Anda di halaman 1dari 35

Khadijah binti Khuwailid ra.

Khadijah binti Khuwailid atau Khadijah al-Kubra, merupakan isteri pertama Nabi
Muhammad. Nama lengkapnya adalah Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin
Qushai. Khadijah al-Kubra, anak perempuan dari Khuwailid bin Asad dan Fatimah binti
Za'idah, berasal dari kabilah Bani Asad dari suku Quraisy. Ia merupakan wanita as-Sabiqun
al-Awwalun.

Kelahiran & Kehidupan Keluarga


Khadijah berasal dari golongan pembesar Mekkah. Kawin dengan Muhammad, ketika
berumur 40 tahun, manakala Muhammad berumur 25 tahun. Khadijah merupakan wanita
kaya dan terkenal. Khadijah bisa hidup mewah dengan hartanya sendiri. Meskipun memiliki
kekayaan melimpah, Khadijah merasa kesepian hidup menyendiri tanpa suami, karena suami
pertama dan keduanya telah meninggal.
Pada suatu hari, saat pagi buta, dengan penuh kegembiraan ia pergi ke rumah
sepupunya, yaitu Waraqah bin Naufal. Ia berkata, “Tadi malam aku bermimpi sangat
menakjubkan. Aku melihat matahari berputar-putar di atas kota Mekkah, lalu turun ke arah
bumi. Ia semakin mendekat dan semakin mendekat. Aku terus memperhatikannya untuk
melihat kemana ia turun. Ternyata ia turun dan memasuki rumahku. Cahayanya yang sangat
agung itu membuatku tertegun. Lalu aku terbangun dari tidurku". Waraqah mengatakan, “Aku
sampaikan berita gembira kepadamu, bahawa seorang lelaki agung dan mulia akan datang
meminangmu. Ia memiliki kedudukan penting dan kemasyhuran yang semakin hari semakin
meningkat". Tak lama kemudian Khadijah ditakdirkan menjadi isteri Muhammad.
Ketika Muhammad masih muda dan dikenal sebagai pemuda yang lurus dan jujur
sehingga mendapat julukan Al-Amin, telah diperkenankan untuk ikut menjualkan barang
dagangan Khadijah. Hal yang lebih banyak menarik perhatian Khadijah adalah kemuliaan
jiwa Muhammad. Khadijah lah yang lebih dahulu mengajukan permohonan untuk meminang
Muhammad, yang pada saat itu bangsa Arab jahiliyah memiliki adat, pantang bagi seorang
wanita untuk meminang pria dan semua itu terjadi dengan adanya usaha orang ketiga, yaitu
Nafisah Binti Munyah dan peminangan dibuat melalui paman Muhammad yaitu Abu Thalib.
Keluarga terdekat Khadijah tidak menyetujui rencana pernikahan ini. Namun Khadijah sudah
tertarik oleh kejujuran, kebersihan dan sifat-sifat istimewa Muhammad ini, sehingga ia tidak
mempedulikan segala kritikan dan kecaman dari keluarga dan kerabatnya.
Khadijah yang juga seorang yang cerdas, mengenai ketertarikannya kepada
Muhammad mengatakan, “Jika segala kenikmatan hidup diserahkan kepadaku, dunia dan
kekuasaan para raja Iran dan Romawi diberikan kepadaku, tetapi aku tidak hidup
bersamamu, maka semua itu bagiku tak lebih berharga daripada sebelah sayap seekor
nyamuk.
”Sewaktu malaikat turun membawa wahyu kepada Muhammad maka Khadijah adalah
orang pertama yang mengakui kenabian suaminya, dan wanita pertama yang memeluk Islam.
Sepanjang hidupnya bersama Muhammad, Khadijah begitu setia menyertainya dalam setiap
peristiwa suka dan duka. Setiap kali suaminya ke Gua Hira’, ia pasti menyiapkan semua
perbekalan dan keperluannya. Seandainya Muhammad agak lama tidak pulang, Khadijah
akan melihat untuk memastikan keselamatan suaminya. Sekiranya Muhammad khusyuk
bermunajat, Khadijah tinggal di rumah dengan sabar sehingga Muhammad pulang. Apabila
suaminya mengadu kesusahan serta berada dalam keadaan gelisah, beliau coba sekuat
mungkin untuk mententram dan menghiburkan, sehingga suaminya benar-benar merasai
tenang. Setiap ancaman dan penganiayaan dihadapi bersama.
Dalam banyak kegiatan peribadatan Muhammad, Khadijah pasti bersama dan
membantunya, seperti menyediakan air untuk mengambil wudhu. Muhammad menyebut
keistimewaan terpenting Khadijah dalam salah satu sabdanya, “Di saat semua orang
mengusir dan menjauhiku, ia beriman kepadaku. Ketika semua orang mendustakan aku, ia
meyakini kejujuranku. Sewaktu semua orang menyisihku, ia menyerahkan seluruh harta
kekayaannya kepadaku.” Khadijah telah hidup bersama-sama Muhammad selama 24 tahun
dan wafat dalam usia 64 tahun 6 bulan.

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


Saudah binti Zam’ah ra.

Beliau adalah Saudah binti Zam’ah bin Qais bin Abdi Syams bin Abud Al-Quraisyiyah
Al-Amiriyyah. Ibunya bernama Asy-Syamus binti Qais bin Zaid bin Amru dari bani Najjar.
Beliau juga seorang Sayyidah yg mulia dan terhormat. Sebelumnya pernah menikah dgn As-
Sakar bin Amru saudara dari Suhair bin Amru Al-Amiri. Suatu ketika beliau bersama delapan
orang dari bani Amir hijrah meninggalkan kampung halaman dan hartanya kemudian
menyebrangi dasyatnya lautan krn ridha menghadapi maut dalalm rangka memenangkan
diennya. Semakin bertambah siksaan dan intimidasi yg mereka krn mereka menolak
kesesatan dan kesyirikan. Hampir-hampir tiada hentinya ujian menimpa Saudah belum usai
ujian tinggal dinegeri asing beliau harus kehilangan suami beliau sang muhajirin. Maka
beliaupun menghadapi ujian menjadi seorang janda disamping juga ujian dinegeri asing.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menaruh perhatian yg istimewa terhadap
wanita muhajirah yg beriman dan telah menjanda tersebut. Oleh krn itu tiada henti-hentinya
Khaulah binti Hakim as-Salimah menawarkan Saudah utk beliau hingga pada gilirannya
beliau mengulurkan tangannya yg penuh rahmat utk Saudah dan beliau mendampinginya dan
membantunya menghadapi kerasnya kehidupan. Apalagi umurnya telah mendekati usia senja
sehingga membutuhkan seseorang yg dapat menjaga dan mendampinginya. Telah tercatat
dalam sejarah tak seorang pun sahabat yg berani mengajukan masukan kepada Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang pernikahan beliau setelah wafatnya Ummul Mukminin
ath-Thahirah yg telah mengimani beliau disaat menusia mengkufurinya dan menyerahkan
seluruh hartanya disaat orang lain menahan bantuan terhadapnya dan bersamanya pula
Allah mengkaruniakan kepada Rasul putra-putri.
Akan tetapi hampir-hampir kesusahan menjadi berkepanjangan hingga Khaulah binti
Hakim memberanikan diri mengusulkan kepada Rasulullah dengan cara yg lembut dan
ramah :
Khaulah : “Tidakkah anda ingin menikah ya Rasulullah?”
Nabi : “Dengan siapa saya akan menikah setelah dgn Khadijah?”
Khaulah : “Jika anda ingin, bisa dengan seorang gadis dan bisa pula dengan
seorang janda.”
Nabi : “Jika dgn seorang gadis siapakah gadis tersebut?”
Khaulah : “Putri dari orang yg anda cintai yakni Aisyah binti Abu Bakar.”
Nabi : “Jika dgn seorang janda?”
Khaulah : “Dia adalah Saudah binti Zam’ah seorang wanita yang telah beriman
kepada anda dan mengikuti yg anda bawa.”
Beliau menginginkan Aisyah akan tetapi terlebih dahulu beliau nikahi Saudah binti
Zam’ah yg mana dia menjadi satu-satunya isteri beliau selama tiga tahun atau lebih baru
kemudian masuklah Aisyah dalam rumah tangga Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Orang-orang di Makkah merasa heran terhadap pernikahan Nabi dgn Saudah binti Zam’ah.
Mereka bertanya-tanya seolah-olah tidak percaya dgn kejadian tersebut seorang janda yg
telah lanjut usia dan tidak begitu cantik menggantikan posisi Sayyidah wanita Quraisy dan hal
itu menarik perhatian bagi para pembesar-pembesar diantara mereka. Akan tetapi kenyataan
membuktikan bahwa sesungguhnya Saudah atau yg lain tidak dapat menggantikan posisi
Khadijah akan tetapi hal itu adalah kasih sayang dan penghibur hati adl menjadi rahmat bagi
beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yg penuh kasih.
Adapun Saudah radhiallaahu ‘anha mampu utk menunaikan kewajiban dalam rumah
tangga Nubuwwah dan melayani putri-putri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan
mendatangkan kebahagiaan dan kegembiraan di hati Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dgn
ringannya ruhnya dan sifat periangnya dan ketidaksukaannya terhadap beratnya badan.
Setelah tiga tahun rumah tangga tersebut berjalan maka masuklah Aisyah dalam rumah
tangga Nubuwwah disusul kemudian istri-istri yg lain seperti Hafsah Zainab Ummu Salamah
dan lain-lain. Saudah radhiallaahu ‘anha menyadari bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tidak mengawininya dirinya melainkan krn kasihan melihat kondisinya setelah
kepergian suaminya yg lama.
Dan bagi beliau hal itu telah jelas dan nyata tatkala Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam
ingin menceraikan beliau dgn cara yg baik utk memberi kebebasan kepadanya namun Nabi

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


nerasa bahwa hal itu akan menyakiti hatinya.Tatkala Nabi mengutarakan keinginannya utk
menceraikan beliau maka beliau merasa seolah-olah itu adl mimpi buruk yg menyesakkan
dadanya maka beliau merengek dgn merendahkan diri berkata “pertahankanlah aku ya
Rasulullah !demi Allah tiadalah keinginanku diperistri itu krn ketamakan saya akan tetapi
hanya berharap agar Allah membangkitkan aku pada hari kiamat dalam keadaan menjadi
Istrimu. Begitulah Saudah radhiallaahu ‘anha lbh mendahulukan keridhaan suaminya yg
mulia maka beliau berikan giliran beliau kepada Aisyah utk menjaga hati Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beliau radhiallaahu ‘anha sudah tidak memiliki keinginan
sebagaimana layaknya wanita lain. Maka Rasulullah menerima usulan istrinya yg memiliki
perasaan yg halus tersebut maka turunlah ayat Allah “Maka tidak mengapa bagi keduannya
mengadakan perdamaian yg sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik .”
Saudah radhiallaahu ‘anha tinggal dirumah tangga nubuwwah dgn penuh keridhaan
dan ketenangan dan bersyukur kepada Allah yg telah menempatkan posisinya disamping
sabaik-baik makhluk di dunia dan dia bersyukur kepada Allah krn mendapat gelar ummul
mukminin dan menjadi istri Rasul di jannah. Akhirnya wafatlah Saudah radhiallaahu ‘anha
pada akhir pemerintahan Umar bin Khattab radhiallaahu ‘anha. Ummul mukminin Aisyah
radhiallaahu ‘anha senantiasa mengenang dan mengingat perilaku beliau dan terkesan akan
keindahan kesetiaannya. Aisyah berkata “Tiada seorang wanitapun yg paling aku sukai agar
aku memiliki sifat seperti dia melebihi Saudah binti Zam’ah tatkala berusia senja yg mana dia
berkata “Ya Rasulullah aku hadiahkan kunjungan anda kepadaku utk Aisyah hanya saja
beliau berwatak keras.”

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


AISYAH Binti ABU BAKAR r.a
Rasulullah SAW membuka lembaran kehidupan rumah tangganya dengan Aisyah r.a
yang telah banyak dikenal. Ketika wahyu datang pada Rasulullah SAW, Jibril membawa
kabar bahwa Aisyah adalah istrinya didunia dan diakhirat, sebagaimana diterangkan didalam
hadits riwayat Tirmidzi dari Aisyah r.a, " Jibril datang membawa gambarnya pada sepotong
sutra hijau kepada Nabi SAW, lalu berkata.' Ini adalah istrimu didunia dan di akhirat." Dialah
yang menjadi sebab atas turunnya firman Allah SWT yang menerangkan kesuciannya dan
membebaskannya dari fitnah orang-orang munafik.
Aisyah dilahirkan empat tahun sesudah Nabi SAW diutus menjadi Rasul. Semasa kecil
dia bermain-main dengan lincah, dan ketika dinikahi Rasulullah SAW usianya belum genap
sepuluh tahun. Dalam sebagian besar riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW
membiarkannya bermain-main dengan teman-temannya.
Dua tahun setelah wafatnya Khadijah r.a datang wahyu kepada Nabi SAW untuk
menikahi Aisyah r.a. Setelah itu Nabi SAW berkata kepada Aisyah, " Aku melihatmu dalam
tidurku tiga malam berturut-turut. Malaikat mendatangiku dengan membawa gambarmu pada
selembar sutra seraya berkata,' Ini adalah istrimu.' Ketika aku membuka tabirnya, tampaklah
wajahmu. Kemudian aku berkata kepadanya,' Jika ini benar dari Allah SWT , niscaya akan
terlaksana."
Mendengar kabar itu, Abu Bakar dan istrinya sangat senang, terlebih lagi ketika
Rasulullah SAW setuju menikahi putri mereka, Aisyah. Beliau mendatangi rumah mereka dan
berlangsunglah pertunangan yang penuh berkah itu. Setelah pertunangan itu, Rasulullah
SAW hijrah ke Madinah bersama para sahabat, sementara istri-istri beliau ditinggalkan di
Makkah. Setelah beliau menetap di Madinah, beliau mengutus orang untuk menjemput
mereka, termasuk didalamnya Aisyah r.a.
Dengan izin Allah SWT menikahlah Aisyah dengan mas kawin 500 dirham. Aisyah
tinggal dikamar yang berdampingan dengan masjid Nabawi. Dikamar itulah wahyu banyak
turun, sehingga kamar itu disebut juga sebagai tempat turunnya wahyu. Dihati Rasulullah
SAW, kedudukan Aisyah sangat istimewa, dan tidak dialami oleh istri-istri beliau yang lain.
Didalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dikatakan, " Cinta pertama yang terjadi
didalam Islam adalah cintanya Rasulullah SAW kepada Aisyah r.a."
Didalam riwayat Tirmidzi dikisahkan "Bahwa ada seseorang yang menghina Aisyah
dihadapan Ammar bin Yasir sehingga Ammar berseru kepadanya,' Sungguh celaka kamu.
Kamu telah menyakiti istri kecintaan Rasulullah SAW." Sekalipun perasaan cemburu istri-istri
Rasulullah SAW terhadap Aisyah sangat besar, mereka tetap menghargai kedudukan Aisyah
yang sangat terhormat. Bahkan ketika Aisyah wafat, Ummu Salamah berkata, 'Demi Allah
SWT, dia adalah manusia yang paling beliau cintai selain ayahnya (Abu Bakar)'.
Di antara istri-istri Rasulullah SAW, Saudah bin Zum`ah sangat memahami
keutamaan-keutamaan Aisyah, sehingga dia merelakan seluruh malam bagiannya untuk
Aisyah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Aisyah sangat memperhatikan sesuatu yang
menjadikan Rasulullah SAW rela. Dia menjaga agar jangan sampai beliau menemukan
sesuatu yang tidak menyenangkan darinya. Karena itu, salah satunya, dia senantiasa
mengenakan pakaian yang bagus dan selalu berhias untuk Rasulullah SAW. Menjelang
wafat, Rasulullah SAW meminta izin kepada istri-istrinya untuk beristirahat dirumah Aisyah
selama sakitnya hingga wafat. Dalam hal ini Aisyah berkata, "Merupakan kenikmatan bagiku
karena Rasulullah SAW wafat dipangkuanku."
Bagi Aisyah, menetapnya Rasulullah SAW selama sakit dikamarnya merupakan
kehormatan yang sangat besar karena dia dapat merawat beliau hingga akhir hayat.
Rasulullah SAW dikuburkan dikamar Aisyah, tepat ditempat beliau meninggal. Sementara itu,
dalam tidurnya, Aisyah melihat tiga buah bulan jatuh ke kamarnya. Ketika dia
memberitahukan hal ini kepada ayahnya, Abu Bakar berkata, "Jika yang engkau lihat itu
benar, maka dirumahmu akan dikuburkan tiga orang yang paling mulia dimuka bumi." Ketika
Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar berkata, "Beliau adalah orang yang paling mulia diantara
ketiga bulanmu." Ternyata Abu Bakar dan Umar dikubur dirumah Aisyah.
Setelah Rasulullah SAW wafat, Aisyah senantiasa dihadapkan pada cobaan yang
sangat berat, namun dia menghadapinya dengan hati yang sabar, penuh kerelaan terhadap

