Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
ABU HASAN AL-ASY’ARI
Al-Hafizh Ibnu Asakir berkata di dalam kitabnya Tabyin Kadzibil Muftari
fima Nusiba ila Abil Hasan al-Asy’ari, ”Abu Bakr Ismail bin Abu Muhammad al-Qairawani
berkata,
‘Sesungguhnya Abul Hasan al-Asy’ari awalnya mengikuti pemikiran
Mu’tazilah selama 40 tahun dan jadilah beliau seorang imam mereka. Suatu saat beliau
menyepi dari manusia selama 15 hari, sesudah itu beliau kembali ke Bashrah dan shalat
di masjid Jami’ Bashrah. 
Beliau berbicara pada pokok-pokok agama dan membantah orang- orang
menyeleweng dari ahli bid’ah dan ahwa’ dengan menggunakan al- Qur’an dan Hadits
dengan pemahaman para sahabat. Beliau adalah pedang yang terhunus atas
Mu’taziah, Rafidhah, dan para ahli bid’ah.
Abu Bakr bin Faurak berkata, ”Abul Hasan al-Asy’ari keluar dari pemikiran
Mu’tazilah dan mengikuti madzhab yang sesuai dengan para sahabat pada tahun 300
H.”
ABU MANSUR AL-MATURIDI
Abu Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi lahir di
Samarkand pada pertengahan ke dua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal
di tahun 944 Masehi. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan faham-faham teologinya banyak
persamaannya dengan faham-faham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran
teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah
dan dikenal dengan nama al-Maturidiyah.
Literatur mengenai ajaran-ajaran Abu Mansur dan aliran Maturidiyah tidak
sebanyak literatur mengenai ajaran-ajaran Asy’ariyah. Buku-buku yang banyak
membahas soal sekte-sekte sperti buku-buku al- Syahrastani, Ibnu Hazm, al Bagdadi dan
lain-lain tidak memuat keterangan-keterangan tentang al-Maturidi atau pengikut-
pengikutnya. Karangan-karangan al-maturidi sendiri masih belum dan tetap dalam
bentuk Mahtutat.
Dengan daripada itu, disini saya diberi kesempatan untuk menyusun sebuah
makalah tentang Abu Mansur al-Maturidi. Sekiranya bisa bermanfaat bagi
pembacanya. Amiiiin…..

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana riwayat Abu Hasan Al-Asy’ari ?


2. Bagaimana sejarah hidup Abu Hasan Al-Asy’ari ?
3. Seperti apa karya-karya Abu Hasan Al-Asy’ari ?
4. Siapa Abu Mansur al-Maturidi?
5. Bagaimana pemikiran-pemikiran al-Maturidi?

C. Tujuan

1. Menjelaskan riwayat Abu Hasan Al-Asy’ari


2. Memaparkan sejarah hidup Abu Hasan Al-Asy’ari
3. Mengetahui karya-karya Abu Hasan Al-Asy’ari
4. Menjelaskan riwayat Abu Mansur Al-Maturidi
5. Bagaimana Pemikiran pemikiran Al-Matutidi
BAB II

A. BIOGAFI ABU HASAN AL-ASY’ARI

A. Riwayat  Hidup Abu Hasan Al-Asy’ari


Beliau  namanya adalah Abul al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari keturunan
dari Abu Musa Al-asy’ar. Beliau -Abul Hasan Al-Asy’ari- Rahimahullah dilahirkan pada ta-
hun 873 M/ 260 H di Bashrah irak, dan wafat di Baghdad pada tahun 935 M. Beliau
Rahimahullah dikenal dengan kecerdasannya yang luar biasa dan ketajaman
pemahamannya. Demikian juga, beliau dikenal dengan qana’ah dan kezuhudannya.
Pada mulanya ia adalah murid Al-Jubba’i dan salah seorang terkemuka
dalam golongan Mu’tazilah, sehingga menurut al-Husain Ibn Muhammad al-asyakir, al-
Jubba’i berani mempercayakan perdebatan dengan lawan ke-padanya. Tetapi oleh sebab-
sebab yang tidak begitu jelas, Al-Asy’ari sungguhpun telah puluhan tahun menganut
paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah.[1]
Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan dihadapan jama’ah Masjid
Basrah bahawa dirinya telah meninggalkan paham Mu’tazilah dan akan menunjukkan
keburukan-keburukannya. Menurut Ibnu Asakir, yang melatarbelakangi Al-asy’ari
meninggalkan paham Mu’tazilah adaalah pengakuan Al-asy’ari telah bermimpi bertemu
daengan Rasul sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, ke-30 bulan
ramadhan. Dalam tiga kali mimpinya Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan
paham Mu’tazilah dan membela paham yang telah diriwayatkan beliau.[2]

