Khadijah binti Khuwailid atau Khadijah al-Kubra, merupakan isteri pertama Nabi
Muhammad. Nama lengkapnya adalah Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin
Qushai. Khadijah al-Kubra, anak perempuan dari Khuwailid bin Asad dan Fatimah binti
Za'idah, berasal dari kabilah Bani Asad dari suku Quraisy. Ia merupakan wanita as-Sabiqun
al-Awwalun.
Beliau adalah Saudah binti Zam’ah bin Qais bin Abdi Syams bin Abud Al-Quraisyiyah
Al-Amiriyyah. Ibunya bernama Asy-Syamus binti Qais bin Zaid bin Amru dari bani Najjar.
Beliau juga seorang Sayyidah yg mulia dan terhormat. Sebelumnya pernah menikah dgn As-
Sakar bin Amru saudara dari Suhair bin Amru Al-Amiri. Suatu ketika beliau bersama delapan
orang dari bani Amir hijrah meninggalkan kampung halaman dan hartanya kemudian
menyebrangi dasyatnya lautan krn ridha menghadapi maut dalalm rangka memenangkan
diennya. Semakin bertambah siksaan dan intimidasi yg mereka krn mereka menolak
kesesatan dan kesyirikan. Hampir-hampir tiada hentinya ujian menimpa Saudah belum usai
ujian tinggal dinegeri asing beliau harus kehilangan suami beliau sang muhajirin. Maka
beliaupun menghadapi ujian menjadi seorang janda disamping juga ujian dinegeri asing.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menaruh perhatian yg istimewa terhadap
wanita muhajirah yg beriman dan telah menjanda tersebut. Oleh krn itu tiada henti-hentinya
Khaulah binti Hakim as-Salimah menawarkan Saudah utk beliau hingga pada gilirannya
beliau mengulurkan tangannya yg penuh rahmat utk Saudah dan beliau mendampinginya dan
membantunya menghadapi kerasnya kehidupan. Apalagi umurnya telah mendekati usia senja
sehingga membutuhkan seseorang yg dapat menjaga dan mendampinginya. Telah tercatat
dalam sejarah tak seorang pun sahabat yg berani mengajukan masukan kepada Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang pernikahan beliau setelah wafatnya Ummul Mukminin
ath-Thahirah yg telah mengimani beliau disaat menusia mengkufurinya dan menyerahkan
seluruh hartanya disaat orang lain menahan bantuan terhadapnya dan bersamanya pula
Allah mengkaruniakan kepada Rasul putra-putri.
Akan tetapi hampir-hampir kesusahan menjadi berkepanjangan hingga Khaulah binti
Hakim memberanikan diri mengusulkan kepada Rasulullah dengan cara yg lembut dan
ramah :
Khaulah : “Tidakkah anda ingin menikah ya Rasulullah?”
Nabi : “Dengan siapa saya akan menikah setelah dgn Khadijah?”
Khaulah : “Jika anda ingin, bisa dengan seorang gadis dan bisa pula dengan
seorang janda.”
Nabi : “Jika dgn seorang gadis siapakah gadis tersebut?”
Khaulah : “Putri dari orang yg anda cintai yakni Aisyah binti Abu Bakar.”
Nabi : “Jika dgn seorang janda?”
Khaulah : “Dia adalah Saudah binti Zam’ah seorang wanita yang telah beriman
kepada anda dan mengikuti yg anda bawa.”
Beliau menginginkan Aisyah akan tetapi terlebih dahulu beliau nikahi Saudah binti
Zam’ah yg mana dia menjadi satu-satunya isteri beliau selama tiga tahun atau lebih baru
kemudian masuklah Aisyah dalam rumah tangga Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Orang-orang di Makkah merasa heran terhadap pernikahan Nabi dgn Saudah binti Zam’ah.
Mereka bertanya-tanya seolah-olah tidak percaya dgn kejadian tersebut seorang janda yg
telah lanjut usia dan tidak begitu cantik menggantikan posisi Sayyidah wanita Quraisy dan hal
itu menarik perhatian bagi para pembesar-pembesar diantara mereka. Akan tetapi kenyataan
membuktikan bahwa sesungguhnya Saudah atau yg lain tidak dapat menggantikan posisi
Khadijah akan tetapi hal itu adalah kasih sayang dan penghibur hati adl menjadi rahmat bagi
beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yg penuh kasih.
Adapun Saudah radhiallaahu ‘anha mampu utk menunaikan kewajiban dalam rumah
tangga Nubuwwah dan melayani putri-putri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan
mendatangkan kebahagiaan dan kegembiraan di hati Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dgn
ringannya ruhnya dan sifat periangnya dan ketidaksukaannya terhadap beratnya badan.
Setelah tiga tahun rumah tangga tersebut berjalan maka masuklah Aisyah dalam rumah
tangga Nubuwwah disusul kemudian istri-istri yg lain seperti Hafsah Zainab Ummu Salamah
dan lain-lain. Saudah radhiallaahu ‘anha menyadari bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tidak mengawininya dirinya melainkan krn kasihan melihat kondisinya setelah
kepergian suaminya yg lama.
Dan bagi beliau hal itu telah jelas dan nyata tatkala Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam
ingin menceraikan beliau dgn cara yg baik utk memberi kebebasan kepadanya namun Nabi
Dalam perjalanan pulang kaum Muslimin dari perang Bani Mustahliq inilah
tersiar berita bohong bertujuan merusak keluarga Nabi saw. Berikut ini kami kemukakan
ringkasan dari riwayat yang tertera di dalam Ash-Shahihain.
