Anda di halaman 1dari 7

Sang Guru Mursyid

Oleh: Alwan Afif Fadhillah

Pesantren Mahasiswa Al-hikam


Malang
2019
Biografi Tokoh
KH. Ahmad Asrori Al Ishaqi lahir di kota Surabaya tepatnya 17 Agustus 1951.
Ayahnya bernama KH. M. Utsman Al Ishaqi yang merupakan Mursyid Thariqah
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah
Sunan Giri, karena KH Utsman Al Ishaqi Surabaya masih keturunan Sunan Giri. Nasab
beliau terhubung dengan Sunan Giri, Maulana Ishaq, Ahmad bin Isa Al-Muhajir hingga
sampai ke Rasulullah saw. Beliau pernah belajar di PP (Pondok Pesantren). Darul Ulum,
Jombang; PP. Al-Hidayah, Kediri; PP. Al-Munawir, Jogja; PP. Buntet, Cirebon.
Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan
kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti
menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya,
sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan. Mondhoknya
tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun.
Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada
pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan
akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan,
Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali
dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang
tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu
yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni
sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas
kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan
ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.”.
Berdakwah adalah kegemarannya sejak muda. Setelah selesai mesantren beliau
berdakwah di tengah komunitas anak jalanan. Kiai Asrori mengajak mereka agar
menjadikan hidupnya lebih bermanfaat serta lebih dekat kepada Allah. Karena mereka
lebih senang beraktifitas pada malam hari, beliau menamakan komunitasnya dengan
nama Geng “Orong-orong”. Serangga yang biasanya hanya keluar pada waktu malam
hari. Kiai Asrori menyadarkan mereka melalui zikir dan manaqib. Secara rutin.
Sepeninggal Kiai Utsman pada 1984, kepemimpinan tarekat dilanjutkan oleh Kiai
Asrori. Estafet kepemimpinan tarekat kepada Kiai Asrori memang sesuai dengan wasiat
Kiai Utsman. Saat itu, Kiai Asrori berusia 30 tahun dan dinilai masih terlalu muda untuk
menjadi seorang mursyid. Namun, berkat kecerdasan dan ketawadhuannya (rendah hati),
ia berhasil menjalankan perannya sebagai pemimpin tarekat Qadiriyah Wa
Naqsyabandiyah.
Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah.
Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori sebagai pengganti
yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16 Maret
1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat kepada
Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi
tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Asrori tak surut.
Pada tahun 1983, Kiai Asrori mendirikan Mushollah di daerah Kedinding, Surabaya
Utara. Lima tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 1988, beliau mendirikan PP. Al-
Fithrah. Pesantren ini menggabungkan pendidikan keagamaan dan umum. Suatu riwayat
mengatakan bahwa suatu saat ada pengusaha atau orang kaya yang ingin menyumbang
dalam jumlah besar untuk pendirian Pondok, tapi dengan rendah hati beliau menolaknya
“Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan
diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”.
Pada tahun 1989 Kiai Ahmad Asrori menikah dengan Ibu Nyai Dra. Hj. Moethia
Setjawati. Dari pernikahan tersebut, dia dikaruniai dua orang putra dan tiga orang putri,
yakni :
1. Siera Annadia
2. Sefira Assalafi
3. Ainul Yaqien atau lebih dikenal Gus Faiq
4. Nurul Yaqien atau lebih dikenal Gus Nico atau Gus Ipank yang kemudian
mendirikan Ukhsafi Copler Community
5. Siela Assabarina

Foto kiri (gus nico), foto kanan (gus faiq)