B. Karya

Al-Asy’ari menulis tidak kurang dari 90 kitab dalam berbagai bidang


yang bisa dibaca orang banyak. Dia menolak pendapat Aristoteles,
golongan materialitas, antropomorphist, golongan khawrij, golongan Murji’ah, dan
terutama golongan Mu’tazilah-Qadariyah.
Akan tetapi, fokus kegiatan Al-asy’ari adalah menyerang pikiran- pikiran
sesat yang ditujukan kepada orang-orang Mu’tazilah sperti Abu Ali al-Jubba’i, Abul
Hdzail, dll.
Ada empat kitab tulisannya yang terkenal dalam Ilmu Kalam, yaitu :
1. Maqalat al-Islamiyah wa ikhtilaf   al-mushallin
Kitab ini menerangkan tentang pendapat-pendapat golongan Islam.
Kitab ini adalah kitab yang pertama kali ditulis tentang kepercayaan dan merupakan
sumber- sumber karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya. Kitab terssebut
dibagi tiga  bagian. Bagian pertama ; berisi pendapat macam-macam golongan Islam.
Bagian kedua ; berisi tentang pendirian-pendirian ahli hadis. Bagian ketiga  ;
berisi tentang macam-macam persoalan ilmu kalam.
2. Al-Banah An Ushul al-Diniyyah.
Kitab ini menerangkan tentang dasar-dasar agama. Kitab ini
menguraikan tentang kepercyaaan Ahlussaunnah dan diawali Ahmad bin Hambal
dan meyebutkan kelebihan-kelebihannya, dengan memuji
imam Ali.
3. Kitab Al-Luma’ Fi al-Raddi ‘ala ahli al-zaighi wal al-bida
Kitab ini berisi bantahan-bantahan yang teratur dan sistematik dengan
sorotan yang tajam terhadap lawan-lawannya, orang-orang sesat dan hali bid’ah.
4. Risalah Fi isthisan al-kahaudl fi ilm Kalam
Kitab ini berisi perbincangan tentang pentingnya ilmu kalam,dengan
pendekatan Rasional, menjelaskan posisi kalam bahwa ia bukanlah yang  ilmu yang
bid’ah.[3]

Di antara tulisan-tulisan beliau adalah: al-Ibanah an Ushuli Diyanah,


Maqalatul Islamiyyin, Risalah Ila Ahli Tsaghr, al-Luma’ fi Raddi ala Ahlil Bida’, al-
Mujaz, al-Umad fi Ru’yah, Fushul fi Raddi alal Mulhidin, Khalqul A’mal, Kita-
bush Shifat, Kitabur Ruyah bil Abshar, al- Khash wal ‘Am, Raddu Alal Mujassimah,
Idhahul Burhan, asy-Syarh wa Tafshil, an-Naqdhu alal Jubai, an-naqdhu alal
Balkhi, Jumlatu Maqalatil Mulhidin, Raddu ala lbni Ruwandi, al-Qami’ fi Raddi
alal Khalidi, Adabul Jadal, Jawabul Khurasaniyyah, Jawabus Sirafiyyin, Jawabul
Jurjaniyyin, Masail Mantsurah Baghdadiyyah, al- Funun fi Raddi alal Mulhidin,
Nawadir fi Daqaiqil Kalam, Kasyful Asrar wa Hatkul Atsar, Tafsirul Qur’an al-
Mukhtazin, dan yang lainnya. Al- Imam Ibnu Hazm Rohimahullah berkata, “al-
Imam Abul Hasan al- Asy’ari memiliki 55 tulisan.[4]
C. Keagungannya
Syeikh muhammad abduh menerangkan keagungan imam Al- asy’ari
dalam firqoh Ahlu sunah sebagai berikut.
“Dengan adanya kata sepakat antara orang-orang salaf dengan golongan- golongan
yang sehalauan dengan mereka untuk bersama-sama menentang orang-orang zindiq dan
pengikut-pengikutnya, maka perselisihan diantara mereka menjadi memuncak. Hari- hari
kemenangan silih berganti berada diantara mereka. Namun demikian, tidak menghalangi
masing-masing pihak untuk memperdalam ilmudan mengambil faedah tentang
keilmuan satu pihak denganmpihak yang lainnya, hingga datang Syaikh abul hasan A-
asy’ari pada awal abad ke -4 hijriyah. Dia berjalan ditengah, yaitu antara keyakinan orang-
orang salaf dan keyakinan orang-orang yang menentangnya. Dia menetapkan pokok-
pokok kepercayaan menurut prinsip-prinsip yang sesuai dengan tujuan akal. Tetapi orang-
orang salaf meragukan kebenaran pendiriannya itu dan banyak diantataranya yang
menyaerangang akidahnya yang demikian it, sehingga pengikut-pengikut madzhab
Hambali mengkafirkan pendiriannyam itu dan menghalalkan darah orang yang
menganutnya. Sebaliknya kemudian beliau dibela oleh suatu jamaah ulama-ulama
terkemuka , diantarany a seperti abu bakar al- baqillani, imam haromain, dll.