Aisyah ra meriwayatkan bahwa dalam perjalanan ini ia ikut keluar bersama Rasulullah
saw. Aisyah ra berkata: “Setelah selesai dari peperangan ini Rasulullah saw bergegas pulang
dan memerintahkan orang-orang agar segera berangkat di malam hari. Di saat semua orang
sedang berkemas-kemas hendak berangkat, aku keluar untuk membuang hajat, aku terus
kembali hendak bergabung dengan rombongan. Pada saat itu kuraba-raba kalung leherku,
ternyata sudah tak ada lagi. Aku lalu kembali lagi ke tempat aku membuang hajatku tadi
untuk mencari-cari kalung hingga dapat kutemukan kembali.
Ketika aku kembali ke tempat perkemahan, tidak aku jumpai seorang pun yang masih
tinggal. Semuanya telah berangkat. Dengan berselimut jilbab aku berbaring di tempat itu. Aku
berfikir, pada saat mereka mencari-cari aku tentu mereka akan kembali lagi ke tempatku.
Demi Allah, di saat aku sedang berbaring, tiba-tiba Shafwan bin Mu‘atthal lewat. Agaknya ia
bertugas di belakang pasukan. Dari kejauhan ia melihat bayang-bayangku. Ia mendekat lalu
berdiri di depanku, ia sudah mengenal dan melihatku sebelum kaum wanita dikenakan wajib
berhijab. Ketika melihatku ia berucap: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un! Istri Rasulullah?“ Aku
pun terbangun oleh ucapan itu. Aku tetap menutup diriku dengan jilbabku .. Demi Allah, kami
tidak mengucapkan satu kalimat pun dan aku tidak mendengar ucapan darinya kecuali
ucapan Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un itu. Kemudian dia merendahkan untanya lalu aku
menaikinya. Ia berangkat menuntun unta kendaraan yang aku naiki sampai kami datang di
Nahri Adh-Dhahirah tempat pasukan turun istirahat. Di sinilah mulai tersiar fitnah tentang
diriku. Fitnah ini berumber dari mulut Abdullah bin Ubay bin Salul.
"Wahai kaum Muslimin! Siapa yang akan membelaku dari seorang lelaki yang telah
menyakiti keluargaku? Demi Allah, aku tidak mengetahui dari keluargaku kecuali yang baik.
Sesungguhnya mereka telah menyebutkan seorang lelaki yang aku tidak mengenal lelaki itu
kecuali sebagai orang yang baik.“
Sa‘ad bin Muadz lalu berdiri seraya berkata: “Aku yang akan membelamu dari orang
itu wahai Rasulullah saw! Jika dia dari suku Aus, kami siap penggal lehernya. Jika dia dari
saudara kami suku Khazraj maka perintahkanlah kami, kami pasti akan melakukannya.“
Maka timbullah keributan di masjid sampai Rasulullah saw meredakan mereka.
Aisyah ra melanjutkan: “Kemudian Rasulullah saw datang ke rumahku. Saat itu ayah-
ibuku berada di rumah. Ayah-ibuku menyangka bahwa tangisku telah menghancurluluhkan
hatiku. Sejak tersiar berita bohong itu Nabi saw tidak pernah duduk di sisiku. Selama sebulan
beliau tidak mendapatkan wahyu tentang diriku. Aisyah ra berkata: “Ketika duduk Nabi saw
membaca puji syukur ke Hadirat Allah swt lalu bersabda: “Hai Aisyah, aku telah mendengar
mengenai apa yang dibicarakan orang tentang dirimu. Jika engkau tidak bersalah maka Allah
swt, pasti akan membebaskan dirimu. Jika engkau telah melakukan dosa maka mintalah
ampunan kepada Allah swt dan taubatlah kepada-Nya.“ Seusai Rasulullah saw mengucapkan
ucapan itu, tanpa kurasakan air mataku tambah bercucuran. Kemudian aku katakan kepada
ayahku: “Berilah jawaban kepada Rasulullah saw mengenai diriku“ Ayahku menjawab: “Demi
Allah, aku tidak tahu bagaimana harus menjawab.“ Aku katakan pula kepada ibuku: “Berilah
jawaban mengenai diriku.“ Dia pun menjawab: “Demi Allah aku tidak tahu bagaimana harus
menjawab:“ Lalu aku berkata: “Demi Allah, sesungguhnya kalian telah mendengar hal itu
sehingga kalian telah membenarkannya. Jika aku katakan kepada kalian bahwa aku tidak
bersalah Allah Maha Mengetahui bahwa aku tidak bersalah kalian pasti tidak akan
membenarkannya. Jika aku mengakuinya Allah Maha Mengetahui bahwa aku tidak bersalah,
pasti kalian akan membenarkan aku. Demi Allah aku tidak menemukan perumpamaan untuk
diriku dan kalian kecuali sebagaimana yang dikatkaan oleh bapak Nabi Yusuf as :
"Sebaiknya aku bersabar. Kepada Allah swt sajalah aku mohon pertolongan atas apa yang
kalian lukiskan,“ QS Yusuf : 18
Selanjutnya Aisyah berkata: Demi Allah, Rasulullah saw belum bergerak dari tempat
duduknya, juga belum ada seorang pun dari penghuni rumah yang keluar sehingga Allah
menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya. Beliau tampak lemah lunglai seperti biasanya tiap
hendak menerima wahyu Ilahi, keringatnya bercucuran karena beratnya wahyu yang
diturunkan kepadanya. Aisyah berkata: Kemudian keringat mulai berkurang dari badan
Rasulullah saw lalu beliau tampak tersenyum. Ucapan yan pertama kali terdengar ialah:
"Bergembiralah wahai Aisyah, sesungguhnya Allah telah membebaskan kamu.“ Kemudian
ibuku berkata: "Berdirilah (berterimahkasihlah) kepadanya.“ Aku jawab :
"Tidak! Demi Allah, aku tidak akan berdiri (berterima kasih) kepadanya (Nabi saw) dan
aku tidak akan memuji kecuali Allah. Karena Dialah yang telah menurunkan pembebasanku.“
Lalu Abu Bakar berkata : Demi Allah, sungguh aku ingin mendapatkan ampun Allah.