Pemikiran Tokoh
Kiai Asrori meresmikan berdirinya Jam’iyyah Al-Khidmah sebagai wadah kegiatan
penganut Thariqah Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah. Jamaahnya berasal dari berbagai
kalangan dan dari berbagai daerah. Bahkan ada yang berasal dari luar negeri seperti
Malaysia, Singapura, Brunei Darus Salam, dan Australia. Melalui Jam’iyyah Al-
Khidmah, beliau menjadikan Thariqat sebagai komunitas yang terbuka/inklusif untuk
siapa saja. Tidak seperti kesan Thariqah selama ini yang cenderung tertutup.
Beliau juga menerbitkan beberapa kitab diantaranya adalah
1. Al Muntakhobat (5 Juz) merupakan karya fenomal beliau, kitab ini disusun
selama beliau menderita sakit yang pada akhirnya mengantarkannya kembali ke
hadirat Allah swt. Masing-masing jilidnya berisi tak kurang dari 350 halaman.
Kandungannya 100% adalah tentang tasawuf dan tarekat yang diuraikan dengan
gaya bahasa yang indah dan sangat gamblang. Dalam kitab ini juga dikupas tuntas
tentang seluk-beluk dan hal-ihwal kemursyidan yang jarang diungkap oleh penulis
lain pada kitab-kitab yang juga bergenre tasawuf.
2. Maa Huwa Al Manaqib? Merupakan kitab yang membahas tentang urgensi dari
mengadakan masjlis manaqib(an).
3. Mutiara Hikmah Dalam Penataan Hati, Ruhani, Dan Sirri Menuju Kehadirat
Ilahi yang berisi tentang pengajian KH. Achmad Asrori Al Ishaqy yang berjudul
Istighfar dan Taubat.
4. Mutiara Hikmah Dalam Ma'rifat Kehadirat Allah Swt adalah kitab yang berisi
tentang pengajian KH. Achmad Asrori Al Ishaqy yang berjudul Ma'rifat.
5. Nuqthoh Dalam Hakikat Makna Robithoh terdiri dari dua bagian, Pertama, kitab
An Nuqthah karangan KH. Muhammad Utsman Al Ishaqy Ra, yang menjelaskan
tentang hakikat rabithah. Dan kedua adalah kitab Al Baqiyah Ash Shalihah
karangan KH. Achmad Asrori Al Ishaqy Ra, yang merupakan penjelas (Syarh)
terhadap kitab An Nuqthah.
6. Pedoman Kepemimpinan Dan Kepengurusan Dalam Kegiatan Dan Amaliyah
Ath Thoriqoh Dan Al Khidmah adalah tentang aturan ke-organisasian tarekat Al
Qadiriyyah wa Al Naqsyabandiyyah Al Utsmaniyyah dan Jamaah Al Khidmah.
7. Manaqib Syaikh Abdul Qadir Al Jilani Ra berisi petunjuk teknis dalam
menyelenggarakan majlis manaqiban.
8. Iklil (Istighosah) berisi bacaan majlis istighosah dan kirim doa yang khas
dilakukan Jamaah Al Khidmah.
9. Fathatun Nuriyah (Amalan Sunah) terdiri dari tiga jilid, jilid pertama berisi
wiridan yang istiqamah diamalkan oleh para pengikut tarekat Al Qadiriyyah wa Al
Naqsyabandiyyah Al Utsmaniyyah setiap selesai mengerjakan shalat wajib. Jilid
kedua berisi tentang tuntunan shalat-shalat sunah yang dilakukan pada malam hari.
Sedangkan jilid ketiga berisi tentang tuntunan shalat-shalat sunah yang dilakukan
pada waktu siang hari.
10. Al Anwarul Khususiyyah Al Khatmiyyah berisi dzikir wajib yang harus
dilaksanakan oleh para pengikut KH. Achmad Asrori Al Ishaqy Ra yang telah
berbaiat tarekat Al Qadiriyyah wa Al Naqsyabandiyyah Al Utsmaniyyah.
11. Ash Shalawat Al Husayyniyah berisi bacaan shalawat serta salam kepada Nabi
Muhammad Saw yang dianjurkan untuk dibaca sesering mungkin untuk siapapun
yang berkenan untuk membacanya.
12. Al Wadhoif adalah kitab saku wajib santri, amalan-amalan istiqamah yang
dilaksanakan di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah. Berisi Shalawat Burdah
karang Imam Abu Abdillah Al Busyiri, Pujian-pujian yang dilantunkan sebelum
shalat fardhu, tarkhim Shubuh, dan Nadhom Aqidatul 'Awam.
13. Al Waqiah Al Fadhilah berisi bacaan surat Al Waqiah dan Yasin Fadhilah beserta
doanya.
14. Maulidrasul berisi dua kitab maulid Nabi Muhammad Saw, Maulid Adhiba'i
karangan Imam Wajihuddin ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali
bin Yusuf bin Ahmad bin ‘Umar ad-Diba`ie asy-Syaibani al-Yamani az-Zabidi asy-
Syafi`i dan Maulid Adh Dhiyaul Lami' karangan al-Habib Umar bin Muhammad
bin Salim bin Hafidz.
15. Maulid Al Bahjah berisi tentang rangkaian maulid Nabi Muhammad Saw yang
dibaca pada majlis-majlis dzikir yang diselenggarakan oleh Jamaah Al Khidmah.

Konstribusi Tokoh
Kiai Asrori adalah ulama, habaib, mursyid, dan nasionalis pengayom masyarakat.
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan Al-Khidmah selalu mengumpulkan tokoh-tokoh
nasional, baik politikus, ormas, militer maupun sipil. Pada tahun 80-an, Thariqat terkotak-
kota dalam pusaran politik praktis. Bahkan pengikutnya seringkali memusuhi pengikut
thariqat yang mursyidnya mengikuti partai politik yang berbeda. Melalui Al-Khidmah,
Kiai Asrori merangkul semua anak bangsa. Dari elit parpol hingga masyarakat pinggiran.
Nasionalisme Kiai Asrori di antaranya ditunjukkan dalam kata sambutan di gebang
pesantren Al-Fithrah. Di sana ditulis, “Dirgahayu Indonesia. Damai, damai dan
damailah.”
Dengan jumlah santri lebih dari 3.000 orang, Ponpes Al Fithrah kini mengelola
semua jenjang pendidikan, mulai dari TK, Madrasah Ibtidaiyah, Aliyah Muadalah,
Ma'had Aly, Taman Pendidikan Alquran (TPQ), hingga Sekolah Tinggi Agama Islam
(STAI) Al Fithrah. Selain untuk sarana pendidikan, ponpes ini sering kali digunakan
sebagai tempat untuk menggelar acara besar tarekat, seperti haul akbar yang dihadiri
ribuan pengikut tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah.

Dokumentasi

Foto Kiri: Haul Akbar PP Al-Fitrah, Foto Kanan: Berfoto di PP Al-Fitrah

Foto: Majlis Dzikir Al-Khidmah


Atas: Logo Thariqah Naqsabandiyah Al Oetsmaniyah, Bawah Kiri: Logo Al-Khidmah,
Bawah Kanan: Logo Ukhsafi Copler Community

Anda mungkin juga menyukai