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


taqdir Allah SWT dan selalu berdiam diri didalam rumah semata-mata untuk taat kepada
Allah SWT.
Rumah Aisyah senantiasa dikunjungi orang-orang dari segala penjuru untuk menimba
ilmu atau untuk berziarah kemakam Nabi SAW. Ketika istri-istri Nabi SAW hendak mengutus
Ustman menghadap khalifah Abu Bakar untuk menanyakan harta warisan Nabi SAW yang
merupakan bagian mereka, Aisyah justru berkata, "Bukankah Rasulullah SAW telah berkata,
'Kami para nabi tidak meninggalkan harta warisan. Apa yang kami tinggalkan itu adalah
sedekah."
Dalam penetapan hukum pun, Aisyah kerap langsung menemui wanita-wanita yang
melanggar syariat Islam. Didalam Thabaqat, Ibnu Saad mengatakan bahwa Hafshah binti
Abdirrahman menemui Ummul Mukminin Aisyah r.a. Ketika itu Hafshah mengenakan
kerudung tipis. Secepat kilat Aisyah menarik kerudung tersebut dan menggantinya dengan
kerudung yang tebal.
Aisyah tidak pernah mempermudah hukum kecuali jika sudah jelas dalilnya dari Al
Qur`an dan Sunnah. Aisyah adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah SAW
sehingga banyak menyaksikan turunnya wahyu kepada beliau. Aisyah pun memiliki
kesempatan untuk bertanya langsung kepada Rasulullah SAW jika menemukan sesuatu yang
belum dia pahami tentang suatu ayat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ia
memperoleh ilmu langsung dari Rasulullah SAW. Aisyah termasuk wanita yang banyak
menghapalkan hadits-hadits Nabi SAW, sehingga para ahli hadits menempatkan dia pada
urutan kelima dari para penghapal hadits setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik
dan Ibnu Abbas.
Dalam hidupnya yang penuh dengan jihad, Sayyidah Aisyah wafat pada usia 66 th,
bertepatan dengan bulan Ramadhan,th ke-58 H, dan dikuburkan di Baqi`. Kehidupan Aisyah
penuh dengan kemuliaan, kezuhudan, ketawadhuan, pengabdian sepenuhnya kepada
Rasulullah SAW, selalu beribadah serta senantiasa melaksanakan shalat malam. Selain itu,
Aisyah banyak mengeluarkan sedekah sehingga didalam rumahnya tidak akan ditemukan
uang satu dirham atau satu dinar pun. Dimana sabda Rasul, "Berjaga dirilah engkau dari api
neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma." (HR. Ahmad )

Keutamaan Aisyah Binti Abu Bakar r.a


Dia adalah gurunya kaum laki-laki, seorang wanita yang suka kebenaran, putri dari
seorang laki-laki yang suka kebenaran, yaitu Khalifah Abu Bakar dari suku Quraisy At-
Taimiyyah di Makkah, ibunda kaum mukmin, istri pemimpin seluruh manusia, istri Nabi yang
paling dicintai, sekaligus putri dari laki-laki yang paling dicintai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam. Ini terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim, bahwa ‘Amr bin ‘Ash Rodhiallahu
‘anhu pernah bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam: “Siapakah orang yang paling
engkau cintai, wahai Rasulullah?” Rasul menjawab: ”’Aisyah.” ‘Amr bertanya lagi: “Kalau laki--
laki?” Rasul menjawab: “Ayahnya.
Selain itu Aisyah adalah wanita yang dibersihkan namanya langsung dari atas langit
ketujuh. Dia juga adalah wanita yang telah membuktikan kepada dunia sejak 14 abad yang
lalu bahwa seorang wanita memungkinkan untuk lebih pandai daripada kaum laki-laki dalam
bidang politik atau strategi perang.
Wanita ini bukan lulusan perguruan tinggi dan juga tidak pernah belajar dari para
orientalis dan dunia Barat. Ia adalah murid dan alumni madrasah kenabian dan madrasah
iman. Sejak kecil ia sudah diasuh oleh seorang yang paling utama, yaitu ayahnya, Abu Bakar.
Ketika menginjak dewasa ia diasuh oleh seorang nabi dan guru umat manusia, yaitu
suaminya sendiri. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, terkumpullah
dalam dirinya ilmu, keutamaan, dan keterangan-keterangan yang menjadi referensi manusia
sampai saat ini. Teks hadits-hadits yang diriwayatkannya selalu menjadi bahan kajian di
fakultas-fakultas sastra, sebagai kalimat yang begitu tinggi nilai sastranya. Ucapan dan
fatwanya selalu menjadi bahan kajian di fakultas-fakultas agama, sedang tindakan-
tindakannya menjadi materi penting bagi setiap pengajar mata pelajaran/mata kuliah sejarah
bangsa Arab dan Islam.
Pernikahan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dengannya merupakan perintah
langsung dari Allah ‘Azza wa jalla setelah wafatnya Khadijah. Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dalam Shahihnya, dari ‘Aisyah Rodhiallahu ‘anha, dia berkata: “Rasulullah

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


Sholallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: ‘Aku pernah melihat engkau dalam mimpiku
tiga hari berturut-turut (sebelum aku menikahimu). Ada malaikat yang datang kepadaku
dengan membawa gambarmu yang ditutup dengan secarik kain sutera. Malaikat itu berkata:
‘Ini adalah istrimu’. Aku pun lalu membuka kain yang menutupi wajahmu. Ketika ternyata
wanita tersebut adalah engkau (’Aisyah), aku lalu berkata: ‘Jika mimpi ini benar dari Allah,
kelak pasti akan menjadi kenyataan.”’
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menikahi ‘Aisyah dan Saudah pada waktu yang
bersamaan. Hanya saja pada saat itu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak langsung
hidup serumah dengan ‘Aisyah. Setelah kurang lebih tiga tahun hidup serumah dengan
Saudah, tepatnya pada bulan Syawal setelah perang Badar, barulah beliau hidup serumah
dengan ‘Aisyah. ‘Aisyah menempati salah satu kamar yang terletak di komplek Masjid
Nabawi. yang terbuat dari batu bata dan beratapkan pelepah kurma. Alas tidurnya hanyalah
kulit hewan yang diisi rumput kering; alas duduknya berupa tikar; sedang tirai kamarnya
terbuat dari bulu hewan. Di rumah yang sederhana itulah ‘Aisyah memulai kehidupan sebagai
istri yang kelak akan menjadi perbincangan dalam sejarah.
Pernikahan bagi seorang wanita adalah sesuatu yang utama dan penting. Setelah
menikah, seorang wanita akan menjadi istri dan selanjutnya akan menjadi seorang ibu.
Kekayaan dunia sebanyak apa pun, kemuliaan setinggi awan, kepandaian yang tak
tertandingi, dan jabatan yang begitu tinggi, sekali-kali tidak akan ada artinya bagi seorang
wanita jika tidak menikah dan tidak mempunyai suami, sebab tidaklah mungkin bahagia sese-
orang yang berpaling dari fitrahnya.
Dalam kehidupan berumah tangga, ‘Aisyah merupakan guru bagi setiap wanita di
dunia sepanjang masa. Ia adalah sebaik-baik istri dalam bersikap ramah kepada suami,
menghibur hatinya, dan menghilangkan derita suami yang berasal dari luar rumah, baik yang
disebabkan karena pahitnya kehidupan maupun karena rintangan dan hambatan yarig
ditemui ketika menjalankan tugas agama.
‘Aisyah adalah seorang istri yang paling berjiwa mulia, dermawan, dan sabar dalam
mengarungi kehidupan bersama Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam yang serba
kekurangan, hingga pernah dalam jangka waktu yang lama di dapurnya tidak terlihat adanya
api untuk pemanggangan roti atau keperluan masak lainnya. Selama itu mereka hanya
makan kurma dan minum air putih.
Ketika kaum muslim telah menguasai berbagai pelosok negeri dan kekayaan datang
melimpah, ‘Aisyah pernah diberi uang seratus ribu dirham. Uang itu langsung ia bagikan
kepada orang-orang hingga tak tersisa sekeping pun di tangannya, padahal pada waktu itu di
rumahnya tidak ada apa-apa dan saat itu ia sedang berpuasa. Salah seorang pelayannya
berkata: “Alangkah baiknya kalau engkau membeli sekerat daging meskipun satu dirham saja
untuk berbuka puasa!” Ia menjawab: “Seandainya engkau katakan hal itu dari tadi, niscaya
aku melakukannya.
Dia adalah wanita yang tidak disengsarakan oleh kemiskinan dan tidak dilalaikan oleh
kekayaan. Ia selalu menjaga kemuliaan dirinya, sehingga dunia dalam pandangannya adalah
rendah nilainya. Datang dan perginya dunia tidaklah dihiraukannya.
Dia adalah sebaik-baik istri yang amat memperhatikan dan memanfaatkan pertemuan
langsung dengan Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, sehingga dia menguasai berbagai
ilmu dan memiliki kefasihan berbicara yang menjadikan dirinya sebagai guru para shahabat
dan sebagai rujukan untuk memahami Hadits, sunnah, dan fiqih. Az-Zuhri berkata:
“Seandainya ilmu semua wanita disatukan, lalu dibandingkan dengan ilmu ‘Aisyah, tentulah
ilmu ‘Aisyah lebih utama daripada ilmu mereka.”
Hisyam bin ‘Urwah meriwayatkan dari ayahnya, ia berkata: “Sungguh aku telah banyak
belajar dari ‘Aisyah. Belum pernah aku melihat seorang pun yang lebih pandai daripada
‘Aisyah tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah diturunkan, hukum fardhu dan sunnah, syair,
permasalahan yang ditanyakan kepadanya, hari-hari yang digunakan di tanah Arab, nasab,
hukum, serta pengobatan. Aku bertanya kepadanya: ‘Wahai bibi, dari manakah engkau
mengetahui ilmu pengobatan?’ ‘Aisyah menjawab: ‘Aku sakit, lalu aku diobati dengan
sesuatu; ada orang lain sakit juga diobati dengan sesuatu; dan aku juga mendengar orang
banyak, sebagian mereka mengobati sebagian yang lain, sehingga aku mengetahui dan
menghafalnya. “‘
Dalam riwayat lain dari A’masy, dari Abu Dhuha dari Masruq, Abud Dhuha berkata:

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


“Kami pernah bertanya kepada Masruq: ‘Apakah ‘Aisyah juga menguasai ilmu faraidh?’ Dia
menjawab: ‘Demi Allah, aku pernah melihat para shahabat Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam
yang senior biasa bertanya kepada ‘Aisyah tentang faraidh. “‘
Selain memiliki berbagai keutamaan dan kemuliaan, ‘Aisyah juga memiliki kekurangan,
yakni memiliki sifat gampang cemburu. Bahkan dia termasuk istri Nabi Sholallahu ‘alaihi
wasallam yang paling besar rasa cemburunya. Rasa cemburu memang termasuk sifat
pembawaan seorang wanita. Namun demikian, perasaan cemburu yang ada pada ‘Aisyah
masih berada dalam batas yang wajar dan selalu mendapat bimbingan dari Nabi, sehingga
tidak sampai melampaui batas dan tidak sampai menyakiti istri Nabi Sholallahu ‘alaihi
wasallam yang lain.
Di antara kejadian paling menggelisahkan yang pernah menimpa ‘Aisyah adalah
tuduhan keji yang terkenal dengan sebutan Haditsul ifki (berita bohong) yang dituduhkan
kepadanya, padahal diri ‘Aisyah sangat jauh dengan apa yang dituduhkan itu. Akhirnya,
turunlah ayat Al-Qur’an yang menerangkan kesucian dirinya. Cobaan yang menimpa wanita
yang amat utama ini merupakan pelajaran berharga bagi setiap wanita, karena tidak ada
wanita di dunia ini yang bebas dari tuduhan buruk.
Ketika Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam sakit sekembalinya dari haji Wada’ dan
merasa bahwa ajalnya sudah dekat, setelah dirasa selesai dalam menunaikan amanat dan
menyampaikan risalah, beliau lalu berkeliling kepada istri-istrinya sebagaimana biasa. Pada
saat membagi jatah giliran kepada istri-istrinya itu beliau selalu bertanya: “Di mana saya
besok? Di mana saya lusa?” Hal ini mengisyaratkan bahwa beliau ingin segera sampai pada
hari giliran ‘Aisyah. Para istri Nabi yang lain pun bisa mengerti hal itu dan merelakan Nabi
untuk tinggal di tempat istri yang mana yang beliau sukai selama sakit, sehingga mereka
semuanya berkata: “Ya Rasulullah, kami rela memberikan jatah giliran, kami kepada ‘Aisyah.
Kekasih Allah itu pun pindah ke rumah istri tercintanya. Di sana ‘Aisyah dengan setia
menjaga dan merawat beliau. Bahkan saking cintanya, sakit yang diderita Nabi itu rela
‘Aisyah tebus dengan dirinya kalau memang hal itu memungkinkan. ‘Aisyah berkata: “Aku
rela menjadikan diriku, ayahku, dan ibuku sebagai tebusanmu, wahai Rasulullah.” Tak lama
kemudian Rasul pun wafat di atas pangkuan ‘Aisyah.
‘Aisyah melukiskan detik-detik terakhir dari kehidupan Rasulullah Sholallahu ‘alaihi
wasallam sebagai berikut: “Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam meninggal dunia di
rumahku, pada hari giliranku, dan beliau bersandar di dadaku. Sesaat sebelum beliau wafat,
‘Abdur Rahman bin Abu Bakar (saudaraku) datang menemuiku sambil membawa siwak,
kemudian Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam melihat siwak tersebut, sehingga aku
mengira bahwa beliau menginginkannya. Siwak itu pun aku minta, lalu kukunyah (supaya
halus), kukebutkan, dan kubereskan sebaik-baiknya sehingga siap dipakai. Selanjutnya,
siwak itu kuberikan kepada Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pun bersiwak dengan
sebaik-baiknya, sehingga belum pernah aku melihat cara bersiwak beliau sebaik itu. Setelah
itu beliau bermaksud memberikannya kembali kepadaku, namun tangan beliau lemas. Aku
pun mendo’akan beliau dengan do’a yang biasa diucapkan Jibril untuk beliau dan yang selalu
beliau baca bila beliau sedang sakit. (Alloohumma robban naasi… dst.) Akan tetapi, saat itu
beliau tidak membaca do’a tersebut, melainkan beliau mengarahkan pandangannya ke atas,
lalu membaca do’a: ‘Arrofiiqol a’laa (Ya Allah, kumpulkanlah aku di surga bersama mereka
yang derajatnya paling tinggi: para nabi, shiddiqin, syuhada’, dan shalihin). Segala puji bagi
Allah yang telah menyatukan air liurku dengan air liur beliau pada penghabisan hari beliau di
dunia.
Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam dimakamkan di kamar ‘Aisyah. tepat di tempat
beliau meninggal. Sepeninggal Rasulullah, ‘Aisyah banyak menghabiskan waktunya untuk
memberikan ta’lim. baik kepada kaum laki-laki maupun wanita (di rumahnya) dan banyak
berperan serta dalam mengukir sejarah Islam sampai wafatnya. ‘Aisyah wafat pada malam
Selasa bulan Ramadhan tahun 57 Hijriyah pada usia 66 tahun.

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


Haditsul Ifki (berita bohong) Aisyah
[Disalin dari buku Sirah Nabawiyah karangan Dr. Muhammad Sa`id Ramadhan Al Buthy, alih bahasa
(penerjemah): Aunur Rafiq Shaleh, terbitan Robbani Press]

Dalam perjalanan pulang kaum Muslimin dari perang Bani Mustahliq inilah
tersiar berita bohong bertujuan merusak keluarga Nabi saw. Berikut ini kami kemukakan
ringkasan dari riwayat yang tertera di dalam Ash-Shahihain.

Aisyah ra meriwayatkan bahwa dalam perjalanan ini ia ikut keluar bersama Rasulullah
saw. Aisyah ra berkata: “Setelah selesai dari peperangan ini Rasulullah saw bergegas pulang
dan memerintahkan orang-orang agar segera berangkat di malam hari. Di saat semua orang
sedang berkemas-kemas hendak berangkat, aku keluar untuk membuang hajat, aku terus
kembali hendak bergabung dengan rombongan. Pada saat itu kuraba-raba kalung leherku,
ternyata sudah tak ada lagi. Aku lalu kembali lagi ke tempat aku membuang hajatku tadi
untuk mencari-cari kalung hingga dapat kutemukan kembali.

