakan, “Jangan sebut diri golongan Ahlussunnah wal jama’ah, 
kalau belum mengenal Imam Abu Hasan al-Asyari ini.”  Hal ini karena  Imam Abu Hasan Asy’ari (873-935 M),
yang  dilahirkan di Basrah, Irak, pada tahun 260 H/873 M adalah  Pendiri madzhab teologi Asy’ariyah. Ulama
ahli hadis sepakat bahwa Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (mendapat julukan Nashir ad-Din)  merupakan salah
satu pembesar ahli hadits, sehingga madzhabnya dilandaskan pada asas dasar yang sesuai dengan prosedur
Ahli Sunah Waljamaah.

Masa Kecil Imam Asy’ari

Ayah beliau, Ismail adalah seorang ulama ahli hadis yang menganut paham Ahlus-Sunnah wal Jama’ah. Hal ini
terbukti bahwa ketika Ismail menjelang wafat berwasiat agar al-Asy’ari diasuh oleh Zakaria As-Saji, pakar
hadis dan fikih mazhab Syafi’i yang sangat populer di kota Bashrah, sebagaimana diungkap Ibnu Asakir (1347
H) dalam Tabyin Kidzb al-Muftari. Damaskus: Percetakan al-Taufiq. hlm. 35.   Imam Asy’ari juga  menimba
ilmu dari ulama ahli hadis lainnya, seperti  Abdurrhaman bin Khalaf al-Dhabbi, Sahal bin Nuh al-Bashri,
Muhammad bin Ya’qub al-Maqburi, dan lain-lain. Hal tersebut mengantarkan al-Asy’ari menjadi ulama yang
menguasai hadits, tafsir, fikih, ushul fikih, dan lain-lain.

Di usianya yang relatif muda,  ayah Imam Asy’ari berpulang ke rahmatullah.  Maka, beliau belajar di bawah
bimbingan ayah tirinya, yaitu Abu Ali al-Juba`i yang merupakan tokoh Muktazilah di Kota Bashrah kala itu.
Berkenaan dengan hal ini, al-Hafizh adz-Dzahabi menyatakan, “Abu al-Hasan al-Asy’ari awalnya seorang
Muktazilah mengambil ilmu dari Abu Ali al-Juba`i. Kemudian beliau lepaskan pemikiran Muktazilah, lalu
menjadi pengikut sunnah dan imam para ahli hadits.”

Tajuddin as-Subki menyatakan bahwa selama 40 tahun Abu al-Hasan al-Asy’ari  menganut madzhab
Muktazilah sebelum akhirnya Allah melapangkan dadanya, lalu membela Agama Allah dengan membantah
segala pemikiran yang sesat.

Ibnu ‘Asakir mengisahkan darinya (Abu al-Hasan al-Asy’ari), bahwa ia berkata, “Terbenak di hatiku (Abu al-
Hasan), beberapa permasalahan dalam ilmu akidah. Maka, aku pun berdiri untuk menjalankan shalat dua
rakaat. Dan aku meminta kepada Allah agar Dia memberikanku petunjuk menuju jalan yang lurus. Akupun
tertidur, tak lama kemudian aku bermimpi bertemu Rasulullah SAW.  Aku mengadukan beberapa
permasalahan kepadanya. Lalu Rasulullah mewasiatkan, ‘Tetapilah sunnah-ku.’ Aku pun terbangun dan aku
membandingkan beberapa permasalahan ilmu akidah dengan dalil yang aku temukan di dalam al-Quran dan
hadis. Kemudian, aku menetapinya dan aku membuang selainnya di balik punggungku.”
Ketidakpuasan al-Asy’ari tersebut dapat dilihat pula dengan memperhatikan beberapa hal, antara lain riwayat
yang menyatakan bahwa sebelum al-Asy’ari keluar dari aliran Muktazilah,  beliau tidak keluar rumah selama
15 hari. Kemudian pada hari Jumat setelahnya beliau keluar ke Masjid Jami’ dan menaiki mimbar dengan
berpidato, “Sebenarnya saya telah menghilang dari kalian selama lima belas hari ini. Selama ini saya meneliti
dalil-dalil semua ajaran yang ada. Ternyata saya tidak menemukan jalan keluar. Dalil yang satu tidak lebih
kuat daripada dalil yang lain. Lalu aku memohon petunjuk kepada Allah dan ternyata Allah memberikan
petunjuknya kepadaku untuk meyakini apa yang saya tulis dalam beberapa kitab ini. Mulai saat ini aku
mencabut semua ajaran yang selama ini aku yakini.” Kemudian al-Asy’ari menyerahkan beberapa kitab yang
ditulisnya kepada jamaah disana, diantaranya Kitab al-Luma’ fi al-Radd ‘ala Ahl al-Zaygh wa al-Bida’, kitab
yang memaparkan kerancuan Muktazilah, “Kasyf al-Astar wa Hatk al-Asrar”, dan kitab-kitab lainnya.

