Anda di halaman 1dari 13

Abdul Malik Fadjar

Nama Lengkap : Prof. Dr. Abdul Malik Fadjar S.Ag


Agama : Islam
Tempat Lahir : Yogyakarta
Tanggal Lahir : Rabu, 22 Februari 1939

Biografi
Abdul Malik Fadjar, beliau adalah sosok politikus Indonesia yang religius.
Dilahirkan dari pasangan Salamah dan Fadjar Martodiharjo di Jogjakarta pada tanggal 22
Februari 1939. Memiliki kegemaran membaca dan menimba ilmu adalah pedoman hidup
yang selalu beliau terapkan sejak kecil. Malik Fadjar dikenal sebagai Menteri Pendidikan
Nasional pada masa Kabinet Gotong Royong kepemimpinan Megawati Soekarnoputri.
Latar belakang pendidikan Malik Fadjar setelah menyelesaikan studinya di
Pendidikan Guru Agama Atas (PGAA) adalah dengan melanjutkan pendidikannya di
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang dan berhasil meraih gelar sarjananya di
tahun 1972. Awalnya beliau hanya memulainya dengan mengambil pendidikan sebagai
sarjana muda ditahun 1963. Pada tahun 1981, beliau meraih gelar Master of Science di
Department of Educational Research, Florida State University, Amerika Serikat.

Dalam kehidupan karirnya, beliau mengawalinya dengan mengajar agama di SD


Negeri Taliwang. Dengan kegigihan beliau, akhirnya berhasil menjadi seorang guru besar
di IAIN Sunan Ampel setelah meraih gelar Master of Science selama kurang lebih 7
tahun. Sempat menduduki posisi sebagai Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah
Malang (UMM) selama 1 tahun dari tahun 1983-1984. Kemudian dilanjutkan menjadi
seorang Rektor di Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Unmuh Malang dengan
masa jabatan berakhir di tahun 2000.
Selama menjabat sebagai Rektor, beliau berkesempatan menjadi seorang Menteri
Agama Indonesia dengan menggantikan Quraisy Shihab. Beliau hanya menduduki
selama satu tahun dari tahun 1998-1999 dan harus puas digantikan oleh Mohammad
Tolchah Hasan. Di tahun 2001, beliau dipercaya lagi untuk menjadi Menteri Pendidikan
Nasional dengan masa jabatan hingga 2004 menggantikan Yahya Muhaimin.
Setelah masa jabatannya berakhir, beliau digantikan oleh Bambang Sudibyo.
Terakhir menduduki kementerian, beliau sempat menjabat sebagai Menko Kesra
menggantikan Jusuf Kalla dimulai dari tanggal 22 April 2004. Masa jabatan itu hanya
bersifat sementara dan berlangsung kurang lebih selama 6 bulan tepatnya sampai tanggal
21 Oktober 2004. Beliau harus puas digantikan oleh Alwi Shihab.

Pendidikan

 Pendidikan Guru Agama Atas (PGAA)


 Fakultas Tarbiyah Sunan Ampel Malang
 Master of Science Department of Educational Research, Florida State University,
Amerika serikat
Karir

 Guru agama SDN Taliwang


 Sekretaris Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel
 Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah, Tahun 1983-1984
 Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta dan UMMMenteri Agama Indonesia,
Tahun 1998-1999
 Menteri Pendidikan Nasional, Tahun 2001-2004
 Menko Kesra 2004
Abdullah Ahmad

Dr. H. Abdoellah Ahmad (lahir di Padang Panjang, 1878 – meninggal di Kampung


Jati, Padang, 2 November 1933 pada umur 55 tahun)[1] adalah seorang ulama reformis yang
turut membidani lahirnya perguruan Sumatra Thawalib di Sumatra Barat. Ia merupakan anak
dari Haji Ahmad, ulama Minangkabau yang juga seorang pedagang, dan seorang ibu yang
berasal dari Bengkulu. Bersama Abdul Karim Amrullah, ia menjadi orang Indonesia terawal
yang memperoleh gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar, di Kairo, Mesir.

