Anda di halaman 1dari 7

UMMUL MUKMININ SAUDAH BINTI ZAM’AH

Setelah wafatnya Khadijah r.a, Rasulullah menikah dengan wanita yang telah berusia. Dialah Saudah
bin Zam’ah. Beliau adalah seorang wanita Quraisy yang dicintai Aisyah r.a. Berikut kisah tentang
beliau.

Mengenal Ibunda Saudah r.a

Namanya adalah Saudah bin Zam’ah bin Qays bin Abdusy Syams al-Qurasyiyah al-Amiriyah. Ibunya
adalah asy-Syamus bin Qays bin Amr. Beliau adalah istri kedua Nabi Muhammad dan termasuk orang
yang pertama-tama menyambut dakwah Islam yang dibawa nabi. Tentu ini keutamaan yang sangat
besar.

Ummul Mukminin Saudah dilahirkan di Mekah dari keluarga keturunan Quraisy. Sebelum menikah
dengan Rasulullah, suaminya adalah sepupu jauh Rasulullah, namanya Sukran bin Amr bin Abdusy
Syams radhiallahu ‘anhu. Ia adalah saudara dari sahabat Sahl, Suhail, Sulaith, dan Ha b radhiallahu
‘anhum. Dari pernikahan pertamanya, Saudah memiliki seorang anak laki-laki yang bernama Abdullah.
Ia bersama suaminya dan saudaranya Malik bin Zam’ah turut hijrah ke Habasyah pada hijrah yang
kedua. Sekembalinya dari Habasyah ke Mekah, Sukran wafat. Peris wa ini sebelum hijrah ke Madinah
(Ibnu Sayyid an-Nas: ‘Uyun al-Atsar, 2/381).

Setelah sang suaminya wafat, Saudah hidup seorang diri di tengah keluarga suaminya yang masih
musyrik. Ayahnya juga masih dalam kemusyrikan. Demikian juga saudaranya, Abdullah bin Zam’ah,
juga masih berada di atas agama nenek moyang. Inilah keadaan Saudah sebelum dinikahi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Menikah Untuk Kali Kedua

Wafatnya Khadijah r.a menyisakan kesedihan yang mendalam di rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Terlebih wafat Khadijah hampir bersamaan dengan wafatnya sang paman, Abu Thalib. Dalam
campur aduk suasana kesepian dan kesedihan, anak dan rumah yang kehilangan pengurusnya, para
sahabat merasa sedih dan peduli dengan apa yang menimpa nabi. Mereka mengirim Khaulah bin
Hakim as-Salimah r.a, istri dari Utsman bin Mazh’un, untuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Khaulah datang untuk memo vasi nabi, agar tertarik untuk menikah lagi.

Khaulah radhiallahu ‘anha datang dan berkata kepada Nabi, “Hai Rasulullah, dakkah Anda ingin
menikah?”

“Dengan siapa?” balas Rasulullah.

“Kalau Anda mau dengan seorang gadis. Atau bisa juga dengan seorang janda.”, jawab Khaulah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Kalau dengan gadis siapa? Dan kalau janda
siapa?”

Khaulah menjawab, “Kalau gadis, dia adalah putri dari makhluk Allah yang paling Anda cintai, yaitu
Aisyah. Kalau janda Saudah bin Zam’ah. Ia telah beriman pada Anda dan mengiku Anda.”

Rasulullah bersabda, “Sampaikanlah padanya dariku.”


Khaulah pun berangkan menuju Saudah. Ia berkata, “Betapa besar kebaikan dan keberkahan yang akan
Allah anugerahkan kepadamu.”

“Apa itu?” tanya Saudah.

“Rasulullah mengutusku untuk melamarmu”, kata Khaulah.

Saudah menanggapi, “Aduh.. mari temui ayahku dan sampaikanlah kepadanya tentang hal ini.”

Perlu diketahui, ayah Saudah adalah Zam’ah bin al-Aswad, salah seorang yang berjasa membebaskan
Bani Hasyim dari boikot Quraisy selama ga tahun. Za’ah adalah laki-laki yang sudah sangat tua, ia baru
pulang karena tak mampu menuntaskan rangkaian manasik hajinya.

Khaulah menemui Zam’ah, ia ucapkan salam sapa ala tradisi Arab. Karena Zam’ah bukanlah seorang
muslim. Zam’ah berkatan, “Siapa itu?”

“Khaulah bin Hakim”, jawabnya.

