Anda di halaman 1dari 145

Herlina, Nina.

Historiografi Indonesia & Permasalahannya/Prof. Dr. Nina Herlina, M. S.


xi + 133 hlm.; 21 cm

Daftar Pustaka : Hlm. 125

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang


Pasal 44
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau
memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda
paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil
ppelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana
dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak
Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Oleh:
Prof. Dr. Nina Herlina, M. S.
Historiografi Indonesia dan Permasalahannya

Penulis : Prof. Dr. Nina Herlina, M. S.


Setting dan Lay Out : Anjani Dyah Paramita
Desain Sampul : Anjani Dyah Paramita

Pertama kali diterbitkan Februari 2000


oleh Satya Historika
KATA PENGANTAR

Buku ini disusun untuk memenuhi kebu-


tuhan mahasiswa Jurusan Sejarah khususnya
dalam perkuliahan Historiografi Indonesia. Isi buku
ini memuat hal-hal yang bersifat pokok dalam
perkembangan historiografi di Indonesia, dileng-
kapi dengan beberapa kasus yang dianggap
representatif.
Buku ini sebenarnya merupakan hasil revisi
diktat Historiografi yang telah disusun beberapa
tahun yang lalu. Revisi yang dilakukan yaitu pada
bagian awal, yang ditambah dengan beberapa
aspek yang berkaitan dengan historiografi lokal
tetapi perlu diketahui para mahasiswa sebagai
pengantar menuju historiografi Indonesia. Tam-

v
bahan lain dilakukan juga untuk contoh kasus, dan
juga pada bagian akhir ditambahkan perkem-
bangan historiografi Indonesia yang paling
mutakhir.
Tentu saja, buku ini masih harus terus
diperbaiki, disempurnakan dengan memberikan
bahan-bahan terbaru sepanjang dapat dijangkau
oleh penulis. Semoga bermanfaat.

Bandung, Februari 2009


Penulis

vi
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………….. v

DAFTAR ISI ……………………………………... vii

BAB I PENDAHULUAN ………………………... 1


1.1 Asal-usul Budaya Tulisan ………..…………… 1
1.2 Konsep Waktu …………….………………….. 5
1.3 Definisi Historiografi …….…………………... 9
1.4 Perkembangan Historiografi Indonesia…… 12

BAB II HISTORIOGRAFI TRADISIONAL … 13


2.1 Bentuk-bentuk Historiografi Tradisional … 13
2.2 Keseragaman Historiografi Tradisional ... 18
2.3 Fungsi Historiografi Tradisional …………… 27
2.4 Analisis Historiografi Tradisional ..………… 30

vii
BAB III HISTORIOGRAFI KOLONIAL ……. 55
3.1 Sumber Sejarah Kolonial ………….………….. 55
3.2 Historiografi Awal ……………………………. 57

BAB IV HISTORIOGRAFI NASIONAL DAN


HISTORIOGRAFI MODERN ................ 65
4.1 Nasionalisme dan Sejarah …………….……… 65
4.2 Defilologisasi ……..……………………………...... 68
4.3 Penulisan Sejarah Indonesia Baru ………… 71
4.4 Buku Sejarah Tatar Sunda ................... 72
4.5 Penulisan Sejarah Kebudayaan Sunda .... 86
4.6 Polemik tentang Naskah Wangsakerta .... 100

LAMPIRAN ............................................. 117


DAFTAR PUSTAKA ……………....…............ 127
RIWAYAT HIDUP PENULIS .................... 133

viii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Asal-usul Budaya Tulisan


Sebelum mengenal budaya tulisan, manusia
mengekspresikan perasaan dan pikirannya dalam
bentuk gambar-gambar yang dibuat di atas batu
karang di pinggir pantai atau di gua-gua. Gambar-
gambar arkais seperti telapak tangan, binatang
buruan, simbol-simbol alam, dll, ditemukan di
Indonesia bagian timur seperti Gua Leang-leang di
Sulawesi, Kepulauan Kei, Seram, dan juga di
Kalimantan. Gambar-gambar ini diperkirakan ber-
asal dari masa 18.000–7.000 Sebelum Masehi
(S.M.) (Holt, 1967:11-18). Meskipun gambar ini

1
bukan tulisan, tetapi paling tidak sudah menyirat-
kan bagaimana cara manusia pada awalnya meng-
ekspresikan dirinya. Sejak kapan manusia me-
ngenal budaya tulis?
Tulisan mulai dikenal manusia beberapa ribu
tahun sebelum Masehi. Sekitar tahun 3000 S.M.
orang-orang Mesir sudah menggunakan 24 huruf
hieroglif dan menggunakan sejumlah besar
simbol-simbol untuk kata-kata dan suku kata.
Alfabet pertama ditemukan di sebelah selatan
Palestina dan Semenanjung Sinai. Huruf itu
diciptakan oleh orang-orang Funisia dan Biblos
yang hidup sekitar abad ke-19 S.M. Akan tetapi
penemuan prasasti di Rasesh Shamra, dekat
Latakiyeh di daerah Ugarit Lama, membuktikan
bahwa bukan orang Funisia yang pertamakali
mengenal alfabet fonetis, melainkan orang Semit.
Alfabet Funisia baru disempurnakan pada abad ke-
13 S.M. Alfabet ini terdiri atas 22 huruf, semua
konsonan. Orang-orang Yunani kemudian meleng-
kapi alfabet tersebut dengan meng-gunakan
beberapa konsonan sebagai penandaan bunyi-
bunyi vokal. Alfabet Yunani menyebar ke seluruh

2
Eropa Barat melalui orang-orang Romawi dan ke
Eropa Timur melalui orang-orang Byzantium.
Orang-orang Romawi-lah yang memberi per-
bedaan antara huruf besar (kapital) dan huruf
kecil. Huruf kapital hanya dipakai untuk menulis
karya sastra yang dianggap berharga sedangkan
huruf kecil dipergunakan untuk keperluan
komersial dan keperluan pribadi. Pada masa
Charlemagne menjadi kaisar pertama di Franka
(Perancis) sekitar tahun 742-814 sekaligus seba-
gai pemegang Tahta Romawi Suci, para biarawan
menulis dengan huruf besar dan huruf kecil
bersama-sama (Barnes, 1963:10-11; Encyclope-
dia. Americana, 1982.6:297).
Seiring dengan penguasaan seni menulis,
penyediaan bahan-bahan untuk menulis juga
berlangsung terus. Tiang batu atau tembok, tablet
(lembaran) tanah liat dipergunakan orang-orang
Babylonia untuk menulis. Orang-orang Mesir
menggunakan papyrus, sejenis tanaman yang
diolah khusus. Bila tidak ada papyrus, diper-
gunakan perkamen (kulit binatang). Kertas yang
pada awalnya dibuat dari sutera dan bubur pohon

3
murbei mulai dikenal di Cina pada abad pertama
Masehi. Orang Arab mulai membuat kertas dari
katun fiber pada sekitar tahun 750, kemudian
dibawa ke Spanyol, di mana rami menggantikan
katun. Kertas linen modern baru muncul sekitar
tahun 1250. Sementara itu, tinta tertua dibuat dari
air dan getah tumbuhan serta warna hitam dari
jelaga. Kemudian tinta dibuat juga dari bahan
tumbuhan dan binatang. Sekarang warna-warna
diperoleh dari campuran zat kimia. Pena pertama
dibuat dengan tangan dari buluh (bambu kecil),
kemudian bulu ayam, bulu angsa, dll., hingga pena
baja ditemukan pada abad ke-19 (Barnes, 1963:
11)
Penemuan tulisan dan alat-alat tulis te-
rnyata memiliki pengaruh yang besar dalam per-
kembangan peradaban manusia. Orang mulai
mengekspresikan dirinya, bukan hanya dengan
gambar saja, melainkan melalui tulisan. Termasuk
dalam hal ini tulisan tentang kehidupan mereka,
tentang apa yang dianggap baik dan apa yang
dianggap buruk, tentang harapan dan keinginan.
Akan tetapi, kemampuan menulis saja belum

4
cukup untuk itu. Manusia pun perlu penanggalan
waktu. Sejak kapan manusia memiliki penang-
galan atau kalender?

1.2 Konsep Waktu


Profesor James T. Shotwell dan Prof. Hutton
Webster telah membuktikan bahwa penentuan
kalender pada awalnya bukanlah ditentukan
manusia tetapi “ditentukan Tuhan”. Pendapat ini
didasarkan kenyataan bahwa metode penentuan
waktu pada awalnya muncul untuk menentukan
hari-hari tabu atau hari-hari suci yang dipercayai
memiliki signifikansi agama. Dengan kata lain,
konsep waktu diciptakan dari kesadaran pengu-
langan-pengulangan alam yang kemudian
dilanjutkan dengan perhitungan-perhitungan ma-
tematis. Kalender yang semula dipergunakan
hanya untuk kepentingan keagamaan kemudian
dipergunakan untuk penentuan peristiwa-
peristiwa historis sekular (Barnes, 1963: 12).
Kalender yang paling sederhana dan sangat
primitif adalah kalender yang didasarkan atas
peredaran bulan (lunar calendar). Satu bulan

5
dihitung 29½ hari dan satu tahun dihitung 354
hari. Tahun matahari (solar calendar) diper-
gunakan oleh orang-orang Mesir dan Mexico, yang
kemudian dijadikan kalender moderen. Penduduk
di Lembah Nil yang hidup dari pertanian dan
menyembah Dewa Matahari lebih mementingkan
kedudukan matahari daripada bulan. Tidak
mengherankan bila kalender matahari sudah
dikenal orang Mesir sejak tahun 4236 S.M. Dalam
penanggalan ini satu tahun dihitung 365 hari, satu
bulan dihitung 30 hari. Orang Sumeria dan Yahudi
menambahkan dengan menghitung satu minggu
sama dengan 7 hari. Pada tahun 46 S.M. Julius
Caesar memperkenalkan tahun matahari kepada
bangsa Romawi, yang kemudian dikenal dengan
kalender Julian. Perhitungan-perhitungan penang-
galan selama berabad-abad ternyata kemudian
menyebabkan adanya selisih jumlah hari antara
kenyataan dengan penanggalan sehingga pada
tahun 1582 Paus Gregorius XIII menyempurnakan
penanggalan ini dengan membuang 11 hari dari
kalender (Barnes, 1963:13). Sebagai bahan
perbandingan, di negara-negara Islam atau negara

6
yang penduduknya beragama Islam, dikenal tahun
Hijrah (Tahun Hijriyah). Penanggalan ini diper-
kenalkan oleh Khalifah Umar bin Khattab, sebelas
tahun setelah terjadinya Peristiwa Hijrah Nabi
Muhammad SAW dari Mekkah ke Medinah. Tahun
pertama Hijrah yang menggunakan kalender
bulan, jatuh pada tanggal 15 Juli 622 Masehi.
(Ensiklopedi Islam, 19942 : 111). Di Jawa, dikenal
pula Tahun Syaka. Dalam Babad Tanah Jawi,
kedatangan orang Hindu ke Jawa dipertalikan
dengan permulaan Zaman Aji Saka, yaitu tahun 78
Masehi. Tahun Syaka menggunakan kalender
bulan dan matahari (luni-solar). Tahun Syaka rata-
rata sama dengan Tahun Masehi dikurangi 78
tahun. Pada tahun 1633, Sultan Agung dari
Mataram mengganti Tarikh Syaka dengan Tarikh
Jawa-Islam sesuai dengan Tarikh Islam. (Ensi-
klopedi Indonesia, 19856: 3404).
Penulisan sejarah mengalami tingkat
perkembangan yang berbeda-beda menurut
zaman, lingkungan kebudayaan, dan tempat di
mana karya historiografi itu dihasilkan. Pada masa
lampau, seorang sejarawan mempunyai fungsi

7
untuk menafsirkan dan meneruskan tradisi
bangsanya. Oleh karena itu, sangatlah penting
untuk mempelajari bagaimana pandangan seorang
sejarawan tentang fakta sejarah atau bagaimana
perspektif sejarah seorang sejarawan. Dengan
kata lain studi historiografi itu untuk mempelajari
bagaimana para sejarawan menafsirkan dan
menuliskan kembali fakta sejarah. Hal ini sejalan
dengan pemikiran E. H. Carr (1982: 30) yang me-
nyatakan bahwa sejarah adalah dialog antara
masa sekarang dan masa lampau.
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap zaman
“mengharuskan” sejarawan menuliskan kembali
sejarahnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa sejarawan adalah wakil kebudayaannya,
wakil zamannya. Bentuk, isi, dan fungsi histo-
riografi yang ditulis menjadi beragam. Hal ini
disebabkan oleh adanya Kulturgebundenheit
(Ikatan budaya) antara si penulis sejarah dengan
kebudayaan masyarakat di mana sejarawan dan
karyanya itu dilahirkan dan juga karena adanya
Zeitgeist (jiwa zaman) yang mengikat si penulis

8
sejarah dengan zamannya (Mannheim dalam
Kartodirdjo, 1988:244).

1.3 Definisi Historiografi


Secara etimologis, istilah “historiografi”
berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua
kata yaitu historia yang berarti “penyelidikan
tentang gejala alam fisik”, dan grafein yang berarti
“gambaran”, “tulisan” atau “uraian”. Istilah
historia sudah dikenal di Yunani sejak ± 500 S.M.
Misalnya Hecataeus, menggunakan kata tersebut
untuk menyebut hasil penelitiannya tentang gejala
alam yang terdapat di daerah hunian manusia di
Yunani. Istilah ini kemudian digunakan pula oleh
Herodotus untuk melukiskan latar belakang
geografis dalam karyanya mengenai peperangan
di Persia (Radice and Baldick, 1971).
Dalam perkembangan selanjutnya, istilah
historia cenderung digunakan untuk menyebut
pengkajian kronologis tentang tindakan manusia
pada masa lampau. Dalam bahasa Inggris
kemudian dikenal dengan istilah historiography
yang didefinisikan secara umum sebagai a study of

9
historical writing (pengkajian tentang penulisan
sejarah) (Barnes, 1963).
Pada kenyataannya historiografi mempu-
nyai beberapa pengertian, yaitu:
a. Historiografi sebagai bagian terakhir dari
prosedur metode sejarah yang diartikan seba-
gai rekonstruksi imajinatif tentang masa lam-
pau berdasarkan data yang diperoleh dengan
menempuh proses menguji, dan menganalisis
secara kritis rekaman dan peninggalan masa
lampau (Gottschalk, 1975: 32). Jadi histo-
riografi diartikan sebagai tulisan/laporan suatu
penelitian sejarah. Dalam hal ini, historiografi
erat sekali hubungannya dengan “seni penu-
lisan” (art of writing) yang menekankan pen-
tingnya keterampilan seni menulis. Historio-
grafi dalam pengertian ini dapat dikategorikan
sebagai proses penulisan sejarah obyektif.
b. Historiografi yang diartikan sebagai pengkajian
tentang karya-karya sejarah yang pernah
ditulis, atau pengkajian tentang sejarah yang
bersifat subyektif. Dalam pengertian ini sering
dikatakan sebagai “sejarah dari sejarah” atau

10
“sejarah dari penulisan sejarah” artinya peng-
kajian perkembangan penulisan sejarah.

Dalam pengertian pertama, historiografi dika-


ji dalam mata kuliah Metode Sejarah, sedangkan
mata kuliah Historiografi mempelajari historiografi
dalam pengertian kedua.
Keanekaragaman bentuk, isi, serta fungsi
historiografi, disebabkan oleh adanya:
a. Kultuurgebundenheit (ikatan kebudayaan)
yang artinya suatu karya historiografi tidak
terlepas dari lingkungan tempat kebudayaan
tempat sejarawan dan kayanya dilahirkan.
b. ijdgebundenheit atau Zeitgeist (ikatan waktu
atau jiwa zaman), yang artinya: pandangan
seorang penulis sejarah yang terkandung di
dalam karyanya ditentukan oleh jiwa zaman
yang hidup pada masanya (Kartodirdjo, 1986).

Yang akan dijadikan pokok pengkajian studi


historiografi ini meliputi: penulis sejarah, intelek-
tualitas serta pengaruhnya terhadap bentuk, isi,
dan fungsi serta pemasalahan yang diajukan
dalam karya sejarah yang ditulis.

11
1.4 Perkembangan Historiografi di Indonesia

Kapankah di Indonesia mulai dikenal histo-


riografi? Tradisi historiografi pada dasarnya
dimulai sejak orang merekam peristiwa sejarah
dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu menurut
Ayat Rohaedi, tradisi historiografi dalam
bentuknya yang paling awal berupa prasasti.
Di Indonesia, historiografi dimulai dengan
prasasti-prasasti yang dibuat oleh penguasa pada
awal abad ke-5 M. Sejak saat itu historiografi di
Indonesia berkembang dalam berbagai bentuknya.
Akan tetapi penulisan sejarah (di luar
prasasti) baru dimulai oleh Mpu Prapanca yang
pada tahun 1365 menulis Kitab Negarakertagama
atau Dasawarnana (Rohaedi, 1985). Sejak itu
historiografi Indonesia, berkembang terus dalam
hal bentuk, isi, ruang lingkup mapun pende-
katannya, sehingga dikenal kategori– kategori
Historiografi Tradisional, Historiografi Kolonial,
Historiografi Nasional dan Historiografi Modern
yang akan diuraikan dalam bab-bab berikut.