  B. BIOGRAFI AL MATURIDI
Namanya adalah Muhammad bin Muhammad Abu Mansur Al- Maturidi,
ia di lahirkan di sebuah kota yang bernama maturid didaerah Samarqand (termasuk
daerah Uzbekistan) pada tahun 853 M dan meninggal pada tahun 333 H/ 944 M. Ia adalah
pendiri dari aliran Al- Maturidiyah salah satu golongan aliran dari madzhab Ahlussunnah.
Tidak seorangpun secara pasti mengetahui tahun kelahirannya. Ini adalah sebuah
observasi penting karena ini berarti bahwa orang yang membuat isnad tidak
mengetahui cukup informasi tentangnya untuk menjadikannya sebagai sumber, artinya
tidak ada seorang alim pun yang pernah mengenalnya.
BAB III
PEMBAHASAN

A. ABU HASAN AL-ASY’ARI


Beberapa waktu lamanya dia merenungkan dan mempertimbangkan
antara ajaran-ajaran Mu’tazilah dengan paham ahli- ahli fiqih dan hadis. Ketika berusia 40
tahun,  dia berkhalwat dirumahnya selama 15 hari untuk memikirkan hal tersebut. Pada hari
jumat., dia naik mimbar di masjid Basrah, secara resmi menyatakan pendiriannya
keluar dari Mu’tazilah :
“ Wahai masyarakat, barang siapa mengenal aku, sungguh dia telah
mengenalku. Barang siapa yang tidak mengenal aku, maka aku mengenali diriku sendiri.
Aku adalah fulan bin fulan. Dahulua aku berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah mahluk,
bahwa sesungguhnya Allah tidak dapat dilihat dengan mata, bahwa perbuatan-perbuatan
yang jelek aku sendiri yang memperbuatnya. Aku bertaubat, mencabut dan menolak
paham-paham Mu’tazilah dan keluar daripadanya untuk membongkar kesalahan-
kesalahannya.”