“Apa keperluanmu?” tanya Zam’ah.

“Aku diutus oleh Muhammad bin Abdullah untuk melamarkan Saudah untuknya.”, jawab Khaulah.

“Orang yang sekufu dalam kemuliaan. Apa jawab temanmu? (maksudnya Saudah)”, tanya Zam’ah.

“Ia senang dengan hal ini.”, jawabnya.

“Panggil dia untuk menemuiku”, pinta Zam’ah. Khaulah pun memanggilnya.

Zam’ah berkata, “Hai putriku. Ini adalah suatu kehormatan, Muhammad bin Abdullah bin Abdul
Muthalib mengutus seseorang untuk melamarmu. Ia sekufu dalam kemuliaan. Apa kau mau aku
menikahkanmu dengannya?”

“Iya”, jawab Saudah.

“Panggillah dia ke sini”, pinta Zam’ah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang. Dan Zam’ah menikahkan putrinya dengan
Rasulullah.

Tidak lama, datanglah saudara Saudah, Abd bin Zam’ah yang baru selesai menunaikan haji. Melihat
saudarinya telah dinikahi Rasulullah, ia tabur debu di atas kepalanya sebagai tanda penyesalan. Di
kemudian hari, setelah ia masuk Islam, ia berkata, “Demi umurmu (wahai Nabi), sungguh aku sangat
bodoh sekali saat menaburkan debu di atas kepalaku karena Rasulullah menikahi Saudah bin Zam’ah.”
(Ibnu Katsir: as-Sirah an-Nabawiyah) 2/142-143).

Setelah 25 tahun ber-monogami dengan Khadijah, Nabi Muhammad pun mulai ber-poligami dengan
menikahi Saudah pada bulan yang sama setelah Khadijah wafat, yaitu pada bulan Ramadhan, tahun
ke-10 pasca kenabian, 3 tahun sebelum Hijrah (Al Tabari. History of Al Tabari) Tidak ada riwayat yang
pas mengenai pada saat umur berapa Saudah dinikahi Rasulullah, tapi ayahnya dicatatkan masih
hidup ke ka Rasulullah menikahinya
Di Rumah Tangga Nabawi

Ummul Mukminin Saudah menjadi istri pertama nabi setelah wafatnya Khadijah. Ia menjadi satu-
satunya istri Nabi saw selama 3 tahun sebelum Rasulullah saw menikah dengan ‘Aisyah r.a. Ada yang
menyebutkan saat itu usianya sudah menginjak 55 tahun. Sementara Rasulullah sendiri baru berusia
50 tahun. Saat orang-orang Mekah mendengar kabar pernikahan ini, mereka keheranan. Karena
Saudah bukanlah perempuan yang can k dan berkedudukan. Dan bukanlah wanita yang dapat diajak
bersenang-senang (karena sudah tua). Mereka yakin, hal itu dilakukan Muhammad bin Abdullah untuk
menyantuninya, membantunya, dan menjaga keislamannya. Terutama setelah suaminya wafat
sepulangnya dari Habasyah. Mereka yakin, pernikahan ini adalah bertujuan sosial. Dengan demikian,
pernikahan Rasulullah dengan Saudah adalah sanggahan kepada mereka yang menuduh Rasulullah
dengan tuduhan keji. Seandainya benar apa yang mereka katakan, tentunya beliau akan memilih gadis
muda setelah di nggal istrinya.

Saudah yakin sekali bahwa dirinya dak mungkin dapat mengisi ruang kosong yang di nggalkan oleh
Khadijah r.a. Namun ia tetap berusaha sekuat tenaga agar dapat mengisi rumah tangga yang penuh
berkah tersebut dengan kenyamanan, kesenangan dan kebahagiaan. Saudah r.a selalu berusaha
meringankan beban penderitaan Rasulullah saw saat menghadapi tekanan kaum musyrikin. Ia
bercerita tentang pengalamannya selama nggal di Habasyah dan menceritakan panjang lebar tentang
hari-hari putri beliau, Ruqayyah r.a dan suaminya Ustman bin ‘Affan r.a, yang masih nggal disana.
Saudah tahu bahwa Rasulullah saw senang sekali mendengar berita tentang mereka berdua dan selalu
tertarik dengannya. Itulah Sebagian cara Saudah r.a untuk membahagiakan ha Rasulullah saw.