12
BAB II
HISTORIOGRAFI
TRADISIONAL

2.1 Bentuk-bentuk Historiografi Tradisional


Yang dimaksud dengan historiografi tradisio-
nal adalah penulisan sejarah yang dibuat secara
tradisional. Setiap kebudayaan di dunia selalu
melewati fase tradisional ini. Menurut bentuknya,
historiografi tradisional dapat dikategorikan
sebagai berikut:
a. Bentuk mitos, yaitu historiografi tradisional
yang berusaha menggambarkan kenyataan
yang ditangkap berdasarkan emosi dan

13
kepercayaan. Salah satu karakteristik mitos
adalah adanya ketergantungan yang erat
antara manusia dengan kekuatan gaib di luar
dirinya. Artinya kemanusiaan itu senantiasa
berada di bawah pengaruh tenaga-tenaga gaib
yang bersumber pada kekuatan tertentu,
seperti penjuru mata angin, binatang-binatang,
planet-planet, pohon, gunung, dsb. Kekuatan
gaib ini dalam pandangan masyarakat penga-
nut tradisi mitos, mungkin menghasilkan ke-
makmuran, kesejahteraan, atau berbuat ke-
hancuran, malapetaka, bergantung kepada =
apakah manusia dapat atau tidak dapat
menyelaraskan kehidupan dan kegiatan
mereka dengan jagat raya. Jadi terdapat kaitan
erat antar dunia mikrokosmos (manusia)
dengan makrokosmos (jagat raya). Keyakinan
semacam inilah yang disebut Kosmis-magis
atau theogony.
Karateristik lainnya adalah prinsip pars pro toto
(sebagian untuk semua), yaitu usaha untuk
mengidentikkan yang sebagian dengan yang
lainnya. Misalnya, kesaktian sehelai rambut

14
dari seseoang yang dianggap sakti, yang juga
meliputi kesaktian orang yang menyimpan
rambut orang sakti tersebut. Contoh lain,
seorang raja yang sakti dianggap akan dapat
memberikan perlindungan kepada masyara-
katnya.
Mitos sebagai produk suatu kebudayaan,
memegang peranan penting bagi kelangsungan
hidup masyarakat, pemegang tradisi mitos,
sehingga mitos harus dikenal, diturunkan atau
diwariskan kepada generasi penerusnya.
Fungsi mitos di sini adalah untuk menjaga
keharmonisan hidup dari segala kemungkinan
gangguan dan ancaman dari luar.
Berdasarkan pandangan di atas, kita mengenal
historiografi tradisional yang menceritakan
tentang legenda asal-usul nenek moyang, asal-
usul nama suatu tempat, dsb., yang menurut
tradisi mereka dianggap benar dan rasional.
b. Bentuk genealogis, yaitu tulisan sejarah yang
menggambarkan hubungan antara satu
generasi dengan generasi berikutnya atau
pendahulunya, disebut juga silsilah. Genealogi

15
dapat memberikan sumbangan untuk men-
jelaskan suatu kejadian atau keadaan penting.
Pengetahuan tentang hubungan keluarga dan
famili dari raja-raja atau tokoh-tokoh sejarah
dapat memberikan arti peristiwa penting di
masa lalu, di mana hubungan keturunan
merupakan mata rantai yang turut menentukan
(Kartodirdjo, t.t.).
c. Bentuk kronik. Dalam bahasa Latin, chronos
artinya “waktu” atau “urutan waktu”. Histo-
riografi berbentuk kronik adalah gambaran
sejarah, dengan ciri menempatkan peristiwa
dalam dimensi waktu tertentu (Shafer, 1980:
144). Dalam bentuk awal, tradisi kronik tidak
terlepas dari unsur kosmis magis.
d. Bentuk annals, merupakan cabang dari bentuk
kronik, jadi merupakan gambaran sejarah yang
menempatkan peristiwa dalam urutan waktu
yang jelas. Perbedaannya dengan kronik,
annals tidak lagi menceritakan tentang dewa-
dewa yang berperan dalam kehidupan
manusia, dan sudah menampakkan adanya
persepsi dan interpretasi penulisnya.

16
Historiografi tradisional di Indonesia hingga
kini di tempat-tempat tertentu masih ditulis orang
secara terbatas, misalnya di kraton. Di berbagai
daerah Indonesia historiografi tradisional memiliki
nama yang berbeda-beda, misalnya:

Di Jawa Barat:
a. Carita : Carita Parahyangan (1518)
Carita Purwaka Caruban Nagari (abad
ke–18)
b. Sajarah : Sajarah Sukapura, Sajarah Bopati,
Sajarah Bandung, Sajarah Galuh,
Sajarah Cikandul.
c. Wawacan : Wawacan Sajarah Galuh
d. Babad : Babad Limbangan, Babad Sumedang,
Babad R.A.A. Martanagara, Babad
Padjadjaran/Babad Pakuan

Di Jawa Tengah/Timur:
a. Babad : Babad Tanah Jawi, Babad Pasir,
Babad Sengkala, Babad Demak,
Babad Pajang, Babad Majapahit,
Babad Mataram

17
b. Serat : Serat Kanda

Di Sumatera :
a. Hikayat : Hikayat Aceh, Hikayat Riau, Hikayat
Negeri Palembang
b. Sejarah : Sejarah Melayu, Sejarah Raja-Raja
Riau.
c. Silsilah : silsilah Minangkabau, Silsilah Raja-
Raja Jambi, Silsilah Raja-Raja Aceh.
d. Tambo : Tambo Minangkabau
e. Syair : Syair Perang Aceh, Syair Perang Siak,
Syair Kampung Karam.

Di Kalimantan/Sulawesi:
a. Kronik : Kronik Banjarmasin, Kronik Kutai,
Kronik Wajo
b. Lontara : Lontarak Bilang

2.2 Keseragaman Historiografi Tradisional


Historiografi tradisional di Indonesia memiliki
keseragaman dalam:
a. geneaogi yang merupakan permulaan dari
semua penulisan sejarah.

18
b. asal-usul rajakula yang mithis-legendaris, yang
merupakan bagian terpenting.
c. mitologi Melayu Polinesia tentang perkawinan
dengan bidadari.
d. legende pembuangan anak.
e. legende Permulaan kerajaan
f. tendensi menjunjung tinggi rajakulanya.
(Kartodirdjo., t.t.: 34).

a. Genealogi
Genealogi dapat dibagi atas tiga bagian yaitu:
1. nenek moyang pertama
2. keturunan terakhir
3. rentetan orang-orang antara 1 dan 2
Silsilah yang tercantum dalam babad atau
kronik pada umumnya merupakan satu deretan
dari nenek moyang raja-raja hingga manusia
pertama : Nabi Adam.
Dalam membuat silsilah urutan generasi tidak
disusun secara historis-realistis tetapi secara
kosmis-religiomagis, artinya dalam silsilah terse-
but dimasukkan 1). unsur-unsur kosmis dengan
dicantumkannya dewa-dewa alam, 2). unsur-
unsur religius, dengan dicantumkannya nama

19
nabi-nabi yang dihormati dalam agama Islam, dan
3). unsur-unsur magis, dengan dicantumkannya
nama raja-raja besar (misalnya raja Majapahit,
Mataram atau Prabu Siliwangi dari Padjadjaran
bahkan Raja Iskandar Zulkarnain). Dalam Babad
Tanah Jawi, misalnya, dikenal silsilah kiri dan
silsilah kanan, dalam silsilah kiri dicantumkan
nama-nama yang berasal dari mitologi Hindu
seperti Dewa Guru, Brahmana, Begawan, Abiasa,
Pandu, Arjuna, Abimanyu dan Parikesit. Di
samping itu ada pula unsur mitologi melayu
polinesia dengan dicantumkannya nama Kandia-
warman dan Nawangwulan. Sementara pada
silsilah kanan dicantumkan nama nabi-nabi hingga
Nabi Adam.
Ada pula silsilah yang nenek moyang
pertamanya berasal dari kelahiran yang ajaib,
seperti bola yang diturunkan dari langit, dari ruas-
ruas bambu atau bunga, dari buih laut dan
sebagainya. Beberapa silsilah raja-raja Kalimantan
Selatan dan Barat, mencantumkan nenek moyang
pertamanya dari Majapahit. Ceritanya demikian:
Brawijaya dari Majapahit diasingkan pada sebuah

20
rakit karena mempunyai penyakit menular. Oleh
karena tertiup angin rakit itu terdampar sampai
pantai Barat Kalimantan. Brawijaya kemudian
sembuh dan menikah dengan Puteri Buton yang
keluar dari batang bambu, kemudian ia kawin pula
dengan Puteri Lindung Buih yang keluar dari
setangkai bunga. Akhirnya Brawijaya dihormati
sebagai raja oleh Suku Dayak.
Dalam Kronik Banjarmasin diceritakan
tentang perkawinan antara seorang puteri raja
bernama Puteri Tunjung Buih dengan putera Raja
Majapahit yang cacat dari perkawinan ini lahir
Raden Suryanganggawangsa yang kelak menjadi
raja di Banjarmasin dan menanamkan kebudayaan
Jawa di Negerinya, seperti tata negara, pakaian,
dan adat istiadat Majapahit.
Nama Puteri Tunjung Buih dikenal dalam
Sejarah Melayu. Puteri yang keluar dari buih di
sungai Palembang ini dipungut anak oleh Sang
Sapurba yang kelak menurunkan raja-raja Melayu.
Sang Sapurba dahulunya bernama Dicitramsyah,
Putera Raja Suran dengan Puteri Derkengka, dan

21
Raja Suran adalah keturunan Raja Iskandar Zul-
karnain.
Silsilah semacam ini terdapat juga dalam
Hikayat Raja Banjar Kotaringin. Dikisahkan ten-
tang dua orang kemenakan Iskandar Zulkarnain
yaitu Lembu Jaya Wanagiri dan Lambung Mang-
kurat memerintah di Candi Agung dan Kuripan.
Putri Lambung Mangkurat yang lahir dari buih air
di sungai kawin dengan putra raja Majapahit,
bernama Pangeran Suryanata. Kombi-nasi asal-
usul dari Iskandar Zulkarnain dan Raja Majapahit
dianggap menambah martabat dan kesaktian
dinasti ini.
Contoh nenek moyang yang berasal dari
kelahiran ajaib dapat ditemuykan dalam Hikayat
Raja-raja Pasai. Diceritakan bahwa ketika Raja
Muhamad membuka hutan untuk mendirikan kota
di tempat itu, ia menemukan seorang anak dalam
batang pohon, yang kemudian dijadikan anak
angkat. Anak tersebut dinamai Putri Batang.
Saudara Raja Muhamad, yaitu Raja Ahmad, mene-
mukan seorang anak di atas kepala gajah, dan
dinamailah anak itu Marah Gajah. Putri Batang

22
kemudian dinikahkan dengan Marah Gajah dan
kemudian mempunyai anak yang dinamai Marah
Silu yang kelak menjadi Raja Samudra dan
bergelar Malikul Saleh.

b. Asal-usul Rajakula
Di Sulawesi Selatan sejarah kerajaan dimulai
dengan “to manurung” yaitu orang-orang yang
secara ajaib turun dari surga. Cerita asal-mula
Kerajaan-kerajaan Soppeng, Ternatte, Bone Wajo,
dan Luwu yang ditulis dalam bentuk kronik adalah
demikian:
Sebelum zaman pemerintahan “Arung” (raja)
di negeri itu tidak ada peradaban, yang
berlangsung selama tujuh generasi. pada suatu
hari datang air bah disertai guruh, petir dan gempa
bumi. Setelah reda, tampaklah seseorang di
tengah-tengah lapangan, serba putih. Orang ini
disebut “to manurung” (yang turun dari sorga ke
bumi), yang kemudian diminta oleh rakyat untuk
menjadi raja mereka.
Di Bone, nenek moyang raja tersebut “to
manurung matajeng”, di Luwu, disebut “to

23
manurung Marcapai”. Di Soppeng, disebut “to
manurung sekanyali”, sesuai dengan nama tempat
turunnya dari surga.

c. Mythe Malayu-Polinesia
Pada beberapa hikayat dan kronik, dapat
dijumpai cerita perkawinan nenek moyang raja
dengan bidadari.
Dalam Hikayat Aceh dceritakan tentang
perkawinan Syah Muhammad dengan bidadari
yang ke luar dari bambu terbelah. Dari perkawinan
ini lahir beberapa putra. Pada suatu ketika Raja
Marah kepada Putranya dan memakinya dengan
kata-kata pantangan. Makian ini terdengar oleh
ibu si anak, maka pulanglah bidadari tersebut
kembali ke surga.
Cerita semacam ini tersebar di berbagai suku
seperti di Tengger, Batak, Sangir, Minahasa,
Kepualauan Malanesia dan Hebrida serta India.

d. Legende Pembuangan Anak


Contoh klasik dari legende ini, adalah legende
Ciung Wanara yang atas perintah Sri Pamekes di
buang ke Sungai Krawang, oleh karena menurut

24
ramalan Ajar Cepaka, Ciung Wanara akan mem-
balaskan dendam pertapa yang telah dibunuh oleh
raja itu. Anak yang dibuang itu kemudian dipungut
anak oleh Aki Balangantrang. Di kemudian hari, ia
menjadi Raja Pajajaran, setelah membalaskan
dendam si pertapa.
Dalam Hikayat Negeri Jambi diceritakan ten-
tang Raja Jambi (Tun Talani) yang memerintahkan
untuk membuang putra tunggalnya, karena
diramalkan kelak anak itu akan mendatangkan
bencana besar. Anak tersebut ditaruh dalam peti
berlapis tujuh dan disertakan pula pakaian serta
sepucuk surat. Peti dikunci ditaruh di luar. Hanya
raja besar yang dapat membuka peti tersebut.
Ternyata Raja Siam sanggup membukanya, kemu-
dian anak tersebut diasuh sampai besar.
Setelah dewasa anak tersebut mencari orang
tuanya ke Jambi dengan membawa balatentara.
Kerajaan Jambi dibinasakan karena Tun Talani
tidak mau mengakuinya sebagai anak.

25
e. Legende Asal Mula Kerajaan
Contoh legende asal mula kerajaan dapat
ditemukan dalam Pararaton. Dikisahkan tentang
Raden Wijaya yang diberi wilayah di hutan tarik
oleh Raja Jayakatwang. Ketika hutan sedang
dibuka oleh orang-orang Madura, ada seseorang
yang merasa lapar karena kurang bekal, memakan
buah maja yang pahit, sehingga disebut Majapahit
yang kelak menjadi kerajaan besar di Nusantara.

f. Tendensi Menjunjung Tinggi Rajakulanya


Setiap karya historiografi tradisional memiliki
kecenderungan untuk menjunjung dinasti
(rajakula) di mana karya tersebut ditulis.
Tendensi ini dapat dilihat dari silsilah yang
selalu dihubungkan dengan orang-orang besar,
baik yang bersifat mitos maupun historis, atau
dengan tokoh-tokoh supernatural seperti dewa-
dewa. Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini.
Di kabupaten-kabupaten Priangan, silsilah
para bupati kebanyakan dimulai dari Prabu
Siliwangi, Raja Pajajaran yang legendaris. Raja-
raja Mataram membuat silsilahnya sampai tokoh-

26
tokoh Mahabharata – dewa dan juga para Nabi. Hal
ini mencerminkan karakter Sinkretisme dalam
budaya Jawa, sedangkan raja-raja Melayu dihu-
bungkan dengan Iskandar Zulkarnaen.
Di samping itu raja-raja yang ‘memesan’
penulisan silsilahnya kepada para Mpu, digam-
barkan berperilaku terpuji, baik hati, bijaksana,
dan sebagainya. Misalnya dalam Pararaton,
dikisahkan tentang Ken Arok yang sebelum
menjadi Raja Singasari melakukan perampokan,
pencurian dan perilaku jahat lainnya, akan tetapi
‘kejahatan’ itu tidak dianggap perilaku salah,
sebab perbuatan itu terjadi karena Ken Arok
adalah keturunan Dewa Brahma yang memiliki
kelebihan. Atau bila raja (bupati) mereka terlibat
konflik dengan raja (bupati) lain, maka kesalahan
selalu ditimpakan kepada pihak lawan ini juga
mnyiratkan pandangan (visi), yang bersifat etno-
sentris dalam historiografi tradisional.

2.3 Fungsi Historiografi Tradisional


a. Fungsi sosial-psikologis, yaitu untuk
memperkuat kedudukan atau melegitimasikan

27
kekuasaan dinasti yang sedang memerintah,
atau kekuasaan seorang bupati. Raja atau
bupati menempati posisi sentral di wilayah
kekuasaannya (kerajaan atau kabupaten)
sehingga historiografi tradisional, menempat-
kan mereka sebagai tokoh utama. Hal ini
mencerminkan pandangan raja sentris, istana
sentris, atau kabupaten sentris, sedangkan
lengkungan spesial yang terbatas pada wilayah
kerajaan atau kabupaten menunjukkan visi
regiosentris (Kartodirdjo., 1981: 17-18).
b. Fungsi Edukatif (Pendidikan)
Historiografi tradisional disusun, agar generasi
kemudian dapat mengenali masa lampaunya.
Fungsi ini sama dengan fingsi historiografi
modern (kritis) (Ibid.). Biasanya si pengarang
mengemukakan tujuan menulis karyanya, pada
bagian pendahuluan atau pada bagian penutup.
Hal ini dapat ditemukan misalnya dalam Babad
Raden Adipati Aria Martanagara (Lubis, 1990).
c. Fungsi Magis
Secara khusus, historiografi tradisional Jawa,
dimaksudkan untuk memperoleh sakti atau

28
kekuatan gaib, seorang pujangga yang ber-
tugas menulis babad, pada hakekatnya
melakukan pekerjaan magi-sastra yang arti-
nya, dengan menuliskan kisah rajanya, ia
membe-rikan tambahan kekuatan gaib kepada
raja; yang ‘memesan’ karyanya Hal ini ber-
dasarkan pada anggapan bahwa setiap unsur
yang bersentuhan atau ada kaitan dengan raja,
seperti pakaiannya, permaisurinya, alat-alat
upacaranya, dan lain-lain dapat menyerap sakti
raja, dengan perkataan lain raja dapat memin-
dahkan kesaktian sehingga bermanfaat bagi
orang lain (rakyatnya)
Seorang pujangga yang menuliskan atau
mengucapkan kata-kata yang ada hubungan-
nya dengan raja, dianggap melakukan per-
buatan sakral dan tersedia banyak muatan gaib
bagi pujangga tersebut untuk tujuan tertentu,
dalam hal ini menambah kesaktian bagi rajanya
melalui karya tulis berbentuk magi-sastra
(Berg, 1974).
d. Fungsi Sebagai Pusaka

29
Naskah-naskah yang dianggap memiliki
kekuatan gaib, biasanya disimpan sebagai
ajimat atau barang pusaka. Di Kesultanan
Cirebon misalnya ada naskah-naskah yang
tidak boleh dibuka/dibaca karena dianggap
sebagai pusaka yang sangat keramat; oleh
keturunan Sultan Cirebon. Sejarah Banten dan
Sejarah Jakarta disimpan oleh masyarakat
tertentu sebagai pusaka (Kartodirdjo.,
1982:19).