Adapun sebab terpenting mengapa Al-asy’ari meninggalkan Mu’tazilah


ialah karena adanya perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa menghancurkan
mereka sendiri, kalau seandainya tidak segera diakhiri. Sebagai seorang Muslim yang
mendambakan atas kepersatuan umat, dia sangat khawatir kalau Al-Qur’an dan Hadits
menjadi korban dari paham-paham Mu’tazilah yang dianggapnya semakin jauh dari
kebenaran . Hal ini disebabkan karena mereka terlalu menonjolkan akal pikiran.
Kejadian tersebut berlangsung berlarut-larut berkepanjangan, sedangkan
dari pihak penguasa pemerintahan Bani Umayyah tampaknya tidak berminat untuk
mencarikan penyelesaian, mendamaikan atau mencari titik temu perbedaan pendapat
itu, guna memberikan kepuasn semua pihak.
Telah banyak timbul simpang siur paham Washil bin Atho’ dan pengikut-
pengikutnya. Diantaranya mereka mempelajari filsafat dari buku- buku Yunani, sesuai
dengan kemampuan mereka. Mereka mengira, bahwa memperkuat kepercayaan agama
dan menetapkannya dengan ilmu tanpa mengadakan pembedaan apakah ia sesuai
dengan pandangan akal ataukah dugaan belaka, adalah termasuk pengabdian kepada
Allah swt.
Pembicaraan tentang ilmu kalam, yakni dengan menghubungkannya
kepada pokok pemikiran tentang kejadian alam sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an .
Kemudian timbullah masalah tentang Khalqul Qur’an. Apakah Al-qur’an itu mahluk
atau Azali, yang tidak ada permulaan. Oleh karena itu, banyak korban yang mengalir
darahnya dengan cara tidak wajar dan banyak pula ahli-ahli ilmu dan orang-
orang yang takwa mendapat bencana.
Perlu dijelaskan corak pemikiran Al-Asy’ari, karena terdapat dua corak
pemikiran yang tamapaknya berbeda, tetapi sebenarnya saling melengkapi. Dia berusaha
mendekati ulama-ulama fiqih dari golongan sunni, sehingga ada orang yang mengatakan
bahwa Al-asy’ari itu bermadzhab Maliki dan yang lain lagi mengatakan bahwa dia
bermadzhab Hambali. Disamping itu, adanya keinginan Al-asy’ari menjauhi madzhab-
madzhab fiqih.
Dua corak pemikiran tersebut tidak bertentangan. Dia mendekati madzhab-
madzhab fiqih dalam soal-soal furu’. Sebagai orang yang pernah mengikuti paham
Mu’tazilah, Al-asy’ari tidak menjauhkan diri dari pemakaian akal pikiran dan penggunaan
argumentasinya . Dia juga menentang pendapat mereka yang mengatakan
bahwa  penggunaan akal pikiran dalam membahas masalah-masalah baru dan
kenyataannya sahabat-sahabat nabi itu tidak dinyatakan sebagai ahli bid’ah.
Akan tetapi, Al-asy’ari menentang keras orang yang berlebih- lebihan
dalam penggunaan akal pikiran, yaitu golongan Mu’tazilah, seperti mereka tidak
mengakui hadis-hadis Nabi sebagai dasar agama.
Dengan demikian, jelaslah keduudukan Al-Asy’ari sebagai seorang
Muslim yang benar-banar ikhlas membela kepercayaan, berpegang teguh kepada Al-
Qur’an dan hadis sebagai dasar agama, disamping menggunakan akal pikiran yang tugasnya
tidak lebih dari pada memperkuat pemahaman nash-nash agama.
Imam Al-Asy’ari meninggal tahun 330 H/ 943 M . Sesudah
meninggalnya, beberapa tahun pahamnya mengalami keredupan, karena adanya
pengikut-pengikut yang agak condong ke rasionalisme. Karena itu timbullah pihak-pihak
yang menentangnya, yaitu pengikut madzhab Hambali, sehingga berdampak
menurunnya terhadap kegiatan mereka. Keadaan menjadi tertolong, ketika khalifah al-
mutawakkail dari bani Abbasiyah mulai berpihak kepada ajaran al-Asy’ari dan
kemudian berlanjut ketika Nizham al-muluk, sseorang mentri dari Bani Saljuk
mendirikan dua buah madrasah yang terkenal, yaitu Nizhamiyah di Naisabur
dan di Baghdad, yang mana hanya aliran Asy’ariah sajalah yang boleh diajarkan. Sejak itu,
aliran Asy’ariah menjadi aliran resmi negara. Paham Asy’ariah ini di anut oleh umat
Islam yang bermadzhab Syafi’i atau Maliki.
Di samping  penunjang penguasa, yaitu Nizham al-muluk, maka kemajuan
aliran Asy’ariah ini dukung oleh ulama-ulama terkenal, antara lain Al-baqillani, Al
Juwaini, Al-Ghazali, Fakhrudin Ar-Razi, Asy- syahratsani, dan As-sanusi.[5]