Di saat aku sedang mencari-cari kalung, datanglah orang-orang yang bertugas


melayani unta tungganganku. Mereka sudah siap segala-galanya. Mereka menduga aku
berada di dalam haudaj (rumah kecil terpasang di atas punggung unta) sebagaimana dalam
perjalanan, oleh sebab itu haudaj lalu mereka angkat kemudian diikatkan pada punggung
unta. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa aku tidak berada di dalam haudaj. Karena
itu mereka segera memegang tali kekang unta lalu mulai berangkat …!

Ketika aku kembali ke tempat perkemahan, tidak aku jumpai seorang pun yang masih
tinggal. Semuanya telah berangkat. Dengan berselimut jilbab aku berbaring di tempat itu. Aku
berfikir, pada saat mereka mencari-cari aku tentu mereka akan kembali lagi ke tempatku.
Demi Allah, di saat aku sedang berbaring, tiba-tiba Shafwan bin Mu‘atthal lewat. Agaknya ia
bertugas di belakang pasukan. Dari kejauhan ia melihat bayang-bayangku. Ia mendekat lalu
berdiri di depanku, ia sudah mengenal dan melihatku sebelum kaum wanita dikenakan wajib
berhijab. Ketika melihatku ia berucap: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un! Istri Rasulullah?“ Aku
pun terbangun oleh ucapan itu. Aku tetap menutup diriku dengan jilbabku .. Demi Allah, kami
tidak mengucapkan satu kalimat pun dan aku tidak mendengar ucapan darinya kecuali
ucapan Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un itu. Kemudian dia merendahkan untanya lalu aku
menaikinya. Ia berangkat menuntun unta kendaraan yang aku naiki sampai kami datang di
Nahri Adh-Dhahirah tempat pasukan turun istirahat. Di sinilah mulai tersiar fitnah tentang
diriku. Fitnah ini berumber dari mulut Abdullah bin Ubay bin Salul.

Aisyah ra melanjutkan : Setibanya di Madinah kesehatanku terganggu selama sebulan.


Saat itu rupanya orang-orang sudah banyak berdesas-desus berita bohong itu, sementara
aku belum mendengar sesuatu mengenainya. Hanya saja aku tidak melihat kelembutan dari
Rasulullah saw, yang biasa kurasakan ketika aku sakit. Beliau hanya masuk lalu
mengucapkan salam dan bertanya: “Bagaimana keadaanmu?“ Setelah agak sehat aku keluar
pada suatu malam bersama Ummu Mastha untuk membuang hajat. Waktu itu kami belum
membuat kakus. Di saat kami pulang, tiba-tiba kaki Ummu Mastha terantuk sehingga
kesakitan danter lontar ucapan dari mulutnya: “Celaka si Masthah!“ Ia kutegur: "Alangkah
buruknya ucapanmu itu mengenai seorang dari kaum Muhajirin yang turut serta dalam
perang Badr?“ Ummu Mastha bertanya :“Apakah anda tidak mendengar apa yang
dikatakannya?“ Aisyah ra melanjutkan: Ia kemudian menceritakan kepadaku tentang berita
bohong yang tersiar sehingga sakitku bertambah parah … Malam itu aku menangis hingga
pagi hari, air mataku terus menetes dan aku tidak dapat tidur.

Kemudian Rasulullah saw mulai meminta pandangan para sahabatnya mengenai


masalah ini. Di antara mereka ada yang berkata: “Wahai Rasulullah mereka (para istri Nabi)
adalah keluargamu. Kami tidak mengetahui kecuali kebaikan.“ Dan ada pula yang
mengatakan: “Engkau tak perlu bersedih, masih banyak wanita (lainnya). Tanyakan hal itu
kepada pelayan perempuan (maksudnya Barirah). Ia pasti memberi keterangan yang benar
kepada anda!“

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


Rasulullah saw lalu memanggil pelayan perempuan bernama Barirah, dan bertanya:
“Apakah kamu melihat sesuatu yang mencurigakan dari Aisyah?“ Ia mengabarkan kepada
Nabi saw, bahwa ia tidak mengetahui Aisyah kecuali sebagai orang yang baik-baik.
Kemudian Nabi saw berdiri di atas mimbar dan bersabda:

"Wahai kaum Muslimin! Siapa yang akan membelaku dari seorang lelaki yang telah
menyakiti keluargaku? Demi Allah, aku tidak mengetahui dari keluargaku kecuali yang baik.
Sesungguhnya mereka telah menyebutkan seorang lelaki yang aku tidak mengenal lelaki itu
kecuali sebagai orang yang baik.“

Sa‘ad bin Muadz lalu berdiri seraya berkata: “Aku yang akan membelamu dari orang
itu wahai Rasulullah saw! Jika dia dari suku Aus, kami siap penggal lehernya. Jika dia dari
saudara kami suku Khazraj maka perintahkanlah kami, kami pasti akan melakukannya.“
Maka timbullah keributan di masjid sampai Rasulullah saw meredakan mereka.

Aisyah ra melanjutkan: “Kemudian Rasulullah saw datang ke rumahku. Saat itu ayah-
ibuku berada di rumah. Ayah-ibuku menyangka bahwa tangisku telah menghancurluluhkan
hatiku. Sejak tersiar berita bohong itu Nabi saw tidak pernah duduk di sisiku. Selama sebulan
beliau tidak mendapatkan wahyu tentang diriku. Aisyah ra berkata: “Ketika duduk Nabi saw
membaca puji syukur ke Hadirat Allah swt lalu bersabda: “Hai Aisyah, aku telah mendengar
mengenai apa yang dibicarakan orang tentang dirimu. Jika engkau tidak bersalah maka Allah
swt, pasti akan membebaskan dirimu. Jika engkau telah melakukan dosa maka mintalah
ampunan kepada Allah swt dan taubatlah kepada-Nya.“ Seusai Rasulullah saw mengucapkan
ucapan itu, tanpa kurasakan air mataku tambah bercucuran. Kemudian aku katakan kepada
ayahku: “Berilah jawaban kepada Rasulullah saw mengenai diriku“ Ayahku menjawab: “Demi
Allah, aku tidak tahu bagaimana harus menjawab.“ Aku katakan pula kepada ibuku: “Berilah
jawaban mengenai diriku.“ Dia pun menjawab: “Demi Allah aku tidak tahu bagaimana harus
menjawab:“ Lalu aku berkata: “Demi Allah, sesungguhnya kalian telah mendengar hal itu
sehingga kalian telah membenarkannya. Jika aku katakan kepada kalian bahwa aku tidak
bersalah Allah Maha Mengetahui bahwa aku tidak bersalah kalian pasti tidak akan
membenarkannya. Jika aku mengakuinya Allah Maha Mengetahui bahwa aku tidak bersalah,
pasti kalian akan membenarkan aku. Demi Allah aku tidak menemukan perumpamaan untuk
diriku dan kalian kecuali sebagaimana yang dikatkaan oleh bapak Nabi Yusuf as :
"Sebaiknya aku bersabar. Kepada Allah swt sajalah aku mohon pertolongan atas apa yang
kalian lukiskan,“ QS Yusuf : 18

Aisyah ra berkata : Kemudian aku pindah dan berbaring di tempat tidurku.

Selanjutnya Aisyah berkata: Demi Allah, Rasulullah saw belum bergerak dari tempat
duduknya, juga belum ada seorang pun dari penghuni rumah yang keluar sehingga Allah
menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya. Beliau tampak lemah lunglai seperti biasanya tiap
hendak menerima wahyu Ilahi, keringatnya bercucuran karena beratnya wahyu yang
diturunkan kepadanya. Aisyah berkata: Kemudian keringat mulai berkurang dari badan
Rasulullah saw lalu beliau tampak tersenyum. Ucapan yan pertama kali terdengar ialah:
"Bergembiralah wahai Aisyah, sesungguhnya Allah telah membebaskan kamu.“ Kemudian
ibuku berkata: "Berdirilah (berterimahkasihlah) kepadanya.“ Aku jawab :

"Tidak! Demi Allah, aku tidak akan berdiri (berterima kasih) kepadanya (Nabi saw) dan
aku tidak akan memuji kecuali Allah. Karena Dialah yang telah menurunkan pembebasanku.“

Aisyah ra berkata: Kemudian Allah menurunkan firman-Nya :


"Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu
juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik
bagi kamu. Tiap-tiap seorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya.
Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita
bohong itu baginya azab yang besar…. Sampai dengan ayat 21 … „ QS an-Nur : 11-21

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


Aisyah melanjutkan: Sebelum peristiwa ini ayahku membiayai Mastha karena
kekerabatan dan kemiskinannya. Tetapi setelah peristiwa ini ayahku berkata: Demi Allah,
saya tidak akan membiayainya lagi karena ucapan yang diucapkan kepada Aisyah.
Kemudian Allah menurunkan firman-Nya :

"Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara


kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya).
Orang –orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka
memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ QS An-Nur : 22

Lalu Abu Bakar berkata : Demi Allah, sungguh aku ingin mendapatkan ampun Allah.
Kemudian ia kembali membiayai Masthah.

Kemudian Nabi saw keluar dan menyampaikan khutbah kepada orang-orang dan
membacakan ayat-ayat al-Quran yang telah diturunkan mengenai masalah ini. Selanjutnya
Nabi saw memerintahkan supaya dilakukan hukum hadd (dera) kepada Masthah bin
Utsatsah, Hasan bin Tsabit dan Hamnah binti Jahsy karena mereka termasuk orang-orang
yang ikut menyebarluaskan desas-desus berita fitnah tersebut.

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


Hafshah binti Umar bin Khaththab ra.

Hafshah binti Umar bin Khaththab adalah putri seorang laki-laki yang terbaik dan
mengetahui hak-hak Allah dan kaum muslimin. Umar bin Khaththab adalah seorang
penguasa yang adil dan memiliki hati yang sangat khusyuk. Pernikahan Rasulullah . dengan
Hafshah merupakan bukti cinta kasih beliau kepada mukminah yang telah menjanda setelah
ditinggalkan suaminya, Khunais bin Hudzafah as-Sahami, yang berjihad di jalan Allah, pernah
berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan gugur dalam Perang Badar. Setelah
suami anaknya meninggal, dengan perasaan sedih, Urnar menghadap Rasulullah untuk
mengabarkan nasib anaknya yang menjanda. Ketika itu Hafshah berusia delapan belas
tahun. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah memberinya kabar gembira dengan
mengatakan bahwa beliau bersedia menikahi Hafshah.
Jika kita menyebut narna Hafshah, ingatan kita akan tertuju pada jasa-jasanya yang
besar terhadap kaum muslimin saat itu. Dialah istri Nabi yang pertama kali menyimpan Al-
Qur’an dalam bentuk tulisan pada kulit, tulang, dan pelepah kurma, hingga kemudian menjadi
sebuah kitab yang sangat agung.

Nasab dan Masa Petumbuhannya


Nama lengkap Hafshah adalah Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin Abdul-
Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah.
Ibunya adalah Zainab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara
perempuan Utsman bin Madh’un. Hafshah dilahirkan pada tahun yang sangat terkenal dalam
sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasullullah . memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya
semula setelah Ka’bah dibangun kembali setelah roboh karena banjir. Pada tahun itu juga
dilahirkan Fathimah az-Zahra, putri bungsu Rasulullah dari empat putri, dan kelahirannya
disambut gembira oleh beliau. Beberapa hari setelah Fathimah lahir, lahirlah Hafshah binti
Umar bin Khaththab. Mendengar bahwa yang lahir adalah bayi wanita, Umar sangat berang
dan resah, sebagaimana kebiasaan bapak-bapak Arab Quraisy ketika mendengar berita
kelahiran anak perempuannya. Waktu itu mereka menganggap bahwa kelahiran anak
perempuan telah membawa aib bagi keluarga. Padahal jika saja ketika itu Umar tahu bahwa
kelahiran anak perempuannya akan membawa keberuntungan, tentu Umar akan menjadi
orang yang paling bahagia, karena anak yang dinamai Hafshah itu kelak menjadi istri
Rasulullah. Di dalam Thabaqat, Ibnu Saad berkata, “Muhammad bin Umar berkata bahwa
Muhammad bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya, Umar mengatakan, ‘Hafshah
dilahirkan pada saat orang Quraisy membangun Ka’bah, lima tahun sebe1um Nabi diutus
menjadi Rasul.”
Sayyidah Hafshah r.a. dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Urnar bin
Khaththab. Dalarn soal keberanian, dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan
ucapannya tegas. Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sarna dengan ayahnya. Kelebihan
lain yang dirniliki Hafshah adalah kepandaiannva dalarn rnernbaca dan menulis, padahal
ketika itu kernampuan tersebut belum lazirn dirniliki oleh kaurn perempuan.

Memeluk Islam
Hafshah tidak termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam, karena
ketika awal-awal penyebaran Islam, ayahnya, Urnar bin Khaththab, masih menjadi musuh
utama umat Islam hingga suatu hari Umar tertarik untuk masuk Islam. Ketika suatu waktu
Umar mcngetahui keislarnan saudara perernpuannya, Fathimah dan suarninya Said bin Zaid,
dia sangat marah dan berniat menyiksa mereka. Sesampainya di rumah saudara
perempuannya, Umar mendengar bacaan Al-Qur’an yang mengalun dan dalam rumah, dan
memuncaklah amarahnya ketika dia memasuki rumah tersebut. Tanpa ampun dia menampar
mereka hingga darah mengucur dari kening keduanya. Akan tetapi, hal yang tidak terduga
terjadi, hati Umar tersentuh ketika meihat darah mengucur dari dahi adiknya, kernudian
diarnbilnyalah Al Qur’an yang ada pada mereka. Ketika selintas dia membaca awal surat
Thaha, terjadilah keajaiban. Hati Umar mulai diterangi cahaya kebenaran dan keimanan.
Allah telah mengabulkan doa Nabi . yang mengharapkan agar Allah membuka hati salah

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


seorang dari dua Umar kepada Islam. Yang dimaksud Rasulullah dengan dua Umar adalah
Amr bin Hisyam atau lebih dikenal dengan Abu Jahl dan Umar bin Khaththab.
Setelah kejadian itu, dari rumah adiknya dia segera menuju Rasulullah dan menyatakan
keislaman di hadapan beliau, Umar bin Khaththab bagaikan bintang yang mulai menerangi
dunia Islam serta mulai mengibarkan bendera jihad dan dakwah hingga beberapa tahun
setelah Rasulullah wafat. Setelah menyatakan keislaman, Umar bin Khaththab segera
menemui sanak keluarganya untuk mengajak mereka memeluk Islam. Seluruh anggota
keluarga menerima ajakan Umar, termasuk di dalamnya Hafshah yang ketika itu baru berusia
sepuluh tahun.

Menikah dan Hijrah ke Madinah


Keislaman Umar membawa keberuntungan yang sangat besar bagi kaum muslimin
dalam menghadapi kekejaman kaum Quraisy. Kabar keislaman Umar ini mernotivasi para
muhajirin yang berada di Habasyah untuk kembali ke tanah asal rnereka setelah sekian larna
ditinggalkan. Di antara mereka yang kembali itu terdapat seorang pemuda bernama Khunais
bin Hudzafah as-Sahami. Pemuda itu sangat mencintai Rasulullah sebagaimana dia pun
mencintai keluarga dan kampung halamannya. Dia hijrah ke Habasyah untuk rnenyelamatkan
diri dan agamanya. Setibanya di Mekah, dia segera mengunjungi Umar bin Khaththab, dan di
sana dia melihat Hafshah. Dia meminta Umar untuk menikahkan dirinya dengan Hafshah,
dan Umar pun merestuinya. Pernikahan antara mujahid dan mukminah mulia pun
berlangsung. Rumah tangga mereka sangat berbahagia karena dilandasi keirnanan dan
ketakwaan.
Ketika Allah menerangi penduduk Yatsrib sehingga memeluk Islam, Rasulullah .
menernukan sandaran baru yang dapat membantu kaum muslimin. Karena itulah beliau
mengizinkan kaum muslimin hijrah ke Yatsrib untuk menjaga akidah mereka sekaligus
menjaga mereka dan penyiksaan dan kezaliman kaum Quraisy. Dalam hijrah ini, Hafshah
dan suaminya ikut serta ke Yatsrib.