Kemudian ia kembali membiayai Masthah.
Kemudian Nabi saw keluar dan menyampaikan khutbah kepada orang-orang dan
membacakan ayat-ayat al-Quran yang telah diturunkan mengenai masalah ini. Selanjutnya
Nabi saw memerintahkan supaya dilakukan hukum hadd (dera) kepada Masthah bin
Utsatsah, Hasan bin Tsabit dan Hamnah binti Jahsy karena mereka termasuk orang-orang
yang ikut menyebarluaskan desas-desus berita fitnah tersebut.
Hafshah binti Umar bin Khaththab adalah putri seorang laki-laki yang terbaik dan
mengetahui hak-hak Allah dan kaum muslimin. Umar bin Khaththab adalah seorang
penguasa yang adil dan memiliki hati yang sangat khusyuk. Pernikahan Rasulullah . dengan
Hafshah merupakan bukti cinta kasih beliau kepada mukminah yang telah menjanda setelah
ditinggalkan suaminya, Khunais bin Hudzafah as-Sahami, yang berjihad di jalan Allah, pernah
berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan gugur dalam Perang Badar. Setelah
suami anaknya meninggal, dengan perasaan sedih, Urnar menghadap Rasulullah untuk
mengabarkan nasib anaknya yang menjanda. Ketika itu Hafshah berusia delapan belas
tahun. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah memberinya kabar gembira dengan
mengatakan bahwa beliau bersedia menikahi Hafshah.
Jika kita menyebut narna Hafshah, ingatan kita akan tertuju pada jasa-jasanya yang
besar terhadap kaum muslimin saat itu. Dialah istri Nabi yang pertama kali menyimpan Al-
Qur’an dalam bentuk tulisan pada kulit, tulang, dan pelepah kurma, hingga kemudian menjadi
sebuah kitab yang sangat agung.
Memeluk Islam
Hafshah tidak termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam, karena
ketika awal-awal penyebaran Islam, ayahnya, Urnar bin Khaththab, masih menjadi musuh
utama umat Islam hingga suatu hari Umar tertarik untuk masuk Islam. Ketika suatu waktu
Umar mcngetahui keislarnan saudara perernpuannya, Fathimah dan suarninya Said bin Zaid,
dia sangat marah dan berniat menyiksa mereka. Sesampainya di rumah saudara
perempuannya, Umar mendengar bacaan Al-Qur’an yang mengalun dan dalam rumah, dan
memuncaklah amarahnya ketika dia memasuki rumah tersebut. Tanpa ampun dia menampar
mereka hingga darah mengucur dari kening keduanya. Akan tetapi, hal yang tidak terduga
terjadi, hati Umar tersentuh ketika meihat darah mengucur dari dahi adiknya, kernudian
diarnbilnyalah Al Qur’an yang ada pada mereka. Ketika selintas dia membaca awal surat
Thaha, terjadilah keajaiban. Hati Umar mulai diterangi cahaya kebenaran dan keimanan.
Allah telah mengabulkan doa Nabi . yang mengharapkan agar Allah membuka hati salah
Cobaan Besar
Hafshah senantiasa bertanya kepada Rasulullah dalam berbagai rnasalah, dan hal itu
menyebabkan marahnya Umar kepada Hafshah, sedangkan Rasulullah . senantiasa
memperlakukan Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Beliau bersabda,
“Berwasiatlah engkau kepada kaum wanita dengan baik.” Rasulullah . pernah marah besar
kepada istri-istrinya ketika mereka meminta tambahan nafkah sehingga secepatnya Umar
mendatangi rumah Rasulullah. Umar melihat istri-istri Rasulullah murung dan sedih,
sepertinya telah terjadi perselisihan antara mereka dengan Rasulullah. Secara khusus Umar
memanggil putrinya, Hafshah, dan mengingatkannya untuk menjauhi perilaku yang dapat
membangkitkan amarah beliau dan menyadari bahwa beliau tidak memiliki banyak harta
untuk diberikan kepada mereka. Karena marahnya, Rasulullah bersumpah untuk tidak
berkumpul dengan istri-istri beliau selama sebulan hingga mereka menyadari kesalahannya,
atau menceraikan mereka jika mereka tidak menyadari kesalahan. Kaitannya dengan hal ini,
Allah berfirman,
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia
dan segala perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku
akan menceraikanmu secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan
Rasul-Nya serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan
bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar. “ (QS. Al-Ahzab)
Rasulullah . menjauhi istri-istrinya selama sebulan di dalam sebuah kamar yang disebut
khazanah, dan seorang budak bernama Rabah duduk di depan pintu kamar.