A. Doktrin-doktrin Teologi Al-asy’ari


Formulasi pemikiran Al-Asy’ari, secara esensial menampilkan sebuah
upaya sintesis antara formulasi ortodoks extrim pada satu sisi lain. Dari segi etosnya,
pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas
menampakkan sifat yang reaksonis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak bisa 100%
menghindarinya.
Pemikiran-pemikiran Al-asy’ari yang terpenrinng adalah , sebagai berikut :
 Tuhan dan sifat-sifatnya
Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan yang ekstrim. Pada satu
pihak, ia berhadapan dengan klompok sifatiah (pemberi sifat), klompok
mujassimah (antropomorfis), dan klompok musyabbihah.
Menghadapi kelompok yang berbeda tersebut, Al-asy’ari berpendapat
bahwa Allah memiliki sifat-sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah), sperti mempunyai
tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis.
selanjutnya beliau berpendapat bahwa sifat-sifat Allah unik dan tidak dapat
dibandingkan dengan sifat- sifat manusia pada umumnya. Sifat-sifat Allah berbeda dengan
Allah, tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dara esensi- Nya.
Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.
 Kebebasan dalam berkehendak (free-will)
Al-asy’ari mengambil pendapat menengah diantara dua pendapat yang
ekstrem, yaitu Jabariah yang fatalistik dan menganut paham pra- determinisme, dan
Mu’tazilah menganut paham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia
menciptakan perbuatannya sendiri.
Untuk menengahi kedua  pendapat diatas, beliau membedakan
anatara khaliq dan kasb. Menurutnya Allah adalah pencipta perbuatan manusia,
sedangkan manusia adalah yang mengupayakannya . Hanya Allah yang mampu
menciptakan segala sesuatu.(termasuk keinginan manusia).
 Akal wahyu dan kriteria baik buruk
Meskipun Al-asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah menakui pentingnya akal
dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan
kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah
mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat diantara
mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu,
sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.
 Qadimnya Al-qur’an
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan eksterm dalam personal qadimnya
Al-qur’an : Mu’tazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an mahluk, dan tidak Qodim ; serta
pandangan Madzhab Hambali dan zahiriah yang mengatakan bahwa Al-qur’an adalah
kalam Allah. Bahkan zahiriah berpendapat bahwa semua huruf, kata-kata, dan bunyi Al-
qur’an adalah qadim. Al-asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-qur’an terdiri atas kata
,huruf, dan bunyi, tetapi hal itu tidak melekat pada esensi Allah dan tidak qadim. Nasuton
mengatakan bahwa Al-qur’an bagi Al-asy’ari tidak diciptakan, sesuai dengan Q.S. An
Nahl : 16.
“Sesungguhnya firman kami terhadap sesuatu apabila kami
menghendakinya, kami hanya mengatakan kepadanya, jadilah ! maka jadilah
sesuatu itu. “
 Melihat Allah
Al- asy’ari tidak sependapat dengan kelompok otodoks ekstrem, terutama
zahiriah yang mengatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan memercayai bahwa
Allah bersemayam di ‘arsy. Selain itu, Al-asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah
yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. Al-asy’ari yakin bahwa Allah
dapat dilihat di Akhirat, tetapi tidak  dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat
terjadi ketika Allah yang menyebabkan dapat dilihat atau ia menciptakan
kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
 Keadilan
Pada dasarnya Al-asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu
adil.  Mereka hanya berbeda dalam cara pandang makna keadilan. Al- asy’ari
tidak sependapat dengan ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil
sehingga ia harus menyiksa orang salah dan memberi pahala kepada orang yang
berbuat baik. Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah tidak memiliki keharusan apapun karena
ia adlah penguasa Mutlak. Jika Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang
memiliki dirinya, sedangkan Al-asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik
mutlak.
 Kedudukan orang berdosa
Al-asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut mu’tazilah.
Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi seseorang harus
satu diantaranya. Jika tidak mukmin ,ia kafir. Oleh karena itu, Al-asy’ari berpendapat
bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik sebab iman tidak
mungkin hilang karena dosa selain kufur.[6]