Cobaan dan Ganjaran


Setelah kaum muslirnin berada di Madinah dan Rasulullah . berhasil menyatukan
mereka dalam satu barisan yang kuat, tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi orang
musyrik yang telah memusuhi dan mengambil hak mereka. Selain itu, perintah Allah untuk
berperang menghadapi orang musyrik sudah tiba.
Peperangan pertarna antara umat Islam dan kaum musyrik Quraisy adalah Perang
Badar. Dalam peperangan ini, Allah telah menunjukkan kemenangan bagi harnba- hamba-
Nya yang ikhlas sekalipun jumlah mereka masih sedikit. Khunais termasuk salah seorang
anggota pasukan muslimin, dan dia mengalami luka yang cukup parah sekembalinya dari
peperangan tersebut. Hafshah senantiasa berada di sisinya dan mengobati luka yang
dideritanya, namun Allah berkehendak memanggil Khunais sebagai syahid dalam
peperangan pertama melawan kebatilan dan kezaliman, sehingga Hafshah menjadi janda.
Ketika itu usia Hafshah baru delapan belas tahun, namun Hafshah telah memiliki kesabaran
atas cobaan yang menimpanya.
Umar sangat sedih karena anaknya telah menjadi janda pada usia yang sangat muda,
sehingga dalam hatinya terbetik niat untuk menikahkan Hafshah dengan seorang muslim
yang saleh agar hatinya kembali tenang. Untuk itu dia pergi ke rumah Abu Bakar dan
merninta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, Abu Bakar diam, tidak
menjawab sedikit pun. Kemudian Umar menemui Utsman bin Affan dan meminta
kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, pada saat itu Utsman masih berada
dalam kesedihan karena istrinya, Ruqayah binti Muhammad, baru meninggal. Utsman pun
menolak permintaan Umar. Menghadapi sikap dua sahabatnya, Uman sangat kecewa, dan
dia bertambah sedih karena memikirkan nasib putrinya. Kemudian dia menemui Rasulullah
dengan maksud mengadukan sikap kedua sahabatnya. Mendengar penuturan Umar,
Rasulullah . bersabda, “Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada
Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik
daripada Hafshah.” Semula Umar tidak memahami maksud ucapan Rasulullah, tetapi karena
kecerdasan akalnya, dia kemudian memahami bahwa Rasulullah yang akan meminang

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


putrinya.
Umar merasa sangat terhormat mendengar niat Rasulullah untuk menikahi putrinya,
dan kegernbiraan tampak pada wajahnya. Umar langsung menernui Abu Bakar untuk
mengutarakan maksud Rasulullah. Abu Bakar berkata, “Aku tidak bermaksud menolakmu
dengan ucapanku tadi, karena aku tahu bahwa Rasulullah telah rnenyebut-nyebut nama
Hafshah, namun aku tidak mungkin membuka rahasia beliau kepadamu. Seandainya
Rasulullah membiarkannya, tentu akulah yang akan menikahi Hafshah.” Umar baru
memahami mengapa Abu Bakar menolak menikahi putrinya. Sedangkan sikap Utsman hanya
karena sedih atas meninggalnya Ruqayah dan dia bermaksud menyunting saudaranya,
Ummu Kultsum, sehingga nasabnya dapat terus bersambung dengan Rasulullah. Setelah
Utsman menikah dengan Ummu Kultsum, dia dijuluki dzunnuraini (pemilik dua cahaya).
Pernikahan Rasulullah . dengan Hafshah lebih dianggap sebagai penghargaan beliau
terhadap Umar, di samping juga karena Hafshah adalah seorang janda seorang mujahid dan
muhajir, Khunais bin Hudzafah as-Sahami.

Berada di Rumah Rasulullah


Di rumah Rasulullah, Hafshah menempati kamar khusus, sama dengan Saudah binti
Zum’ah dan Aisyah binti Abu Bakar. Secara manusiawi, Aisyah sangat mencemburui Hafshah
karena mereka sebaya, lain halnya Saudah binti Zum’ah yang menganggap Hafshah sebagai
wanita mulia putri Umar bin Khaththab, sahabat Rasulullah yang terhormat.
Umar memahami bagaimana tingginya kedudukan Aisyah di hati Rasulullah. Dia pun
rnengetahui bahwa orang yang rnenyebabkan kemarahan Aisyah sama halnya dengan
menyebabkan kemarahan Rasulullah, dan yang ridha terhadap Aisyah berarti ridha terhadap
Rasulullah. Karena itu Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha dekat dengan Aisyah
dan mcncintainya. Selain itu, Umar meminta agar Hafshah rnenjaga tindak-tanduknya
sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi perselisihan. Akan tetapi, mcmang sangat
manusiawi jika di antara mereka rnasih saja terjadi kesalahpahaman yang bersumber dari
rasa cemburu. Dengan lapang dada Rasulullab . mendamaikan mereka tanpa menimbulkan
kesedihan di antara istri – istrinya. Salah satu contoh adalah kejadian ketika Hafshah melihat
Mariyah al-Qibtiyah datang rnenemui Nabi dalam suatu urusan. Mariyah berada jauh dari
masjid, dan Rasulullah menyuruhnya masuk ke dalarn rumah Hafshah yang ketika itu sedang
pergi ke rumah ayahnya, dia melihat tabir karnar tidurnya tertutup, sementara Rasulullah dan
Mariyah berada di dalamnya. Melihat kejadian itu, amarah Hafshah meledak. Hafshah
menangis penuh amarah. Rasulullah berusaha membujuk dan meredakan amarah Hafshah,
bahkan beliau bersumpah rnengharamkan Mariyah baginya kalau Mariyah tidak merninta
maaf pada Hafshah, dan Nabi meminta agar Hafshah rnerahasiakan kejadian tersebut.
Merupakan hal yang wajar jika istri-istri Rasulullah merasa cemburu terhadap Mariyah,
karena dialah satu-satunya wanita yang melahirkan putra Rasulullah setelah Siti Khadijah
r.a.. Kejadian itu segera menyebar, padahal Rasulullah telah memerintahkan untuk menutupi
rahasia tersebut. Berita itu akhirnya diketahui oleh Rasulullah sehingga beliau sangat marah.
Sebagian riwayat mengatakan bahwa setelah kejadian tersebut, Rasulullah . menceraikan
Hafshah, namun beberapa saat kemudian beliau merujuknya kembali karena melihat ayah
Hafshah, Umar, sangat resah. Sementara riwayat lain menyebutkan bahwa Rasulullah
bermaksud menceraikan Hafshah, tetapi Jibril mendatangi beliau dengan maksud
memerintahkan beliau untuk mempertahankan Hafshah sebagai istrinya karena dia adalah
wanita yang berpendirian teguh. Rasulullah pun mempertahankan Hafshah sebagai istrinya,
terlebih karena tersebut Hafshah sangat menyesali perbuatannya dengan membuka rahasia
dan memurkakan Rasulullah .
Umar bin Khaththab mengingatkan putrinya agar tidak lagi membangkitkan amarah
Rasulullah dan senantiasa menaati serta mencari keridhaan beliau. Umar bin Khaththab
meletakkan keridhaan Rasulullah . pada tempat terpenting yang harus dilakukan oleh
Hafshah. Pada dasarnya, Rasulullah menikahi Hafshah karena memandang keberadaan
Umar dan merasa kasihan terhadap Hafshah yang ditinggalkan suaminya. Allah menurunkan
ayat berikut ini sebagai antisipasi atas isu-isu yang tersebar.
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang telah Allah menghalalkannya
bagimu,- kamu mencari kesenangan hati istri -istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


membebaskan diri dan sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah
seorang dan istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan
peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara
Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian
(yang diberiitakan Allah kepadanya) dan rnenyembunyikan sebagian yang lain (kepada
Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan
Aisyah) lalu Hafshah bertanya, ‘Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?’
Nabi menjawab, ‘Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal. Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua
telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu membantu
menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya (begitu pula) Jibril dan
orang-orang mukrnin yang haik; dan selain dan itu malaikat-malaikat adalah penolongnya
pula. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya
dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang
bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda, dan yang perawan.” (Qs. At-
Tahrim:1-5)

Cobaan Besar
Hafshah senantiasa bertanya kepada Rasulullah dalam berbagai rnasalah, dan hal itu
menyebabkan marahnya Umar kepada Hafshah, sedangkan Rasulullah . senantiasa
memperlakukan Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Beliau bersabda,
“Berwasiatlah engkau kepada kaum wanita dengan baik.” Rasulullah . pernah marah besar
kepada istri-istrinya ketika mereka meminta tambahan nafkah sehingga secepatnya Umar
mendatangi rumah Rasulullah. Umar melihat istri-istri Rasulullah murung dan sedih,
sepertinya telah terjadi perselisihan antara mereka dengan Rasulullah. Secara khusus Umar
memanggil putrinya, Hafshah, dan mengingatkannya untuk menjauhi perilaku yang dapat
membangkitkan amarah beliau dan menyadari bahwa beliau tidak memiliki banyak harta
untuk diberikan kepada mereka. Karena marahnya, Rasulullah bersumpah untuk tidak
berkumpul dengan istri-istri beliau selama sebulan hingga mereka menyadari kesalahannya,
atau menceraikan mereka jika mereka tidak menyadari kesalahan. Kaitannya dengan hal ini,
Allah berfirman,
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia
dan segala perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku
akan menceraikanmu secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan
Rasul-Nya serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan
bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar. “ (QS. Al-Ahzab)
Rasulullah . menjauhi istri-istrinya selama sebulan di dalam sebuah kamar yang disebut
khazanah, dan seorang budak bernama Rabah duduk di depan pintu kamar.
Setelah kejadian itu tersebarlah kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah . telah
menceraikan istri-jstri beliau. Yang paling merasakan keresahan adalah Urnar bin Khaththab,
sehingga dia segera rnenemui putrinya yang sedang menangis. Urnar berkata, “Sepertinya
Rasulullah telah menceraikanmu.” Dengan terisak Hafshah menjawab, “Aku tidak tahu.” Umar
berkata, “Beliau telah menceraikanmu sekali dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau
menceraikanmu sekali lagi, aku tidak akan berbicara dengan mu selama-lamanya.” Hafshah
menangis dan menyesali kelalaiannya terhadap suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari
Rasulullah . menyendiri, belum ada seorang pun yang dapat memastikan apakah beliau
menceraikan istri-istri beliau atau tidak. Karena tidak sabar, Umar mendatangi khazanah
untuk menemui Rasulullah yang sedang rnenyendiri. Sekarang ini Umar menemui Rasulullah
bukan karena anaknya, melainkan karena cintanya kepada beliau dan merasa sangat sedih
melihat keadaan beliau, di samping memang ingin memastikan isu yang tersebar. Dia merasa
putrinyalah yang menjadi penyebab kesedihan beliau. Umar pun meminta penjelasan dari
beliau walaupun di sisi lain dia sangat yakin bahwa beliau tidak akan menceraikan istri – istri
beliau. Dan memang benar, Rasulullah . tidak akan menceraikan istri-istri beliau sehingga
Umar meminta izin untuk mengumumkan kabar gembira itu kepada kaum muslimin. Umar
pergi ke masjid dan mengabarkan bahwa Rasulullah . tidak menceraikan istri-istri beliau.
Kaum muslimin menyambut gembira kabar tersebut, dan tentu yang lebih gembira lagi adalah

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


istri-istri beliau.
Setelah genap sebulan Rasulullah menjauhi istri-istrinya, beliau kembali kepada
mereka. Beliau melihat penyesalan tergambar dari wajah mereka. Mereka kembali kepada
Allah dan Rasul-Nya. Untuk lebih meyakinkan lagi, beliau rnengurnumkan penyesalan
mereka kepada kaurn muslimin. Hafshah dapat dikatakan sebagai istri Rasul yang paling
menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati dan
menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah. Hafshah memperbanyak ibadah, terutama
puasa dan shalat malam. Kebiasaan itu berlanjut hingga setelah Rasulullah wafat. Bahkan
pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Urnar, dia mengikuti perkembangan penaklukan-
penaklukan besar, baik di bagian timur maupun barat.
Hafshah merasa sangat kehilangan ketika ayahnya meninggal di tangan Abu Lu’luah.
Dia hidup hingga masa kekhalifahan Utsman, yang ketika itu terjadi fitnah besar antar
muslirnin yang menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman hingga masa pembai’atan Ali
bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, Hafshah berada pada kubu Aisyah sebagaimana
yang diungkapkannya, “Pendapatku adalah sebagaimana pendapat Aisyah.” Akan tetapi, dia
tidak termasuk ke dalam golongan orang yang menyatakan diri berba’iat kepada Ali bin Abi
Thalib karena saudaranya, Abdullah bin Umar, memintanya agar berdiam di rumah dan tidak
keluar untuk menyatakan ba’iat.
Tentang wafatnya Hafshah, sebagian riwayat mengatakan bahwa Sayyidah Hafshah
wafat pada tahun ke empat puluh tujuh pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Dia dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang lain.

Pemilik Mushaf yang Pertama


Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya A1-Qur’an di tangannya setelah
mengalami penghapusan karena dialah satu-satunya istrii Nabi . yang pandai membaca dan
menulis. Pada masa Rasul, A1-Qur’an terjaga di dalam dada dan dihafal oleh para sahabat
untuk kemudian dituliskan pada pelepah kurma atau lembaran-lembaran yang tidak
terkumpul dalam satu kitab khusus.
Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghafal A1-Qur’an banyak yang gugur dalam
peperangan Riddah (peperangan rnelawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong
Umar bin Khaththab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an yang
tercecer. Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu
kitab itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena pada zaman Rasul hal itu tidak
pernah dilakukan. Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu bakar akhirnya memerintah Hafshah
untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya. Mushaf asli Al-
Qur’an itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal.
Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Hafshah. dan semoga Allah memberinya tempat
yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber: buku Dzaujatur-Rasulullah , karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


Zainab binti Khuzaimah ra.

Dapat dikatakan bahwa pengetahuan kita tentang Zainab binti Khuzaimah r.a.
sangatlah terbatas karena dia telah wafat ketika Rasulullah saw. masih hidup. Walaupun
banyak versi yang meriwayatkan kehidupannya, kami berusaha memilih pendapat yang
paling kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Zainab binti Khuzaimah adalah istri Rasulullah yang dikenal dengan kebaikan,
kedermawanan, dan sifat santunnya terhadap orang miskin. Dia adalah istri Rasul kedua
yang wafat setelah Khadijah r.a.. Untuk memuliakan dan mengagungkannya, Rasulullah
mengurus mayat Zainab dengan tangan beliau sendiri.

Nasab dan Masa Pertumbuhannya

Nama lengkap Zainab adalah Zainab binti Khuzaimah bin Haris bin Abdillah bin Amru
bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah al-Hilaliyah. Ibunya bemama Hindun binti Auf
bin Harits bin Hamathah.

Berdasarkan asal-usul keturunannya, dia termasuk keluarga yang dihormati dan


disegani. Tanggal lahirnya tidak diketahui dengan pasti, namun ada riwayat yang
rnenyebutkan bahwa dia lahir sebelum tahun ketiga belas kenabian. Sebelum memeluk Islam
dia sudah dikenal dengan gelar Ummul Masakin (ibu orang-orang miskin) sebagaimana telah
dijelaskan dalam kitab Thabaqat ibnu Saad bahwa Zainab binti Khuzaimali bin Haris bin
Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah al-Hilaliyah adalah Ummul-
Masakin. Gclar tersebut disandangnya sejak masa jahiliah. Ath-Thabary, dalam kitab As-
Samthus-Samin fi Manaqibi Ummahatil Mu’minin pun di terangkan bahwa Rasulullah saw.
menikahinya sebelum beliau menikah dengan Maimunah r.a., dan ketika itu dia sudah dikenal
dengan sebutan Ummul-Masakin sejak zaman jahiliah. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan
bahwa Zainab binti Khuzaimah terkenal dengan sifat kemurah-hatiannya, kedermawanannya,
dan sifat santunnya terhadap orang-orang miskin yang dia utamakan daripada kepada dirinya
sendiri. Sifat tersebut sudah tertanarn dalam dirinya sejak memeluk Islam walaupun pada
saat itu dia belum mengetahui bahwa orang-orang yang baik, penyantun, dan penderma akan
memperoleh pahala di sisi Allah.

Keislaman dan Pernikahannya

Zainab binti Khuzaimah r.a. termasuk kelompok orang yang pertama-tama masuk
Islam dari kalangan wanita. Yang mendorongnya masuk Islam adalah akal dan pikirannya
yang baik, menolak syirik dan penyembahan berhala dan selalu menjauhkan diri dari
perbuatan jahiliah.

Para perawi berbeda pendapat tentang nama-nama suami pertama dan kedua
sebelum dia menikah dengan Rasulullah. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami
pertama Zainab adalah Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib, yang kemudian
menceraikannya. Dia menikah lagi dengan Ubaidah bin Harits, namun dia terbunuh pada
Perang Badar atau Perang Uhud. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami keduanya
adalah Abdullah bin Jahsy. Sebenarnya masih banyak perawi yang mengemukakan
pendapat yang berbeda-beda. Akan tetapi, dari berbagai pendapat itu, pendapat yang paling
kuat adalah riwayat yang mengatakan bahwa suami pertamanya adalah Thufail bin Harits bin
Abdil-Muththalib. Karena Zainab tidak dapat melahirkan (mandul), Thufail menceraikannya
ketika mereka hijrah ke Madinah. Untuk mernuliakan Zainab, Ubaidah bin Harits (saudara
laki-laki Thufail) menikahi Zainab. Sebagaimana kita ketahui, Ubaidah bin Harits adalah salah
seorang prajurit penunggang kuda yang paling perkasa setelah Hamzah bin Abdul-Muththalib
dan Ali bin Abi Thalib. Mereka bertiga ikut melawan orang-orang Quraisy dalam Perang
Badar, dan akhirnya Ubaidah mati syahid dalam perang tersebut.