Setelah kejadian itu tersebarlah kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah . telah
menceraikan istri-jstri beliau. Yang paling merasakan keresahan adalah Urnar bin Khaththab,
sehingga dia segera rnenemui putrinya yang sedang menangis. Urnar berkata, “Sepertinya
Rasulullah telah menceraikanmu.” Dengan terisak Hafshah menjawab, “Aku tidak tahu.” Umar
berkata, “Beliau telah menceraikanmu sekali dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau
menceraikanmu sekali lagi, aku tidak akan berbicara dengan mu selama-lamanya.” Hafshah
menangis dan menyesali kelalaiannya terhadap suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari
Rasulullah . menyendiri, belum ada seorang pun yang dapat memastikan apakah beliau
menceraikan istri-istri beliau atau tidak. Karena tidak sabar, Umar mendatangi khazanah
untuk menemui Rasulullah yang sedang rnenyendiri. Sekarang ini Umar menemui Rasulullah
bukan karena anaknya, melainkan karena cintanya kepada beliau dan merasa sangat sedih
melihat keadaan beliau, di samping memang ingin memastikan isu yang tersebar. Dia merasa
putrinyalah yang menjadi penyebab kesedihan beliau. Umar pun meminta penjelasan dari
beliau walaupun di sisi lain dia sangat yakin bahwa beliau tidak akan menceraikan istri – istri
beliau. Dan memang benar, Rasulullah . tidak akan menceraikan istri-istri beliau sehingga
Umar meminta izin untuk mengumumkan kabar gembira itu kepada kaum muslimin. Umar
pergi ke masjid dan mengabarkan bahwa Rasulullah . tidak menceraikan istri-istri beliau.
Kaum muslimin menyambut gembira kabar tersebut, dan tentu yang lebih gembira lagi adalah
Dapat dikatakan bahwa pengetahuan kita tentang Zainab binti Khuzaimah r.a.
sangatlah terbatas karena dia telah wafat ketika Rasulullah saw. masih hidup. Walaupun
banyak versi yang meriwayatkan kehidupannya, kami berusaha memilih pendapat yang
paling kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Zainab binti Khuzaimah adalah istri Rasulullah yang dikenal dengan kebaikan,
kedermawanan, dan sifat santunnya terhadap orang miskin. Dia adalah istri Rasul kedua
yang wafat setelah Khadijah r.a.. Untuk memuliakan dan mengagungkannya, Rasulullah
mengurus mayat Zainab dengan tangan beliau sendiri.
Nama lengkap Zainab adalah Zainab binti Khuzaimah bin Haris bin Abdillah bin Amru
bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah al-Hilaliyah. Ibunya bemama Hindun binti Auf
bin Harits bin Hamathah.
Zainab binti Khuzaimah r.a. termasuk kelompok orang yang pertama-tama masuk
Islam dari kalangan wanita. Yang mendorongnya masuk Islam adalah akal dan pikirannya
yang baik, menolak syirik dan penyembahan berhala dan selalu menjauhkan diri dari
perbuatan jahiliah.
Para perawi berbeda pendapat tentang nama-nama suami pertama dan kedua
sebelum dia menikah dengan Rasulullah. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami
pertama Zainab adalah Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib, yang kemudian
menceraikannya. Dia menikah lagi dengan Ubaidah bin Harits, namun dia terbunuh pada
Perang Badar atau Perang Uhud. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami keduanya
adalah Abdullah bin Jahsy. Sebenarnya masih banyak perawi yang mengemukakan
pendapat yang berbeda-beda. Akan tetapi, dari berbagai pendapat itu, pendapat yang paling
kuat adalah riwayat yang mengatakan bahwa suami pertamanya adalah Thufail bin Harits bin
Abdil-Muththalib. Karena Zainab tidak dapat melahirkan (mandul), Thufail menceraikannya
ketika mereka hijrah ke Madinah. Untuk mernuliakan Zainab, Ubaidah bin Harits (saudara
laki-laki Thufail) menikahi Zainab. Sebagaimana kita ketahui, Ubaidah bin Harits adalah salah
seorang prajurit penunggang kuda yang paling perkasa setelah Hamzah bin Abdul-Muththalib
dan Ali bin Abi Thalib. Mereka bertiga ikut melawan orang-orang Quraisy dalam Perang
Badar, dan akhirnya Ubaidah mati syahid dalam perang tersebut.
Meskipun Nabi saw. mengingkari beberapa nama atau julukan yang dikenal pada
zaman jahiliah, tetapi beliau tidak mengingkari julukan “ummul-masakin” yang disandang oleh
Zainab binti Khuzaimah.
Menjadi Ummul-Mukminin
Tidak diketahui dengan pasti masuknya Zainab binti Khuzaimah ke dalam rumah
tangga Nabi saw., apakah sebelum Perang Uhud atau sesudahnya. Yang jelas, Rasulullah
saw. menikahinya karena kasih sayang terhadap umamya walaupun wajah Zainab tidak
begitu cantik dan tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang bersedia menikahinya.