2.4 Analisis Historiografi Tradisional


Seperti telah diuangkapkan terdahulu, dalam
historiografi tradisional selain berisi rekaman
peristiwa sejarah, juga mengandung unsur-unsur
mitos, legende, dongeng, dan sebagainya se-
hingga dapat dikatakan bahwa dalam historiografi
tradisional kebenaran historis bercampur dengan
kebenaran mitis. (Abdullah, ed., 1985:xxi). Dalam
hal ini tidak dibedakan antara kenyataan peristiwa
yang sesungguhnya terjadi dengan kenyataan
ciptaan pengarangnya (Ekadjati, 1981:xiv). Pola
pemikiran demikian sejalan dengan tujuan penu-

30
lisan suatu karya historiografi tradisional, yaitu
bukan kebenaran historia yang menjadi tujuan
utama tetapi upaya meneguhkan nilai kultural
masyarakat yang menghasilkan karya tersebut(
Abdullah, ed. 1985:xxi).
Historiografi tradisional menurut A. Teeuw
sering pula disebut sebagai karya sastra-sejarah,
karena memiliki sifat ganda sebagai karya sastra
dan sebagai karya sejarah (Teeuw, 1974). Per-
bedaan dasar antara sejarah dan sastra adalah:
sejarah melukiskan tentang sesuatu yang benar-
benar terjadi sedangkan sastra melukiskan apa
yang mungkin terjadi, demikian pendapat Aris-
toteles (Sutrisno, 1981:31).
Menurut Taufik Abdullah (1981), dalam histo-
riografi tradisional mengandung tiga unsur yaitu:
unsur sastra, unsur mitologi, dan unsur sejarah.
Hal ini sesuai dengan pendapat Teeuw di atas.
Mengingat sifat-sifatnya yang demikian, dapatkah
historiografi tradisional dijadikan sebagai sumber
sejarah? Kita memang memerlukan sumber-
sumber sejarah yang ditulis oleh orang Indonesia
sendiri (artinya sumber sejarah yang Indonesia

31
sentris atau regio sentris) sebagai pembanding,
pengganti atau pelengkap sumber sejarah dari luar
(maksudnya: sumber sejarah kolonial), sebab
historiografi yang telah dibuat oleh para sejarawan
Belanda (yang kemudian digunakan oleh sejara-
wan Indonesia hingga sebelum tahun 70-an)
adalah sejarah Indonesia yang digali dari sumber-
sumber Belanda dari arsip kolonial sehingga
bukannya sejarah Indonesia yang ditulis, tetapi
sejarah bangsa Belanda di Indonesia (Kartodirdjo,
t.t.).
Oleh karena itu untuk dapat menilai sejauh
mana historiografi tradisional itu dapat diperguna-
kan sebagai sumber sejarah, perlu dianalisis:
a. Latar belakang lingkungan tempat karya
tersebut ditulis.
b. Unsur-unsur apa yang dipergunakan untuk
menulis karya tersebut.
c. Pengaruh budaya mana yang tampak dalam
susunannya.
d. Latar belakang kehidupan penulisnya.

32
Contoh Analisis
1. Sajarah Sukapura
Naskah Sajarah Sukapura ditulis tahun
1886 oleh Raden Kanduruan Kertinagara, mantan
Wedana Manonjaya. Isi naskah menceritakan
tentang asal-mula Kabupaten Sukapura, diawali
dengan silsilah para bupati, kisah-kisah yang
terjadi pada masa pemerintahan para bupati
tersebut, dan diakhiri dengan masa pemerintahan
bupati yang sedang memerintah pada tahun 1886.
Bila diperhatikan silsilah para bupati dalam
naskah ini, diawali dengan seorang bangsawan
Jawa yang bernama Kangjeng Gusti Pangeran
Ngabehi Kusumah Hadiningrat. Konon ia adalah
cucu Sultan Pajang Jaka Tingkir (Hermansoe-
mantri, 1979:42). Silsilah para bupati Priangan,
pada umumnya diawali dengan Prabu Siliwangi,
Raja Sunda (Pajajaran) yang legendaris itu. Jadi,
silsilah bupati Sunda yang mengambil Raja dari
etnis Jawa sebagai leluhur, merupakan keke-
cualian. Agaknya, hal ini berkaitan dengan awal
berdirinya Kabupaten Sukapura, yang lahir seba-
gai hadiah Sultan Agung kepada Tumenggung

33
Wiradadaha, seorang umbul setempat yang
membantu dalam penangkapan Dipati Ukur. Tokoh
yang disebut terakhir ini adalah seorang Dipati dari
Tatar Ukur yang dianggap memberontak kepada
Mataram. Sebagai penghormatan atau balas jasa
atas anugerah dari Raja Jawa itu, tidak meng-
herankan bila leluhur Sultan Agung, terbawa ke
dalam silsilah dalam Sajarah Sukapura Sebagai
catatan ada juga silsilah Sukapura yang lain, yang
langsung mengambil Prabu Brawijaya sebagai raja
terakhir Majapahit, sebagai leluhur Sukapura.
Akan tetapi, di samping itu ada lagi silsilah
Sukapura yang tidak mengambil raja dari Jawa
sebagai leluhurnya, melainkan Prabu Siliwangi. Hal
ini menunjukkan bahwa di kalangan bangsawan
(menak) Sukapura juga tidak ada kesatuan
pendapat.
Sebagai seorang mantan wedana, Raden
Kanduruan Kertinagara selaku penulis naskah
tampak sangat akrab dengan kehidupan di
pendopo kabupaten sehingga ia tampak mengua-
sai masalah-masalah yang diuraikan di dalamnya
secara cukup rinci. Di dalam naskah, sebagaimana

34
juga dalam historiografi tradisional lain di daerah-
daerah di Indonesia, tidak ada cerita tentang
rakyat kecil, karena memang naskah semacam ini
bersifat kabupatensentris.

2. Babad Tanah Jawi


Dalam membicarakan historiografi babad
pada umumnya, Babad Tanah Jawi khususnya,
perlu terlebih dulu diselidiki sifat dan struktur
kultur waktu Babad Tanah Jawi (BTJ) digubah.
Berikut ini analisis yang dilakukan oleh Sartono
Kartodirdjo (t.t.):
Menurut Brandes, BTJ disusun berdasarkan
Serat Kanda, kira-kira pada tahun 1700 A.D.,
sedangkan Prof. Djajadiningrat beranggapan
bahwa BTJ. disusun selambat-lambatnya pada
tahun 1625. Sebaliknya Winter menyatakan
bahwa Babad Padjadjaran, Babad Majapahit,
Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram
dikarang oleh Pangeran Adilangu II, sedang Babad
Kartasura oleh Carik Bajra; keduanya hidup pada
zaman Kartasura (1980-1746). Pendapat yang
keempat ialah dari Brumund berdasarkan pada ahli

35
Jawa, yang mengatakan bahwa atas perintah
Pakubuwono II, sesudah zaman Kartasura (1744)
serat-serat babad disusun baru dan tamat sampai
akhir pemerintahan ajalnya (Amangkurat IV,
1719–1726). Kemudian Pakubuwono III memerin-
tahkan supaya sejarah dari zaman pemerintahan
ayahnya ditambahkan, lagi pula agar serat-serat
babad dikutip sebanyak-banyaknya untuk disiap-
kan kepada umum. Para susuhunan kemudian
mengikuti jejak itu.
Tokoh-tokoh seperti Pangeran Adilangu II
Carik Bajra, kemudian (Saratruna, Tirtawiguna)
termasuk lingkungan istana; Carik Bajra pada
pemerintahan Pakubuwono I menjabat lurah carik,
kemudian mendapat penghargaan dari Amang-
kurat IV dan berganti nama Tumenggung Tirta-
wiguna; ikut dengan delegasi di bawah pimpinan
Dipati Danuredja ke Batavia dan sekembalinya
diangkat menjadi wedana gedongkiwa.
Di dalam lingkungan istana (kraton) terdapat
orang-orang yang mendapat tugas untuk menyu-
sun kronik dan daftar silsilah: mereka lazimnya
disebut juga pujangga dan seringkali juga

36
bertindak sebagai petenung, yang menentukan
hari yang baik atau buruk bagi suatu pekerjaan
yang penting; fungsi seorang pujangga di dalam
kraton mengingatkan kita pada pekerjaan para
mpu yang telah menggubah kakawin-kakawin
seperti: Mpu Sedah dan Panuluh dengan Bhara-
tayuddha-nya Mpu Kanwa dengan Arjunawiwaha-
nya. Mpu yang berarti “tuan” dipakai sebagai gelar
para pengarang yang mempunyai pekerjaan sakral
seperti para pujangga.
Penulisan sejarah termasuk pula sebagai
pekerjaan sakral, maka orang Jawa hingga kini
juga masih mengatakan adanya “wahyu kepu-
janggan” wahyu (Arab) = inspirasi : wahyu (Jw) =
kekuatan magis. Jadi mpu atau hofdichter atau
pujangga yang menggubah kakawin atau kronik,
silsilah raja atau babad, mempunyai fungsi yang
tidak terlepas dari kekuatan magis (sakti) dari
perkataan-perkataan, kalimat-kalimat atau buku
dan konsepsi dari kedudukan raja dalam
menyelenggarakan kultus raja. Raja sebagai pusat
seluruh masyarakat, bahkan seluruh alam semesta
(kosmos) merupakan sumber kekuatan magis

37
(sakti) yang memancarkan pengaruh baik atau
buruk, menguntungkan atau sangat membahaya-
kan bagi alam sekelilingnya. Dari sakti raja
tergantung pula kesuburan tanah, kemakmuran
negeri, keamanan dan kesentosaannya. Hal ini
menyerupai dewaraja-cultus dalam Civaisme;
raja, puruhita dan lingga merupakan penghubung
yang tak dapat dihapuskan antara raja dan lingga.
Perhubungan mistik yang erat ini menjamin
kemakmuran dan kesejahteraan kerajaan. Raja
tiada dengan lingga atau sebaliknya lingga tiada
raja tidak dapat menjamin keselamatan negeri
(Kartodirdjo, t.t.)
Di dalam kepercayaan rakyat suatu rejim
mempunyai prinsip mistik (dasar mistik) yang
dinamai andaru atau pulung kraton atau wahyu. Di
dalam BTJ hal ini sering disebut, antara lain setelah
Majapahit runtuh, maka andaru meninggalkan
kraton
Waktu Jaka Tingkir singgah di Butuh, maka Ki
Ageng Butuh berkata kepadanya: “Pulung keraton
ing Demak wisangalih marag sira”. Jikalau “pulung
keraton” dapat pindah, maka sakti rajapun dapat

38
ditambah dengan bertapa (ascese), berpuasa,
berkhalwat. Di dalam keraton terdapat barang-
barang dan orang-orang yang dapat menambah
kesaktian raja: pusaka-pusaka, alat-alat upacara
(regalia): banyak dalang, ardawalika, gajah,
kidang, sawung galing, garuda, yang merupakan
sumber-sumber kekuatan magis pula. Seorang
dalang yang memainkan wayang dan meriwayat-
kan suatu zaman dari sejarah Indonesia,
sebenarnya melakukan tugas yaitu mendatangkan
sakti, yang dapat menolak bahaya ngruwat atau
dapat menambah keselamatan dan kesentosaan
rakyat. Pekerjaan seorang pujangga sebenarnya
tak lain sifatnya dari pada tugas dalang itu. Buku
babad atau sejarah yang meriwayatkan sejarah
raja-raja mempunyai fungsi magis sakral juga, jadi
penulisan sejarah bersifat sakral pula, dapat
menambah sakti raja. Dalam hubungan ini
historiografi babad dapat kita hargai dengan
sepantasnya dan dapat kita mengerti struktur dan
karakteristik babad itu.
Suasana sakral-sakral dari pujangga yang
mempunyai tugas serta kebutuhan sakral dalam

39
menciptakan literairemagie atau historiografi, sa-
ngat menentukan pandangan serta bentuk histo-
riografi babad. Di dalam masyarakat Jawa yang
agraris, kebudayaan berpusat di kraton, segala
bidang kesenian berkembang di situ untuk
menambah sakti atau kebesaran raja. Maka semua
hasil kesenian kraton mempunyai cap aristokratis-
feodalistis: tak ada sifat kerakyatannya. Historio-
grafi babad tidak memuat riwayat kehidupan
rakyat, tidak membicarakan segi sosial atau eko-
nomis dari kehidupan masyarakat.
Pujangga menempatkan rajanya dalam pusat
seja-rahnya, dipujanya sebagai dewa, agar
dengan demikian dapat memperkuat sakti raja
tersebut sehingga dapat menunaikan tugasnya
dalam masyarakat: kebenaran raja diuraikannya
untuk dikagumi publik dan yang tak boleh
diumumkan tidak dikemukakan. Tidak ada
kebutuhan untuk menceritakan pengetahuan fak-
tual atau menguraikan pertumbuhan adat-istiadat,
tata-susila, paham-paham dan lembaga-lembaga
masyarakat, asal mulanya dan perubahan-peruba-
hannya.

40
Tidak terdapat keterangan-keterangan ten-
tang keseharian atau kehidupan luar Jawa, tak ada
perhatian terhadap kehidupan petani dan peda-
gang, terhadap masalah perdagangan dan pro-
duksi, keuangan dan lalu-lintas, adat-istiadat rak-
yat, yang sekarang selalu menjadi obyek pelajaran
ahli-ahli sejarah Barat.
Negeri-negeri dan suku-suku di luar Jawa
hampir tak pernah disinggung, masih ada di luar
perbatasan cakrawala pandangan pujangga
kraton. Yang ada di luar lingkungan kraton adalah
plebs, rakyat jelata; yang di luar Jawa; kaum
barbar (biadab). Inilah contoh etno-centrisme atau
Javano-centrisme. Dengan demikian historiografi
babad ini dapat juga historiografi lokal, yang
terbatas pada sesuatu tempat atau daerah.
Dunianya Pulau Jawa, lingkungannya kraton,
perhatiannya terutama ditujukan kepada dinasti
yang waktu itu memerintah, yang harus diper-
besar kesaktiannya; segala sesuatu di luarnya
hanya dibicarakan, jika penting bagi dinasti itu.
Historiografi babad juga dapat kita sebut
historiografi dinasti: semua kejadian disusun dan

41
berpusat pada wangsa yang memerintah;
menentukan silsilahnya, geneologi resmi dari
wangsa itu yang untuk menambah magi selalu
bersambungan dengan wangsa-wangsa sebelum-
nya, bahkan juga dengan tokoh-tokoh dari kitab
suci (Al-Quran) dan dari dunia wayang Purwa
(Mahabharata). Hal ini tidak hanya untuk memper-
kuat legimitas wangsa baru, akan tetapi juga
untuk menambah sifat sakral-magis bagi raja,
sehingga silsilahnya kembali pada para Nabi pada
satu fihak dan para dewa pada fihak yang lain.
Lazimnya sejarah dinasti masih ditambah suatu
biografi dari seorang raja, yang mengemukakan
kwalitas moril dan etnis. Berhubungan dengan itu
juga sering disebut permaisurinya, para putra dan
pegawainya. Mungkin menjadi tujuan pujangga
juga untuk memberi sifat pragmatis pada
hitoriografi babad suatu ajaran (contoh) politik
bagi para raja berikutnya dari sejarah tersebut.
Meskipun historiografis babad telah banyak
mengalami “sekularisasi” (artinya banyak segi-
segi yang telah dihapuskan) jika dibandingkan
dengan Arjunawiwaha dan Nagarakertagama,

42
akan tetapi masih banyak terdapat mythe, legenda
heldensage. Geneologi para raja-raja biasanya
berakar pada suatu mitologi: wangsakerta bukan
manusia biasa, tetapi keturunan dewa (Ken Arok)
atau bidadari (Nawangwulan).
Riwayat para wali dengan mujizat-mujizatnya
merupakan heiligenlegende (legenda orang
keramat), sedangkan riwayat Ciung Wanara, Jaka
Tingkir, adalah suatu heldensage (sage pahlawan).
Tidak sedikit pula pengaruh kebudayaan Hindu
atau Islam yang tampak dalam historiografi babad.
Kelahiran Sunan Giri merupakan suatu legenda
yang mempunyai asalnya di India: seorang anak
yang mendatangkan celaka, kemudian dibuang di
laut dalam sebuah peti, lalu diambil dan diasuh
seorang wanita. Juga cerita tentang percobaan
terhadap Adjar Pamekas yang dilakukan oleh Sri
Pamekas, raja terakhir di Pajajaran, adalah
analoog dengan cerita tentang Wisjwanitra, Kanwa
dan Narada. Ada pula fragmen-fragmen dari BTJ,
terutama heiligenlegende, yang dimasukkan
sebagai pengaruh Agama Islam, antara lain Sjamsi
Tabriz seorang saleh dari Parsi, dongeng tentang