Kehidupan awal

Abdullah menyelesaikan pendidikan dasarnya pada sebuah sekolah pemerintah dan sedari
kecil memperoleh pendidikan agama dari ayahnya Syekh Ahmad Alang Lawas Padang. Pada
tahun 1895, Abdullah Ahmad pergi ke Mekkah dan kembali ke Indonesia pada tahun 1899.
Sekembalinya dari Mekkah, ia segera mengajar di Padang Panjang sembari
memberantas bid'ah dan tarekat. Ia tertarik pula untuk menyebarkan pemikiran pembaruan
melalui publikasi dengan menjadi agen dari berbagai majalah pembaruan, seperti Al-
Imam di Singapura dan Al-Ittihad dari Kairo.
Pada tahun 1906, Abdullah Ahmad pindah ke Padang untuk menjadi guru, menggantikan
pamannya, Syekh Gapuak yang meninggal dunia. Di Padang, ia mengadakan tablig dan
pertemuan tentang masalah agama dan mendirikan jemaah Adabiyah beberapa tahun kemudian.
Di samping itu, ia memberikan pengajian pada orang dewasa. Pengajiannya dilakukan dua kali
seminggu secara bergantian dari rumah ke rumah.

Kiprah

Tidak diperolehnya pendidikan yang sistematis oleh semua anak-anak pedagang di


Padang, menginspirasi Abdullah Ahmad membuka sekolah Adabiyah pada tahun 1909. Abdullah
Ahmad sangat aktif menulis, bahkan ia menjadi ketua persatuan wartawan di Padang pada tahun
1914. Ia mempunyai hubungan yang erat dengan pelajar-pelajar sekolah menengah di Padang
dan sekolah dokter di Jakarta, serta memberikan bantuan dalam kegiatan Jong Sumatranen Bond.

Abdullah Ahmad menjadi pendiri majalah Al-Munir yang terbit di Padang pada tahun


1911 sampai 1916. Tahun 1913 dia mendirikan majalah berita Al-Akhbar, dan pada tahun 1916
menjadi redaktur bidang agama majalah Al-Islam yang diterbitkan Sarekat Islam di Surabaya.

Gelar doktor kehormatan

Pengetahuannya tentang agama sangat mendalam dan diakui oleh ulama-ulama Timur


Tengah pada konferensi khilafat di Kairo tahun 1926. Pengakuan itu dibuktikan dengan
pemberian gelar kehormatan dalam bidang agama sebagai doktor fid-din.

Majalah Sinar Sumatra edisi 16 September 1926 memuat pemberitahuan sekaitan dengan


syukuran gelaran doktor kehormatan yang diterima Abdullah Ahmad di Padang.
Abdullah Syafi’i

Ulama Betawi yang lahir di Kampung Bali Matraman, Jakarta pada 16 Sya’ban 1329 Hijriyah
bertepatan dengan 10 Agustus 1910 dan wafat pada tanggal 3 September 1985 .

Ayahnya Haji Syafi’ie bin Sairan dan ibunya Nona binti Asy’ari, ia memiliki dua saudara
perempuan yakni Hajjah Siti Rogayah dan Hajjah Siti Aminah. Ketika berusia 17 tahun,
Abdullah Syafi’ie memperoleh pemberitahuan untuk belajar di langgar partikelir dan ketika
berusia 23 tahun mulai membangun Masjid Al Barkah di Kampung Bali Matraman, di sana pula
beliau menekuni ajaran Islam, membangun masyarakat.

Beliau pernah berguru kepada Guru Marzuqi Cipinang Muara, Guru Manshur, Guru Romli,
Habib Ali Kwitang, dan Habib Alawy bin Tohir Alhaddad, Bogor.

Sekitar tahun 1940-an mulai membangun madrasah ibtidaiyah meski sederhana namun mampu
menampung santri di sekitarnya. Tahun 1957 membangun aula As Syafiiyah untuk Madrasah
Tsanawiyah lilmuballighin wa muallimin.