Pada waktu Rasulullah saw hijrah ke Madinah, Saudah r.a mengiku beliau dan menetap di Madinah
bersama Nabi saw. Tidak lama kemudian, Nabi saw membina rumah tangga dengan ‘Aisyah r.a. ‘Aisyah
r.a sangat menyukai Saudah r.a sehingga dak heran banyak cerita menarik yang melibatkan mereka
berdua.

Kemuliaan dan Keutamaan Saudah r.a

a. As Sabiquunal Awwaluun

Ke ka Rasulullah menyebarkan Islam dengan terang-terangan, suaminya, Sukran bin ‘Amr,


termasuk orang yang pertama kali menerima hidayah Allah. Dia memeluk Islam bersama kelompok
orang dari Bani Qais bin Abdu Syamsin. Setelah berbai’at di hadapan Nabi saw, dia segera menemui
istrinya, Saudah, dan memberitakan tentang keislaman serta agama baru yang dianutnya.
Kecemerlangan pikiran dan ha nya menyebabkan Saudah cepat memahami ajaran Islam untuk
selanjutnya mengiku suami menjadi seorang muslimah.

b. Kekuatan dan Keteguhan

Hal is mewa yang dimiliki Saudah adalah kekuatannya dan keteguhannya dalam menanggung
derita, seper pengusiran, penganiayaan, dan bentuk kezaliman lainnya, baik yang datangnya dari
kaum Quraisy maupun dan keluarganya sendiri. Hal seper itu dak mudah dia lakukan, karena
perjalanan yang harus ditempuhnya itu sangat sulit serta perasaan yang berat ke ka harus
meninggalkan keluarga dan kampung halaman.
c. Kesabaran dan Keridhaannya

Sifat mulia yang juga menonjol darinya adalah kesabaran dan keridhaannya menerima takdir Allah
ke ka suaminya meninggal, harus kembali ke rumah orang tua yang masih musyrik, hingga
Rasulullah memilihnya menjadi istri. Selama berada di tengah-tengah Rasulullah, keimanan dan
ketakwaannya bertambah. Dia pun bertambah rajin beribadah. Jelasnya, kadar keimanannya
berada di atas manusia rata-rata. Di dalam ha nya dak pernah ada perasaan cemburu terhadap
istri-istri Rasulullah lainnya.

Saudah pernah mendampingi Rasulullah dalam Perang Khaibar. Biasanya, sebelum berangkat
berperang, Rasulullah mengundi dahulu istri yang akan menyertai beliau. Dalam Perang Khaibar,
undian jatuh pada diri Saudah, dan kali ini Rasulullah disertai pendamping yang sabar. Dalam
perang ini banyak sekali kesulitan yang dialami Saudah, karena banyak juga kaum muslimin yang
syahid sebelum Allah memberikan kemenangan kepada mereka. Dalam kemenangannya, kaum
muslimin memperoleh banyak rampasan perang yang belum pernah mereka alami pada
peperangan lainnya. Saudah pun mendapatkan bagian rampasan perang ini. Pada peperangan ini
pula Rasulullah menikahi Shafiyyah bin Huyay bin Akhtab. Mendengar hal itu pun Saudah tetap
rela dan menerima kehadiran Shafiyyah karena ha nya bersih dari sifat iri dan cemburu.

d. Kedermawanan dan Kemurahan Ha

Ummul Mukminin Saudah bin Zam’ah memiliki banyak karakter mulia sal;ah satunya adanlah
kezuhudannya. Ia merupakan seorang wanita yang mudah memberi dan bersedekah. Ibnu Sirrin
menceritakan bahwa Umar bin al-Kha ab (setelah menjadi khalifah) pernah memberinya satu
karung yang dipenuhi Dirham. Saudah berkata, “Apa yang ada dalam karung ini?” Petugas Umar
menjawab “Ini sejumlah Dirham (perak).” Saudah r.a terkejut dan meminta pelayannya
mengambilkan nampan dan saat itu Saudah r.a membagi-bagikan uang dirham tersebut kepada
orang yang memerlukannya.

e. Bijak dan Mengutamakan Orang Lain

Saudah r.a selalu berusaha sekuat tenaga untuk menyenangkan ha Rasulullah saw, walaupun
harus mengorbankan kesenangan pribadinya. Ia tahu betul bahwa wanita yang paling dicintai
beliau dari sekian banyak istrinya adalah ‘Aisyah r.a. Untuk itu, ia ingin sekali menyenangkan ha
Beliau dari celah ini yaitu dengan memberikan jatah hari gilirannya kepada ‘Aisyah r.a demi
mendapatkan keridhaan Rasulullah saw.