43
Djaka Bodo yang dibuka perutnya untuk dicuci,
sehingga kemudian menjadi “helderziend” (dapat
mengetahui sebelumnya). Terutama genealogi
para raja menunjukkan pengaruh itu: dalam BTJ.
Adam tercantum sebagai nenek moyang para raja-
raja Jawa, juga para nabi.
Jika ditilik lebih lanjut maka genealogi yang
dimulai dari Nabi Adam melalui para Nagi, para
dewa sampai para raja di Jawa, tak luput dari
anakronisme, tak ada susunan secara kronologis:
Majapahit yang didirikan oleh orang dari Pajajaran,
Gadjah Mada hidup sezaman dengan Arja Damar.
Karakteristik-karakteristik di atas membuktikan
bahwa untuk menambah kesaktian raja dan
kebesarannya maka banyak unsur-unsur dari
kebudayaan India dan Islam yang telah dimasu-
kkan, sehingga BTJ. merupakan suatu bentuk
sinkretisme dari kebudayaan kraton di Jawa.
Untuk tujuan yang sama (memperkuat sakti
raja), lagi pula untuk memperkuat legitimasinya,
maka suatu karakteristik perlu dikemukakan, ialah
terdapatnya banyak ramalan yang sesungguhnya
dibuat secara post evenrum: ramalan itu mengenai

44
kejadian-kejadian yang penting dalam bentuk
impian-impian atau ucapan-ucapan. Waktu
Panembahan senapati dengan Ki Juru Martani tiba
di Lipura untuk beristirahat, maka dalam tidurnya
turunlah bintang pada ujung kepala Panembahan
Senapati (anunten wonten lintang dawah saking
langit, mencorong saklapa dalasan talonopun su-
meleh ing ulon-ulonipun caket Senopati). Bintang
itu adalah suatu isarat Tuhan bahwa Senapati
serta keturunannya akan menjadi raja di Mataram.
Ramalan tentang kedatangan musuh dari dunia
Timur (balatentara Trunajaya) telah diketahui oleh
Panembahan Senapati. Ada pula ramalan tentang
kepindahan pusat kerajaan di Kartasura (Wana-
karta) yang disampaikan kepada Pangeran Pekik,
waktu bersemedi di Butuh, ialah bahwa cucunya
akan menjadi raja besar dan bersemayam di
Wanakarta. Cucu itu ialah Mangkurat II.
Bahwasannya Mangkurat II akan menjadi raja
besar, telah diramalkan pula oleh neneknya,
Sultan Agung, yang memberi hormat kepadanya
waktu masih dalam kandungan.

45
Pada akhir tinjauan ini perlu dikemukakan
lagi, apakah historiografi babad telah cukup mem-
berikan bahan-bahan untuk membuat rekonstruksi
sejarah Indonesia. Apakah historiografi babad
tetap merupakan sumber sejarah yang utama jika
diukur dengan norma obyektivitas dan kecintaan
akan kebenaran? Dengan tidak ragu-ragu perlu
dinyatakan bahwa mengenai tokoh-tokoh dari
zaman kuno banyak keterangan yang tidak dapat
diterima. Fragmen BTJ yang kontemporer sangat
bagus untuk dipergunakan sebagai sumber.

3. Sejarah Melayu
Dari uraian di atas tentang BTJ dijelaskan
sudah bahwa historiografi babad di dalam masya-
rakat yang mempunyai kultus raja, mempunyai
fungsi yang inheren pada kultus raja itu. Sebagai
bentuk kebudayaan dapat mencerminkan alam
fikiran dan suasana religio-magis yang meliputi
seluruh segi-segi kebudayaan itu. Hanya dengan
memahami religiomagi dari masyarakat itu, kita
dapat menilai historiografi babad. Analisis serupa

46
menurut Sartono Kartodirdjo (t.t.) dapat dilakukan
terhadap Sejarah Melayu sebagai berikut ini:
Dalam membicarakan historiografi dari tanah
Melayu akan kita selidiki pula sifat-sifat kebuda-
yaan negeri itu, pengaruh kebudayaan asing
didalamnya, bagaimanakah kedudukan raja pada
masyarakat itu, apakah fungsi dari historiografi di
dalam kultur itu. Dengan agak mudah kita kemu-
dian dapat menetapkan, sampai taraf mana histo-
riografi Melayu itu bersifat obyektif atau subye-
ktivitas apakah yang masih tampak jelas di
dalamnya.
Seperti telah kita ketahui, Sejarah Melayu
(selanjutnya disingkat SM) meriwayatkan Kera-
jaan Malaka dan dituliskan di Batusawar di Negeri
Johor pada tahun 1615. Berlainan dengan pusat
negeri Mataram yang terletak di pedalaman,
sebagai pusat negeri yang agraris, negeri Mataram
terletak di dalam jalan persimpangan lalu lintas
yang ramai, yaitu antara Asia Timur dengan Asia
Barat dan Eropa. Melalui jalan-jalan raja itu
masuklah pula berbagai kebudayaan asing ke
Indonesia. Sebagai tempat yang strategis menjadi

47
perebutan antara kekuasaan-kekuasaan laut,
sehingga daerah-daerah itu banyak dan cepat
mengalami perubahan-perubahan; peperangan,
krisis politik, revolusi, usurpasi memenuhi sejarah
negeri-negeri lanjut mengalami proses Islamisasi,
dengan akibat bahwa lebih banyak unsur-unsur
Hindu yang telah lenyap dari kebudayaan.
Organisasi masyarakat, kesusastraan, ketatasu-
silaan, filsafat di tanah Melayu sudah lebih banyak
mendapat pengaruh kebudayaan Islam. Kedudu-
kan raja didalam masyarakat Jawa-Hindu bersifat
kedewaan: dewaraja-cultus menempatkan raja
sebagai pusat dan sumber kehidupan masyarakat,
memancarkan kesaktian yang meme-lihara
kemakmuran dan kesejahteraan kerajaan. Raja
berasal dari kahyangan, silsilahnya sering kembali
pada matahari atau bulan; sepening-galnya
menjadi dewa lagi. Dengan adanya penghormatan
kepada raja dan kekuasaannya dan kebudayaan
yang berpusat di lingkungan raja, maka histo-
riografi mau tak mau juga harus “rajasentris”.
Kebudayaan Islam banyak membuat peruba-
han terhadap pengertian tentang raja. Bukannya

48
lagi dewa tetapi manusia biasa, yang meskipun
menjabat chalifatu’llah fi-iardl (wali Tuhan di
dunia) tetap manusia biasa. Hal ini tak berarti
bahwa para Raja Melayu tidak mempunyai
kekuasaan atau mendapat penghormatan yang
kurang besar. Dalam melakukan pemerintahannya
para raja selalu harus mengindahkan peraturan-
peraturan tentang keadilan, sifat-sifat umum bagi
raja, melakukan kebijaksanaan, mempunyai
pengetahuan tentang sifat-sifat manusia, undang-
undang kerajaan perbawahan terhadap raja. “Raja
centrisme” di sini ternyata telah tercampur dengan
unsur-unsur demokrasi, yaitu tindakan raja tak
dapat sewenang-wenang terhadap rakyat, dan
kepentingannya harus diperhatikan. Kelaliman
terhadap rakyat akan membinasakan raja.
Kedudukan raja menurut teori ketatane-
garaan Islam masih mendapat tempat istimewa,
tetapi terikat pada keutamaan politik dan
tatasusila. Kehidupan politik tetap berpusat pada
raja, yang dibantu oleh patih, para hulubalang,
bendahara dan pegawai-pegawai lainnya. Dengan
sendirinya historiografinya memuat genealogi

49
raja-raja yang sering berpangkal pada suatu
mythe, banyak sedikitnya biografi mereka,
kesemuanya merupakan historiogrsfi dinasti. Masa
pemerintahan raja dipergunakan sebagai pedoman
atau dasar historiografi; kadang-kadang ditam-
bahkan keterangan tentang konstelasi astrologis
yang tampak pada waktu permulaan pemerintahan
seorang raja. Historiografi seperti ini menjadi
suatu skema dari urutan-urutan raja yang
memerintah. Sering kali disertai persoalan dalam
lapangan administratif dan ethis. Pengaruh
historiografi Islam menaruh tekanan pada sejarah
religio-politis. Dinasti dalam bahasa Arab ialah
dawlah, yang mempunyai arti primair “giliran”,
“peredaran”. Hal ini berhubungan dengan teori
sejarah yang beranggapan bahwa kekuasaan
politik selalu beredar atau bergilir. Dapat
dimengerti bahwa waktu kehidupan suku-suku
Indonesia berinti pada pemerintahan raja-raja,
historiografi menjadi sejarah dinasti. Dalam
menyusun fasal-fasal SM itu, urutan dan pergan-
tian raja-raja merupakan pola pokok dari segala
kejadian: peperangan yang dilakukan raja-raja

50
untuk menolak serangan musuh yang akan
menaklukan mereka umpamanya: Siam,
Majapahit atau Aceh, atau untuk menundukkan
kerajaan-kerajaan lain, antara lain Kampar, Siak,
kepindahan pusat kerajaan dari Singapura ke
Malaka dan kemudian ke Johor. Beberapa bagian
dari SM menguraikan soal-soal perkawinan
dilingkungan istana dengan segala akibatnya,
yang sering besar pengaruhnya dalam perkem-
bangan politik kerajaan. Di samping itu dikisahkan
juga perebutan kekuasaan dan pertentangan-
pertentangan di lingkungan para bangsawan.
Pada akhir SM dicantumkan pula daftar raja-
raja dan dengan begitu tampaklah jelas bahwa
historiografi ini tetap berpusat pada raja-raja,
meskipun sifat-sifat religio-magis sudah ditinggal-
kannya.
Untuk memahami “raja-centrisme” lebih
lanjut, perlu kita ketahui pengarang SM serta
lingkungan kebudayaan, dimana ia hidup. Penulis
SM adalah Bendahara, Tun Muhamad Namanya,
Tun Seri Lanang timanganya, Paduka raja
gelarnya. Lalu disambung dengan silsilahnya, anak

51
orang kaya, paduka raja, cucu bendahara Seri
Maharaja, Cicit Bendahara Tun Narawangsa, Puit
Bendahara Seri.
Ada pendapat bahwa Hikayat Melayu itu
banyak persamaannya dengan Hikayat koris yang
memuat keterangan-keterangan setempat, ditulis
di Semenanjung pada zaman pemerintahan
bangsa Portugis di Malaka (16 Agustus 1511-14
Januari 1641), banyak menuliskan bangsa Semang
dan Pangau. Tulisan itu menunjukkan, perasaan
simpati terhadap bangsa Eropa, hanya bangsa
Belanda tidak disebut-sebut. Hikayat Indera
Mengindera sangat mirip dengan Hikayat Koris itu.
Pane (ceritera) yang pertama terang bersifat
mythis-legendaris: suatu gubahan dari legenda
Iskandar. Kemungkinan besar ini dikarang sendiri
oleh Tun Muhammad, tetapi suatu tradisi tentang
raja agung Iskandar telah dikenal di negeri
Melayu. Tradisi di Palembang antara lain mengata-
kan bahwa Bukit Lama (sering disamakan dengan
bukit Siguntang) adalah tempat makam Raja
Iskandar Zulkarnain. Diceritakan bahwa “walitua”
dari Majapahit mengawinkan seorang anaknya

52
perempuan, Putri Sindang Bidok dengan seorang
keturunan Iskandar di Palembang.
Keturunan raja-raja dari nenek moyang yang
mitis legendaris sudah kita jumpai pula dalam
B.T.J. Perkawinan dengan seekor binatang banyak
pula contoh-contohnya diantara tradisi Indonesia.
Bagian yang legendaris lainnya yaitu fasal tentang
Hang Kesturi dan Hang Tuah, Badang (fasal 6, 16).
(Kartodirdjo, t.t.).
Ketika orang-orang Belanda/Inggris datang
sebagai penjajah, historiografi tradisional tetap
berjalan di smaping historiografi kolonial.
Kehadiran bangsa Belanda dalam historiogrsfi
tradisional diterangkan dengan cara dimitologi-
sasikan, misalnya dalam kisah Baron Sakender,
Wawacan Sajarah Galuh, dsb.

53
BAB III
HISTORIOGRAFI
KOLONIAL

3.1 Sumber Sejarah Kolonial


Setelah kedatangan orang-orang Belanda di
Indonesia (tahun 1596), penulisan sejarah Indo-
nesia lebih merupakan sejarah kompeni (VOC)
atau sejarah “Nederlanders buitengaats” atau
“Geschiedenis der Nederlanden buiten Europa”
(sejarah orang Belanda di luar Eropa) yang
umumnya ditulis di Nederland bagi kepentingan
bangsa Belanda (Kartodirdjo, t.t.).

55
Sejarah Kompeni (VOC) terutama membi-
carakan pimpinan dan pegawai-pegawai VOC yang
menggantikan tempat elite politik tradisional
pribumi di dalam susunan masyarakat sehingga
VOC menjadi semacam dinasti yang mempunyai
riwayat sendiri. Sejarah kompeni merupakan awal
dari historiografi kolonial.
Pada awalnya VOC bukan bermaksud menu-
liskan sejarah, melainkan hanya mengeluarkan
dokumen-dokumen untuk keperluan dagang, yang
akhirnya bisa kita pergunakan sebagai sumber
sejarah kolonial. Dokumen-dokumen itu berupa :
a. Scheepsjournalen: laporan-laporan kapal yang
banyak diterbitkan pada abad ke-17.
b. Placaet-boek: buku yang terdiri dari selebaran
pengumuman-pengumuman tentang pelaya-
ran, perdagangan, dsb.
c. Ordonnantie: peraturan-peraturan.
d. Daghregister: catatan harian resmi yang di tulis
di benteng/loji di Batavia.
e. Rapporten: Laporan-laporan yang di buat
pegawai-pegawai VOC.

56
f. Reis Verhalen: cerita perjalanan. Rupanya para
pelaut yang berlayar ke timur (oostinjevaar-
ders) tidak hanya melakukan perdagangan,
tetapi mereka juga mencatat tentang keadaan-
keadaan yang mereka lihat serta dengar, yang
berhubungan dengan etnologi dan sejarah
(Kartodirdjo, t.t.).

3.2 Historiografi Awal


Historiografi kolonial mempunyai visi
(pandangan) Neerlandosentris khususnya atau
Eropasentris pada umumnya, artinya orang-orang
Belanda (Eropa) yang memegang peran utama
dalam sejarah yang mereka tulis, sedangkan orang
pribumi baru disebut bila ada kaitan/ hubungannya
dengan kepentingan mereka. Oleh karena pada
umumnya historiografi kolonial itu ditulis di
Nederland oleh penulis-penulis yang tidak menge-
nal dunia timur, sudah barang tentu pandangan-
nya menjadi berat sebelah, sejarah yang ditulisnya
menjadi sempit dan tidak lengkap. Kadang-kadang
sejarah kompeni disebut pula sebagai sejarah
Indonesia dilihat dari geladak kapal.

57
Beberapa karya historiografi kompeni antara lain :
a. Oud en Nieuw Oost-Indien, yang ditulis oleh
F.Valentijn (1666-1727); Buku yang merupa-
kan ensiklopedi Hindia Belanda dari masa
kompeni ini (terdiri dari delapan jilid folio),
merupakan kompilasi dari pengumuman-
pengumuman, dokumen-dokumen, kenang-
kenangan pribadi yang diambil dari reisve-
rhalen.
b. Beschrijvinge der Oost-Indische Compagnie
yang ditulis oleh Pieter Van Dam, administratur
VOC di Belanda (De Graaf, 1971:9-10).
Suatu loncatan dalam historiografi kolonial
yang membuang visi Neerlando-sentrisme yaitu
dengan ditulisnya History of Java (dua jilid) oleh
Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Inggris
di Nusantara (1811-1816).
Sebagai orang yang romantis, yang meng-
hargai orang pribumi, Raffles menggunakan sum-
ber-sumber pribumi seperti babad untuk bahan
penulisannya. Meskipun kadang-kadang kurang
kritis dalam menggunakan sumber, Raffles berjasa
dalam historiografi menuju ke arah visi Indonesia-

58
sentris. Kebencian Raffles kepada Belanda, mem-
buatnya memalingkan diri dari sumber-sumber
VOC.
J. Hageman (1817-1872) adalah bekas
serdadu dan juru tulis, yang sejak tahun 1860
pensiun dan menjadi orang perama yang mencoba
menulis sejarah nasional dengan mempergunakan
sumber-sumber di luar Pulau Jawa karyanya masih
terbatas pada sejarah Jawa dengan Visi Java-
nosentris. Pengikut Raffles ini menulis Algemene
Geschiedenis Van Nederlandsch-Indie dan Ges-
chiedenis der Soendalanden (1869-1871).
Pengikut Raffles yang kedua adalah P.J. Veth
(1828-1879) yang menulis Java, Geografisch,
Ethnologisch, Historisch. Buku ini menggunakan
sumber-sumber lokal dalam penulisannya, tetapi
karena Veth tidak pernah ke Indonesia, akhirnya
karyanya menjadi sejarah bangsa Belanda di Jawa
lagi; ia juga menulis bahwa semua segi kebu-
dayaan tinggi di Indonesia berasal dari India,
karena terjadinya kolonisasi Hindia secara besar-
besaran. Meskipun demikian Veth, amat kritis
terhadap sumber-sumber VOC.