Disusul tahun 1965 mendirikan Akademi Pendidikan Islam As Syafiiyah, tahun 1967 mendirikan
Radio As Syafiiyah, dan tahun 1968 merintis pengembangan As Syafiiyah di kawasan pinggiran
Jatiwaringin.
Pada usia yang relatif masih sangat muda, 18 tahun, Abdullah Syafi’i sudah menikah. Nama
isterinya, Siti Rogayah binti KH. Ahmad Mukhtar. Dari hasil perkawinannya dengan Rogayah,
Syafi’ dikaruniai lima orang anak. Mereka adalah, Muhibbah, Tuty Alawiyah, Abdur Rasyid,
Abdul Hakim dan Ida Farida. Pada tahun 1951, Siti Rogayah, meninggal dunia. Abdullah
menikah lagi dengan seorang gadis bernama Salamah.

Dari perkawinan yang kedua ini, Abdullah dikaruniai sepuluh orang anak, mereka adalah,
Mohammad Surur, Syarif Abdullah, Mohammad Zaki, Elok Khumaira, Ainul Yaqin, Syafi’i
Abdullah, Nufzatul Tsaniyah, Muhammad, Thuhfah, dan Laila Sakinah.

Secara formal, pendidikan Dulloh hanya SR (SD). Tapi dia belajar ilmu agama dari satu ustadz
ke ustadz lainnya, dari satu habib ke habib yang lain. Dalam bidang nahwu, ia berguru kepada
KH. Abdul Majid (Guru Majid) dan KH Ahmad Marzuki (Guru Marzuqi) dalam bidang fiqih,
Habib Alwi Al Haddad dalam bidang tasawuf, tafsir dan ilmu pidato, Habib Salim bin Jindan di
Jatinegara dalam bidang ilmu hadist, Guru Mansur dalam bidang falaq dan Habib Ali Kwitang.

Saat belajar kepada Habib Ali, ia bersama KH. Fathullah Harun dan KH Tohir Rohili
dipersaudarakan oleh Habib Ali dengan putranya, Habib Muhammad AI-Habsyi. Dari KH.
Abdullah Syafi’i dan KH. Tohir Rohili berdiri dan berkembang pesat majelis taklim As-
Syafi’iyah dan At- Tahiriyah.

Sedangkan KH. Fathullah Harun menjadi Ulama Betawi terkenal di Malaysia dan menjadi Imam
Besar di masjid Negara Kuala Lumpur.
Hal tersebut menunjukkan bahwa cara belajar yang digunakan KH. Abdullah Syafi’i adalah
Rihlah ilmiyah yang di dalam dunia Islam sudah lama dikenal.

Di antara cara belajar yang digunakan KH. Abdullah Syafi’i adalah setiap hari tidak kurang dari
4 jam ia pergunakan untuk membaca kitab yang dilanjutkan dengan membuat catatan yang
berupa inti sari dari kitab yang dibacanya. Salah seorang putranya, Abdul Rasyid mengatakan,
bahwa KH. Abdullah Syafi’i memiliki semangat menuntut ilmu yang tinggi dan pembaca yang
kuat, bahkan sebelum ia dipanggil Allah SWT masih sempat meninggalkan sebuah kitab untuk
dibaca.
Setelah ia merasa cukup memiliki bekal pengetahuan agama, maka mulailah ia berusaha
mengamalkannya. Pada usia yang tergolong muda, yaitu usia 18 tahun, ia telah mendirikan
madrasah di atas lahan seluas 8000 m2. Tanah itu berasal dari pemberian orangtuanya di
Kampung Bali Matraman. Awalnya didirikan Madrasah Islamiyah yang akhimya berganti nama
menjadi Perguruan AsSyafi’iyah.

Masjid Al-Barkah

Di usia 23 tahun atau pada tahun 1933 ia mendirikan Masjid Al-Barkah. Dalam
perkembangannya Masjid Al-Barkah digunakan sebagai tempat pengajian yang selanjutnya
berkembang pesat sehingga membuat cabang di Kebon Jeruk Jakarta Barat, Pejaten Jakarta
Selatan dan Bekasi Jawa Barat.

Seiring dengan perkembangan pengajian, Madrasah Diniyah pun berkembang. Pada tahun 1957
didirikan Madrasah Tsanawiyah (MTS), Raudhatul Athfal pada tahun 1969. Setahun kemudian,
didirikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) hingga Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).