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


Setelah Ubaidah wafat, tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang kehidupannya hingga
Rasulullah saw. menikahinya. Rasulullah menikahi Zainab karena beliau ingin melindungi dan
meringankan beban kehidupan yang dialaminya. Hati beliau menjadi luluh melihat Zainab
hidup menjanda, sementara sejak kecil dia sudah dikenal dengan kelemah- lembutannya
terhadap orang-orang miskin. Scbagai Rasul yang membawa rahmat bagi alam semesta,
beliau rela mendahulukan kepentingan kaum muslimin, termasuk kepentingan Zainab. Beiau
senantiasa memohon kepada Allah agar hidup miskin dan mati dalam keadaan miskin dan
dikumpulkan di Padang Mahsyar bersama orangorang miskin.

Meskipun Nabi saw. mengingkari beberapa nama atau julukan yang dikenal pada
zaman jahiliah, tetapi beliau tidak mengingkari julukan “ummul-masakin” yang disandang oleh
Zainab binti Khuzaimah.

Menjadi Ummul-Mukminin

Tidak diketahui dengan pasti masuknya Zainab binti Khuzaimah ke dalam rumah
tangga Nabi saw., apakah sebelum Perang Uhud atau sesudahnya. Yang jelas, Rasulullah
saw. menikahinya karena kasih sayang terhadap umamya walaupun wajah Zainab tidak
begitu cantik dan tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang bersedia menikahinya.
Tentang lamanya Zainab berada dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah pun banyak
tendapat perbedaan. Salah satu pendapat mengatakan bahwa Zainab memasuki rumah
tangga Rasulullah selama tiga bulan, dan pendapat lain delapan bulan. Akan tetapi, yang
pasti, prosesnya sangat singkat kanena Zainab meninggal semasa Rasulullah hidup. Di
dalam kitab sirah pun tidak dijelaskan penyebab kematiannya. Zainab meninggal pada usia
relatif muda, kurang dari tiga puluh tahun, dan Rasulullah yang menyalatinya. Allahu A’lam.

Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Zainab binti Khuzaimah r.a. dan
semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.

(Dinukil dari buku Dzaujatur-Rasulullah SAW, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh, [ed.
Indonesia: Istri Rasulullah, Contoh dan Teladan, penerjemah: Ghufron Hasan, penerbit Gema Insani
Press, Cet. Ketiga, Jumadil Akhir 1420H)]

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


Ummu Salamah bi Abi Umayyah ra.

Adalah Ummul Mu’mini Ummu Salamah bi Abi Umayyah radhilallahu ‘anha.yang dapt
menjadi modelo wanita ideal dalam mengarungi kehidupan dalama berkeluarga. Kalau
diibarat sungai yang sedang mengeriong dan padang rumput yang lagi tandus, sangat jarang
ditemukan profil wanita unggulan seperti Ummu Salamah radhilallahu ‘anha.
Bagaimanakah peranan Ummu Mu’minin di masa kemunculan Islam ? dan siapakah jati diri
beliau bias ditemukan di secarik kertas yang singkat ini. Insaya allah
Selanjtnya saya berdoa semoga Allah meneriama amal ini sebagai sebuah amal tulus
mengharapkan keridhaan_Nya.

Nasab Ummu salamah ra


a. Jalur Ayah
Ummu Salamah binti Abu Umaiyyah bin Suhail-ia dikenal dengan nama Zaadur Rakbi (
rombongan musafir ). Ia salah seorang Arab yang terkenal dermawan. Jika ia bepergian, ia
tidak membolehkan teman-temannya membawa perbekalan, namun ia sendiri yang mem
bac-up kebutuhan mereka- bin Al Mughirah bin Abdullah bin Amr bin makzhum bin Yakadzah
bin Ka’ab Buin Luai bin Ghalib. Ummu Salamah adalah wanita Quraisy dari kabilah
Makzhum.
b. Jalur Ibu
Ibu Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha adalah Atikah binti Amir bin Rabi’ah bin Malik
bin Khuzaimah bin al Qamah bin Firas.
Nama Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha adalah Hindun. Saudara Ummu Salamah dari
pihak ialah Abdullah dan Zuhair, keduanya anak bibi Rasulullah dari jalur ibu.

Hijrahnya Ummu Salamah ra.


a. ke Habasyah
Ketika teror yang dilancarkankaum Quraisy terhadap kaum muslimin tambah menjadi-
jadi, pada bulan Rajab tahun keliam kenabian, Rasulullah mengijinkan para sahabat beliau
hijrah ke Habasyah Etiopia ( Afrika). Ummu Salamaah beserta suaminya, mereka
meninggalkan Makkah, tampat kelahiran merekak meninggalka rmah dan kemuliaan yang
tinggi, meninnggalkan kebangsawanan yang berakar dalam. Semua ditinnggalkan karena
mengharap pahala dan keridhaan Allah semata.
Ummu Salamah dan suaminya abu Salamah bin Abdul Asad hijrah dua kali ke
Habasyah. Keduanya orang yang pertama kali hijrah ke Habasyah.
Ibnu Khaisam berkata, “ Nashr bin al Mughirah berkata kepadaku bahwa Sufyan berkata, “
Oarang yang pertama kali hijrah dari kalangan wanita ialah Ummu Salamah”.
b. ke Habasyah
Setelah Ummu salamah kemblai dari habasyah dan Ummu Salamah hendak hijrah ke
Madinah, terjadi insiden antara anrata Ummu salamah dan keluarganya . Keluarganya
melarang dia membawa anaknya Salamah. Anak tersebut mereka rampas dari tangan ummu
Salamah, sehingga tangan anak beliau cidera sebelah. Untunglah dengan bantuan salah
seorang yang kasihan melihat Ummu Salamah, anak nya itu kembali , sehingga akhirnya
turut bersama-sama dia hijrah ke Madinah.

Suami Ummu Salamah sebelum menikah dengan Nabi saw


Sebelum menikah dengan Rasulullah saw, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha
bersuamikan Abu Salamah Abdullah bin Abdul Asad. Tersmasuk kelompok sepuluh yang
masuk Isalam ( assabiqunal awwalun), yang mendahului masuk Islam adalah Abu Bakar
ash Shidiq dan beberapa orang lainnya yang kalau dihitung dengan jari belum sebanyak jari
tangan. Dari pernikahannya dengan abu Salamah ia dikaruniai anak.
Abu Salamah ra wafat pada tahun 4 H. Abu Salamah ikut beperang pada perang
Badar dan perang Uhud. Ia terkena panah dim lengan dan dirawat sebulan sampai sembuh
setelah itu, rasul mengirimnya seratus lima puluh orang ke Qathan pada bulan Muharram.
Setelah itulah sakitnya kambuh lagi, kemudaian ia wafat karenanya pada tanggal 8 jumadil

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


Akhir tahun 4 H.

Pernikahan dengan Nabi saw


Setelah menjalani masa iddah yang berakhir pada syawal tahun 4 H, lalu rasu
menikahinya pada akhir syawal.
Rasululullah saw dating kepadanya, kemudian melipat pakaian luar beliau,
meletakanyya di ambang pintu, san bersandar padanya. Beliau, bersabda, “hai ummu
salamah apakah engkau ingin menikah ?” Ummu Salamah menjawab , “ Aku Wanita yang
sangat pencemburu, dan khawatir terlihat oleh Nabi saw apa yang beliau benci”
Rasul pulang kemudian blik lagi kepada ummu salamah dan bersabda ekepadnya, “ hai
ummu salamah, apakah engkau menikah /” jika engkau ingin menambah maharmu, aku akan
menambahnya”. Ummu Salamah mengulangi ucapan sebelumnya’
Ummu Mabd berkata, “ Hai mummu Salamah,, tahukah engkau apa yang dibicarakan
wanita- wanita Quraisy?merka berkata Ummu salamah menolahk Muhammad karenaia
seorang pemudi Quraisy yang lebih muda daripada belia dan lebih kaya”.
Ummu Salamah pun menghadap Rasulullah saw kemudian beliau menikahinya

Ummu Salamah dalam Do’a Nabi saw


Imam Ahmad dan ad Daullabi meriwatkan hadits dari Ummu Salamah ra ia berkata, “
“ Rasulullah saw menutup Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain denagn pakaian berwarna hitam,
kemudian bersabda, “ Ya Allah, kepada-Mu dan bukan ke neraka aku dan anggota
keluargaku kembalaui”. Aku berkata, “ Dan Aku, wahai Rasulu ? Rasulullah saw bersabda,
Juga termasuk engkau”.

Kelebihan Ummu Salamah dari istri-istri Rasulullah yang lain


Jika telah mengerjakan shalat Ashar, Rasulu masuk ke rumah istriistri beliu astu demi
satu. Beliau pertama kali dating ke rumah Ummu salama, karena ia istri yang palingg tua dan
terakhir kalai dating kepadaku.
Ketika Rasululla menikahi Ummu Salamah, beliau bersabda , Hai Ummu Slamah, aku
pernah mengadiahkan pakaian dan beberapa ons kesturi kepada najasyi. Saya tahu bahwa
najas wafat dan hadiahku an dikembalikan kepadaku, maka menjadi milikmi.
Apa yang terjadi btul seperti yang disabdakan Tasul. Hadiah beliau dikembalikan kemudian
beliau memberikan sisia ons kesturi dan pakaian kepada Ummu Salamah.

Ummu Salamah dan Al Islam


Ketika Abu Salamah wafat, Ummu Slamah berkata, “ ia orang asing di negri asing.
Kau psti menagisinya dengan yangisan yang menjadi bebabn pembicatraan manusia.” Aku
sudah siap-siap untuk menagisi Abu Salamah, tiba-tiba seorang perempuan dari tempat
tinggi Madinah datang ingin ikut menagis bersamaku, Rasulullaullah saw datang keapadaku
dan bersabda, “ apakah engkau hendak memasukan syetan ke rumah diamana allah telah
mengusir syetan tersebut darinya?’
Rasulullah saw bersabda seperti itu hingga dua kali kemmudian aku menahan tangisku
dan tidak jadi menagis.

Kontributor Intelektual dalam perjanjian Hudaibiyyah


Ummu Salamah memiliki andil besar dalam perjanjian Hudaibiyyah. Sikap
kepahlawananya itu menunjukann kecerdasan akal dan sikap tanggap yang begitu cepat.
Rasulululllah saw beradamai dengan penduduk makkah dan menulis surat perdamaian
antara beliu dengan mereka. Usai melakukan hal tersebut, Rasululullah saw bersabda
kepada manusia, “ Hendaklah kalian berdiri untuk menyembelih unta dan cukurlah rambut
kalian.
Demi Allah tidak ada seorang pun dari mereka yang berdiri hingga rasulullah saw
mengulangi sabda beliau sampai tiga kali. Ketika tidak ada seorang pun dari mereka yang
berdiri dan berkata, Rasulullah saw masulk ke tempat Ummu Salamah dan becerita
kepadanya tentang hal apa yang beliau terima dari mereka. ”Wahai nabi Allah, apakah

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


engkau meninginkan sesuatu ?Keluarlah engkau tanpa rbicara sepatah katapun dengan
siapapun, kemudian engkau sembelih untamu dan engkau panggilah tukang cukurmu untuk
mencukur rambutmu.
Rasulullah saw melaksanakan saran Ummu Salamah. Ketika manusia melihat beliau
berbuuat seperti itu, mereka berdiri unntuk menyembelih unta mereka dan sebagian dari
mereka mencukur segian yang lain, hingga nyaris sebagian dari merak membunuh sebagian
yang lain.”

Memosisikan sebagai Mediator dalam Kasus ‘Utsman dan Aisyah


Sepeningal Rasulullah , Ummu salamaha tetap tinggal di rumahnya. Dia masih tetap
menyembah Allah dan melaksanakan ajaran al Quran. Kehidupan seperti ini terus ia hingga
jalani hingga masa Yazid bi muawiyyah. Dia tetap mengamati gejolah dan perkembangan
umat Islam . Sesekai memberikan kebaikan dan perdamaian terhadap seluruh manuasia.
Pada masa ‘kekhilafahan Utsaman bin ‘Affan terjdi perpecahan dalam kubu kaum
Muslimin. Pada saat genting seperti ini Ummu Salamah menunjukan sikapagung dengan
mengahadap kepada Utsman bin ‘Affan dan dengan berani berkata kepadanya,.” Wahai
naku, mengapa aku masih melihat rakyat menjauh darimu. Kamu jangan berhenti dari
manhaj yang pernah ditempuh oleh Rasulullah. Teruskan perjuangannya seperti yang
dilakukan oleh dua sahabatmu (Abu Bakar dan Umar ibnu Khattab ). Keduanyya selalu
berusaha mengatasi persoalan dengan baik dan tidak pernah berbuat zalim, memberkan
nasihat kepadamu adlahhkku seorang ibu, sedangkan kamu memiliki hak untuk menaatinya.
íUtsaman menjawab, “ Aku sadar dengan yang engkau katakana, dan nasihatmu akan aku
terima dan akan aku laksanakan.”
Seseorang dar Bani Tamim dating menemui Ummu Salamah dan menanyakan perihal
‘Utsman kepadanya. Ummu Slamah berkata, “orang-orang mengeluhkan dirinya dan
memintanya untuk bertaubat. Utsamn pun bertaubat dan kembali kepada Allah. Ketiak
mereka berhasil menjadikannya laksana pakaian putih yang suci dari kotoran, mereka
menemuinya dan membunuhnya.”
Ketiak Aisyah bermaksud memisahkan diri dari kepeminmpinan ali bin Abi Thalib,
Ummu Salamah mengirim surat kepada Aisyah dan menjelaskan sikapnya. Dia tidak dengan
keputusan Aisyah yang hendak menyikapi ali cara kekerasan. Ummu Salamah berkata
kepada Aisyah. “dirimu adalah perantara antara Rasululah dan ummatnya. Hijabmu adalah
lambang kesucian umat ini. Dalam nash al Quran berisikan kesucian dirimu , janganlah
engkau mengotorinya dengan memisahkan diri kota Bashrah. Rendahkanlah suaramu dan
jangan engkau keraskan, bukankah engkau pernah berkata kepada , wahai rasulullah
menghadapi tantangan berupa gunung dan bukit bukit maka aku akan membantumu /
demikian juga jika engkau rasulullah didatangi oleh orang-orang yang ingin menyakitimu.
Setelah itu ada suara yang mengatakan kepadaku, “ masuklah kedalam surga” karena aku
pasti akan merasa mau bertemu dengan Allah sedangkan aku telah mengotori hijabku yang
telah rasulullah wajibkan bagi diriki. Perbaikilah hijabmu yang telah dirusak oleh kudamu ini.”

Anak-anak Ummu Salamah


Ummu Salamah ra mempunyai tiga orang anak ; Salamah, Umar, dan. Zainab. Mereka
semua diasuh di bawah asuhan nabi saw. RAsulullah saw menikahkan Salamah derngan
Umamah binti hamzah bin Abdul Muthalib. Ummu salamah hidup hingga masa pemerintahan
Abdu Malik bin Marwan. Ia tidak meriwatkan hadits.
Adapun umar bin Abu Salamah, ia meriwatkan hadits. Pada saat rasulullagh saw
wafat, ia berusia sembilan tahun. Ia lahir di habasyah pada tahun 2 Hijriah dan diangkat Ali
bin Abu halib ra sebagai gubernur Persia dan Bahrain. Ia wafat di madinah pada masa
pemerintahan Malik bin Marwan.
Sedang zainab, ia lahir di habasyah. Tadinya, namanya Barrah kemudian rasulullah
saw mengganti namanya dengan zainab. Zainab pernah masuk ke tempat rasulullah saw
ketika beliau sedang mandi, kemudian beliau menyiramkan air ke wajahnya. Wajah muda
tetap memancar pada wajahnya hingga ia berusia lanjut.
Ath-thabrani meriwatkan hadits darik Zainab ra yang berkata,
“ Jika rasulullah saw mandi, ibuku berkata kepadaku, “ masuklah ke tempat rasulullh “ aku

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


pun masuk ke tepat rasulullah saw kemudian ia meyiramkan air ke wajahku dan bersabda
“:keluarlah”
Al- Athaf berkata, “ ibuku berkata, “ketika zainab berusia lanjut, aku lihat tidak ada sedikitpun
pun yang berkurang dari wajahnya.”
Zainab dinikahi Abdullah bin Zam’ah bin al Aswad bin al Asadi. Zainab melahirakan anak
untuk Abdullah bin Zam’ah. Zainab termasuk orang paling fiqh pada zamannya.