Pokok-Pokok Pemikiran Al-Asy‘Ari


Pokok pemikiran abu hasan al-asy’ari yaitu:
1. Membenarkan teori Mu‘tazilah tentang berbagai istilah dalam al-Quran seperti
Yadul-lâh dan Wajhul-lâh yang menurutnya tidak harus digambarkan bahwa
Allah memiliki tangan dan wajah.
2. Menentang Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa al-Quran adalah makhluk. Al-
Asy‘ari sendiri dengan lantang menegaskan kalau kalamullah itu qadîm. Dengan
menyodorkan dalil naqlî dan ‘aqlî dalam kitabnya, al-Luma‘ fî al-Radd ‘alâ Ahl
al-Ziyâgh wa al-bida‘ dan al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah.
3. Menentang Mu‘tazilah yang berpandangan bahwa manusia bebas melakukan
perbuatan yang diinginkannya (Jabariah/Fatalisme). Sedangkan menurutnya,
semua perbuatan baik dan buruk bergantung kepada kehendak Allah yang
menciptakan semua perbuatan hamba-Nya.
4. Menentang Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan
dosa besar tidak lagi mukmin dan juga bukan orang kafir. Menurut al-Asy‘ari, ia
berada di tengah-tengah antara keduanya. Artinya, Ia tetap muslim tapi diancam
dengan siksa neraka.
5. Dalam pandangan al-Asy‘ari, akal tidak memiliki kedudukan seperti yang
diyakini Mu‘tazilah. Kelompok ini berpendapat bahwa kekuatan akal sanggup
membedakan antara hal yang baik dan yang buruk. Sedangkan menurutnya,
wahyu adalah satu-satunya perangkat untuk mengetahui Allah dan syariat-Nya.
Akal hanya berguna untuk mengetahui saja, tidak lebih.[7]

B. ABU MANSUR AL MATURIDI

Al Imam Abu Mansur Al Maturidi digambarkan dalam buku; “Al Fath Al


Mubin” (Terbuka Jelas Atas Tingkatan Ushulis), “Abu Mansur menggunakan argumen
yang kuat untuk meyakinkan setiap orang, dia menggunakannya untuk
mempertahankan aqidah umat muslim……”Beliau adalah orang yang banyak merujuk
pada rasio/akal dan dari pendapat-pendapat mereka sendiri. Mereka memberikan
kepadanya titel yang menyeluruh/sempurna, sepanjang persoalan itu bisa dibuktikan,
dia tidak akan mengambil pendapat ulama. Mereka mengatakan, “Dia berdiri keras melawan
golongan Mu’tazillah”. Dia begitu luar biasa dalam menyerang teks (Al Quran dan As
Sunnah) dengan menggunakan rasio. Dia seorang rasionalis yang mencoba
membuktikan eksistensi Allah dengan hujjahnya sendiri, akan tetapi jika dia tidak
mengetahui bagaimana eksistensi Allah berdasarkan Al Qur’an maka dia akan
dihukum oleh Allah swt.
Al Maturidi memiliki banyak buku termasuk, “Ushul Fiqh”, “Takfir”,
“Takwil” yang dia gunakan untuk menyerang Jahmiyah dan salah satu bukunya yang
terkenal yaitu “Kitabul Tauhid” Dalam “Kitabul Tauhid”, tidak disebutkan tentang
Tauhid Uluhiyah, pembicarannya murni tentang Tauhid Rububiyah dan sesuatu yang
berhubungan kepada Tanzih.

Kitab-kitab yang pernah dikarang oleh beliau diantaranya adalah ;