Sejak saat itulah beliau ~ Imam Abu Hasan al-Asy’ari ~ berpegang pada prinsip ahli sunah waljamaah, serta
menangkis segala pemikiran yang bertentangan dengan pemikiran ahli sunah. Abu al-Hasan al-Asy’ari
memiliki kecerdasan dan ketajaman pemahaman yang sangat luar biasa. Demikian juga, dia dikenal dengan
kanaah dan kezuhudanya. Sayangnya, meski ajaran aqidahnya dianut  mayoritas umat Islam di Indonesia
bahkan dunia, tak banyak yang mendalami Kitab Teologi Asy’ariyah, yaitu Kitab Al-Lumaa. Padahal
sebenarnya dengan metode tanya-jawab dalam penulisannya, Imam al-Asyari berhasil mengurai persoalan
ketauhidan dengan bernas dan lengkap. Tak heran jika kitab “Al-Lumaa’ ini ikut serta mendorong kelahiran
Teologi Asy’ariyah pada abad ke-4 Hijriah.

Fase Pemikiran Imam Asy’ari 

Ada perbedaan pendapat tentang fase pemikiran Abul Hasan Al-Asy’ari sebagian pihak mengklaim Abul
Hasan Al-Asy’ari hanya melewati dua fase, pihak lainnya mengklaim Abul Hasan Al-Asy’ari melewati tiga fase
pemikiran. Abu Bakar bin Furak, Ibnu Khaldun dan ulama-ulama lainnya berpendapat bahwa Abul Hasan Al-
Asy’ari hanya melewati dua fase pemikiran saja yaitu dari Muktazilah ke Ahlussunah. Ibnu Khaldun
berkata: Hingga akhirnya tampil Syekh Abu al-Hasan al-Asy’ari dan mendebat sebagian tokoh Muktazilah
tentang masalah-masalah shalah dan ashlah, lalu dia membantah metodologi mereka dan mengikuti
pendapat Abdullah bin Sa’id bin Kullab, Abu al-Abbas al Qalanisi, dan al-Harits al-Muhasibi dari kalangan
pengikut salaf dan Ahlussunnah.  Dari pernyataan Ibnu Khaldun tersebut ia menyimpulkan bahwa setelah al-
Asy’ari keluar dari paham Muktazilah, beliau mengikuti mazhab Abdullah bin Sa’id bin Kullab, al-Qalanisi, dan
al-Muhasibi yang menurutnya dia merupakan pengikut Ahlussunnah.

Ulama-ulama seperti Ibnu Katsir, Ibnu Taimiyah, syekh Utsaimin dan ulama-ulama kontemporer lainnya
berpendapat bahwa Abul Hasan Al-Asy’ari melewati tiga fase pemikiran dalam hidupnya. Yaitu dari
Muktazilah ke Kullabiyah ke Ahlus Sunnah. Sebagian ulama tidak menganggap Kullabiyah sebagai Ahlussunah
karena ada beberapa masalah akidah yang bertentangan dengan Suni seperti hanya menetapkan tujuh sifat
saja bagi Allah dan menetapkan sifat Dzatiyah tetapi menafikan sifat Ikhtiariyah bagi Allah.