59
J. K. J. de Jonge (1828-1879) menulis O-
pkomst van het Nederlandsch Gezag in Oost-Indie
(10 jilid). Karya ini sering dianggap sebagai
historiografi kolonial yang resmi. Meskipun ia
menganggap perlu sumber-sumber pribumi, akan
tetapi de Jonge merasa tak sanggup menulis
sejarah umum yang lengkap tentang Hindia
Belanda. Akhirnya ia hanya menerbitkan 10 jilid
karyanya yang bersumber dari arsip-arsip
Belanda.
Pengaruh de Jonge dalam historiografi tampak
pada karya-karya selanjutnya dari :
1) Meinsma, yang menulis sejarah bangsa
Belanda di Indonesia (Geschiedenis Van de
Nederlandsche Oost-Indische Bezittingen
1596 – 1872).
2) M.L. Van Deventer, yang menulis Geschie-
denis der Nederlanders op Java 1600-1800,
suatu karya berisi puji-pujian terhadap
kolonisator yang datang ke Indonesia
sebagai pemberani, cakap, dan patriotis.
(Kartodirdjo, t.t.).

60
Pertumbuhan historiografi dengan bertam-
bahnya sumber-sumber maju, menyebabkan
kesukaran dalam penguasaan seluruh bahan tanpa
membuat kesalahan sehingga para sejarawan
cenderung membatasi diri dengan menulis sejarah
lebih terbatas, misalnya :
a. F. de Haan (1863 – 1938) menulis Priangan,
De Preanger Regentschappen Onder het Ne-
derlandsch Bestuur tot 1811 (4 jilid) yang
diterbitkan tahun 1910 s/d 1912, dan Oud
Batavia.
b. Schrieke menulis Prolegomena tot ene Socio-
logische Studie over de volken van sumatra.
c. Fruin Mees menulis Geschiedenis van Java
(1920).
d. N.J. Krom menulis Hindu-Javaansche Geschie-
denis (1931).
Historiografi kolonial yang menekankan
pada sejarah Indonesia dalam lingkungan yang
lebih luas ditulis oleh J.C. Van Leur dalam disertasi
yang berjudul Enige Beschou wingen Over de Oude
Aziatische Handel (1933) yang merupakan tin-
jauan sejarah Indonesia dalam hubungannya

61
dengan Asia Timur dan Asia Selatan di lihat dari
kacamata sosiologis-ekonomis, dan isinya tetap
saja berisi tentang berdirinya VOC, tokoh-tokoh
pelopornya, peperangannya, intervensinya di
mana-mana serta perkembangannya di luar
Indonesia (Kartodirdjo., t.t.).
Sejarawan kolonial yang menitikberatkan
pada sumber-sumber pribumi kemudian adalah C.
Poensen yang menulis tentang Hamengku Buwono
I, II. Van der Kemp, menulis tentang Perang
Dipanegara, dan H.J. de Graaf yang menulis
Geschiedenis van Indonesie (1949).
Meskipun sumber-sumber pribumi diperguna-
kan, akan tetapi visi yang pakai masih tetap visi
neerlandosentris, terbukti dari periodisasi yang
digunakan sebagai pembagian fasal-fasal dalam
buku de Graaf tersebut yaitu :
1. Indonesiers en Zuid Oost Azie (.... – 1650)
2. De Westerlingen in Indonesie (1511 – 1600)
3. De Indonesiers tijden de V.O.C. (1600 – 1800)
4. De V.O.C. buiten Indonesia
5. De Indonesiers in Ned. Oost Indie (1800-.....)
(Kartodirdjo,.t.t)

62
Historiografi kolonial hingga saat ini masih
diteruskan dalam berbagai bentuk, antara lain
berupa suatu mata pelajaran di Universitas Utrecht
dengan nama Koloniale Geschiedenis (Kartodirdjo,
1982 : 14). Visi dan Interpretasi telah berubah,
tetapi pokok perhatian tetap difokuskan kepada
peranan bangsa Belanda di tanah seberang.

63
BAB IV
HISTORIOGRAFI
NASIONAL DAN
HISTORIOGRAFI MODERN
(KRITIS)

4.1 Nasionalisme dan Sejarah


Suatu periode baru dalam perkembangan
historiografi Indonesia dimulai dengan timbulnya
studi sejarah yang kritis. Putra Indonesia pertama
yang menggunakan prinsip-prinsip metode kritis
sejarah adalah Dr. Hoesein Djajadiningrat dengan
disertasinya yang berjudul : Critische Beschouwing

65
van de Sejarah Banten (1913). Meskipun karya ini
bukan historiografi sepenuhnya, tetapi kritik eks-
tern dan kritik intern dilakukan untuk memisahkan
aspek-aspek historis dari aspek nonhistoris. Karya
ini merupakan studi filologis yang menggunakan
historiografi tradisional sebagai obyek sekaligus
sumber sejarah (Djajadiningrat, 1913/1983).
Seperempat abad kemudian baru ada usaha
membuka kesempatan di perguruan tinggi untuk
mengambil studi spesialisasi disiplin sejarah.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklama-
sikan pada tahun 1945, timbul kesadaran tentang
perlunya dekolonisasi sejarah sebagai upaya
pembinaan rasa nasionalisme masyarakat. Hal ini
terjadi pada tahun 50-an ketika timbul kebutuhan
mendesak untuk membina bangsa (nation buil-
ding). Muhamad Yamin, seorang ahli hukum, ahli
politik, pujangga, dan sejarawan amatir, yang
pernah menjadi Mentri Pendidikan melontarkan
tentang perlunya sejarah yang bervisi Indonesia-
sentris. Kemudian tahun 1957 diselenggarakan
Seminar Sejarah Nasional I yang membicarakan
tentang filsafat sejarah nasional, periodisasi seja-

66
rah Indonesia, buku-buku teks sejarah nasio-nal,
dan pengajaran sejarah (Abdullah, ed. 1985 : 25).
Pada masa ini lahirlah karya-karya yang
dapat dikelompokkan ke dalam historiografi
nasional. Misalnya: a) Biografi para pahlawan
seperti Tengku Umar, Imam Bonjol, Diponegoro,
dan sebagainya. b) Sejarah perlawanan terhadap
penjajah, seperti Perang Padri, Perang Dipone-
goro, dan sebagainya. tokoh-tokoh pergerakan
nasional seperti Sutomo, Kartini, Abdul Rivai, Wa-
hid Hasyim, dan lain-lain dituliskan pula biogra-
finya yang mencerminkan nasionalisme.
Mengapa terjadi “booming period”: seperti ini
? Dilihat dari latar belakang sosio kultural masa itu
atau zeitgeist-nya, dapatlah dipahami mengapa
banyak karya sejarah yang bersifat nasionalistis
semacam ini. Secara umum tulisan-tulisan ter-
sebut mengekspresikan semangat zaman nasio-
nalistis yang berkobar-kobar setelah revolusi ke-
merdekaan. Tokoh-tokoh nasional menjadi simbol
bangsa dan memberikan identitas bagi bangsa
Indonesia yang tidak tampak pada masa pen-
jajahan. Muhamad Yamin, sebagai seorang nasio-

67
nalis, menulis tentang Gajah Mada, Dipone-goro,
dan 6000 tahun Sang Merah Putih yang menyi-
ratkan adanya pandangan sejarah (filsafat seja-
rah) yang spekulatif, dan visi nasional sentris.
Akan tetapi demi fungsi sosio-politik yaitu untuk
membangkitkan semangat nasional, demi integ-
rasi bangsa (karena waktu itu terjadi gerakan-
gerakan seperti PRRI, Permesta, DI/TII, dsb.),
maka filsafat semacam itu tidak mengherankan
adanya.
Karya-karya sejarah nasional tersebut
dikategorikan sebagai penulisan sejarah populer
untuk konsumsi masyarakat umum, yang tidak
dapat disamakan dengan penulisan sejarah teknis;
yang perlu dalam penulisan sejarah populer adalah
retorika yang baik, jadi lebih menekankan pada
seni (art) menulis.

4.2 Defilologisasi
Pada masa demokrasi terpimpin (tahun
1959), filsafat sejarah menjadi sesuatu yang tak
boleh diperdebatkan, karena harus diterima dari
atas yaitu Pemimpin Besar Revolusi. Akan tetapi

68
pengkajian (studi) sejarah tetap berlangsung
tanpa terlalu mempersoalkan filsafat sejarah.
Disiplin sejarah di Indonesia mulai mengalihkan
pandangan kepada sumber-sumber lokal dan
pemakaian konsep-konsep ilmu sosial pada pene-
litian sejarah.
Studi sejarah Indonesia mengalami defilolo-
gisasi, artinya tidak lagi memerlukan banyak
analisis tekstual dengan filologi, tetapi memper-
baiki alat-alat analitis dan metodologis. Studi ini
dimulai oleh Sartono Kartodirdjo dengan diser-
tasinya yang berjudul Pemberontakan Petani Ban-
ten 1888 (The Peasants Revolt of Banten in 1888)
tahun 1966. Kemudian diikuti oleh Soemarsaid
Moertono yang menulis State and Statecraft in Old
Java; A Study of Later Mataram Period 18th to 19th
Century (1968)., Deliar Noer yang menulis
Gerakan Modernis Islam di Indonesia (1973), dll.
Historiografi Indonesia dalam perkembangan-
nya yang terakhir ini dapat dibagi atas tiga jenis
yaitu :
a. Sejarah Ideologis, yaitu sejarah yang lebih
menekankan pada segi pendidikan ideologis,

69
atau pencarian arti subyektif dari perintis
sejarah.
Contoh: karya-karya Muhamad Yamin, yang
menggambarkan keagungan masa lampau dan
hendaknya hal ini diteladani atau dijadikan
idealisme bagi Indonesia masa yang baru dan
bersatu. Termasuk kategori ini adalah biografi
para pahlawan nasional.
b. Sejarah Pewarisan, yaitu penulisan sejarah
kepahlawanan perjuangan kemerdekaan.
Contohnya: Sekitar Perang Kemerdekaan (11
jilid) yang ditulis oleh A. H. Nasution, sejarah-
sejarah daerah yang disponsori pemerintah
daerah; misalnya Sejarah Daerah Jawa Barat
(1984), sejarah Daerah Jawa Tengah, dsb.
c. Sejarah Akademik, yaitu penulisan sejarah
yang tidak bersifat ideologis ataupun filosofis.
Penulisan sejarah kategori ini mencoba untuk
merekonstruksi masa silam yang ditopang
dengan tradisi akademis.
Contohnya : historiografi kritis (modern)
seperti yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo,
Deliar Noer, Soemarsaid Moertono yang telah

70
disebutkan terdahulu; dan banyak contoh
lainnya. (Abdullah, ed. 1985:27-29).

4.3 Penulisan Sejarah Indonesia Baru


Pada tahun 1975, dibentuk sebuah tim yang
terdiri dari para sejarawan di Indoensia untuk
menulis sebuah buku Sejarah Nasional Indonesia.
Tim penulis buku yang terdiri atas enam jilid ini
dipimpin oleh Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo. Setiap
jilid disunting oleh editor khusus. Buku ini telah
dicetak ulang, yaitu pada tahun 1977, 1983, dan
1993.
Pengaruh kekuasaan terhadap buku ini
sangat kuat. Terbukti pada jilid 6 yang berisi
sejarah periode Republik Indonesia hingga masa
Orde Baru, ada bagian-bagian yang sangat
diwarnai kepentingan pemerintah Orde Baru,
misalnya mengenai lahirnya Pancasila 1 Juni 1945,
soal pergantian Orde Lama oleh Orde Baru,
Peristiwa G-30-S, dll.
Setelah pemerintahan Orde Baru berakhir,
para sejarawan yang tergabung dalam Masyarakat
Sejarawan Indonesia (MSI) sedang berusaha

71
untuk membuat buku baru yang terbebas dari
pengaruh kekuasaan atau pengaruh pemerintah
shingga hasilnya diharapkan lebih obyektif. Buku
ini direncanakan terdiri atas delapan jilid dengan
melibatkan sekitar 90 orang sejarawan dari
berbagai daerah di Indonesia dengan Editor Umum
Prof.Dr. Taufik Abdullah dan Prof. Dr. A.B. Lapian,
ditambah 16 orang editor jilid. Buku ini akan terbit
pada tahun 2008.

4.4 Buku Sejarah Tatar Sunda


Pada tanggal 29 Desember 2003, Tim
Sejarawan Universitas Padjadjaran telah melun-
curkan buku berjudul Sejarah Tatar Sunda, yang
terdiri dari dua jilid. Timbul pertanyaan, mengapa
judulnya Sejarah Tatar Sunda dan bukan Sejarah
Jawa Barat? Bukan hanya pertanyaan, sebelum
diluncurkan sudah ada nada menggugat “Kalau
judulnya begitu, kami yang bukan orang Sunda
tidak perlu membacanya karena kami orang Jawa
Barat yang bukan Sunda”.
Untuk menjawab pertanyaan dan gugatan
itulah, penulis selaku Ketua Tim membuat tulisan

72
tentang apa dan bagaimana buku Sejarah Tatar
Sunda.

Mengapa Sejarah Tatar Sunda harus ditulis?


Hingga saat ini, baru ada satu karya
berjudul Sejarah Jawa Barat, yaitu yang ditulis
pada tahun 1972 oleh Drs. Moh. Ali, dkk. Setelah
itu, memang ada beberapa karya lain, hanya lebih
bersifat tematis. Yang pertama adalah Sejarah
Pemerintahan Jawa Barat, yang ditulis pada tahun
1996 di bawah koordinator Prof. Dr. Ateng
Syafruddin, Sejarah Kebudayaan Sunda; Suatu
Pendekatan Sejarah, yang ditulis oleh Prof. Dr. H.
Edi S. Ekadjati pada tahun 1996, dan sebuah
disertasi berjudul Kehidupan Kaum Menak di
Priangan (1800-1942) kehidupan yang ditulis oleh
Dr. Hj. Nina H. Lubis dan diterbitkan pada tahun
1998. Ada lagi tulisan Yoseph Iskandar berjudul
Sejarah Jawa Barat, yang lebih bersifat sastra-
sejarah karena tidak menggunakan metode
sejarah kritis. Saat ini, diperlukan sebuah buku
sejarah yang bersifat komprehensif, dengan visi
dan interpretasi baru, serta informasi mutakhir

73
yang mungkin diperoleh, untuk dijadikan acuan
bahan pelajaran para siswa mulai dari SD hingga
SMU, bahkan perguruan tinggi dan juga untuk
keperluan masyarakat umum. Itulah alasannya,
mengapa buku ini harus ditulis.

Bagaimana proses penulisan Sejarah Tatar


Sunda ?
Pada bulan Oktober 2001, Ketua Masya-
rakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Jawa
Barat, Dr.Hj.Nina Herlina Lubis, M.S. membentuk
Tim Penulis Sejarah Jawa Barat yang anggota-
anggotanya terdiri dari sejarawan, arkeolog, dan
filolog. Tim direkrut dari berbagai perguruan tinggi
dengan susunan sebagai berikut: Ketua Peneliti:
Dr.Hj. Nina H. Lubis, M.S. (Unpad), Anggota
Peneliti: Prof.Dr.H. Edi S. Ekadjati (Unpad); Prof.
Dr. Ayatrohaedi (UI); Prof.Dr. Helius Syamsudin
(UPI); Dr. Tony Djubiantono, DEA (Kepala Balai
Arkeologi Bandung); Dr. A. Sobana Hardjasaputra,
S. U. (Unpad); Kunto Sofianto, Drs.,M.Hum.
(Unpad); Hj. Ietje Marlina D., Dra.,M.Si. (Unpad);
Reiza D. Dienaputra, Drs., M.Hum. (Unpad);

74
Awaluddin Nugraha, Drs.,M.Hum. (Unpad); Andi
Suwirta, Drs., M.Hum. (UPI); Sulasman, Drs.,
M.Hum. (IAIN Sunan Gunung Jati), Ani Ismarini,
Dra. (Arsip Daerah Jawa Barat); dan Miftahul
Falah, S.S. (Unpad). Di samping personalia di atas,
Tim Penulis juga didampingi dua orang konsultan
yaitu Prof.Dr. Taufik Abdullah (Ketua Masyarakat
Sejarawan Indonesia Pusat) dan Dr. Susanto
Zuhdi, M.Hum. (Direktur Sejarah dan Nilai Tradi-
sional Departe-men Kebudayaan dan Pariwisata).
Rektor Universitas Padjadjaran, Prof. H. A.
Himendra Wargahadibrata, dr. Sp-An. menjadi
pendukung utama Tim Penulis Sejarah Jawa Barat
ini dengan memberikan dana awal 50 juta rupiah,
sehingga tim dapat bekerja selama satu tahun
penuh dari bulan Oktober 2001 hingga bulan
September 2002. Pekerjaan dimulai dengan
mengadakan dialog antara Tim Penulis dengan
para tokoh masyarakat Jawa Barat, untuk
mendengarkan apa keinginan ataupun aspirasi
masyakarat. Dalam dialog inilah muncul suara-
suara agar judul buku sejarah yang dihasilkan
nanti mencerminkan identitas masyarakat Sunda,

75
kultur Sunda, tanpa melupakan bahwa ada
subkultur lain di luar Sunda. Hal ini menjadi bahan
pemikiran tim penulis selama proses penulisan
berlangsung.