Wafatnya Ummu Salamah


Ummu salamah ra wafat pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah pada tahun 61
H menurut pendapat yang benar. Yazid berkuasa selama 2 tahun. Ummu salamah wafat
setelah mendapat kabar kematian Husain bin ali ra. Ummu Salamah wafat dalam usia 84
tahun menurut pendapat yang benar.
Ath-Thabrani meriwatkan dengan para perawi terpercaya dari al Haitsam bin Adi yang
berkata, “ istri istri rasululah saw yang yang pertama kali wafat ialah Zainab binti Jahsy yang
wafat pada masa khalifah Umar bin Khattab dan yang terakhir kali wafat adalah Ummu
Salamah yang meninggal pada masa pemerintahhan Yazid bi Muawiyah 62 H.

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


Zainab binti Jahsy r.a

Pernikahan Rasulullah saw. dengan Zainab binti Jahsy r.a. didasarkan pada perintah
Allah sebagai jawaban terhadap tradisi jahiliah. Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah
yang berasal dan kalangan kerabat sendiri. Zainab adalah anak perempuan dari bibi
Rasulullah, Umaimah binti Abdul Muththalib. Beliau sangat mencintai Zainab.

Nasab dan Masa Pertumbuhannya


Nama lengkap Zainab adalah Zainab binti Jahsy bin Ri’ab bin Ya’mar bin Sharah bin
Murrah bin Kabir bin Gham bin Dauran bin Asad bin Khuzaimah. Sebelum menikah dengan
Rasulullah, namanya adalah Barrah, kemudian diganti oleh Rasulullah menjadi Zainab
setelah menikah dengan beliau. Ibu dari Zainab bernama Umaimah binti Abdul-Muthalib bin
Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushai. Zainab dilahirkan di Mekah dua puluh tahun sebelurn
kenabian. Ayahnya adalah Jahsy bin Ri’ab. Dia tergolong pernimpin Quraisy yang dermawan
dan berakhlak baik. Zainab yang cantik dibesarkan di tengah keluarga yang terhormat,
sehingga tidak heran jika orang-orang Quraisy rnenyebutnya dengan perempuan Quraisy
yang cantik.
Zainab termasuk wanita pertarna yang memeluk Islam. Allah pun telah menerangi hati
ayah dan keluarganya sehingga memeluk Islam. Dia hijrah ke Madinah bersama
keluarganya. Ketika itu dia masih gadis walaupun usianya sudah layak menikah.

Pernikahannya dengan Zaid bin Haritsah


Terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang mernerintahkan Zainab dan Zaid
melangsungkan pernikahan. Zainab berasal dan golongan terhormat, sedangkan Zaid bin
Haritsah adalah budak Rasulullah yang sangat beliau sayangi, sehingga kaum muslimin
menyebutnya sebagai orang kesayangan Rasulullah. Zaid berasal dari keluarga Arab yang
kedua orang tuanya beragama Nasrani. Ketika masih kecil, dia berpisah dengan kedua orang
tuanya karena diculik, kemudian dia dibeli oleh Hakam bin Hizam untuk bibinya, Khadijah
binti Khuwailid r.a., lalu dihadiahkannya kepada Rasulullah saw.
Ayah Zaid, Haritsah bin Syarahil, senantiasa mencarinya hingga dia mendengar bahwa
Zaid berada di rumah Rasulullah. Ketika Rasulullah menyuruh Zaid memilih antara tetap
bersama beliau atau kembali pada orang tua dan pamannya, Zaid berkata, “Aku tidak
menginginkan mereka berdua, juga tidak menginginkan orang lain yang engkau pilihkan
untukku. Engkau bagiku adalah ayah sekaligus paman.” Setelah itu, Rasulullah
mengumumkan pembebasan Zaid dan pengangkatannya sebagai anak. Ketika Islam datang,
Zaid adalah orang yang pertama kali memeluk Islam dari kalangan budak. Dia senantiasa
berada di dekat Nabi, terutama setelah dia rneninggalkan Mekah, sehingga beliau sangat
mencintainya, bahkan beliau pernah bersabda tentang Zaid,
“Orang yang aku cintai adalah orang yang telah Allah dan aku beri nikmat. (HR. Ahmad)
Allah telah memberikan nikmat kepada Zaid dengan keislamannya dan Nabi telah
memberinya nikmat dengan kebebasannya. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau
mempersaudarakan Zaid dengan Hamzah bin Abdul Muththalib. Dalam banyak peperangan,
Zaid selalu bersama Rasulullah, dan tidak jarang pula dia ditunjuk untuk menjadi komandan
pasukan. Tentang Zaid, Aisyah pernah berkata, “Rasulullah tidak mengirimkan Zaid ke
medan perang kecuali selalu menjadikannya sebagai komandan pasukan, Seandainya dia
tetap hidup, beliau pasti menjadikannya sebagai pengganti beliau.”
Masih banyak riwayat yang menerangkan kedudukan Zaid di sisi Nabi saw..
Sesampainya di Madinah beliau meminang Zainab binti Jahsy untuk Zaid bin Haritsah.
Semula Zainab membenci Zaid dan menentang menikah dengannya, begitu juga dengan
saudara laki-lakinya. Menurut mereka, bagaimana mungkin seorang gadis cantik dan
terhormat menikah dengan seorang budak? Rasulullah menasihati mereka berdua dan
menerangkan kedudukan Zaid di hati beliau, sehingga turunlah ayat kepada mereka:
“Dan tidaklah patut bagi laki -laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.“ (Q.S. Al-Ahzab: 36)

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


Akhirnya Zainab menikah dengan Zaid sebagai pelaksanaan atas perintah Allah,
meskipun sebenarnya Zainab tidak menyukai Zaid. Melalui pernikahan itu Nabi saw. ingin
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali dalam ketakwaan dan
amal perbuatan mereka yang baik. Pernikahan itu pun bertujuan untuk menghilangkan tradisi
jahiliah yang senang membanggakan diri dan keturunan. Akan tetapi, Zainab tetap tidak
dapat menerima pernikahan tersebut karena ada perbedaan yang jauh di antara mereka
berdua. Di depan Zaid, Zainab selalu membangga-banggakan dirinya sehingga menyakiti hati
Zaid. Zaid menghadap Rasulullah untuk mengadukan perlakukan Zainab terhadap dirinya.
Rasulullah saw. menyuruhnya untuk bersabar, dan Zaid pun mengikuti nasihat beliau. Akan
tetapi, dia kembali menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa dirinya tidak mampu lagi
hidup bersama Zainab.
Mendengar itu, beliau bersabda, “Pertahankan terus istrimu itu dan bertakwalah
kepada Allah.” Kemudian beliau mengingatkan bahwa pernikahan itu merupakan perintah
Allah. Beberapa saat kemudian turunlah ayat, “Pertahankan terus istrimu dan bertakwalah
kepada Allah.” Zaid berusaha menenangkan diri dan bersabar, namun tingkah laku Zainab
sudah tidak dapat dikendalikan, akhirnya terjadilah talak. Selanjutnya, Zainab dinikahi
Rasulullah.
Prinsip dasar yang melatarbelakangi pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy
adalah untuk menghapuskan tradisi pengangkatan anak yang berlaku pada zaman jahiliah.
Artinya, Rasulullah ingin menjelaskan bahwa anak angkat tidak sama dengan anak kandung,
seperti halnya Zaid bin Haritsah yang sebelum turun ayat Al-Qur’an telah diangkat sebagai
anak oleh beliau. Allah SWT berfirman,
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka,’
itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,
maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudara seagama dan maula-maulamu.” (QS. Al-
Ahzab:5)
Karena itu, seseorang tidak berhak mengakui hubungan darah dan meminta hak waris
dan orang tua angkat (bukan kandung). Karena itulah Rasulullah menikahi Zainab setelah
bercerai dengan Zaid yang sudah dianggap oleh orang banyak sebagai anak Muhammad.
Allah telah menurunkan wahyu agar Zaid menceraikan istrinya kemudian dinikahi oleh
Rasulullah. Pada mulanya Rasulullab tidak memperhatikan perintah tersebut, bahkan
meminta Zaid mempertahankan istrinya. Allah memberikan peringatan sekali lagi dalam ayat:
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat
kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, ‘Tahanlah terus istrimu dan
bertakwalah kepada Allah, ‘sedang kamu menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah
akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah- lah yang lebih berhak
untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya
(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang
mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak- anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu
telah menyelesaikan keperluan daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti
terjadi.“ (QS. Al-Ahzab:37)
Ayat di atas merupakan perintah Allah agar Nabi saw. menikahi Zainab dengan tujuan
meluruskan pemahaman keliru tentang kedudukan anak angkat.

Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah saw. mengutus seseorang untuk mengabari Zainab tentang perintah Allah
tersebut. Betapa gembiranya hati Zainab mendengar berita tersebut, dan pesta pernikahan
pun segera dilaksanakan serta dihadiri warga Madinah.
Zainab mulai memasuki rumah tangga Rasulullah dengan dasar wahyu Allah. Dialah
satu-satunya istri Nabi yang berasal dan kerabat dekatnya. Rasulullah tidak perlu meminta
izin jika memasuki rumah Zainab sedangkan kepada istri-istri lainnya beliau selalu meminta
izin. Kebiasaan seperti itu ternyata menimbulkan kecemburuan di hati istri Rasul lainnya.
Orang-orang munafik yang tidak senang dengan perkembangan Islam membesar-besarkan
fitnah bahwa Rasulullah telah menikahi istri anaknya sendiri. Karena itu, turunlah ayat yang
berbunyi,
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi
dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi…. “ (Qs. Al-Ahzab: 40)

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


Zainab berkata kepada Nabi, “Aku adalah istrimu yang terbesar haknya atasmu, aku utusan
yang terbaik di antara mereka, dan aku pula kerabat paling dekat di antara mereka. Allah
menikahkanku denganmu atas perintah dan langit, dan Jibril yang membawa perintah
tersebut. Aku adalah anak bibimu. Engkau tidak memiliki hubungan kerabat dengan mereka
seperti halnya denganku.” Zainab sangat mencintai Rasulullah dan merasakan hidupnya
sangat bahagia. Akan tetapi, dia sangat pencemburu terhadap istri Rasul lainnya, sehingga
Rasulullah pernah tidak tidur bersamanya selama dua atau tiga bulan sebagai hukuman atas
perkataannya yang menyakitkan hati Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab r.a., wanita Yahudiyah
itu.
Zainab bertangan terampil, menyamak kulit dan menjualnya, juga mengerjakan
kerajinan sulaman, dan hasilnya diinfakkan di jalan Allah.

Saat Wafatnya
Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah yang pertama kali wafat menyusul beliau,
yaitu pada tahun kedua puluh hijrah, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dalarn
usianya yang ke-53, dan dimakamkan di Baqi. Dalarn sebuah riwayat dikatakan bahwa
Zainab berkata menjelang ajalnya, “Aku telah rnenyiapkan kain kafanku, tetapi Umar akan
mengirim untukku kain kafan, maka bersedekahlah dengan salah satunya. Jika kalian dapat
bersedekah dengan sernua hak-hakku, kerjakanlah dari sisi yang lain.” Sernasa hidupnya,
Zainab banyak mengeluarkan sedekah di jalan Allah.
Tentang Zainab, Aisyah berkata, “Semoga Allah mengasihi Zainab. Dia banyak
menyamaiku dalarn kedudukannya di hati Rasulullah. Aku belum pernah melihat wanita yang
lebih baik agamanya daripada Zainab. Dia sangat bertakwa kepada Allah, perkataannya
paling jujur, paling suka menyambung tali silaturahmi, paling banyak bersedekah, banyak
mengorbankan diri dalam bekerja untuk dapat bersedekah, dan selalu mendekatkan diri
kepada Allah. Selain Saudah, dia yang memiliki tabiat yang keras.”
Semoga Allah memberikan kemuliaan kepadanya (Sayyidah Zainab Binti Jahsy) di
akhirat dan ditempatkan bersama hamba-hamba yang saleh. Amin.
(Dinukil dari buku Dzaujatur-Rasulullah SAW, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh, [ed.
Indonesia: Istri Rasulullah, Contoh dan Teladan, penerjemah: Ghufron Hasan, penerbit Gema Insani
Press, Cet. Ketiga, Jumadil Akhir 1420H)]

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


Juwairiyah Binti al-Harits r.a
Telah lama kita ketahui bahwa setiap istri Nabi SAW itu memiliki suatu kelebihan.
Demikian juga halnya dengan Juwairiyah yang telah membawa berkah besar bagi kaumnya,
Banil-Musthaliq. Bagaimana tidak, setelah dia memeluk Islam, Banil-Musthaliq mengikrarkan
diri menjadi pengikut Nabi SAW.
Juwairiyah adalah seorang putri pemimpin Banil Musthaliq yang bernama al-Harits bin
Abi Dhiraar yang sangat memusuhi Islam. Tentunya dia memiliki sifat dan kehormatan
sebagai keluarga seorang pemimpin. Dia adalah gadis cantik yang paling luas ilmunya dan
paling baik budi pekertinya di antara kaumnya. Rasulullah SAW memerangi mereka sehingga
banyak kalangan mereka yang terbunuh dan wanita-wanitanya menjadi tawanan perang. Di
antara tawanan tersebut terdapat Juwairiyah yang kemudian memeluk Islam, dan
keislamannya itu merupakan awal kebaikan bagi kaumnya.
Tentang Juwairiyah, Aisyah mengemukan cerita sebagaimana yang disebutkan oleh
Ibnu Saad dalam Thabaqatnya, “Rasulullah SAW menawan wanita-wanita Bani Musthaliq,
kemudian beliau menyisihkan seperlima dari mereka dan membagikannya kepada kaum
muslimin. Bagi penunggang kuda mendapat dua bagian, dan lelaki yang lain mendapat satu
bagian. Juwairiyah jatuh ke tangan Tsabit bin Qais bin Samas al-Anshari. Sebelumnya
Juwairiyah menikah dengan anak pamannya, yaitu Musafi bin Shafwan bin Malik bin
Juzaimah, yang tewas dalam pertempuran melawan kaum muslimin. Ketika Rasulullah SAW
tengah berkumpul denganku, Juwairiyah datang menanyakan tentang perjanjian
pembebasannya. Aku sangat membencinya ketika dia menemui beliau. Kemudian dia
berkata, “Ya Rasulullah SAW, aku Juwairiyah binti al-Harits, pemimpin kaumnya. Sekarang
aku kini tengah berada dalam kekuasaan Tsabit bin Qais. Dia membebaniku dengan
sembilan keping emas, padahal aku sangat menginginkan kebebasanku.’ Beliau
bertanya,’Apakah engkau menginginkan sesuatu yang lebih dari itu ?’ Dia balik
bertanya,’Apakah gerangan itu ?’ Beliau menjawab,’Aku penuhi permintaanmu dalam
membayar sembilan keping emas dan aku akan menikahimu.’ Dia menjawab,’Baiklah,ya
Rasulullah SAW !’ Beliau bersabda,’Aku akan melaksanakannya.’ lalu tersebarlah kabar itu,
dan para sahabat Rasulullah SAW berkata, ‘Ipar-ipar Rasulullah SAW tak layak menjadi
budak-budak.’ Mereka membebaskan tawanan Banil Musthaliq yang jumlahnya hingga
seratus keluarga karena perkawinan Juwairiyah dengan Rasulullah SAW. Aku tidak pernah
menemukan seorang wanita yang lebih banyak memiliki berkah daripada Juwairiyah.”
Selain itu Aisyah sangat memperhatikan kecantikan Juwairiyah, dan itulah di antaranya
yang menyebabkan Rasulullah SAW menawarkan untuk menikahinya. Rasulullah SAW
meminang Juwairiyah dengan mas kawin 400 dirham. Aisyah sangat cemburu dengan
keadaan seperti itu. Padahal Rasulullah SAW berbuat baik kepada Juwairiyah bukan semata
karena kecantikan wajahnya, melainkan karena rasa belas kasih beliau kepadanya. Ketika
Juwairiyah menikah dengan Rasulullah SAW, beliau mengubah namanya, yang asalnya
Burrah menjadi Juwairiyah, sebagaimana disebutkan dalam Thabaqatnya Ibnu Saad, “Nama
Juwairiyah binti al-Harits merupakan perubahan dari Burrah. Rasulullah SAW menggantinya
menjadi Juwairiyah,…karena khawatir disebut bahwa beliau keluar dari rumah burrah.”
Dari Ummul Mukminin ‘Aisyah menceritakan perihal pribadi Juwairiyyah:”Juwairiyyah
adalah seorang wanita yang manis dan cantik, tiada seorangpun yang melihatnya melainkan
akan jatuh hati kepadanya. Tatkala Juwairiyyah meminta kepada Rasulullah untuk
membebaskan dirinya sedangkan -demi Allah- aku telah melihatnya melalui pintu kamarku,
maka aku merasa cemburu karena menduga bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
akan melihat sebagaimana yang aku lihat.
Maka masuklah pengantin wanita, Sayyidah Bani Mushthaliq kedalam rumah tangga
Nubuwwah. Pada Mulanya, nama Beliau adalah Burrah namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menggantinya dengan Juwairiyyah karena khawatir dia dikatakan keluar dari biji
gandum.
Ibnu Hajar menyebutkan di dalam kitabnya, al-Ishabah tentang kuatnya keimanan
Juwairiyyah radhiallaahu 'anha. Beliau berkata: ”Ayah Juwairiyyah mendatangi Rasul dan
berkata: ”Sesungguhnya anakku tidak berhak ditawan karena terlalu mulia dari hal itu. Maka
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bagaimana pendapatmu seandainya anakmu
disuruh memilih di antara kita; apakah anda setuju?”.