Pengembangan lembaga pendidikan formal ini tidak hanya di Bali Matraman tetapi juga di
Jatiwaringin. Selain itu juga mengembangkan kegiatan sosial, seperti poliklinik, pondok yatim
piatu dan untuk kepentingan dakwah didirikan Radio AKPI As-Syafi’iyah. Selain sebagai
pendidik yang tekun, KH. Abdullah Syafi’ ie juga termasuk orang yang gemar bergaul dengan
tokoh-tokoh masyarakat pada tingkat nasional dan dari berbagai etnis, seperti Ambon, Bali, Jawa
dan Sumatra.

Dalam kedudukannya sebagai ketua MUI DKI Jakarta ini ia menjalin hubungan baik dengan Ali
Sadikin, Gubernur DKI Jakarta. Selama hidupnya, KH Abdullah Syafi’ie sempat membut karya
tulis. Di antara karya tulisannya:

1. Al-Muasasat Al-Syafiiyah Al- Ta’limiyah.


2. Bir Al-Wiilidain.
3. Penduduk Dunia Hanya ada Tiga Golongan.
4. Mu’jizat Sayiduna Muhammad.
5. Al-Dinu waAl-Masjid.
6. Madarij Al-Fiqh.

Pada tanggal 3 September 1985 KH. Abdullah Syafi’i tutup usia dan dimakamkan di Perguruan
Islam As-Syafi’iyah, Jatiwaringin, Pondok Gede, perbatasan Bekasi-Jakarta Timur.
Abdurrahman Wahid

Nama Lengkap : Abdurrahman Wahid


Alias : Gus Dur
Profesi : Politisi
Agama : Islam
Tempat Lahir : Jombang
Tanggal Lahir : Minggu, 4 Agustus 1940
Istri : Sinta Nuriyah
Anak : Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman
Wahid, Anita Hayatunnufus, Inayah Wulandari
Ayah : K.H. Wahid Hasyim
Ibu : Ny. Hj. Sholehah
Saudara : Salahuddin Wahid

BIOGRAFI
Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur lahir di Jombang, Jawa
Timur pada tanggal 7 September 1940. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Adakhil yang berarti
sang penakluk. Karena kata “Adakhil” tidak cukup dikenal, maka diganti dengan nama “Wahid”
yang kemudian lebih dikenal dengan Gus Dur. Gus adalah panggilan kehormatan khas Pesantren
kepada seorang anak kiai yang berarti “abang atau mas”.

Gus Dur adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ia lahir dari keluarga yang cukup terhormat.
Kakek dari ayahnya, K.H. Hasyim Asyari, merupakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sementara
itu kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang
mengajarkan kelas pada perempuan. Ayahnya K.H. Wahid Hasyim merupakan sosok yang
terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949, sedangkan ibunya
Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denayar Jombang.
Gus Dur pernah menyatakan secara terbuka bahwa ia adalah keturunan TiongHoa dari Tan Kim
Han yang menikah dengan Tan a Lok, yang merupakan saudara kandung dari Raden Patah (Tan
Eng Hwa) yang merupakan pendiri kesultanan Demak. Tan a Lok dan Tan Eng Hwa ini
merupakan anak dari Puteri Campa yang merupakan Puteri Tiongkok yaitu selir Raden
Brawijaya V. Berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis Louis Charles Damais, Tan Kim
Han diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al Shini yang makamnya ditemukan di
Trowulan.

Pada tahun 1944 Abdurrahman Wahid pindah dari kota asalnya Jombang menuju Jakarta, karena
pada saat itu ayahnya terpilih menjadi ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia
yang biasa disingkat “Masyumi”. Masyumi adalah sebuah organisasi dukungan dari tentara
Jepang yang pada saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang
mempertahankan kedaulatan Indonesia melawan Belanda. Ia kembali ke Jakarta pada akhir
perang tahun 1949 karena ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama.