Tentang lamanya Zainab berada dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah pun banyak
tendapat perbedaan. Salah satu pendapat mengatakan bahwa Zainab memasuki rumah
tangga Rasulullah selama tiga bulan, dan pendapat lain delapan bulan. Akan tetapi, yang
pasti, prosesnya sangat singkat kanena Zainab meninggal semasa Rasulullah hidup. Di
dalam kitab sirah pun tidak dijelaskan penyebab kematiannya. Zainab meninggal pada usia
relatif muda, kurang dari tiga puluh tahun, dan Rasulullah yang menyalatinya. Allahu A’lam.
Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Zainab binti Khuzaimah r.a. dan
semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
(Dinukil dari buku Dzaujatur-Rasulullah SAW, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh, [ed.
Indonesia: Istri Rasulullah, Contoh dan Teladan, penerjemah: Ghufron Hasan, penerbit Gema Insani
Press, Cet. Ketiga, Jumadil Akhir 1420H)]
Adalah Ummul Mu’mini Ummu Salamah bi Abi Umayyah radhilallahu ‘anha.yang dapt
menjadi modelo wanita ideal dalam mengarungi kehidupan dalama berkeluarga. Kalau
diibarat sungai yang sedang mengeriong dan padang rumput yang lagi tandus, sangat jarang
ditemukan profil wanita unggulan seperti Ummu Salamah radhilallahu ‘anha.
Bagaimanakah peranan Ummu Mu’minin di masa kemunculan Islam ? dan siapakah jati diri
beliau bias ditemukan di secarik kertas yang singkat ini. Insaya allah
Selanjtnya saya berdoa semoga Allah meneriama amal ini sebagai sebuah amal tulus
mengharapkan keridhaan_Nya.
Pernikahan Rasulullah saw. dengan Zainab binti Jahsy r.a. didasarkan pada perintah
Allah sebagai jawaban terhadap tradisi jahiliah. Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah
yang berasal dan kalangan kerabat sendiri. Zainab adalah anak perempuan dari bibi
Rasulullah, Umaimah binti Abdul Muththalib. Beliau sangat mencintai Zainab.
Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah saw. mengutus seseorang untuk mengabari Zainab tentang perintah Allah
tersebut. Betapa gembiranya hati Zainab mendengar berita tersebut, dan pesta pernikahan
pun segera dilaksanakan serta dihadiri warga Madinah.
Zainab mulai memasuki rumah tangga Rasulullah dengan dasar wahyu Allah. Dialah
satu-satunya istri Nabi yang berasal dan kerabat dekatnya. Rasulullah tidak perlu meminta
izin jika memasuki rumah Zainab sedangkan kepada istri-istri lainnya beliau selalu meminta
izin. Kebiasaan seperti itu ternyata menimbulkan kecemburuan di hati istri Rasul lainnya.
Orang-orang munafik yang tidak senang dengan perkembangan Islam membesar-besarkan
fitnah bahwa Rasulullah telah menikahi istri anaknya sendiri. Karena itu, turunlah ayat yang
berbunyi,
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi
dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi…. “ (Qs. Al-Ahzab: 40)
Saat Wafatnya
Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah yang pertama kali wafat menyusul beliau,
yaitu pada tahun kedua puluh hijrah, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dalarn
usianya yang ke-53, dan dimakamkan di Baqi. Dalarn sebuah riwayat dikatakan bahwa
Zainab berkata menjelang ajalnya, “Aku telah rnenyiapkan kain kafanku, tetapi Umar akan
mengirim untukku kain kafan, maka bersedekahlah dengan salah satunya. Jika kalian dapat
bersedekah dengan sernua hak-hakku, kerjakanlah dari sisi yang lain.” Sernasa hidupnya,
Zainab banyak mengeluarkan sedekah di jalan Allah.
Tentang Zainab, Aisyah berkata, “Semoga Allah mengasihi Zainab. Dia banyak
menyamaiku dalarn kedudukannya di hati Rasulullah. Aku belum pernah melihat wanita yang
lebih baik agamanya daripada Zainab. Dia sangat bertakwa kepada Allah, perkataannya
paling jujur, paling suka menyambung tali silaturahmi, paling banyak bersedekah, banyak
mengorbankan diri dalam bekerja untuk dapat bersedekah, dan selalu mendekatkan diri
kepada Allah. Selain Saudah, dia yang memiliki tabiat yang keras.”
Semoga Allah memberikan kemuliaan kepadanya (Sayyidah Zainab Binti Jahsy) di
akhirat dan ditempatkan bersama hamba-hamba yang saleh. Amin.
(Dinukil dari buku Dzaujatur-Rasulullah SAW, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh, [ed.
Indonesia: Istri Rasulullah, Contoh dan Teladan, penerjemah: Ghufron Hasan, penerbit Gema Insani
Press, Cet. Ketiga, Jumadil Akhir 1420H)]
Ummu Habibah dengan nama lengkap Ramlah binti Abu Sufyan bin Harb adalah salah
seorang Ummul Mikminin (salah satu istri Rosulullah). sebuah ketangguhan yang menyentuh
hati bagi siapapun yang mendengar kisahnya.
Ramlah adalah salah seorang wanita yang masuk islam saat permulaan. ia dan
suaminya Ubaidullah telah menjadi muslim saat kaum muslimin tengah berada pada masa-
masa sulit menghadapi ujian mempertahankan aqidahnya.