Ibnu Taimiyah berkata, “Dialah yang mengarang kitab–kitab yang isinya membantah Jahmiyah, Muktazilah
dan firkah lainnya. Dia termasuk ahli kalam dalam masalah sifat-sifat Allah. Metode yang dia tempuh
mendekati metode ahlul hadits dan sunah, namun masih termuat cara-cara bidah. Karena beliau 
menetapkan sifat Dzatiyah dan menolak sifat Ikhtiariyah bagi Allah, Tetapi ketika membantah Jahmiyah
dikarenakan mereka menolak sifat dan sifat Uluw (Allah berada di tempat yang tinggi). Sarat dengan hujah
dan dalil dan menerangkan keutamaan hujah dan dalil tersebut. Maka apa yang dikemukakan itu menyapu
bersih syubhat Muktazilah. Dan ini membantu bagi kalangan cendekia. Jadilah dia seorang imam dan panutan
bagi orang yang muncul setelahnya dalam masalah penetapan sifat dan membantah orang yang
menafikannya.

Walaupun antara mereka (Ibnu Kullab dan pengikutnya dengan golongan yang dibantahnya masih ada
persamaan dalam kaidah-kaidah pokok. Hal inilah yang menyebabkan sebagian kaidah yang mereka
munculkan. Menjadi batil dilihat dari kacamata akal dan karena menyelisihi sunah Rasulullah”.  Dari
pernyataan Ibnu Taimiyah diatas, ia beranggapan bahwa kaidah-kaidah yang dilakukan Kullabiyah untuk
membantah Muktazilah masih memiliki kesamaan terutama dalam kaidah pokok, ditambah karena
Kullabiyah hanya menetapkan sifat Dzatiyah dan menolak sifat Ikhtiariyah bagi Allah.

Imam Asy’ari dalam Penetapan Sifat-sifat Allah

Abu al-Hasan Al-Asy’ari pada masa menjadi Muktazilah ia meniadakan semua sifat-sifat Allah dengan dalih
menyucikan keesaan Tuhan, karena Wasil bin Atha’  berpendapat bahwa siapa pun yang menetapkan adanya
sifat kadim bagi Allah, maka dia telah menetapkan adanya dua Tuhan. Muktazilah berpendapat bahwa Tuhan
tidak memiliki sifat, sebab apabila Tuhan memiliki sifat, maka sifat tersebut harus kekal seperti halnya dzat
Tuhan. Kemudian Abul Hasan Al-Asy’ari hanya menetapkan tujuh saja sifat Allah
yaitu hayah, ilmu, qudrah, iradah, sam’u, bashir, dan kalam.

Adapun sifat khabariyah tentang Allah dia pun menakwilnya. Apa yang dicetuskan oleh Abul Hasan al-Asy’ari
ketika itu tersebar ditengah masyarakat dan menjadi titik awal berkembangnya Teologi Asy’ariyah. Kemudian
Abul Hasan Al-Asy’ari menetapkan semua sifat Allah tanpa tasybih, tahrif, takwil, dan tanpa menafikannya
sesuai dengan metodologi salaf.

Sesungguhnya Allah bersemayam di atas ‘Arasy sebagimana yang dinyatakan firman-nya “Tuhan yang maha
pemurah itu bersemayam di atas ‘Arasy” (QS.Thaha, 20:5) Allah pun memiliki ‘wajah’ Sebagaimana
dinyatakan firman-nya “Maka kekallah wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan (QS.ar-
Rahman, 55:27), dan Allah memiliki “Tangan” yang tidak terbayangkan, sebagaimana firman-nya “Yang aku
ciptakan dengan Tangan ku” (QS.Shad, 38:75); dan “bahkan tangan tangan Allah terbuka” (al-Mai’dah, 5:64);
dan Allah memiliki ‘Mata’, yang tidak terbayangkan, sebagaimana firman-nya: “yang berlayar dengan
pengawasan mata kami” (QS.al-Qamar,54:14) Barangsiapa yang menyatakan nama Allah itu bukan ‘Allah’
maka tersesatlah dia.

Anda mungkin juga menyukai