‘Aisyah r.a berkata, “Jika Rasulullah saw. hendak melakukan perjalanan jauh (safar), beliau selalu
mengundi istri-istrinya. Siapa yang keluar namanya, maka dialah yang menyertai Beliau dalam
perjalanan tersebut. Selain itu, beliau menggilir istri-istrinya se ap sehari semalam, kecuali Saudah
r.a. Ia memberikan hari gilirannya kepada ‘Aisyah r.a, istri Nabi saw untuk menyenangkan
Rasulullah saw.’ (H.R Bukhari)

Ke ka Saudah r.a sudah tua Rasulullah saw berniat hendak mencerainya, maka Saudah r.a berkata
kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah janganlah engkau menceraikanku, bukanlah aku masih
menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan dalam keadaan menjadi istrimu, maka
tetapkanlah aku menjadi istrimu dan aku berikan hari giliranku kepada Aisyah r.a.” Maka Rasulullah
saw mengabulkan permohonannya dan tetap menjadikannya menjadi salah satu dari seorang
istrinya sampai Rasulullah saw meninggal. Dalam hal ini turunlah ayat Al-Qur’an, yang ar nya:
“Dan jika seorang wanita kua r akan nusyuz atau sikap dak acuh dari suaminya, maka dak
mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu
lebih baik..” (QS. An-Nisa’:128). (Sunan Tirmidzi 8/320 dengan sanad yang dihasankan Ibnu Hajar
dalam Al-Ishabah 7/720).

f. Wajah yang Ceria dan Tutur Kata yang Lembut

Sejarah banyak mencatat sikap Saudah terhadap Aisyah bin Abu Bakar. Wajahnya senan asa ceria
dan tutur katanya selalu lembut, bahkan dia sering membantu menyelesaikan urusan-urusan
Aisyah, sehingga Aisyah sangat mencintai Saudah. Begitulah kecintaannya kepada Rasulullah
sangat melekat erat di dasar ha . Segala sesuatunya dia niatkan untuk memperoleh kerelaan
Rasulullah melalui pengabdian yang tulus terhadap keluarga beliau, tanpa keluh kesah. Baginya,
kenikmatan yang paling besar di dunia ini adalah melihat Rasulullah senang dan tertawa. Aisyah
berkata, “Tidak ada wanita yang lebih aku cintai untuk berkumpul bersamanya selain Sàudah bin
Zum’ah, karena dia memiliki keis mewaan yang dak dimiiki wanita lain.” Itu merupakan
pengakuan Aisyah, wanita yang pikirannya cerdas dan senan asa jernih, yang selalu ingin bersama
Saudah dalam jihad, keyakinan, kesabaran, dan keteguhannya. Saudah merelakan malam-malam
gilirannya untuk Aisyah semata-mata untuk memperoleh keridhaan Rasulullah. Aisyah
mengisahkan, ke ka usia Saudah semakin uzur dan Rasulullah ingin menceraikannya, Saudah
berkata, “Aku mohon jangan ceraikan diriku. Aku ingin selalu berkumpul dengan istri-istrimu. Aku
rela menyerahkan malam-malamku untuk Aisyah. Aku sudah dak menginginkan lagi apa pun yang
biasa diinginkan kaum wanita.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. pun mengurungkan niatnya.
Sebenarnya Rasulullah ingin menceraikan Saudah dengan baik-baik agar Saudah dak bermasalah
dengan istri-istri beliau yang lainnya. Akan tetapi, Saudah menginginkan Rasulullah tetap
mengikatnya hingga akhir hayatnya agar dia dapat berkumpul dengan istri-istri Rasulullah. Alasan
itulah yang menyebabkan Rasulullah tetap mempertahankan pernikahannya dengan Saudah.

Saudah memiliki kelembutan dan kesabaran yang dapat menghibur ha Rasulullah, sekaligus
memberi semangat. Dia dak terlalu berharap dirinya dapat sejajar dengan Khadijah di ha
Rasulullah. Dia cukup puas dengan posisinya sebagai istri Rasulullah dan Ummul-Mukminin.
Kelembutan dan kemanisan tutur katanya dapat menggan kan wajahnya yang dak begitu can k,
tubuhnya yang gemuk, dan umurnya yang sudah tua. Apa pun yang dia lakukan semata-mata untuk
menghilangkan kesedihan Rasulullah. Sewaktu-waktu dia meriwayatkan hadits-hadits beliau untuk
menunjukkan suka citanya di hadapan Nabi.

g. ‘Aisyah r.a Menyayangi dan Menyanjungnya

Sikap itsar yang luar biasa dan sangat jarang terjadi di dunia wanita membuat ‘Aisyah r.a sangat
kagum sehingga seringkali ia menyajung Saudah r.a dengan sanjungan yang sulit dilukiskan.