Mengapa “Sejarah Tatar Sunda” dan bukan


“Sejarah Jawa Barat?”
Tim Penulis dengan konsultan benar-benar
memikirkan aspirasi masyarakat Jawa Barat tanpa
mengorbankan sikap ilmiah, artinya tim sejarawan
tetap berpijak pada metodologi sejarah yang
berlaku dalam dunia akademis. Akhirnya judul
buku ini adalah Sejarah Tatar Sunda dan bukan
Sejarah Jawa Barat. Dalam ilmu sejarah, penulisan
sejarah lokal harus mencakup suatu wilayah yang
terbatas. Istilah “Tatar Sunda” menunjuk pada
suatu wilayah geografis yang bisa dibatasi, yaitu
wilayah Propinsi Jawa Barat sekarang ditambah
wilayah Propinsi Banten dan DKI Jakarta, serta
sebagian Propinsi Jawa Tengah. Tokoh atau pelaku
yang dikisahkan dalam Sejarah Tatar Sunda bukan
hanya etnis Sunda saja melainkan juga etnis lain
yang tinggal di Tatar Sunda.. Oleh karena itu,

76
pemakaian istilah Tatar Sunda yang menunjuk
pada aspek spasial atau geografis, dipergunakan
sejak Bab I, sedangkan pemakaian istilah Jawa
Barat yang menunjukkan wilayah administratif
berupa propinsi, mulai dipergunakan ketika nama
Propinsi Jawa Barat muncul pada tahun 1925,
sedangkan istilah Tatar Sunda masih tetap
dipergunakan dalam konteks kultural.
Dengan mengambil nama lokasi “Tatar
Sunda” dan bukan “Jawa Barat” berarti cakupan
periode sejarah bukan hanya meliputi ketika
wilayah ini menjadi Propinsi Jawa Barat, melainkan
sejak nama Sunda dikenal orang, baik sebagai
nama suku, nama tempat, atau nama kerajaan.
Dengan demikian, kisah sejarah yang ditulis dalam
buku ini dimulai dari masa yang sangat awal, dari
masa prasejarah, terus berjalan mengikuti
perkembangan sejarah dan dibatasi hingga tahun
2000.

Proses penulisan
Ternyata bukanlah pekerjaan yang mudah
untuk menulis kisah perjalanan orang Tatar Sunda

77
dalam periode yang begitu panjang, dan ditulis
oleh banyak orang. Editor yang merangkap Ketua
Tim harus bekerja keras mengatasi perbedaan
persepsi dan gaya tulisan yang beragam. Namun,
kesamaan metode sejarah yang harus dipakai
menjadi pagar untuk menjaga konsistensi tulisan.
Setelah satu tahun bekerja, ternyata naskah yang
dihasilkan masih belum memadai. Oleh karena itu,
pekerjaan dilanjutkan untuk masa enam bulan
berikutnya. Kali ini, anggota tim penulis berkurang
karena beberapa anggota tim mengundurkan diri
dengan alasan yang beragam. Akhirnya diputus-
kan bahwa Tim Penulis yang akan meneruskan
penulisan tahap II hingga menjadi buku (dengan
nama-nama diurutkan sesuai bab yang ditulis)
adalah Ketua Tim Penulis: Dr. Hj. Nina Herlina
Lubis, M.S. dengan Anggota Tim: Dr. Tony
Djubiantono, DEA; Etty Saringendyanti, Dra.,
M.Hum.; Dr. Dadan Wildan, M.Hum.; Miftahul
Falah, S.S.; Kunto Sofianto, Drs., M.Hum.; Awalu-
din Nugraha, Drs.,M.Hum.; dan Reiza D. Diena-
putra, Drs.,M.Hum. Tim tetap didampingi dua
orang konsultan, yaitu Prof. Dr. Taufik Abdullah

78
dan Dr. Susanto Zuhdi, M.Hum. Untuk pekerjaan
lanjutan ini dibiayai oleh Gerakan Masyarakat Jawa
Barat, yang berkedudukan di Jakarta dengan
ketuanya Ir. Herman Afif, sebesar 80 juta rupiah.
Selanjutnya hasil revisi disosialisasikan melalui
Semiloka Sejarah Tatar Sunda yang digelar pada
tanggal 15 Maret 2003. Beberapa orang pakar
diundang untuk menyampaikan pandangannya
tentang isi naskah. Mereka adalah Dr Bambang
Purwanto, sejarawan dari UGM, Prof.Dr. Uka
Tjandrasasmita, arkeolog dari IAIN Syarif
Hidayatullah, Prof.Dr. Yus Rusyana, sastrawan dan
budayawan dari Universitas Pendidikan Indonesia
Bandung, dan Prof.Drs. Saini K.M., budayawan
dari ISI Bandung. Selain itu, diundang pula guru-
guru sejarah yang tergabung dalam MGMP sejarah
se-Jawa Barat, para mahasiswa sejarah, dan
tokoh-tokoh masyarakat. Masukan dan kritik atas
naskah yang muncul dalam semiloka ini,
mengharuskan Tim Penulis untuk melakukan revisi
sekali lagi dan naskah diedit oleh Drs. Livain Lubis,
MM hingga siap cetak, baru selesai pada akhir
bulan Nopember 2003 .Untuk persiapan naskah

79
masuk cetak, dibantu pula oleh Drs. Uu Rukmana,
kurator Yayasan Pusat Kebudayaan, dengan dana
sebesar 10 juta rupiah
Dengan dana terbatas (140 juta rupiah) dari
tiga donatur itulah akhirnya kami selesaikan
pekerjaan sulit ini dengan hasil berupa buku dua
jilid dengan ketebalan naskah masing-masing jilid
I: 506 halaman dan jilid II: 567 halaman. Buku
diterbitkan oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan
dan Kebudayaan Unpad bekerjasama dengan
Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa
Barat, dengan pendanaan penerbit swasta, Satya
Historika, yang mengkhususkan diri pada
penerbitan buku sejarah.

Sumber Sejarah dan Isi Buku


Perlu dijelaskan bahwa buku ini disusun
dengan menggunakan sumber-sumber sejarah
tertulis (yang tercantum dalam Daftar Pustaka)
dan juga menggunakan sumber-sumber lisan
berupa wawancara, khususnya untuk sejarah
periode mutakhir. Sumber-sumber yang tergolong
kontroversial, tidak dipergunakan dalam penulisan

80
ini untuk tidak membingungkan masyarakat
pembaca awam. Memang, sumber-sumber yang
ada, baik berupa prasasti dan berita-berita
sezaman sebagai sumber primer, maupun naskah-
naskah lainnya yang bisa diterima sebagai sumber
sekunder, tidak cukup banyak untuk bisa
menyajikan sebuah kisah sejarah yang lengkap
tentang Tatar Sunda. Akan tetapi, sebagaimana
juga buku-buku sejarah lainnya yang pernah
ditulis, kelengkapan kisah bukan tujuan utama,
meskipun sangat diinginkan. Informasi yang bisa
dipercaya, accepted history, meski tidak lengkap,
jauh lebih berharga bagi masyarakat daripada
sebuah kisah sejarah yang meninabobokan bagai
sebuah dongeng sebelum tidur.
Isi buku Sejarah Tatar Sunda meliputi suatu
periode yang panjang dari masa jutaan tahun lalu
yang sebenarnya tergolong masa prasejarah
(bukan masa sejarah) hingga akhir milenium
kedua.

Daftar Isi Buku Sejarah Tatar Sunda


BAB I PRASEJARAH TATAR SUNDA

81
A. Mitos dan Sejarah
B. Zaman Es
C. Fosil Binatang dan Manusia Purba
D. Budaya Prasejarah
1. Masa Berburu dan Mengumpulkan
Makanan
2. Masa Bercocok Tanam
2.1Alat-alat Neolitik
2.2Tradisi Megalitik
2.3Tradisi Gerabah
2.4Perhiasan
3. Masa Perundagian

BAB II KERAJAAN KUNO (AWAL MASEHI -1500)


A. Pendahuluan
B. Zaman Pra-Tarumanagara
C. Kerajaan Tarumanagara
D. Kerajaan Sunda .
1. Struktur Kerajaan dan Birokrasi
2. Kehidupan Masyarakat

BAB III ISLAM, KESULTANAN, DAN KABUPATEN


(1500-1700)
A. Masuknya Islam ke Jawa Barat

82
B. Kesultanan Cirebon
C. Kesultanan Banten

BAB IV PENETRASI BARAT (1700-1800)


A. Kedatangan Orang-orang Eropa
B. Reaksi Pusat-pusat Kekuasaan di Jawa Barat
terhadap Penetrasi Barat
C. Kehidupan Perekonomian
1. Preangerstelsel
2. Perkembangan Perkebunan-perkebunan
D. Kehidupan Sosial Budaya

BAB V EKSPLOITASI KOLONIAL (1800-1900)


A. Perubahan Situasi Politik dan Sistem
Pemerintahan
B. Gerakan Sosial
C. Kehidupan Perekonomian
1. Sistem Liberal dan Undang-undang
Agraria.
2. Reorganisasi Priangan
D. Kehidupan Sosial Budaya

BAB VI KEBANGKITAN NASIONAL (1900-1942)


A. Pendidikan dan Mobilitas Sosial

83
B. Perubahan Situasi Politik dan Sistem
Pemerintahan.
1. Konsepsi Otonomi Pemerintahan
2. Pembentukan Pemerintahan Kota
3. Pembentukan Propinsi Jawa Barat
(Provincie West Java) .
4. Perkembangan Pemerintahan Otonom
5. Organisasi Pergerakan
C. Kehidupan Perekonomian
D. Kehidupan Sosial Budaya
1. Perkembangan Pers
2. Emansipasi Wanita

BAB VII PERANG DAN PENDUDUKAN JEPANG


(1942-1945)
A. Masuknya Jepang ke Jawa Barat
B. Pemerintahan Militer
C. Kehidupan Perekonomian dan Sosial Budaya
D. Pembela Tanah Air (PETA) dan Organisasi
Lainnya

BAB VIII REVOLUSI KEMERDEKAAN (1945-1950)


A. Akhir Pemerintahan Militer Jepang
B. Proklamasi Kemerdekaan

84
C. Masa Perang Kemerdekaan
D. Negara Pasundan

BAB IX DEMOKRASI DAN REVOLUSI MULTI


KOMPLEKS (1950-1998)
A. Demokrasi Liberal
a. Gerakan DI/TII
b. Front Pemuda Sunda
B. Demokrasi Terpimpin
C. Kehidupan Perekonomian
D. Kehidupan Sosial Budaya

BAB X MASA ORDE BARU HINGGA REFORMASI


(1998-....)
A. Lahirnya Orde Baru
B. Pelaksanaan Pembangunan di Jawa Barat
C. Berakhirnya Orde Baru
D. Perkembangan Situasi Pasca Jatuhnya Orde
Baru
E. Berpisahnya Banten dari Propinsi Jawa Barat

BIBLIOGRAFI

LAMPIRAN

85
4.5 Penulisan Sejarah Kebudayaan Sunda
Pengertian Sejarah Kebudayaan Sunda
menyangkut tiga konsep yaitu sejarah, kebu-
dayaan dan Sunda. Sejarah bisa diartikan sebagai
peristiwa masa lalu manusia, rekaman (kisah)
masa lalu manusia, dan ilmu yang mempelajari
masa lalu manusia (Garraghan, 1956: 3, Renier,
1965:33-35; Gottschalk, 1975: 27; Kartodirdjo,
1992: 1). Yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah dalam pengertian kedua, yaitu kisah masa
lalu manusia. Sejarah sebagai kisah (story)
merupakan rekonstruksi masa lampau manusia
untuk menjawab pertanyaan pokok yang telah
dirumuskan yang memerlukan kesaksian dan
pembuktian (Abdullah, 1984: 5, Kuntowijoyo).
Ketika seorang sejarawan hendak menuliskan
kisah masa lampau, usaha pertama adalah
mencari atau menemukan jejak-jejak. (traces)
yang ditinggalkan. Jejak adalah tanda bukti
(evidences) dari serangkaian peristiwa. (events)
(Renier, 1965: 101).

86
Dalam melakukan penelitian dan penulisan
sejarah yang tidak hanya berkisah (aspek
prosesual) diperlukan analisis (aspek struktural)
dengan meminjam konsep-konsep dari ilmu bantu
sejarah. Untuk penelitian dan penulisan sejarah
kebudayaan ini dipakai konsep dari antropologi
budaya khususnya yang berkaitan dengan
pembatasan-pembatasan.
Kebudayaan (culture) bisa diartikan sebagai
keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang
harus dibiasakannya dengan belajar, beserta
keseluruhan dari hasil budi dan karyanya (Koen-
tjaraningrat: 1974: 19). Jadi, semua perwujudan,
baik yang berupa struktur maupun proses dari
kegiatan manusia dalam dimensi ideasional, etis,
dan estetis, adalah kebudayaan. Menurut definisi
ini kebudayaan berarti menyangkut semua aspek
kehidupan manusia. Dalam kenyataannya, sejarah
sebagai konstruk tidak pernah dimaksudkan
sebagai potret yang memuat secara lengkap
segala sesuatu dari obyek yang difoto itu,
melainkan seperti sebuah lukisan yang bergantung
kepada pandangan (visi), pendekatan, metode,

87
dan gaya bahasa penulis (Kartodirdjo, 1992: 19).
Selain istilah sejarah kebudayaan, beberapa
sejarawan Eropa menggunakan istilah sejarah
peradaban, seperti J.Burckhardt, yang menulis
sejarah peradaban Masa Rennaissance, bahkan
sejarawan Amerika Norman F. Cantor yang
menulis sejarah peradaban Abad Pertengahan dan
John Hale yang menulis sejarah peradaban masa
Rennaissance. Sartono Kartodirdjo menulis Per-
kembangan Peradaban Priyayi. Namun, pengertian
peradaban (civilization) lebih menunjukkan visi
Eropasentrisme yang menganggap masyarakat di
luar Eropa/Amerika tidak/kurang beradab diban-
dingkan dengan mereka (Kartodirdjo, 1992: 198)
atau untuk menunjukkan kekhususan status sosial
obyek yang diteliti.
Selanjutnya perlu dijelaskan bahwa kebu-
dayaan terdiri dari tujuh unsur yang bersifat unive-
rsal yaitu: Sistem religi dan upacara keagamaan,
Sistem dan organisasi kemasyarakatan: terdiri
atas aktifitas-akitifitas cultural (cultural activities):
sistem kekerabatan, sistem hukum, organisasi
politik, dan sistem perkawinan., sistem pengeta-

88
huan, bahasa: lisan dan tulisan, kesenian, sistem
mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi:
pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem
distribusi, serta, Sistem Teknologi dan Peralatan.
(Harsojo, 1972: 103; Koentjaraningrat, 1974: 12).
Namun sejarah kebudayaan bukanlah
sejarah dari ketujuh unsur universal di atas karena
bila penulisan akan berubah menjadi sejarah
umum bukan sejarah kebudayaan. Oleh karena
itu, untuk sejarah kebudayaan Sunda ini perlu
konseptualisasi sebagai berikut:
1. Kebudayaan dipandang sebagai suatu sistem
yang mempunyai fungsi dan struktur sehingga
perlu dirinci dan diseleksi unsur-unsur dan
aspek-aspek yang akan dicakup dalam
penulisan. Pendekatan sistem menuntut
adanya analisis yang menunjukkan hubungan
antara berbagai unsur atau aspek tersebut,
inter-dependensinya serta saling pengaruh-
mempengaruhinya. Oleh karena itu, pende-
katan sinkronis dan diakronis harus diterapkan
bersama-sama, jadi aspek proses didampingi
dengan aspek struktural.