Gus Dur menempuh ilmu di Jakarta dengan masuk ke SD Kris sebelum pindah ke SD Matraman
Perwari. Pada tahun 1952 ayahnya sudah tidak menjadi Menteri Agama tetapi beliau tetap
tinggal di Jakarta. Pada tahun 1953 di bulan April ayah Gus Dur meninggal dunia akibat
kecelakaan mobil.

Pada tahun 1954 pendidikannya berlanjut dengan masuk ke sekolah menengah pertama, yang
pada saat itu ia tidak naik kelas. Lalu ibunya mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan
pendidikan.

Setelah lulus dari SMP pada tahun 1957, Gus Dur memulai pendidikan muslim di sebuah
Pesantren yang bernama Pesantren Tegalrejo di Kota Magelang. Pada tahun 1959 ia pindah ke
Pesantren Tambakberas di Kota Jombang. Sementara melanjutkan pendidikanya, ia juga
menerima pekerjaan pertamanya sebagai seorang guru yang nantinya sebagai kepala sekolah
madrasah.  Bahkan ia juga bekerja sebagai jurnalis Majalah Horizon serta Majalah Budaya Jaya.

Pada tahun 1963, ia menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk melanjutkan pendidikan
di  Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November tahun 1963.
Universitas memberitahu Gus Dur untuk mengambil kelas remedial sebelum belajar bahasa Arab
dan belajar islam. Meskipun mahir berbahasa Arab, ia tidak mampu memberikan bukti bahwa
sesungguhnya ia mahir berbahasa Arab. Ia pun terpaksa harus mengambil kelas remedial.

Pada tahun 1964 Gus Dur sangat menikmati kehidupannya di Mesir.  Ia menikmati hidup dengan
menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menikmati menonton sepakbola. Gus Dur juga
terlibat dengan Asosiasi  Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah dari asosiasi tersebut.
Akhirnya ia berhasil lulus dari kelas remedialnya pada akhir tahun. Pada tahun 1965 ia memulai
belajar ilmu Islam dan juga bahasa Arab. Namun Gus Dur kecewa dan menolak metode belajar
dari universitas karena ia telah mempelajari ilmu yang diberikan.

Di Mesir, Gus Dur bekerja di Kedutaan Besar Indonesia. Namun pada saat ia bekerja peristiwa
Gerakan 30 September (G 30 S) terjadi. Upaya pemberantasan komunis dilakukan di Jakarta dan
yang menangani saat itu adalah Mayor Jendral Suharto. Sebagai bagian dari upaya tersebut.  Gus
Dur diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan
laporan kedudukan politik mereka. Ia menerima perintah yang ditugaskan menulis laporan.

Akhirnya ia mengalami kegagalan di Mesir. Hal ini terjadi karena Gus Dur tidak setuju akan
metode pendidikan di universitas dan pekerjaannya setelah G 30 S sangat mengganggu dirinya.
Pada tahun 1966 ia harus mengulang pendidikannya. Namun pendidikan pasca sarjana Gus Dur
diselamatkan oleh beasiswa di Universitas Baghdad. Akhirnya ia pindah menuju Irak dan
menikmati lingkungan barunya. Meskipun pada awalnya ia lalai, namun ia dengan cepat belajar.
Gus Dur juga meneruskan keterlibatannya dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan sebagai penulis
majalah Asosiasi tersebut.

Pada tahun 1970 ia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad. Setelah itu, Gus Dur
ke Belanda untuk meneruskan pendidikan. Ia ingin belajar di Universitas Leiden, namun ia
kecewa karena pendidikan di Universitas Baghdad tidak diakui oleh universitas tersebut.
Akhirnya ia pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali lagi ke Indonesia pada tahun 1971.

Di Jakarta, Gus Dur berharap akan kembali ke luar negeri untuk belajar di Universitas McGill di
Kanada. Ia pun bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan
Sosial (LP3ES). Organisasi ini terdiri dari kaum intelektual  muslim progresif dan sosial
demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang bernama Prima dan Gus Dur menjadi salah satu
kontributor utama majalah tersebut. Beliau berkeliling pesantren di seluruh Jawa.