Aisyah r.a berkata,


ٌ ‫ﱠ‬ َ َ ْ ََ َ َ ْ ‫] َﻣﺎ َرأ ْ ُت ْاﻣ َرأ ًة أ َح ﱠ‬.
‫[ ِﻣ ْﻦ َس ْودة ِب ِت ز ْﻣ َعة ِﻣﻦ ْاﻣ َرأ ٍة ِﻓ َﻴهﺎ ِحدة‬5]‫ب ِإ ﱠ أن أ ون ِ ِﻣ ْس ِخ َهﺎ‬
“Tiada seorang wanita pun yang paling aku sukai agar aku memiliki sifat seper dia melebihi
Saudah bin Zam’ah tatkala berusia senja.” (Riwayat Muslim dalam Kitab ar-Ridha’ 1463).

Ummul Mukminin Aisyah sangat menyukainya. Karena ia rela memberikan jatah malam Rasulullah
di rumahnya, diberikan kepada Aisyah. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim:
ْ َ َ .َ َ َ َ ْ ُ َْ ْ َ َ َ َ ُ َ ْ ََ َْ ْ َ َ ْ َ ‫ﱠ‬
“‫ول ا ِ َ ق ِس ُم‬
ُ ‫ﺎن َر ُس‬ ‫ قد َج َعلت َﻳ ْو ِ ِﻣﻨﻚ ِلعﺎ ِ شة ﻓ‬، ِ ‫ول ا‬
َ ‫ َ ﺎ َر ُس‬:‫ت‬‫ قﺎل‬،‫ول ا ِ ِلعﺎ ِ شة‬
ِ ‫لمﺎ ك ِ ت جعلت ﻳوﻣهﺎ ِﻣﻦ رس‬
ََ ْ َ َ ََْ ََ َْ َْ َْ َ َ َ
‫ ﻳوﻣهﺎ و وم سودة‬: ‫ِلعﺎ ِ شة ﻳوﻣ‬

“Ke ka Saudah sudah tua, ia serahkan jatah menginap Rasulullah di rumahnya, untuk Aisyah. Ia
berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku berikan hari giliranku bersamamu untuk Aisyah’. Sehingga
Rasulullah memberikan jatah dua hari untuk Aisyah. Hari gilirannya dan harinya Saudah.” (HR. al-
Bukhari dalam Kitab an-Nikah 4914 dan Muslim dalam Kitab ar-Ridha’ 1463).

h. Istri yang Menyenangkan Suami Dengan Candanya

Saudah r.a adalah pe seorang istri yang menyenangkan suaminya dengan kesegaran candanya,
sebagaimana kisah yang diriwayatkan oleh Ibrahim an-Nakha’i bahwasannya saudah berkata
kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Wahai Rasulullah, tadi malam aku shalat di
belakangmu, ke ka ruku’ punggungmu menyentuh hidungmu dengan keras, maka aku pegang
hidungku karena aku takut keluar darah, Maka tertawalah Rasulullah. Ibrahim berkata: Saudah
biasa membuat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tertawa dengan candanya. (Thabaqoh
Kubra 8/54).

i. Keta’atan dan Kese aan Kepada Rasulullah saw

Saudah menunaikan haji wada’ bersama istri-istri Rasul lainnya. Setelah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalm. meninggal, Saudah dak pernah lagi menunaikan ibadah haji karena khawa r
melanggar ketentuan beliau. Beberapa saat setelah haji wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalm. sakit keras. Beliau meminta persetujuan istri-istri beliau yang lain untuk nggal di rumah
Aisyah. Ke ka Nabi sakit, Saudah dak pernah putus-putusnya menjenguk beliau dan membantu
Aisyah sampai beliau wafat. Setelah beliau wafat, dia memutuskan untuk beribadah dan
mendekatkan diri kepada Allah. Harta bagiannya dan BaitulMal sebagian besar dia salurkan di jalan
Allah dengan semata-mata mengharapkan keridhaan-Nya. Dia dak pemah meninggalkan
kamarnya kecuali untuk kebutuhan yang mendesak. Pada saat-saat seper itu Abu Bakar selalu
menjenguknya karena dia tahu bahwa Saudah sangat mencintai putrinya.