1. Kitab Al Tawhid
2. Kitab Radd Awa'il al-Adilla
3. Radd al-Tahdhib fi al-Jadal
4. Kitab Bayan Awham al-Mu'tazila
5. Kitab Ta'wilat al-Qur'an
6. Kitab al-Maqalat
7. Ma'akhidh al-Shara'i' in
8. Al-Jadal fi Usul al-Fiqh
9. Radd al-Usul al-Khamsa
10. Radd al-Imama
11. Al-Radd 'ala Usul al-Qaramita
12.  Radd Wa'id al-Fussaq
 AL-MATURIDIYAH
Setelah Al-Maturidi meninggal, ide-idenya berkembang mulai tahun 333
H hingga 500 H dikalangan murid-muridnya. Banyak dari mereka yang menulis
banyak buku yang mengikutinya dalam aqidahnya dan mengikuti fiqh dari Abu
Hanifah. Termasuk di dalamnya (muridnya) yaitu Imam Abul Qasim Ishaq bin
Muhammad bin Ismail Al Hakim Al Samarqandi (meninggal 342 H), dikenal sebagai
Abul Qasim Al Hakim dan Abu Muhammad Abdul Kareem bin Musa bin Isa Al
Bazdawi (meninggal 390 H) dikenal sebagai Al Bazdawi. Setelah ini tingkatan Al
Maturidiyah dengan tokoh Abul Yusr Al Bazdawi (421 H – 493 H), dikenal
sebagai Muhammad bin Muhammad bin Husain Abdul Kareem Al Bazdawi. Dia
dikenal sebagai Syeikh dari Ahnaf setelah saudara tertuanya.
Golongan Maturidiyah adalah golongan rasionalis yang diatributkan kepada
Al Maturidi. Sumber Ushulud Dien mereka adalah rasio dan mengambil teks (Al
Quran dan Sunnah) sebagai sumber kedua setelah itu.Al Maturidiyah didirikan dalam
rangka untuk mengkounter golongan yang lain (seperti Mu’tazillah dan Ash’aris),
akan tetapi tidak disebut Al Maturidiyah hingga setelah kematiannya
 Doktrin-doktrin teologi Al-Maturidi
a. Akal dan wahyu.
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al- Qur'an dan
akal dalam bab ini ia sama dengan Al-asy’ari. Menurut Al- Maturidi, mengetahui Tuhan dan
kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam
mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar
manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan
keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam
tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh
pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya.
Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan
mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut.
Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban- kewajiban
lainnya. Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik
dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan
syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam
kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing.
1) Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;
2)   Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu;
3) Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk
ajaran wahyu. Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu
buruk karena larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi
tengah dari Mutazilah dan Al-Asy’ari.
b. Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena
segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaannya. Dalam hal ini, Al-Maturidi
mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai
pencipta perbuatan manusia.
c. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Menurut Al-Maturidi qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi
perbuatan dan kehendaknya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang
sudah ditetapkannya sendiri.
d. Sifat Tuhan.
Dalam hal ini faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mutzilah.
Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat
Tuhan, sedangkan mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. Maturidiyah hanya
menetapkan delapan sifat saja bagi Allah Ta'ala, dengan versi yang berbeda-beda,
yaitu : al hayah (hidup), qudrah (kekuasaan), al ilmu, iradah (kehendak), as sam'u
(mendengar), al basharu (melihat), al kalam (berbicara) dan at takwin (pembentukan).
e. Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini
diberitahukan oleh Al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat
22dan 23. namun melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa),
karena keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di dunia.
f. Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan
bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam
nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan
suara adalah baharu (hadist).
g. Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini,
kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi
kehendak Tuhan kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh
kehendak-Nya sendiri.
h. Pengutusan Rasul
Pandangan Al-Maturidi tidak jauh beda dengan pandangan mutazilah yang
berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban
Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.
i. Pelaku dosa besar
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak
kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat.
BAB IV
KESIMPULAN

Abu Musa Al-Asy’ari adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shalallahu


‘alaihi wasallam yang masyhur. Beliau -Abul Hasan Al- Asy’ari- Rahimahullah dilahirkan
pada tahun 260 H di Bashrah, Irak. Beliau Rahimahullah dikenal dengan kecerdasannya
yang luar biasa dan ketajaman pemahamannya. Demikian juga, beliau dikenal dengan
qana’ah dan kezuhudannya. Al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari wafat di Baghdad
pada tahun 324 H. Semoga Allah meridhoinya dan menempatkannya dalam
keluasan jannahNya.
Imam Abu Hasan Al-Asy’ari bermadzhab fiqih kepada Madzhab Imam
Syafi’i. Demikian tertulis dalam kitab Al-Habaik Fi Akhbar Al-Malaik karangan Imam
Jalaluddin As-Suyuthi. Dan Ustadz Abu Ishaq dan Abubakar al-Furak dalam kitab
“Thabaqat Mutakallimin”.
Abu Hasan Al-Asy’ari meninggalkan karangan-karangan, kurang lebih
berjumlah 90 buah dalam berbagai lapangan. Kitabnya yang terkenal ada empat :