Ada perih yang menggores dihati Ramlah. karena sang ayah yang amat dikasihinya,
adalah salah seorang pemuka kafir Quraisy yang amat menentang keislamannya. berkali kali
sang ayahanda mendatanginya. Membujuknya dengan lembut, hingga dengan kata-kata
tegas dan kasar, bersama sang suami mereka saling menguatkan, dan hanya kepada Allah-
lah mereka memohon kekuatan. kejernihan do'a selalu dipanjatkan, agar hati sang ayahanda
terbuka. Namun, hanya kebebalan yang nampak pada ayahandanya yang pongah sebagai
seorang pemuka yang terpandang.
Mulanya, para pemuka kafir Quraisy yang lain masih belum berani mengintimidasi
kaum muslim saat Abu Sufyan masih membujuk puterinya. Namun, saat abu sufyan mulai
lepas tangan, mereka pun kian berani menekan kaum muslim. Tak hanya cela, caci dan
makian yang dilontarkan, tak segan-segan penindasan dan penyiksaan pun terus meneror
kaum muslim saat itu.
"Rabbi, hanya kecintaan kepadaMu-lah yang membuat kami tetap bertahan.. " lirih Ramlah.
Akhirnya, turunlah perintah untuk hijrah ke Habasyah, Ramlah dan suaminya termasuk
didalamnya. Kafilah itu dipimpin oleh Ja'far bin Abu Thalib (salah seorang sahabat yang
perawakannya dan pribadinya mirip dengan Rosulullah). Di negeri habasyah, kaum muslimin
dijamin keamanannya oleh Raja najasyi.
Ujian itu ternyata belum cukup. sang suami yang amat dikasihinya karena Allah,
ternyata malah Murtad dinegeri itu. Kesedihan meliputi hatinya, tak mungkin ia menggadaikan
aqidahnya pula, karena aqidah itu telah menghujam kedalam sanubarinya. Akarnya telah
tertanam dengan kuat, sedang batang keimanan itu kokoh menjulang dengan dedaunan yang
rimbun menyejukkan. tak bisa dan tak rela jika ia harus menghempaskan keimanan itu begitu
saja.
Ditengah kesedihan dan kepiluan, serta nyeri yang terus saja seperti labirin yang
membuatnya terperangkap, tiba-tiba saja salah seorang pelayan Raja Najasyi datang
menghampirinya. ada berita gembera yang hendak disampaikannya.
Dari kesemua istri Rosulullah, Ramlah adalah istri yang memiliki garis keturunan paling
dekat dengan Rosulullah,satu-satunya istri yang mendapatkan mahar paling mahal. yaitu
mencapai 4000 dinar yang diberikan oleh Raja Najasyi serta dengan seluruh perbelakalan
yang juga ditanggung oleh Raja Najasyi.
Ramlah atau lebih dikenal dengan Ummu Habibah.. akhirnya dengan didampingi oleh
seorang pelayan Raja Najasyi.. ia pun dikembalikan untuk menjumpai Rosulullah. Ummu
Habibah kini dapat melihat sendiri pribadi yang agung itu. Ia menuai ilmu langsung dari
sumbernya. seorang yang mengajarkannya tentang islam lebih dalam, mengajarkan
kecintaan terhadap Rabbnya. Dan kini, ia lah yang turut mendampingi sang Rosul dalam
dakwah islam.
Keluarga yang mereka bina adalah cerminan dari keluarga muslim yang sakinah
mawaddah warahmah... setiap episode hidup yang dilaluinya bersama Rosulullah adalah
momoar penuh hikmah dan ilmu yang meningkatkan keimanan. Hingga.. tibalah saatnya
Rosulullah kembali pada Rabbnya... hatinya sedih... pilu... namun, harus rela kekasihnya
kembali pada sang Maha Kasih yang memilikinya.
Keimanan itu tak luntur.. ibadahnya pun kian gencar.. taqarrub ilallah.. sebagaimana
dahulu saat ia masih berdampingan dengan sang kekasih yang dikasihi oleh seluruh
ummatnya.
Ummu habibah meninggal pada tahun 44 H... ia, kembali menemui Rabbnya.
sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir... ia masih sempat meminta maaf pada
para istri Rosulullah lain yang masih hidup... karena, sebagai manusia.. tentunya pasti pernah
melakukan kesalahan meski sadar ataupun tidak.
Ummu Habibah RA akhirnya pergi untuk selamanya...
Penyambutan istri-istri Nabi saw. terhadap Shafiyyah sangat dingin dan penuh
perasaan antipati. Hal itu dapat dimaklumi karena Shafiyyah adalah putri Huyay bin Akhtab,
pemimpin kaum Yahudi Bani Nadhir yang berkomplot dengan musuh-musuh Rasulullah untuk
menyerang Rasulullah dan kaum muslimin. Akan tetapi, akhirnya Allah menolong tentara
Islam sehingga mampu menghancurkan barisan mereka, mengusai benteng mereka,
Khaibar, dan merampas harta dan kaum wanita mereka untuk dijadikan tawanan perang. Di
antara wanita tawanan perang itu terdapat Shafiyyah binti Huyay. Ketika itu, Rasulullah
memberikan pilihannya kepada Shafiyyah antara memeluk Islam dan dinikahi beliau atau
tetap dalam agamanya dan dimerdekakan sepenuhnya. Ketika itu Shafiyyah memilih
bersama Rasulullah saw.. Sebelurn melihat langsung Rasulullah saw. pun, Shafiyyah telah
mengagumi beliau. Di dalam kitab mereka, kaum Shafiyyah telah rnengetahui bahwa akan
diutus seorang Nabi Allah yang ummi dan mereka diwajibkan mengikutinya. Shafiyyah telah
memimpikan hal yang aneh dalam tidurnya, yaitu dia melihat bulan purnama jatuh ke tempat
tidurnya sehingga tempat tidurnya diliputi cahaya yang terang benderang. Takwil mimpi telah
meyakinkan dirinya bahwa Rasulullah akan menjadi cahaya penerang alam semesta.