j. Sebab Turunnya Ayat tentang Hijab

Sebelum datangnya perintah dari Allah untuk berhijab, istri-istri Nabi daklah berhijab, dan dak
pula beliau memerintahkan mereka berhijab. Namun Umar bin Kha ab, sahabat Nabi yang
mempunyai karakter keras, mendatangi Nabi, menyarankan beliau agar menghijabi istri-istri
beliau. Akan tetapi Sang Nabi dak mengindahkan usulannya. Di zaman Nabi Muhammad, jika istri-
istri beliau ingin buang air besar, mereka keluar pada waktu malam menuju tempat buang hajat
yang berupa tanah lapang dan terbuka bernama Al-Manasi. Mengetahui hal tersebut, Umar yang
begitu antusias agar ayat hijab diturunkan pun menunggu ke ka salah seorang istri Nabi akan
buang air besar, yang mana pada saat itu adalah Saudah, lalu Umar berseru kepadanya,"Sungguh
kami telah mengenalmu wahai Saudah!". Takut akan hal itu terulang, Saudah pun melaporkan hal
tersebut kepada Nabi. Dan dak lama berselang ayat hijab pun diturunkan. Dan istri-istri Nabi
kembali diizinkan untuk buang air besar.

Aisyah berkata, “Sesudah turun ayat hijab keluarlah Saudah di waktu malam untuk menunaikan
hajatnya. Dia adalah wanita yang berperawakan nggi besar sehingga mudah sekali dibedakan dari
wanita yang lainnya. Saat itu Umar melihatnya dan berkata, “Wahai Saudah demi Allah kami tetap
bisa mengenalimu,” maka lihatlah bagaimana Engkau keluar, maka Saudah segera kembali dan
menuju kepada Rasulullah yang waktu itu di rumah Aisyah. Pada saat itu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sedang makan malam, di tangannya ada sepotong daging, maka masuklah Saudah
kepadanya seraya berkata, “Wahai Rasulullah sesungguhnya aku keluar untuk sebagai keperluanku
dalam keadaan berhijab tetapi Umar mengatakan ini dan itu,” maka saat itu turunlah wahyu
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian para wanita untuk keluar menunaikan hajatmu.” (Shahih
Bukhari, 1:67 no. 4795 dan Shahih Muslim 4:1709)

Wafatnya

Ummul Mukminin Saudah bin Zam’ah radhiallahu ‘anha wafat di akhir pemerintahan Umar bin al-
Kha ab. Saudah wafat setelah 57 tahun dirinya menikah dengan Rasul, yaitu pada bulan Syawwal
tahun ke-54 Hijriyah atau sekitar tahun 674 M (Ibnu Hajar: al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, 7/721).
Sebelum dia meninggal, dia mewasiatkan rumahnya kepada Aisyah. Semoga Allah meridhainya dan
membalasnya dengan kebaikan yang melimpah.

Referensi

Al-Mishri, Mahmud. (2006). 35 Sirah Shahabiyah 35 Sahabat Wanita Rasulullah SAW Jilid 1 (Muhil
Dhofir, Lc. Dan Asep Sobari, Lc., Terjemahan). Jakarta Timur: Al-I’ shom Cahaya Umat.

Hadi, Nurfitri. Ummul Mukminin Saudah bin Zam’ah. Diakses pada 1 September 2023 dari
h ps://kisahmuslim.com/6158-ummul-mukminin-saudah-bin -zamah.html.

Saudah bin Zam’ah. Diakses pada 1 September 2023 dari


h ps://id.wikipedia.org/wiki/Saudah_bin _Zam%27ah.

La f. (2022). Biografi Sayyidah Saudah bin Zam’ah. Diakses pada 1 September 2023 dari
h ps://www.laduni.id/post/read/80785/biografi-sayyidah-saudah-bin -zamah#.

Suroso, Joko. (2022). Kisah Saudah, Istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang Taat dan
Menyenangkan. Diakses pada 1 September 2023 dari
h ps://magelangekspres.disway.id/read/649074/kisah-saudah-istri-rasulullah-shallallahu-alaihi-wa-
sallam-yang-taat-dan-menyenangkan.

Anda mungkin juga menyukai