1. Maqalat al-Islamiyyin
2. Al-Ibanah 'an Ushulid Diniyah
3. Kitab Al-Luma’ Fi al-Raddi ‘ala ahli al-zaighi wal al-bida
4. Risalah Fi isthisan al-kahaudl fi ilm Kalam

Al-Maturidi dilahirkan disebuah kota kecil di daerah Samarkand yang


bernama Maturid. Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al- Mutawakil yang
memerintah pada tahun 232-274 H/847-861 M. karir pendidikan beliau lebih
dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih.
Setelah beliau wafat, pemikran-pemikiran beliau berkembang dikalangan
pengikutnya sehingga terbentuklah suatu golongan yang bernama Al- Maturidiyah.
Doktrin-doktrin teologi al-Maturidiyah diantaranya akal dan wahyu, perbuatan manusia,
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, sifat Tuhan, melihat Tuhan kalam Tuhan,
perbuatan manusia, pengutusan Rasul dan dosa besar.
BAB V

PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan. mudah-mudahan bisa bermanfaat


bagi kita semua khususnya bagi pembacanya. Dan tidak lupa kritik dan sarannya sangat kami
harapkan guna memperbaiki pembuatan selanjutnya. Dan apabila ada kesalahan penulisan
maupun penyampaian, mungkin karena kebodohan serta kurangnya pengetahuan kami, dan
apabila ada kebenaran semata hanya dari Allah SWT. Semoga bermanfaat dan
disebarluaskan......
Wallahu ‘alam Bisshowab......
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. Teologi Islam, Jakarta: UI Press.  2012.


Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,Bandung  : CV Pustaka Setia. 2013.
                  

Ahmad, Nasir Sahilun.  Pemikiran kalam,(jakarta : PT Raja Grafindo. 2010.

Syariah, Group. (http://grupsyariah.blogspot.com/2012/06/riwayat-hidup-abu-hasan-al-


asyari-serta.html) 29 april 2014.

Rozak, Abdul & Anwar, Rohison, Ilmu Kalam. CV Pustaka Setia, Bandung, 2003
Nasution, Harun, Teologi Islam, UI Press, Jakarta, 1987

Nata, Abudin, Meteologi Study Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
Hanafi, Teologi Islam, Bulan Bintang Jakarta, 1982
MAKALAH ASWAJA DAN KE NU-an

Biografi Imam Abu Hasan Al-Asy’ari


dan Abu Masyur Al-Maturidi

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Aswaja dan ke NU-an

Dosen Pengapu: Zainal Roshadi, M.Pd

Disusun Oleh:
1. Nur Chayatun 2186236007
2. Leli Putri Rahayu 2186236020

Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini


Fakultas Agama Islam
Universitas Nadhlatul Ulama Blitar
Oktober 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Swt. atas terselesaikannya makalah Aswaja ke NU an


“Menjelsakan Tentang Biografi Imam Abu Hasan Al-Asy’aridan Abu Masyur Al-Maturidi”.
Penulis menyampaikan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah membimbing
dalam penulisan makalah ini.
Penulis sudah berusaha sebaik-baiknya untuk menyelesaikan makalah ini, tak ada
gading yang tak retak, kesempurnaan hanya milik-Nya. Tiada suatu usaha yang besar akan
berhasil tanpa dimulai dari usaha yang kecil. Sebagai penanggung jawab atas makalah ini,
penulis mengharapkan kritik dan saran, serta masukan untuk perbaikan serta penyempurnaan
makalah ini.
Akhirnya, semoga hasil penulisan makalah ini dapat memberikan manfaat dan dapat
dijadikan sebagai wacana untuk memperluas pengetahuan.

Blitar, 23 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ........................................................................ i

KATA PENGANTAR ......................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .................................................................... 2
C. Tujuan ...................................................................................... 2

BAB II BIOGRAFI .............................................................................. 3

A. Biografi Abu Hasan Al-Asy’ari ............................................... 3


B. Biografi Abu Hasan Al-Maturidi ............................................. 5

BAB III PEMBAHASAN .................................................................... 6

A. Abu Hasan Al-Asy’ari ............................................................. 6


B. Abu Mansur Al-Maturidi.......................................................... 11

BAB IV KESIMPULAN ..................................................................... 15

BAB V PENUTUP .............................................................................. 16

Daftar Pustaka ...................................................................................... 17

Anda mungkin juga menyukai