Masa Pernikahannya
Sayyidah Shafiyyah bin Huyay r.a. telah dua kali menikah sebelum dengan Rasulullah.
Suami pertamanya bernama Salam bin Musykam, salah seorang pemimpin Bani Quraizhah,
namun rumah tangga mereka tidak berlangsung lama. Suami keduanya bernama Kinanah bin
Rabi’ bin Abil Hafiq, yang juga salah seorang pemimpin Bani Quraizhah yang diusir
Rasulullah dan kemudian menetap di Khaibar.
Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah saw. menikahi Shafiyyah dan kebebasannya menjadi mahar perkawinan
dengannya. Pernikahan beliau dengan Shafiyyah didasari beberapa landasan. Shafiyyah
telah mernilih Islam serta menikah dengan Rasulullah ketika beliau memberinya pilihan
antara memeluk Islam dan menikah dengan beliau atau tetap dengan agamanya dan
dibebaskan sepenuhnya. Ternyata Shafiyyah memilih untuk tetap bersama Nabi, Selain itu,
Shafiyyah adalah putri pemimpin Yahudi yang sangat membahayakan kaum muslimin, di
samping itu, juga karena kecintaannya kepada Islam dan Nabi Muhammad saw.
Nabi saw. menghormati Shafiyyah sebagaimana hormatnya beliau terhadap istri-istri
yang lain. Akan tetapi, istri-istri beliau menyambut kedatangan Shafiyyah dengan wajah sinis
karena dia adalah orang Yahudi, di samping juga karena kecantikannya yang menawan.
Akibat sikap mereka, Rasulullah pernah tidak tidur dengan Zainab binti Jahsy karena kata-
kata yang dia lontarkan tentang Shafiyyah. Aisyah bertutur tentang peristiwa tersebut,
“Rasulullah saw. tengah dalam perjalanan. Tiba-tiba unta Shafiyyah sakit, sementara unta
Zainab berlebih. Rasulullah berkata kepada Zainab, ‘Unta tunggangan Shafiyyah sakit,
maukah engkau memberikan salah satu dari untamu?’ Zainab menjawab, ‘Akankah aku
memberi kepada seorang perempuan Yahudi?’ Akhirnya, beliau meninggalkan Zainab pada
bulan Dzulhijjah dan Muharam. Artinya, beliau tidak mendatangi Zainab selama tiga bulan.
Zainab berkata, ‘Sehingga aku putus asa dan aku mengalihkan tempat tidurku.” Aisyah
mengatakan lagi, “Suatu siang aku melihat bayangan Rasulullah datang. Ketika itu Shafiyyah
mendengar obrolan Hafshah dan Aisyah tentang dirinya dan mcngungkit-ungkit asal-usul
dirinya. Betapa sedih perasannya. Lalu dia mengadu kepada Rasulullah sambil menangis.
Rasulullah menghiburnya, ‘Mengapa tidak engkau katakan, bagaimana kalian berdua lebih
baik dariku, suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa.” Di dalam hadits
Maimunah binti al-Harits al-Hilaliyah adalah istri Nabi yang sangat mencintai beliau
dengan tulus selama mengarungi bahtera numah tangga bersama. Dialah satu-satunya
wanita yang dengan ikhlas menyerahkan dirinya kepada kepada Rasulullah ketika
keluarganya hidup dalam kebiasaan jahiliah. Allah telah menurunkan ayat yang berhubungan
dengan dirinya:
“.. dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau
mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukminin…”
(QS. Al-Ahzab:50)
Ayat di atas merupakan kesaksian Allah terhadap ke ikhlasan Maimunah kepada Allah
dan Rasul-Nya. Bagaimana rnungkin Rasulullah menolak wanita yang dengan suka rela
menyerahkan dirinya. Hal itu menunjukkan kadar ketakwaan dan keimanan Maimunah.
Selain itu, wanita itu berasal dari keturunan yang baik. Kakak kandungnya, Ummul-Fadhal,
adalah istri Abbas bin Abdul-Muththalib (paman Nabi) dan wanita yang pertama kali memeluk
Islam setelah Khadijah r.a.. Saudara perempuan seibunya adalah Zainab binti Khuzaimah
(istri Nabi saw.), Asma binti Urnais (istri Ja’far bin Abu Thalib), dan Salma binti Umais (istri
Hamzah bin Abdul-Muththalib).
Dalam keluarganya, Maimunah termasuk dalam tiga bersaudara yang memeluk Islam.