Pada saat itu pesantren berusaha keras untuk mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan
mengadopsi kurikulum pemerintah. Karena nilai-nilai pesantren semakin luntur akibat perubahan
ini, Gus Dur pun prihatin dengan kondisi tersebut. Ia juga prihatin akan kemiskinan yang
melanda pesantren yang ia lihat. Melihat kondisi tersebut Gus Dur membatalkan belajar ke luar
negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.

Akhirnya ia meneruskan kariernya sebagai seorang jurnalis pada Majalah Tempo dan Koran
Kompas. Tulisannya dapat diterima dengan baik. Ia mengembangkan reputasi sebagai
komentator sosial. Dengan itu ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan seminar
sehingga membuatnya sering pulang dan pergi antara Jakarta dan Jombang.

Meskipun kariernya bisa meraih kesuksesan namun ia masih merasa sulit hidup karena hanya
memiliki satu sumber pencaharian. Ia pun bekerja kembali dengan profesi berbeda untuk
mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual  kacang dan mengantarkan es. Pada tahun
1974 ia menjabat sebagai Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng hingga tahun 1980. Pada tahun
1980 ia menjabat sebagai seorang Katib Awwal PBNU hingga pada tahun 1984. Pada tahun
1984 ia naik pangkat sebagai Ketua Dewan Tanfidz PBNU. Tahun 1987 Gus Dur menjabat
sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia. Pada tahun 1989 kariernya pun meningkat dengan
menjadi seorang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. Dan hingga akhirnya pada tahun
1999 sampai 2001 ia menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.

Sebagai seorang Presiden RI, Gus Dur memiliki pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam
menyikapi suatu permasalahan bangsa. Ia melakukan pendekatan yang lebih simpatik kepada
kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mengayomi etnis Tionghoa , meminta maaf kepada
keluarga PKI yang mati dan disiksa, dan lain-lain. Selain itu, Gus Dur juga dikenal sering
melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial, yang salah satunya adalah mengatakan bahwa
anggota MPR RI seperti anak TK.

Hanya sekitar 20 bulan Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI. Musuh-musuh politiknya
memanfaatkan benar kasus Bulloggate dan Bruneigate untuk menggoyang kepemimpinannya.
Belum lagi hubungan yang tidak harmonis dengan TNI, Partai Golkar, dan elite politik lainnya.
Gus Dur sendiri sempat mengeluarkan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2)
mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu
tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa
MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli 2001, MPR secara
resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.

Sebelumnya, pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek)
menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf
Tionghoa.

Setelah berhenti menjabat sebagai presiden, Gus Dur tidak berhenti untuk melanjutkan karier dan
perjuangannya. Pada tahun 2002 ia menjabat sebagai penasihat Solidaritas Korban Pelanggaran
HAM. Dan pada tahun 2003, Gus Dur menjabat sebagai Penasihat pada Gerakan Moral
Rekonsiliasi Nasional.

Tahun 2004, Gus Dur kembali berupaya untuk menjadi Presiden RI. Namun keinginan ini
kandas karena ia tidak lolos pemeriksaan kesehatan oleh Komisi Pemilihan Umum.

Pada Agustus 2005 Gus Dur menjadi salah satu pimpinan koalisi politik yang bernama Koalisi
Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Tri Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan
Megawati, koalisi ini mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Pada tahun 2009 Gus Dur menderita beberapa penyakit. Bahkan sejak ia menjabat sebagai
presiden, ia menderita gangguan penglihatan sehingga surat dan buku seringkali dibacakan atau
jika saat menulis seringkali juga dituliskan. Ia mendapatkan serangan stroke, diabetes, dan
gangguan ginjal. Akhirnya Gus Dur pun pergi menghadap sang khalik (meninggal dunia) pada
hari Rabu 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada pukul 18.45
WIB.

Riset dan Analisa oleh Siwi P. Rahayu


PENDIDIKAN
 1957-1959 Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah
 1959-1963 Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur
 1964-1966 Al Azhar University, Cairo, Mesir, Fakultas Syari'ah (Kulliyah al-Syari'ah)
 1966-1970 Universitas Baghdad, Irak, Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab

Anda mungkin juga menyukai