89
2. Oleh karena sejarah politik, sejarah ekonomi,
dan sejarah sosial sudah diakui eksistensinya
sebagai satu bidang khusus, (jadi tidak
termasuk dalam sejarah kebudayaan), maka
titik berat penulisan diletakkan pada soal
kebudayaan sebagai sistem nilai beserta segala
manifestasinya (Kartodirdjo, 1992: 199-200).
3. Kebudayaan bisa dilihat sebagai suatu hierarki
struktur makna dan dipahami sebagai pola
simbolik dari perilaku, ekspresi, dan benda
yang bermakna dalam kaitannya dengan
konteks dan proses yang secara sosial
menemukan strukturnya. Jadi, sejarah
kebudayaan dapat dipandang sebagai dinamika
pertumbuhan, perubahan, dan pelebaran
wilayah system makna itu (Abdullah, 1994).
Jadi, untuk sejarah kebudayaan unsur-
unsur yang dapat kita sepakati untuk diteliti adalah
unsur-unsur yang mencerminkan nilai-nilai
masyarakat Sunda dan dipahami sebagai pola
simbolis. Unsur-unsur demikian tercermin dalam
gaya hidup (style of life) suatu masyarakat yang
meliputi:

90
1. Kesenian (dengan segala cabangnya)
2. Bahasa
3. Kepercayaan: agama, jimat, pusaka, dll.
4. Upacara sepanjang daur hidup manusia
(kelahira, perkawinan, dan kematian)
5. Pendidikan dan Sistem pengetahuan
6. Tempat tinggal: arsitektur, pembagian ruang,
luas rumah, ragam hias, alat-alat rumah
tangga dll.
7. Kebiasaan makan: sehari-hari, pada waktu
pesta dan upacara
8. Pakaian dan perlengkapannya
9. Rekreasi: permainan, olah raga, hobi, bacaan,
dsb.
10.Solidaritas: pergaulan, peralatan, komunalis-
me (Lihat: Kroeber, 1963: 3; Kartodirdjo,
1987, Abdullah, 1994).
Unsur-unsur kebudayaan di atas ditempat-
kan dalam panggung sejarah secara kontekstual.
Dalam hal ini sejarawan bertugas menyiapkan
panggung sejarah dan melakukan analisis untuk
melihat dinamika kultural yang terjadi akibat
pengaruh sosial, ekonomi, dan politik terhadap

91
unsur-unsur yang menyangkut nilai dan pola
simbolis di atas.
Selanjutnya perlu dijelaskan pula siapakah
yang dimaksud dengan Ki Sunda (orang Sunda)
itu? Secara antropologis, orang Sunda menunjuk
kepada satu suku bangsa (ethnic group). Konsep
suku bangsa memiliki pengertian khusus, yaitu
suatu golongan manusia yang terikat oleh
kesadaran dan identitas akan kesatuan
kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas
tadi seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh
kesatuan bahasa juga. Sementara itu, kesatuan
kebudayaan itu ada karena dirasakan sendiri oleh
suku bangsa yang bersangkutan. Seseorang
menyebut dirinya orang Sunda, karena ia merasa
berada di dalam suatu kebudayaan yang berbeda
dengan orang Jawa misalnya. Terlebih pula bahwa
bahasa Sunda berbeda dengan bahasa Jawa atau
bahasa daerah lainnya, sehingga orang Sunda
yang tidak belajar bahasa Jawa tidak mengerti
bahasa Jawa. Selain itu, perlu dijelaskan pula
bahwa dalam penelitian ini, orang Sunda adalah
mereka yang sehari-hari mempergunakan bahasa

92
Sunda dan menjadi pendukung kebudayaan
Sunda. Jadi, dalam hal ini tidak dipersoalkan
apakah secara genealogis dia orang Sunda atau
apakah dia secara geografis tinggal di Tatar Sunda.
Untuk dapat melakukan rekonstruksi masa
lalu kebudayaan orang Sunda yang meliputi unsur-
unsur kebudayaan itu maka harus dilakukan
pendekatan multidimensional, yang dapat
menghasilkan bab-bab khusus dari ke-tujuh unsur
dengan segala perinciannya. Namun karena
keterbatasan pengetahuan sejarawan, maka pene-
litian dapat dilakukan dengan pendekatan
interdisipliner. (Baca: Lloyd, 1986; Burke, 1992;
Kartodirdjo, 1992; Kuntowijoyo, 1994, Fulbrook,
2002). Misalnya: untuk unsur kesenian ditulis oleh
pakar kesenian, untuk unsur bahasa ditulis oleh
pakar bahasa. Agar memenuhi sifat diakronis
dalam kesejarahannya diperlukan sejarawan
sebagai pengarah dalam penggunaan sumber
(historical sources) dan sebagai editor substantif.
Sebagaimana diketahui bahwa ada berbagai
klasifikasi sumber sejarah. Yang pertama, sumber-
sumber sejarah dapat dibagi atas tiga golongan

93
besar, yaitu sumber tertulis, sumber lisan, dan
sumber benda (artefak), (Gottschalk, 1975:35-36;
Kuntowijoyo, 1995: 94-96;). Dalam hal ini Renier
(1965:104) mengelompokkannya kepada tiga
golongan juga, yaitu: immaterial dan material,
yang tergolong material terbagi lagi atas yang
tertulis dan tidak tertulis.
1) Contoh-contoh sumber tertulis:
prasasti, silsilah (raja-raja, para bupati),
piagam, dokumen, babad, kronik, biografi,
buku harian, memoir, jurnal, surat kabar,
surat, laporan, notulen rapat, dan sebagainya.
Mengenai dokumen, terdapat tiga pengertian:
1. dokumen dalam arti luas, meliputi semua
sumber, baik sumber tertulis maupun
sumber lisan, ataupun sumber benda.
2. dokumen dalam arti sempit, hanya meliputi
sumber tertulis saja.
3. dokumen dalam arti sangat sempit, yaitu
hanya meliputi surat-surat resmi dan surat-
surat negara seperti surat perjanjian,
undang-undang konsesi, hibah, dan seba-
gainya.

94
2) Contoh-contoh sumber benda:
a. Sumber yang bersifat monumental:
pyramid, candi, mesjid, gereja, makam,
patung, lukisan, pakaian perang,
b. Sumber yang bersifat ornamental: relief ,
gambar-gambar dalam perkamen, dalam
buku, ragam hias dalam berbagai benda
c. Sumber grafis: peta, sketsa topografis,
master plan kota, table statistic, sidik jari,
dsb.
d. Sumber fotografis: potret, microfilm,
microprint, film (layar lebar),
e. Sumber fonografis: rekaman suara sumber.
(Garraghan, 1956: 122-123).
3) Sumber lisan dapat dibagi atas dua golongan.
Yang pertama, yaitu kesaksian lisan yang
disampaikan oleh pelaku yang terlibat langsung
dalam peristiwa yang dikisahkan. Sumber yang
disebut “sejarah lisan” (oral history) ini
merupakan kisah tentang pengalaman yang
disampaikan secara lisan. Biasanya kesaksian
lisan ini direkam dengan alat perekam dan
biasanya ditranskripsi ke atas kertas. (Abdul-

95
lah, 1984: 9). Sejarah lisan begini hanya
mungkin dipakai untuk meneliti peristiwa yang
belum lama berlangsung, ketika para pelaku
masih hidup. Jenis sumber lisan yang kedua
adalah tradisi lisan (oral tradition) seperti
dongeng, mitos, legenda, cerita rakyat (folk-
lore), atau kenangan kolektif. Sumber jenis ini
lebih mungkin dipakai untuk meneliti hal-hal
yang bersifat tradsii, seperti asal-usul sebuah
desa. Tradisi lisan sangat bercorak simbolik.
Menurut Jan Vansina, tradisi lisan adalah
“mirage of reality” (bayangan kenyataan),
sehingga untuk menangkap kenyataan di
belakang “bayangan” itu diperlukan latihan dan
kemampuan teori khusus (Abdullah, 1984: 9).
Peribahasa, anekdot, juga termasuk sumber
lisan. (Garraghan, 1956: 98-99). Sementara
itu, menurut Renier (1965: 104), yang disebut
jejak atau sumber immaterial adalah semua
jejak yang tidak kentara yang masih hidup
dalam masyarakat, seperti lembaga, adat-
istiadat, ajaran-ajaran, etika, tradisi, legenda,
dan kepercayaan.

96
Berdasarkan asal-usul sumber, sumber
sejarah dapat diklasifikasikan menjadi sumber
primer, sumber sekunder., dan sumber tersier
(Garraghan, 1956: 107, Alfian, 2000:9). Dengan
demikian, maka sumber sejarah, baik yang berupa
sumber tertulis, sumber lisan, maupun sumber
benda, dapat digolongkan menjadi sumber tertulis
yang bersifat primer dan yang bersifat sekunder.
Sumber lisan, ada yang bersifat primer dan ada
yang bersifat sekunder dan demikian juga dengan
sumber benda.
Yang dimaksud dengan sumber primer
(primary sources) adalah bila sumber atau penulis
sumber menyaksikan, mendengar sendiri (eye-
witness atau ear-witness), atau mengalami sendiri
(the actor) peristiwa yang dituliskan dalam sumber
tersebut. Jadi, sumber hidup sezaman dengan
peristiwanya itu sendiri.
Sumber primer adalah sumber yang belum
diolah, atau belum “diganggu “ isinya (Abdullah,
1984: 7). Sumber primer dapat dibagi dua pula,
a. Strictly primary sources (sumber primer yang
kuat) Yang tergolong sumber ini adalah sumber

97
yang berasal dari para pelaku peristiwa yang
bersangkutan atau saksi mata ((eyewitness)
yang menyaksikan langsung peristiwa tersebut.
Contoh: Mantan Presiden Soeharto adalah
sumber primer (lisan) yang kuat untuk kasus
Supersemar.
b. Less-strictly primary sources atau contem-
porary primary sources (sumber primer yang
kurang kuat atau sumber primer kontemporer).
Sumber jenis ini dapat disebut pula sebagai
sumber sezaman. Sumber ini berasal dari
zaman terjadinya suatu peristiwa tetapi tidak
memiliki hubungan langsung dengan peristiwa
tersebut. (Garraghan, 1956).

Yang dimaksud dengan sumber sekunder


adalah bila sumber atau penulis sumber hanya
mendengar peristiwa itu dari orang lain. Dalam hal
ini, harus dibedakan antara sumber sekunder
dengan sumber kontemporer. Untuk mudahnya,
dapat dikatakan bahwa dalam sumber sekunder,
sumber tidak hidup sezaman. Sumber sekunder
adalah sumber yang telah diolah lebih dahulu.

98
Misalnya: buku-buku, artikel-artikel hasil kajian
tentang suatu peristiwa, orang yang pernah
mendengar suatu peristiwa dari orang lain yang
menjadi pelaku sejarah (Abdullah, 1984: 7).
Ada satu hal yang penting dalam metode
sejarah kritis ini adalah soal sumber. Dalam
sejarah Sunda, kita mengenal sumber-sumber
sejarah primer, yaitu sumber sezaman, di mana
tokoh dalam sumber tersebut adalah pelaku atau
saksi mata peristiwa sejarah yang dikisahkan
dalam sumber tersebut. Selain itu, ada juga
sumber sekunder, yaitu sumber yang tidak
sezaman dengan peristiwa. Yang termasuk
golongan kedua ini antara lain naskah-naskah,
yang umumnya ditulis lama sestelah peristiwa
terjadi. Namun ada juga beberapa naskah yang
tergolong sumber primer karena ditulis pada
jamannya.. Golongan kedua ini bisa dipakai
sebagai sumber sejarah, tetapi patut diingat
bahwa sumber semacam ini pada umumnya tidak
dimaksudkan sebagai tulisan sejarah oleh si
penulisnya, tetapi lebih ditujukan untuk meneguh-
kan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

99
Untuk menghindarkan hasil tulisan yang kontro-
versial, maka naskah yang dipergunakan sebagai
sumber dalam penelitian ini adalah naskah yang
secara filologis dan secara historis bisa diterima
(accepted manuscript) dan tidak kontroversial
atau masih menjadi perdebatan.

4.6 Polemik tentang Naskah Wangsakerta


Yang dimaksud dengan Naskah Wangsa-
kerta, adalah naskah yang berasal dari Cirebon
yang ditulis oleh semacam tim yang diketuai oleh
Pangeran Wangsakerta. Menurut keterangan yang
tertulis dalam naskah, naskah yang terdiri dari
10.000 sarga (bait) dan berisi sejarah Tatar Sunda
yang lengkap dari masa awal abad pertama Masehi
dan juga sejarah daerah lain di Nusantara ini ditulis
antara tahun 1667-1697. Naskah ini disebutkan
sebagai hasil gotrasawala (semacam seminar)
yang diselenggarakan di Cirebon, dan diikuti oleh
berbagai peserta (para empu) penulis dari
berbagai daerah di Nusantara. Naskah ini dijual
oleh seorang Cirebon kepada Drs. Atja (alm.) yang
waktu itu menjadi Kepala Museum Sri Baduga

100
Maharaja di Bandung. Namun, timbul perdebatan,
apakah naskah ini asli atau palsu, karena ada
beberapa hal yang dianggap meragukan, misalnya
dikatakan bahwa kertas yang dipergunakan adalah
kertas yang umurnya baru sekitar satu abad,
selain itu menurut beberapa ahli epigrafi dan
arkeolog, ada bagian-bagian naskah yang isinya
tidak mungkin ditulis oleh penulis yang hidup
empat abad yang lalu. Oleh karena itu, perlu
dibuat penjelasan, apakah naskah ini dapat dipakai
sebagai sumber sejarah. Untuk menjawabnya
perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana cara
kerja sejarawan.

Cara Kerja Sejarawan


Ketika seorang sejarawan dihadapkan pada
suatu pertanyaan tentang masa lalu manusia,
maka langkahnya diarahkan untuk mencari
sumber sejarah (historical sources), yang berisi
informasi untuk menjawab pertanyaan itu. Sumber
sejarah dapat diklasifikasikan berdasarkan masa
pembuatannya, isinya, tujuan pembuatannya,
wujudnya, dan juga asal-usulnya. Yang perlu

101
dikemukakan sehubungan dengan naskah adalah
dua klasifikasi yang terakhir. Klasifikasi sumber
sejarah berdasarkan wujudnya meliputi tiga
golongan, yaitu sumber berupa tulisan, sumber
berupa benda, dan sumber lisan. Sumber berupa
tulisan, dapat berupa prasasti, silsilah, kalender,
annal, kronik, karya-karya sejarah (termasuk
sejarah tradisional), biografi, otobiografi, memoar,
buku harian, surat-surat pribadi, surat kabar, dan
sejenisnya. Naskah yaitu karya yang ditulis
dengan tangan termasuk dalam sumber sejarah
tertulis. Selanjutnya klasifikasi sumber sejarah
berdasarkan asal-usulnya, yaitu sumber sejarah
primer dan sumber sejarah sekunder. Menurut
pembagian yang lebih mutakhir, ada yang disebut
sumber tersier dan kwarter. Sumber primer
terbagi lagi atas dua golongan yaitu sumber primer
kuat (Strictly primary source) dan sumber primer
kurang kuat (unstrictly primary source) .Sumber
primer kuat adalah sumber yang memuat
informasi yang berasal dari pelaku sejarah (actor),
saksi peristiwa sejarah (eyewitness); sedangkan
sumber primer kurang kuat biasa disebut juga

102
sebagai sumber sezaman, yaitu sumber yang
berasal dari masa suatu peristiwa sejarah
berlangsung tetapi sumber informasi bukan pelaku
atau saksi mata. Sumber sekunder adalah sumber
yang berisi informasi dari sumber yang tidak
langsung atau bukan dari pelaku ataupun saksi
mata. (lihat: Gilbert J. Garraghan, A Guide to
Historical Method, 1946:103-113; juga baca: Louis
Gottschalk, Mengerti Sejarah (terjemahan) 1975
:58-79). Kalau dilihat sepintas istilah sumber
primer kurang kuat dengan sumber sekunder
seolah sama. Untuk memahami perbedaannya
dapat dilihat pada contoh kasus ini: Berita dari
Tome Pires, orang Portugis tentang Fatahillah.
Tome Pires pernah datang ke Banten dan singgah
di Cirebon antara tahun 1512-1513. Sunan
Gunung Jati, yang menjadi pendiri Kesultanan
Cirebon, hidup pada kurun waktu itu. Tome Pires
menceritakan dalam bukunya yang berjudul Suma
Oriental, tentang penguasa Cirebon yang tak
pernah dijumpainya secara langsung artinya ia
hanya mendengar dari orang lain tentang pendiri
Cirebon tersebut. Maka buku Suma Oriental

103
tergolong sumber sezaman atau sumber primer
kurang kuat untuk informasi tentang Sunan
Gunung Jati.
Pada tahun 1720, Pangeran Arya Cirebon
menyusun naskah Carita Purwaka Caruban Nagari,
yang juga memuat informasi tentang Sunan
Gunung Jati. Naskah ini disusun sekitar 150 tahun
setelah kematian Sunan Gunung Jati, jadi,
penulisnya tidak pernah bertemu langsung dengan
Sunan Gunung Jati, maka sumber ini disebut
sebagai sumber sekunder untuk informasi tentang
Sunan Gunung Jati.
Adanya klasifikasi sumber sejarah primer
dan sekunder seperti disebut di atas, membedakan
nilainya sebagai sumber sejarah. Sumber sejarah
primer yang memberikan informasi langsung dari
pelaku atau saksi mata jelas lebih tinggi nilainya
sebagai sumber bila dibandingkan dengan sumber
sekunder yang memberikan informasi bukan dari
pelaku atau saksi mata. Meskipun demikian
sumber sekunder dapat dipergunakan sebagai
sumber, bila sumber primer tidak ada, dengan
catatan, untuk memperoleh fakta (bukan data)

104
harus dilakukan prosedur koroborasi, yaitu
pendukungan suatu data dari suatu sumber
dengan data lain yang berasal dari sumber lain, di
mana tidak ada hubungan kepentingan di antara
sumber-sumber itu atau kedudukan sumber itu
bebas (merdeka). Dukungan dari berbagai sumber
yang merdeka bisa menghasilkan fakta yang
mendekati kepastian (certainty fact), sedangkan
bila dukungan kurang mungkin fakta yang
dihasilkan hanya sebatas dugaan (alleged fact ).
Bila koroborasi tidak bisa dilakukan, karena
ketiadaan data atau sumber lain, maka nilai
sumber itu, baik sumber primer ataupun sumber
sekunder, dianggap sebagai pembuktian sejarah
yang sangat lemah. (lihat: Gilbert Garraghan,1946
:297-304 )
Persoalan berikutnya yang menentukan
apakah sebuah sumber layak dipakai atau tidak
adalah, sejauh mana otentisitas dan kredibilitas
sumber tersebut. Otentisitas sumber dapat
ditentukan melalui kritik ekstern, yaitu kritik
dengan melihat wujud naskah .Secara kongkrit
otentisitas sumber dapat dilihat dari:

105
1. kapan dan di mana sumber itu ditulis;
2. materi (bahan) sumber, termasuk tinta yang
dipergunakan, untuk menyelidiki apakah tidak
anakronistis;
3. siapa penulis sumber;
4. identifikasi terhadap tulisan tangan, tanda
tangan, meterai, jenis huruf , ataupun
watermerk (“cap air” yang menunjukkan kapan
kertas diproduksi). Untuk mengenali tulisan
tangan dapat dibandingkan dengan tulisan lain
yang sezaman. Bentuk ataupun langgam
tulisan dari satu daerah ataupun dari suatu
periode bisa dikenali. Seringkali ejaan,
terutama bagi nama diri dan tanda tangan
(karena terlalu baik, terlalu buruk atau
anakronistis, dan tata bahasa yang ahistoris,
menunjukkan adanya pemalsuan. Referensi
anakronistis kepada peristiwa-peristiwa (terlalu
awal, terlalu akhir atau terlalu jauh) atau
penanggalan dokumen pada suatu waktu ketika
pengarang tidak mungkin hadir pada tempat
yang ditunjuk dapat membuka kedok
pemalsuan. Kadang-kadang pemalsu yang

106
pandai telah mengikuti sumber-sumber sejarah
yang paling baik secara terlalu cermat sehingga
produknya menjadi suatu kopi yang terlalu
mencolok pada bagian-bagian tertentu.
5. Asal-usul penyimpanan sumber. Suatu
dokumen biasanya tersimpan di tempat yang
sepantasnya. Naskah-naskah yang pada
umumnya dibuat di kalangan keraton ataupun
kabupaten (ada juga yang di kalangan
pesantren), tentu disimpan di tempat
(perpustakaan) yang pantas sebagai pusaka,
atau mungkin disimpan sebagai arsip keluarga,
atau di pusat dokumentasi pemerintah. Bila
tidak jelas di mana atau dari mana sebuah
dokumen berasal, maka akan timbul
pertanyaan mengenai keasliannya (lihat: Louis
Gottschalk, 1975: 82-84).
Bila telah lolos dari pengujian otentisitas,
selanjutnya sebuah sumber diuji kredibilitasnya
dengan melakukan kritik interen. Sebuah sumber
dapat dipercaya bila lolos dalam pengujian sebagai
berikut.