Ibnu Abbas meriwayatkan dari Rasulullah, “Al-Mu’minah adalah tiga bersaudara, yaitu
Maimunah, Ummu-Fadhal, dan Asma’.” Maimunah dilahirkan enam tahun sebelum masa
kenabian, sehingga dia mengetahui saat-saat orang-orang hijrah ke Madinah. Dia banyak
terpengaruh oleh peristiwa hijrah tersebut, dan juga banyak dipengaruhi kakak
perempuannya, Ummul-Fadhal, yang telah lebih dahulu memeluk Islam, namun dia
menyembunyikan keislamannya karena merasa bahwa lingkungannya tidak mendukung.
Kekokohan Iman
Setelah suaminya meninggal, dengan leluasa Maimunah dapat menyatakan keimanan
dan kecintaannya kepada Rasulullah. Sehingga dengan suka rela dia menyerahkan dirinya
kepada Rasulullah untuk dinikahi sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hisyam dalam Al-
Ishabah-nya Ibnu Hajar dari referensi az-Zuhri.
Tentang penyerahan Maimunah kepada Nabi saw. ini telah dinyatakan dalam Al-
Qur’an surat al-Ahzab:50. Maimunah tinggal bersama saudara perempuannya, Ummul
Fadhal, istri Abbas bin Abdul Muththalib. Suatu ketika, kepada kakaknya, Maimunah
menyatakan niat penyerahan dirinya kepada Rasulullah. Ummul-Fadhal menyampaikan
berita itu kepada suaminya sehingga Abbas pun mengabarkannya kepada Rasulullah.
Rasulullah mengutus seseorang kepada Abbas untuk meminang Maimunah. Betapa
gembiranya perasaan Maimunah setelah mengetahui kesediaan Rasulullah menikahi dirinya.
Saat Wafatnya
Pada masa pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, bertepatan dengan
perjalanan kembali dari haji, di suatu tempat dekat Saraf, Maimunah merasa ajalnya
menjelang tiba. Ketika itu dia berusia delapan puluh tahun, bertepatan dengan tahun ke-61
hijriah. Dia dimakamkan di tempat itu juga sebagaimana wasiat yang dia sampaikan. Menurut
sebagian riwayat, dia adalah istri Nabi yang terakhir meninggal. Semoga Allah memberi
tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
(Dinukil dari buku Dzaujatur-Rasulullah SAW, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh, [ed.
Indonesia: Istri Rasulullah, Contoh dan Teladan, penerjemah: Ghufron Hasan, penerbit Gema Insani
Press, Cet. Ketiga, Jumadil Akhir 1420H)]
Maria al-Qibtiyyah, atau Maria si Koptik, (meninggal 637) adalah seorang budak
Kristen Koptik yang dikirimkan sebagai hadiah dari Muqawqis, seorang pegawai Bizantium,
kepada nabi Islam Muhammad pada tahun 628. Menurut sebagian tokoh Islam, dia juga
merupakan istri Muhammad, dan "Ibu Orang-Orang Mu'min" (Ummul Mu'min), sumber lain
seperti Ibnul Qayyim menyatakan bahwa dia hanya seorang selir. Dia merupakan ibu dari
putra Muhammad Ibrahim, yang meninggal ketika masih kecil. Sudaranya, Sirin, juga
dikirimkan kepada Muhammad; Muhammad kemudian memberikannya kepada pengikutnya
Hassan bin Tsabit. Maria tidak pernah menikah lagi setelah kematian Muhammad di tahun
632, dan dia meninggal lima tahun kemudian. Hari kelahirannya sampai saat ini tidak
diketahui. Juga, tidak ada sumber-sumber kuat yang menyebutkan usianya.
Tahun pengutusan
Pada tahun 6 SH (627 – 628 M), Muhammad disebutkan menulis surat kepada
pengusaha kaya Timur Tengah, yang membahas kepercayaan baru dan mengajak
pengusaha itu untuk bergabung. Apa yang merupakan isi dari bagian surat dapat ditemukan
dalam kitab Tarikh at-Tabari karya Muhammad bin Jarir at-Tabari, yang ditulis 250 tahun
setelah kejadian itu diriwayatkan. Tabari menulis bahwa seorang utusan dikirimkan kepada
Pemerintah Mesir, al-Muqawqis. Catatan dalam edisi State University of New York karya Tabari
menjelaskan bahwa hal tersebut tampak sama dengan versi Koresh dari Kaukasus, yang
merupakan Partiark Bizantium dari Alexandria. Catatan tersebut menambahkan bahwa
Koresh tidak menjadi Patriark hingga tahun 631, dan sebuah laporan yang menyatakan
bahwa ia ditempatkan di Mesir tiga hingga empat tahun lebih awal masih dipertanyakan.
Tabari, walaupun begitu, mengulang kedatangan Maria dari Mesir:
Di tahun ini, Hātib b. Abi Balta'ah kembali dari al-Muqawqis membawa Māriyah dan
saudaranya Sīrīn, bagal betinyanya Duldul, dan keledainya Ya'fūr, dan pakaian-
pakaian. Dengan dua wanita al-Muqawqis, telah dikirimkan kepadanya seorang
kasim, dan surat tersebut ada padanya. Hātib telah mengajaknya masuk Islam
sebelum akhirnya tiba bersama mereka, dan begitu pula Māriyah saudaranya.
Rasulullah menempatkan mereka untuk sementara dengan Ummu Sulaym binti
Milhān. Māriyah sangat cantik. Nabi mengirim saudaranya Sīrīn kepada Hassān
bin Tsābit dan dia melahirkan 'Abdul Rahmān bin Hassān.
—At-Tahrim [66]:1–5