107
1. Apakah sumber tersebut mampu (kompeten)
untuk menyatakan kebenaran,
2. Apakah sumber mau menyatakan kebenaran
Kemampuan untuk menyatakan kebenaran
antara lain ditentukan oleh faktor-faktor berikut.
a. Kedekatan dengan peristiwa.
Artinya sumber informasi hadir dalam peristiwa
tersebut. Seorang asing yang tak pernah
berjumpa dengan Sunan Gunung Jati, tak akan
bisa secara akurat menceritakan bagaimana
penampilan pendiri Cirebon tersebut,
b. Usia dan kesehatan mental/fisik
Seorang tua yang sudah pikun tak mungkin
mampu menceritakan masa kecilnya, atau
seorang anak kecil berusia 3 tahun tidak akan
mampu menceritakan suatu pembunuhan yang
terjadi di depan matanya.
c. Keahlian
Seorang petugas kebersihan lulusan Sekolah
Dasar yang hadir dalam ruangan di mana
terjadi perdebatan seru antara dua orang ahli
politik tidak akan mampu menceritakan

108
kembali secara akurat apa yang diperdebatkan
tersebut.
d. Tingkatan perhatian.
Seorang pedagang Belanda yang datang ke
Batavia pada awal abad ke-18, hanya bisa
menceritakan bagaimana situasi perdagangan
di Batavia waktu itu, tetapi tidak akan bisa
menceritakan bagaimana budaya pribumi
waktu itu karena tidak menjadi pusat
perhatiannya.
Kemauan untuk menyatakan kebenaran
berkaitan erat dengan kepentingan sumber. Bila
informasi akan merugikan kepentingan sumber
maka jelas bahwa sumber tidak mau menyatakan
kebenaran. Demikian pula sebaliknya, bila tidak
merugikan, besar kemungkinan sumber akan mau
menyatakan kebenaran.

Kritik Sumber terhadap Naskah Wangsakerta


Dengan mengetahui dasar-dasar metode
sejarah di atas, kita bisa menentukan sejauh mana
Naskah Wangsakerta dapat dipakai sebagai

109
sumber sejarah. Berikut ini kritik sumber yang
dapat dilakukan sebagai pendahuluan.
Menurut Edi S. Ekadjati, Naskah Wangsa-
kerta, kemungkinan tergolong naskah salinan.
Seperti disebutkan di atas, bahan atau materi yang
dipergunakan berdasarkan hasil pengujian di Arsip
Nasional Rep. Indonesia, berumur sekitar 100
tahun (dihitung dari tahun 1988, yaitu ketika
bahan naskah itu diuji) Jadi, kemungkinan naskah
itu disalin akhir abad ke-19. Sementara ketera-
ngan dalam naskah menyebut-kan bahwa naskah
itu disusun akhir abad ke-17. Jadi, ada selisih
waktu 200 tahun.
Penulis naskah adalah semacam tim yang
diketuai oleh Pangeran Wangsakerta. Soal iden-
titas Pangeran Wangsakerta, bisa disebutkan bah-
wa ia adalah tokoh historis yang juga tercatat
dalam sumber primer kolonial di samping dalam
sumber lokal. Selanjutnya mengenai tulisan yang
dipergunakan, menurut keterangan Tien Wartini
(peneliti yang ikut dalam proyek kajian filologis
naskah ini), bentuk huruf yang dipergunakan
dalam naskah ini adalah huruf Jawa Kuna yang

110
kurang bagus, walau tidak bisa disebut buruk.
Dalam satu jilid, peneliti ini menemukan beberapa
huruf yang beda. Kertas yang dipergunakan juga
ada dua,kuning dan coklat (lihat: Majalah Mangle
no. 1265). Selanjutnya menurut. Buchori, (alm.),
arkeolog UI yang ahli tulisan kuno (paleografi),
disebutkan bahwa kertas yang dipergunakan
untuk naskah ini adalah kertas manila yang
dicelup. Lagi pula biasanya, naskah sejarah ditulis
dengan huruf-huruf yang bagus, sedangkan
naskah ini ditulis dengan huruf yang jelek (lihat:
Mangle no. 1266). Menurut pendapat M.C.Ricklefs,
sejarawan Australia yang mendalami naskah-
naskah kuno Jawa dan Sunda, ia pernah melihat
naskah itu di Museum Sri Baduga, dan ia
menyatakan bahwa melihat tulisannya yang
“kasar”, menunjukkan itu naskah baru, bukan
naskah abad ke-17.
Sementara itu, menurut Edi S. Ekadjati,
riwayat asal-usul naskah masih diliputi misteri
yang belum terpecahkan. Penjual naskah yang
bernama Moh. Asikin tidak mau menyebutkan
identitas dirinya dan Moh. Asikin pun kini telah

111
meninggal dunia. Penulis pernah menanyakan hal
ini kepada Bapak T.D. Sudjana, dalam kesempatan
baru-baru ini. Penulis juga tidak mendapat
jawaban yang diharapkan,.karena ternyata ahli
sejarah Cirebon ini pun tidak tahu, hanya
mengatakan bahwa kalau penulis mau mendapat
salinan-salinan naskah lain, bisa membelinya di
Cirebon.
Dengan melakukan kritik ekstern terhadap
Naskah Wangsakerta di atas, dapat disimpulkan
bahwa naskah ini bukan sumber yang otentik,
artinya tergolong sebagai sumber sekunder, yaitu
sumber yang tidak ditulis sezaman. Jelas bahwa
nilainya sebagai sumber sejarah tidak setinggi
kalau sumber itu primer. Meski demikian, sumber
sekunder tetap bisa dipergunakan, hanya diper-
lukan setelah itu prosedur koroborasi. Misalnya
saja, untuk mencari kepastian tentang nama raja-
raja Salakanagara ataupun Raja-raja Tarumana-
gara, yang dalam naskah begitu rinci dilengkapi
dengan angka tahun pemerintahan, sumber lain
mana yang bisa dipakai sebagai alat koroborasi.
Hingga sekarang, prasasti yang ditemukan

112
jumlahnya sangat terbatas, bahkan mengenai
Kerajaan Salakanagara, belum ditemukan (atau
tidak ada?). Maka nilai informasi dari Naskah
Wangsakerta tentang hal tersebut sangat lemah.
Sementara untuk peristiwa abad ke-17, misalnya
saja informasi tentang Kesultanan Cirebon, dapat
dikoroborasikan, sehingga informasi dalam nas-
kah bisa saja menjadi fakta sejarah. Hanya saja
penelitian tentang isinya ini belum dilakukan dari
segi sejarah.
Kerahasiaan asal-usul naskah ini mengun-
dang pertanyaan: Mengapa? Ada apa? Terlepas
dari soal kecurigaan semacam itu, secara
akademis, masalah asal-usul yang tidak jelas ini
menurunkan tingkat kredibilitas naskah tersebut.
Lagi pula, naskah ini, belum tuntas diteliti secara
filologis (baru 26 dari 48 buah naskah yang ada).
Edi S. Ekadjati mengakui bahwa ada dilema dalam
menghadapi naskah ini sehingga diperlukan
penelitian dan pengkajian yang obyektif tentang
naskah ini dan pada bulan Oktober 2001, meminta
penulis untuk meneliti hasil kajian filologis atas
naskah ini untuk diteliti lebih lanjut dari segi Ilmu

113
Sejarah, karena menurut pendapatnya, naskah
yang sudah dikaji secara filologis pun, belum
diteliti dari segi Ilmu Sejarah.
Berdasarkan uraian panjang-lebar di atas,
penulis berkesimpulan bahwa Naskah Wangsak-
erta, saat ini tidak dapat dipergunakan sebagai
sumber sejarah. Dalam penulisan Sejarah Jawa
Barat yang sedang penulis kerjakan bersama tim,
termasuk Prof. Dr. Edi S. Ekadjati, sudah disepa-
kati bahwa Naskah Wangsakerta tidak akan diper-
gunakan. Meskipun demikian, naskah ini sah seba-
gai obyek kajian filologi. Dalam berbagai kesem-
patan, penulis sebagai sejarawan pun mendukung
usaha Yosef Iskandar, sebagai sastrawan yang
senang menulis karya yang berlatar belakang seja-
rah, untuk menulis “dongeng-dongeng sejarah”,
sebagai penulisan yang bersifat rekreatif dan
inspiratif, tetapi tidak sebagai “karya sejarah”
yang sesungguhnya.
Sebagai penutup, penulis ingin menggaris-
bawahi bahwa pada dasarnya setiap sumber
sejarah harus diuji terlebih dalu secara kritis
sebelum dipergunakan. Sumber primer sekalipun

114
harus diuji kredibilitasnya. Naskah Wangsakerta
yang tergolong sumber sekunder banyak mengan-
dung kelemahan, sehingga terlalu riskan untuk
dipergunakan sebagai sumber, untuk saat ini. Kita
tak perlu berkecil hati karenanya, toh dalam
khazanah penulisan sejarah Sunda kita memiliki
naskah-naskah dari abad ke-16, yang lebih tua
dari Naskah Wangsakerta yaitu: Bujangga Manik,
Carita Parahyangan, Sanghyang Siksakandang
Karesian, Sewaka Darma, Naskah-naskah ini
tergolong sumber primer, dan memberikan infor-
masi yang sangat berharga tentang sejarah Tatar
Sunda. Penulis mengira, masih ada naskah-naskah
semacam ini, yang mungkin masih tersimpan di
kalangan masyara-kat. Ini adalah garapan para
filolog yang masih sangat luas. Penulis akhirnya
menghimbau agar Pemerintah Propinsi Jawa Barat
mendukung usaha-usaha penelitian yang berkait-
an dengan sejarah Jawa Barat ini, termasuk
penelitian sejarah tentang naskah ini. Semoga.

115
116
LAMPIRAN

117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 1984. Teori dan Metodologi Seja-


rah. Makalah untuk Pelatihan Dosen-dosen
Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM.

---------------------1994. “ Sebuah Kilas Balik yang


Berpihak; Tentang Peta Pemi-kiran Kebuda-
yaan, Analisis Makalah-makalah dalam
Kongres Kebudayaan ”. Kalam.

Abdullah, Taufik (ed.). 1985. Ilmu Sejarah dan


Historiografi. Jakarta: Gramedia.

Ankersmith, F.R. 1987. Refleksi Tentang Sejarah.


(Terjemahan). Jakarta: Gramedia.

Barnes, Harry Elmer. 1962. A History of Historical


Writting. New York: Dover Publications.

127
Berg, C.C. 1974. Penulisan Sejarah Jawa (terje-
mahan). Jakarta: Bhratara.

Burke, Peter. 1992. History and Social Theory.


New York: Cornell University Press.

Daedalus. Journal of the American Academy of Arts


and Sciences: 1971, 100: 2.

Djajadiningrat, Hoesein. 1913. Tinjauan Kritis Te-


ntang Sejarah Banten (terjemahan 1983).
Jakarta: Djambatan.

Ekadjati, Edi S. 1981. Historiografi Priangan.


Bandung Lembaga Kebudayaan Unpad.

Fulbrook, Mary. 2002. Historical Theory. London:


Routledge.

Garraghan, Gilbert J. 1957. A Guide to Historical


Method. New York: Fordham University
Press.

Gay, Peter; Wexler, Victor G. (ed.) 1972. Histo-


rians at Work. New York: Harper & Row
Publisher.

128
Gottschalk, Louis. 1978. Mengerti Sejarah (terj.) .
Jakarta; Universitas Indonesia Press

Graaf, H.J. de. 1971. Historiografi Hindia Belanda.


(terjemahan). Jakarta: Bhratara.

Harsojo. 1972. Pengantar Antropologi. Bandung:


Binatjipta.

Hermansoemantri, Emuch. 1979. Sajarah Sukapu-


ra; Sebuah Telaah Filologis. Disertasi. Ja-
karta: Universitas Indonesia.

Holt, Claire. 1967. Art in Indonesia: Continuities


and Change . Ithaca, New York: Cornell Uni
versity Press.

Kartodirdjo, Sartono. 1982. Pemikiran dan Per-


kembangan Historiografi Indonesia; Suatu
Alternatif. Jakarta Gramedia.

__________________. t.t. Beberapa Persoalan


sekitar Sejarah-Indonesia dan Segi-segi
Strukturil Historiografi Indonesia. Yogya-
karta: UGM.

__________________. 1984. Pemberontakan


Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya.

129
__________________. 1986. Ungkapan-ungka-
pan Filsafat Sejarah Barat dan Timur.
Jakarta: Gramedia.

__________________. 1987. Perkembangan


Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press

___________________. 1992 Pendekatan Ilmu


Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:
Gramedia

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet


dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Kroeber. A.L. 1963. Style and Civilization. Berkeley


and Los Angeles: University Of California
Press.

Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah.


Yogyakarta: Bentang.

Lubis, Nina H. 1990. Babad Raden Adipati Aria


Martanagara. Bandung: Unpad.

Meyerhoff, Hans. 1959. The Philosophy of History


in Our Time. New York: Doubleday &
Company Inc.

130
Radice, Betty; and Robert Baldick. 1971. Hero-
dotus The Histories. Middlesex: Penguin
Books.

Renier, G.J. 1965. History; Its Purpose and M-


ethod. New York: Harper & Row Publishers.

Rohaedi, Ayat. 1985. Historiografi Daerah; Sebuah


Kajian Bandingan, Makalah Seminar Sejarah
Nasional IV, Yogyakarta.

Sastra dan Sejarah Lokal. (kumpulan makalah


Seminar Sejarah Lokal, 1983).

Shafer, Robert John (ed.). 1980. A Guide to


Historical Method. Illinois: The Dorsey
Press.

Sutrisno, Soelastin. 1981. Relevansi Studio Filo-


logi. Yogyakarta: Liberty.

131
132
RIWAYAT HIDUP PENULIS

NINA HERLINA, dilahirkan di Bandung, 9


September 1956. Tamat dari Sekolah Dasar Negeri
Cibuntu Bandung (1968), Sekolah Menengah
Pertama Negeri I Bandung (1971), dan Sekolah
Menengah Negeri 3 Bandung (1974). Setamat
SMA, ia melanjutkan ke Institut Teknologi
Bandung (1975), tetapi ia tidak betah kuliah di
sana dan hengkang ke Jurusan Sejarah yang
memang menjadi impiannya. Mula-mula ia kuliah
di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara (1978-1980), kemudian diselesai-
kan di Universitas Padjadjaran Bandung (1984).

133
Program S-2 Bidang Studi Sejarah di disele-
saikannya di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
selama empat semester meraih yudisium cum
laude (1990) dengan tesis yang berjudul Bupati
R.A.A. Martanagara; Studi Kasus Elite Birokrasi
Pribumi di Kabupaten Bandung (1893-1918), yang
sudah diterbitkan sebagai buku (2001). Gelar
Doktor Sejarah diperolehnya dari Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta (1997) dengan predikat
cum laude. Disertasinya yang berjudul Kehidupan
Kaum Menak Priangan (1800-1942) sudah
diterbitkan menjadi buku (1998). Buku karyanya
yang lain adalah Historiografi Barat (1999), Tradisi
dan Transformasi Sejarah Sunda (2000), serta
Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat (editor dan
penulis) (2000), Sejarah dan Budaya Politik
(2002), Si Jalak Harupat, Biografi R. Oto Iskandar
di Nata (2003), Biografi H.A. Nasuhi (2003),
Sejarah Tatar Sunda (Ketua Tim Penulis) (2003),
Sejarah Kota Bontang (Ketua Tim Penulis) (2003),
Banten dalam Pergumulan Sejarah; Sultan,
Ulama, dan Jawara (2003), Biografi H. Moh. Sanusi
Hardjadinata (2003), Biografi Gatot Mangkoepra-

134
dja (2003), Sejarah Kabupaten Bandung (2003),
Biografi Maskoen Soemadiredja (2004), Sejarah
Kota Cimahi (Ketua Tim Penulis) (2004), PETA
Cikal Bakal TNI (Ketua Tim Penulis) (2004),
Sejarah Ciamis (Ketua Tim Penulis) (2005),
Biografi R.S. Soeradiradja (2005), Himendra
Wargahadibrata, Sang Playmaker (2007) dan
Sejarah Sumedang dari Masa ke Masa (2008).
Saat ini Nina bekerja sebagai staf pengajar di
Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan di Program
Pascasarjana Unpad, Ketua Pusat Kebudayaan
Sunda Unpad, serta menjadi Ketua Masyarakat
Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Jawa Barat
(2000-sekarang). Selain itu, ia juga menjadi Ketua
Majelis Taklim Riyaadlul-Jannah yang juga
mengelola panti asuhan di Jatinangor.

135

Anda mungkin juga menyukai