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


“Baiklah”, katanya. Kemudian ayahnya mendatangi Juwairiyyah dan menyuruhnya untuk
memilih antara dirinya dengan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau
menjawab:”Aku memilih Allah dan Rasul-Nya”.
Ibnu Hasyim meriwayatkan bahwa akhirnya ayah beliau yang bernama al-Harits masuk
Islam bersama kedua putranya dan beberapa orang dari kaumnya. Ummul Mukminin,
Juwairiyyah wafat pada tahun 50 H. Ada pula yang mengatakan tahun 56 H.
Semoga Allah merahmati Ummul Mukminin, Juwairiyyah karena pernikahannya
dengan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam membawa berkah dan kebaikan yang
menyebabkan kaumnya, keluarganya dan orang-orang yang dicintainya berpindah dari
memalingkan ibadah untuk selian Allah dan kesyirikan menuju kebebasan dan cahaya Islam
beserta kewibawaannya. Hal itu merupakan pelajaran bagi mereka yang bertanyatanya
tentang hikmah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam beristri lebih dari satu.
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, Juwairiyah mengasingkan diri serta
memperbanyak ibadah dan bersedekah di jalan Allah SWT dengan harta yang diterimanya
dari Baitul-Mal. Ketika terjadi fitnah besar berkaitan dengan Aisyah, dia banyak berdiam diri,
tidak berpihak kemanapun.
Juwairiyah wafat pada masa kekhalifahan Mu`awiyah bin Abu Sufyan, pada usianya
yang keenam puluh. Dia dikuburkan di Baqi`, bersebelahan dengan kuburan istri-istri
Rasulullah SAW yang lain. Semoga Allah SWT rela kepadanya dan kepada semua istri
Rasulullah SAW.

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan RA

Ummu Habibah dengan nama lengkap Ramlah binti Abu Sufyan bin Harb adalah salah
seorang Ummul Mikminin (salah satu istri Rosulullah). sebuah ketangguhan yang menyentuh
hati bagi siapapun yang mendengar kisahnya.

Ramlah adalah salah seorang wanita yang masuk islam saat permulaan. ia dan
suaminya Ubaidullah telah menjadi muslim saat kaum muslimin tengah berada pada masa-
masa sulit menghadapi ujian mempertahankan aqidahnya.

Ada perih yang menggores dihati Ramlah. karena sang ayah yang amat dikasihinya,
adalah salah seorang pemuka kafir Quraisy yang amat menentang keislamannya. berkali kali
sang ayahanda mendatanginya. Membujuknya dengan lembut, hingga dengan kata-kata
tegas dan kasar, bersama sang suami mereka saling menguatkan, dan hanya kepada Allah-
lah mereka memohon kekuatan. kejernihan do'a selalu dipanjatkan, agar hati sang ayahanda
terbuka. Namun, hanya kebebalan yang nampak pada ayahandanya yang pongah sebagai
seorang pemuka yang terpandang.

Mulanya, para pemuka kafir Quraisy yang lain masih belum berani mengintimidasi
kaum muslim saat Abu Sufyan masih membujuk puterinya. Namun, saat abu sufyan mulai
lepas tangan, mereka pun kian berani menekan kaum muslim. Tak hanya cela, caci dan
makian yang dilontarkan, tak segan-segan penindasan dan penyiksaan pun terus meneror
kaum muslim saat itu.

"Rabbi, hanya kecintaan kepadaMu-lah yang membuat kami tetap bertahan.. " lirih Ramlah.

Akhirnya, turunlah perintah untuk hijrah ke Habasyah, Ramlah dan suaminya termasuk
didalamnya. Kafilah itu dipimpin oleh Ja'far bin Abu Thalib (salah seorang sahabat yang
perawakannya dan pribadinya mirip dengan Rosulullah). Di negeri habasyah, kaum muslimin
dijamin keamanannya oleh Raja najasyi.

Ramlah, sebagai seorang muslimah yang tangguh dalam mempertahankan aqidahnya,


meski dengan berat hati meninggalkan tanah kelahirannya, keluarganya, sanak saudaranya,
gelar kebangsawanannya, hartanya, dan semua hiasan dunia lainnya. Ia pun melabuhkan diri
ke Habasyah, tempat yang sangat asing. Hidup sebagai orang asing yang terasing bersama
dengan kaum muslim lainnya.

Ujian itu ternyata belum cukup. sang suami yang amat dikasihinya karena Allah,
ternyata malah Murtad dinegeri itu. Kesedihan meliputi hatinya, tak mungkin ia menggadaikan
aqidahnya pula, karena aqidah itu telah menghujam kedalam sanubarinya. Akarnya telah
tertanam dengan kuat, sedang batang keimanan itu kokoh menjulang dengan dedaunan yang
rimbun menyejukkan. tak bisa dan tak rela jika ia harus menghempaskan keimanan itu begitu
saja.

Berpisah itulah jalan satu-satunya.


Saat kesedihan itu membungkusnya, pikirannya melayang pada sang ayahanda yang
garang melarangnya mendekati agama Muhammad, ia terkenang dengan negerinya yang
telah ia tinggalkan. Dan kini, sang suami yang telah menjadi seorang nasrani. sebelah
sayapnya telah patah. tapi ia tahu, masih ada saudara muslim yang lain, masih ada Rabb-
Nya yang Maha atas segalanya.

Ditengah kesedihan dan kepiluan, serta nyeri yang terus saja seperti labirin yang
membuatnya terperangkap, tiba-tiba saja salah seorang pelayan Raja Najasyi datang
menghampirinya. ada berita gembera yang hendak disampaikannya.

Yaitu, bahwa Rosulullah telah melamarnya...!!


subhanallah.. walhamdulillah.. wa laa ilaa haillah wa Allahuakbar! karena perasaan yang

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


teramat bahagia, ia menangis... tak mampu air mata itu terbendung. seperti embun yang
jatuh pada sehelai daun, sejuk... sekali. Oh, Rabbi... benarkah ini? bahwa kini, ia akan
disandingkan seorang yang sangat mulia... seorang Rosul terakhir... dan ia akan
menyandang gelar Ummul Mukminin.

Dari kesemua istri Rosulullah, Ramlah adalah istri yang memiliki garis keturunan paling
dekat dengan Rosulullah,satu-satunya istri yang mendapatkan mahar paling mahal. yaitu
mencapai 4000 dinar yang diberikan oleh Raja Najasyi serta dengan seluruh perbelakalan
yang juga ditanggung oleh Raja Najasyi.

Ramlah atau lebih dikenal dengan Ummu Habibah.. akhirnya dengan didampingi oleh
seorang pelayan Raja Najasyi.. ia pun dikembalikan untuk menjumpai Rosulullah. Ummu
Habibah kini dapat melihat sendiri pribadi yang agung itu. Ia menuai ilmu langsung dari
sumbernya. seorang yang mengajarkannya tentang islam lebih dalam, mengajarkan
kecintaan terhadap Rabbnya. Dan kini, ia lah yang turut mendampingi sang Rosul dalam
dakwah islam.

Ummu Habibah, selain dikenal sebagai seorang muslimah yang tangguh


mempertahankan aqidahnya, ia juga sangat terkenal dengan seorang muslimah yang baik
ibadahnya, Qiyamulail, Shoum Sunnah, Sedekah, dll.

Keluarga yang mereka bina adalah cerminan dari keluarga muslim yang sakinah
mawaddah warahmah... setiap episode hidup yang dilaluinya bersama Rosulullah adalah
momoar penuh hikmah dan ilmu yang meningkatkan keimanan. Hingga.. tibalah saatnya
Rosulullah kembali pada Rabbnya... hatinya sedih... pilu... namun, harus rela kekasihnya
kembali pada sang Maha Kasih yang memilikinya.

Keimanan itu tak luntur.. ibadahnya pun kian gencar.. taqarrub ilallah.. sebagaimana
dahulu saat ia masih berdampingan dengan sang kekasih yang dikasihi oleh seluruh
ummatnya.

Ummu Habibah masih mampu menyaksikan masa khulafaur Rasyidin berganti...


Ummu Habibah tetap dihormati dan dimuliakan.. hingga masa kekhalifahan Muawiyah yang
juga merupakan saudara kandungnya. yaitu zaman bani Umayyah pertama kali berdiri...

Ummu habibah meninggal pada tahun 44 H... ia, kembali menemui Rabbnya.
sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir... ia masih sempat meminta maaf pada
para istri Rosulullah lain yang masih hidup... karena, sebagai manusia.. tentunya pasti pernah
melakukan kesalahan meski sadar ataupun tidak.
Ummu Habibah RA akhirnya pergi untuk selamanya...

Sumber: 35 Shirah Shahabiah (Abdullah Al Mishri)

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


Shafiyyah binti Huyay bin Khattab RA

Penyambutan istri-istri Nabi saw. terhadap Shafiyyah sangat dingin dan penuh
perasaan antipati. Hal itu dapat dimaklumi karena Shafiyyah adalah putri Huyay bin Akhtab,
pemimpin kaum Yahudi Bani Nadhir yang berkomplot dengan musuh-musuh Rasulullah untuk
menyerang Rasulullah dan kaum muslimin. Akan tetapi, akhirnya Allah menolong tentara
Islam sehingga mampu menghancurkan barisan mereka, mengusai benteng mereka,
Khaibar, dan merampas harta dan kaum wanita mereka untuk dijadikan tawanan perang. Di
antara wanita tawanan perang itu terdapat Shafiyyah binti Huyay. Ketika itu, Rasulullah
memberikan pilihannya kepada Shafiyyah antara memeluk Islam dan dinikahi beliau atau
tetap dalam agamanya dan dimerdekakan sepenuhnya. Ketika itu Shafiyyah memilih
bersama Rasulullah saw.. Sebelurn melihat langsung Rasulullah saw. pun, Shafiyyah telah
mengagumi beliau. Di dalam kitab mereka, kaum Shafiyyah telah rnengetahui bahwa akan
diutus seorang Nabi Allah yang ummi dan mereka diwajibkan mengikutinya. Shafiyyah telah
memimpikan hal yang aneh dalam tidurnya, yaitu dia melihat bulan purnama jatuh ke tempat
tidurnya sehingga tempat tidurnya diliputi cahaya yang terang benderang. Takwil mimpi telah
meyakinkan dirinya bahwa Rasulullah akan menjadi cahaya penerang alam semesta.

Nasab dan Nasa Pertumbuhannya


Nama lengkapnya adalah Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab bin Sa’yah bin Amir bin
Ubaid bin Kaab bin al-Khazraj bin Habib bin Nadhir bin al-Kham bin Yakhurn dari keturunan
Harun bin Imran. Ibunya bernama Barrah binti Samaual dari Bani Quraizhah. Shafiyyah
dilahirkan sebelas tahun sebelum hijrah, atau dua tahun setelah masa kenabian Rasulullah
saw.. Ayahnya adalah seorang pemimpin Bani Nadhir.
Sejak kecil dia menyukai ilmu pengetahuan dan rajin mempelajari sejarah dan
kepercayaan bangsanya. Dari kitab suci Taurat dia membaca bahwa akan datang seorang
nabi dari jazirah Arab yang akan menjadi penutup semua nabi. Pikirannya tercurah pada
masalah kenabian tersebut, terutama setelah Muhammad muncul di Mekah. Dia sangat
heran ketika kaumnya tidak mempercayai berita besar tersebut, padahal sudah jelas tertulis
di dalarn kitab mereka. Demikian juga ayahnya, Huyay bin Akhtab, yang sangat gigih
menyulut permusuhan terhadap kaum muslimin.
Sifat dusta, tipu muslihat, dan pengecut ayahnya sudah tampak di mata Shafiyyah
dalam banyak peristiwa. Di antara yang menjadi perhatian Shafiyyah adalah sikap Huyay
terhadap kaumnya sendiri, Yahudi Bani Quraizhah. Ketika itu, Huyay berjanji untuk
mendukung dan memberikan pertolongan kepada mereka jika mereka melepaskan perjanjian
tidak rnengkhianati kaurn muslimin (Perjanjian Hudaibiyah). Akan tetapi, ketika kaum Yahudi
mengkhianati perjanjian tersebut, Huyay melepaskan tanggung jawab dan tidak
menghiraukan mereka lagi. Hal lain adalah sikapnya terhadap orang-orang Quraisy Mekah.
Huyay pergi ke Mekah untuk rnenghasut kaum Quraisy agar memerangi kaum muslimin, dan
mereka menyuruhnya mengakui bahwa agama mereka (Quraisy) lebih mulia daripada agama
Muhammad, dan tuhan mereka lebih baik daripada tuhan Muhammad.

Masa Pernikahannya
Sayyidah Shafiyyah bin Huyay r.a. telah dua kali menikah sebelum dengan Rasulullah.
Suami pertamanya bernama Salam bin Musykam, salah seorang pemimpin Bani Quraizhah,
namun rumah tangga mereka tidak berlangsung lama. Suami keduanya bernama Kinanah bin
Rabi’ bin Abil Hafiq, yang juga salah seorang pemimpin Bani Quraizhah yang diusir
Rasulullah dan kemudian menetap di Khaibar.

Penaklukan Khaibar dan Penawanannya


Perang Khandaq telah membuka tabir pengkhianatan kaum Yahudi terhadap
perjanjian yang telah mereka sepakati dengan kaum muslimin. Rasulullah saw. segera
menyadari ancaman yang akan menimpa kaum muslimin dengan berpindahnya kaum Yahudi
ke Khaibar kernudian membentuk pertahanan yang kuat untuk persiapan menyerang kaum
muslimin.

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


Setelah perjanjian Hudaibiyah disepakati untuk menghentikan permusuhan selama
sepuluh tahun, Rasulullah saw. merencanakan penyerangan terhadap kaum Yahudi,
tepatnya pada bulan Muharam tahun ketujuh hijriah. Nabi saw. memimpin tentara Islam untuk
menaklukkan Khaibar, benteng terkuat dan terakhir kaum Yahudi. Perang berlangsung
dahsyat hingga beberapa hari lamanya, dan akhirnya kemenangan ada di tangan umat Islam.
Benteng-benteng mereka berhasil dihancurkan, harta benda mereka menjadi harta rampasan
perang, dan kaum wanitanya pun menjadi tawanan perang. Di antara tawanan perang itu
terdapat Shafiyyah, putri pemimpin Yahudi yang ditinggal mati suaminya.
Bilal membawa Shafiyyah dan putri pamannya menghadap Nabi saw.. Di sepanjang
jalan yang dilaluinya terlihat mayat-mayat tentara kaumnya yang dibunuh. Hati Shafiyyah
sangat sedih melihat keadaan itu, apalagi jika mengingat bahwa dirinya menjadi tawanan
kaum muslimin. Rasulullah saw. memahami kesedihan yang dialaminva, kemudian beliau
bersabda kepada Bilal, “Sudah hilangkah rasa kasih sayang dihatimu, wahai Bilal, sehingga
engkau tega membawa dua orang wanita ini melewati mayat-mayat suami mereka?”
Rasulullah saw. rnemilih Shafiyyah sebagai istri setelah terlebih dahulu menawarkan Islam
kepadanya dan kemudian diterirnanya.
Seperti telah dikaji di atas, Shafiyyah telah banyak memikirkan Rasulullah Muhammad
SAW sejak dia belum mengetahui kerasulan beliau. Keyakinannya bertambah besar setelah
dia mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Anas r a. berkata, “Rasulullah ketika
hendak menikahi Shafiyyah binti Huyay bertanya kepadanya, ‘Adakah sesuatu yang engkau
ketahui tentang diriku?’ Dia menjawab, ‘Ya Rasulullah, aku sudah rnengharapkanrnu sejak
aku masih musyrik, dan memikirkan seandainya Allah mengabulkan keinginanku itu ketika
aku sudah memeluk Islam.” Ungkapan Shafiyyah tersebut menunjukkan rasa percayanya
kepada Rasulullah dan rindunya terhadap Islam.
Bukti-bukti yang jelas tentang keimanan Shafiyyah dapat terlihat ketika dia
memimpikan sesuatu dalam tidurnya kemudian dia ceritakan mimpi itu kepada suaminya.
Mengetahui takwil dan mimpi itu, suaminya marah dan menampar wajah Shafiyyah sehingga
berbekas di wajahnya. Rasulullah melihat bekas di wajah Shafiyyah dan bertanya, “Apa ini?”
Dia menjawab, “Ya Rasul, suatu malam aku bermimpi melihat bulan muncul di Yastrib,
kemudian jatuh di kamarku. Lalu aku ceritakan mimpi itu kepada suamiku, Kinanah. Dia
berkata, ‘Apakah engkau suka menjadi pengikut raja yang datang dari Madinah?’ Kemudian
dia menampar wajahku.”

Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah saw. menikahi Shafiyyah dan kebebasannya menjadi mahar perkawinan
dengannya. Pernikahan beliau dengan Shafiyyah didasari beberapa landasan. Shafiyyah
telah mernilih Islam serta menikah dengan Rasulullah ketika beliau memberinya pilihan
antara memeluk Islam dan menikah dengan beliau atau tetap dengan agamanya dan
dibebaskan sepenuhnya. Ternyata Shafiyyah memilih untuk tetap bersama Nabi, Selain itu,
Shafiyyah adalah putri pemimpin Yahudi yang sangat membahayakan kaum muslimin, di
samping itu, juga karena kecintaannya kepada Islam dan Nabi Muhammad saw.
Nabi saw. menghormati Shafiyyah sebagaimana hormatnya beliau terhadap istri-istri
yang lain. Akan tetapi, istri-istri beliau menyambut kedatangan Shafiyyah dengan wajah sinis
karena dia adalah orang Yahudi, di samping juga karena kecantikannya yang menawan.
Akibat sikap mereka, Rasulullah pernah tidak tidur dengan Zainab binti Jahsy karena kata-
kata yang dia lontarkan tentang Shafiyyah. Aisyah bertutur tentang peristiwa tersebut,
“Rasulullah saw. tengah dalam perjalanan. Tiba-tiba unta Shafiyyah sakit, sementara unta
Zainab berlebih. Rasulullah berkata kepada Zainab, ‘Unta tunggangan Shafiyyah sakit,
maukah engkau memberikan salah satu dari untamu?’ Zainab menjawab, ‘Akankah aku
memberi kepada seorang perempuan Yahudi?’ Akhirnya, beliau meninggalkan Zainab pada
bulan Dzulhijjah dan Muharam. Artinya, beliau tidak mendatangi Zainab selama tiga bulan.
Zainab berkata, ‘Sehingga aku putus asa dan aku mengalihkan tempat tidurku.” Aisyah
mengatakan lagi, “Suatu siang aku melihat bayangan Rasulullah datang. Ketika itu Shafiyyah
mendengar obrolan Hafshah dan Aisyah tentang dirinya dan mcngungkit-ungkit asal-usul
dirinya. Betapa sedih perasannya. Lalu dia mengadu kepada Rasulullah sambil menangis.
Rasulullah menghiburnya, ‘Mengapa tidak engkau katakan, bagaimana kalian berdua lebih
baik dariku, suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa.” Di dalam hadits

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


riwayat Tirmidzi juga disebutkan, “Ketika Shafiyyah mendengar Hafshah berkata, ‘Perempuan
Yahudi!’ dia menangis, kemudian Rasulullah menghampirinya dan berkata, ‘Mengapa cngkau
menangis?’ Dia menjawab, ‘Hafshah binti Umar mengejekku bahwa aku wanita Yahudiah.’
Rasulullah saw. bersabda, ‘Engkau adalah anak nabi, pamanmu adalah nabi, dan kini engkau
berada di bawah perlindungan nabi. Apa lagi yang dia banggakan kepadamu?’ Rasulullah
saw. kemudian berkata kepada Hafshah, ‘Bertakwalah engkau kepada Allah, Hafshah!”
Salah satu bukti cinta Hafshah kepada Nabi terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Saad dalarn Thabaqta-nya tentang istri-istri Nabi yang berkumpul menjelang beliau wafat.
Shafiyyah berkata, “Demi Allah, ya Nabi, aku ingin apa yang engkau derita juga menjadi
deritaku.” Istri-istri Rasulullah memberikan isyarat satu sama lain. Melihat hal yang demikian,
beliau berkata, “Berkumurlah!” Dengan terkejut mereka bertanya, “Dari apa?” Beliau
menjawab, “Dari isyarat mata kalian terhadapnya. Demi Allah, dia adalah benar.”
Setelah Rasulullah wafat, Shafiyyah merasa sangat terasing di tengah kaum muslimin karena
mereka selalu menganggapnya berasal dan Yahudi, tetapi dia tetap komitmen terhadap Islam
dan mendukung perjuangan Nabi saw. Ketika terjadi fitnah besar atas kematian Utsrnan bin
Affan, dia berada di barisan Utsman. Selain itu, dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi.
Dia wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Marwan bin Hakam
menshalatinya, kemudian menguburkannya di Baqi’. Semoga Allah memberinya tempat yang
lapang dan mulia di sisiNya. Amin.
(Dinukil dari buku Dzaujatur-Rasulullah SAW, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu,
Riyadh, [ed. Indonesia: Istri Rasulullah, Contoh dan Teladan, penerjemah: Ghufron Hasan,
penerbit Gema Insani Press, Cet. Ketiga, Jumadil Akhir 1420H)]

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


Maimunah binti al-Harits

Maimunah binti al-Harits al-Hilaliyah adalah istri Nabi yang sangat mencintai beliau
dengan tulus selama mengarungi bahtera numah tangga bersama. Dialah satu-satunya
wanita yang dengan ikhlas menyerahkan dirinya kepada kepada Rasulullah ketika
keluarganya hidup dalam kebiasaan jahiliah. Allah telah menurunkan ayat yang berhubungan
dengan dirinya:
“.. dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau
mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukminin…”
(QS. Al-Ahzab:50)

Ayat di atas merupakan kesaksian Allah terhadap ke ikhlasan Maimunah kepada Allah
dan Rasul-Nya. Bagaimana rnungkin Rasulullah menolak wanita yang dengan suka rela
menyerahkan dirinya. Hal itu menunjukkan kadar ketakwaan dan keimanan Maimunah.
Selain itu, wanita itu berasal dari keturunan yang baik. Kakak kandungnya, Ummul-Fadhal,
adalah istri Abbas bin Abdul-Muththalib (paman Nabi) dan wanita yang pertama kali memeluk
Islam setelah Khadijah r.a.. Saudara perempuan seibunya adalah Zainab binti Khuzaimah
(istri Nabi saw.), Asma binti Urnais (istri Ja’far bin Abu Thalib), dan Salma binti Umais (istri
Hamzah bin Abdul-Muththalib).

Nasab, Masa Pertumbuhan, dan Pernikahan


Nama lengkap Mairmnah adalah Barrah binti al-Harits bin Hazm bin Bujair bin Hazm
bin Rabiah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah. Ibunya bernama Hindun binti Aus
bin Zubai bin Harits bin Hamathah bin Jarsy.

Dalam keluarganya, Maimunah termasuk dalam tiga bersaudara yang memeluk Islam.
Ibnu Abbas meriwayatkan dari Rasulullah, “Al-Mu’minah adalah tiga bersaudara, yaitu
Maimunah, Ummu-Fadhal, dan Asma’.” Maimunah dilahirkan enam tahun sebelum masa
kenabian, sehingga dia mengetahui saat-saat orang-orang hijrah ke Madinah. Dia banyak
terpengaruh oleh peristiwa hijrah tersebut, dan juga banyak dipengaruhi kakak
perempuannya, Ummul-Fadhal, yang telah lebih dahulu memeluk Islam, namun dia
menyembunyikan keislamannya karena merasa bahwa lingkungannya tidak mendukung.

Tentang suaminya, banyak riwayat yang memperselisihkannya, namun ada juga


kesepakatan mereka tentang asal-usul suaminya yang berasal dan keluarga Abdul-Uzza
(Abu Lahab). Sebagian besar riwayat mengatakan bahwa nama suaminya adalah Abu Rahm
bin Abdul-Uzza, seorang muysrik yang mati dalam keadaan syirik. Suaminya meninggalkan
Maimunah sebagai janda pada usia 26 tahun.

Kekokohan Iman
Setelah suaminya meninggal, dengan leluasa Maimunah dapat menyatakan keimanan
dan kecintaannya kepada Rasulullah. Sehingga dengan suka rela dia menyerahkan dirinya
kepada Rasulullah untuk dinikahi sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hisyam dalam Al-
Ishabah-nya Ibnu Hajar dari referensi az-Zuhri.

Tentang penyerahan Maimunah kepada Nabi saw. ini telah dinyatakan dalam Al-
Qur’an surat al-Ahzab:50. Maimunah tinggal bersama saudara perempuannya, Ummul
Fadhal, istri Abbas bin Abdul Muththalib. Suatu ketika, kepada kakaknya, Maimunah
menyatakan niat penyerahan dirinya kepada Rasulullah. Ummul-Fadhal menyampaikan
berita itu kepada suaminya sehingga Abbas pun mengabarkannya kepada Rasulullah.
Rasulullah mengutus seseorang kepada Abbas untuk meminang Maimunah. Betapa
gembiranya perasaan Maimunah setelah mengetahui kesediaan Rasulullah menikahi dirinya.

Mimpi yang Menjadi Kenyataan


Pada tahun berikutnya, setelah perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah bersama kaum

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


muslimin memasuki Mekah untuk melaksanakan ibadah umrah. Sesuai dengan isi perjanjian
Hudaibiyah, Nabi diizinkan untuk menetap di sana selama tiga hari, namun orang-orang
Quraisy menolak permintaan Nabi dan kaum muslimin untuk berdiam di sana lebih dari tiga
hari. Kesempatan itu digunakan Rasulullah saw. Untuk melangsungkan pernikahan dengan
Maimunah. Setelah pernikahan itu, beliau dan kaum muslirnin rneninggalkan Mekah.

Maimunah mulai memasuki kehidupan rumah tangga Rasulullah dan beliau


menempatkannya di kamar tersendiri. Maimunah memperlakukan istri-istri beliau yang lain
dengan baik dan penuh hormat dengan tujuan mendapatkan kerelaan hati beliau semata.

Tentang Maimunah, Aisyah menggambarkannya sebagai berikut. “Demi Allah,


Maimunah adalah wanita yang baik kepada kami dan selalu menjaga silaturahmi di antara
kami.” Dia dikenal dengan kezuhudannya, ketakwaannya, dan sikapnya yang selalu ingin
mendekatkan diri kepada Allah. Riwayat-riwayat pun menceritakan penguasaan ilmunya yang
luas.

Saat Wafatnya
Pada masa pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, bertepatan dengan
perjalanan kembali dari haji, di suatu tempat dekat Saraf, Maimunah merasa ajalnya
menjelang tiba. Ketika itu dia berusia delapan puluh tahun, bertepatan dengan tahun ke-61
hijriah. Dia dimakamkan di tempat itu juga sebagaimana wasiat yang dia sampaikan. Menurut
sebagian riwayat, dia adalah istri Nabi yang terakhir meninggal. Semoga Allah memberi
tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.

(Dinukil dari buku Dzaujatur-Rasulullah SAW, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh, [ed.
Indonesia: Istri Rasulullah, Contoh dan Teladan, penerjemah: Ghufron Hasan, penerbit Gema Insani
Press, Cet. Ketiga, Jumadil Akhir 1420H)]

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


Maria al-Qibtiyyah

Maria al-Qibtiyyah, atau Maria si Koptik, (meninggal 637) adalah seorang budak
Kristen Koptik yang dikirimkan sebagai hadiah dari Muqawqis, seorang pegawai Bizantium,
kepada nabi Islam Muhammad pada tahun 628. Menurut sebagian tokoh Islam, dia juga
merupakan istri Muhammad, dan "Ibu Orang-Orang Mu'min" (Ummul Mu'min), sumber lain
seperti Ibnul Qayyim menyatakan bahwa dia hanya seorang selir. Dia merupakan ibu dari
putra Muhammad Ibrahim, yang meninggal ketika masih kecil. Sudaranya, Sirin, juga
dikirimkan kepada Muhammad; Muhammad kemudian memberikannya kepada pengikutnya
Hassan bin Tsabit. Maria tidak pernah menikah lagi setelah kematian Muhammad di tahun
632, dan dia meninggal lima tahun kemudian. Hari kelahirannya sampai saat ini tidak
diketahui. Juga, tidak ada sumber-sumber kuat yang menyebutkan usianya.

Tahun pengutusan
Pada tahun 6 SH (627 – 628 M), Muhammad disebutkan menulis surat kepada
pengusaha kaya Timur Tengah, yang membahas kepercayaan baru dan mengajak
pengusaha itu untuk bergabung. Apa yang merupakan isi dari bagian surat dapat ditemukan
dalam kitab Tarikh at-Tabari karya Muhammad bin Jarir at-Tabari, yang ditulis 250 tahun
setelah kejadian itu diriwayatkan. Tabari menulis bahwa seorang utusan dikirimkan kepada
Pemerintah Mesir, al-Muqawqis. Catatan dalam edisi State University of New York karya Tabari
menjelaskan bahwa hal tersebut tampak sama dengan versi Koresh dari Kaukasus, yang
merupakan Partiark Bizantium dari Alexandria. Catatan tersebut menambahkan bahwa
Koresh tidak menjadi Patriark hingga tahun 631, dan sebuah laporan yang menyatakan
bahwa ia ditempatkan di Mesir tiga hingga empat tahun lebih awal masih dipertanyakan.
Tabari, walaupun begitu, mengulang kedatangan Maria dari Mesir:
Di tahun ini, Hātib b. Abi Balta'ah kembali dari al-Muqawqis membawa Māriyah dan
saudaranya Sīrīn, bagal betinyanya Duldul, dan keledainya Ya'fūr, dan pakaian-
pakaian. Dengan dua wanita al-Muqawqis, telah dikirimkan kepadanya seorang
kasim, dan surat tersebut ada padanya. Hātib telah mengajaknya masuk Islam
sebelum akhirnya tiba bersama mereka, dan begitu pula Māriyah saudaranya.
Rasulullah menempatkan mereka untuk sementara dengan Ummu Sulaym binti
Milhān. Māriyah sangat cantik. Nabi mengirim saudaranya Sīrīn kepada Hassān
bin Tsābit dan dia melahirkan 'Abdul Rahmān bin Hassān.

—Tabari, Tarikh at-Tabari.[2]

Maria dalam rumah tangga Muhammad


Banyak sumber Muslim mengatakan bahwa Muhammad kemudian memerdekakan
dan menikahi Maria, namun ini tidak jelas apakah ini fakta historis atau apologi historis.
Masalah lain, budak tidak secara otomatis merdeka karena masuk Islam, sehingga hal ini
tidak begitu jelas mengapa Maria harus dimerdekakan jika dia siap diislamkan.
Muhammad tinggal dalam rumah bata lumpur dekat dengan masjid Madinah, dan
setiap istrinya memiliki ruang tersendiri dalam rumah bata itu, yang dibangun dalam bentuk
barisan yang dekat dengan ruangannya. Maria, walau begitu, tetap ditempatkan di rumah di
tepi Madinah. Maria juga tidak dikategorikan sebagai istri dalam beberapa sumber paling
awal, seperti dalam catatan Ibnu Hisyam dalam Sirah Ibnu Ishaq. Sumber-sumber Muslim
sepakat bahwa dia merupakan kehormatan yang sama yang menjadi istri Muhammad,
dengan anggapan bahwa dia diberi gelar yang sama seperti istri-istri Muhammad lain – "Ibu
orang-orang Mu'min."
Maria memberikan Muhammad seorang putra, Ibrahim bin Muhammad. Hanya satu
istri Muhammad lainnya, Khadijah yang telah meninggal, telah memberikannya anak. Ibrahim
meninggal ketika masih dalam masa pertumbuhan. Perhatian Muhammad terhadap Maria
diyakini menyebabkan kecemburuan diantara istri-istri lain. Hal itu tidak dapat teratasi hingga

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.


turunnya surah ke-66 dalam Al-Qur'an dengan subyek Maria. Berikut ini adalah bagian surah
tersebut:
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya
bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu
sekalian membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah Pelindungmu dan
Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan ingatlah ketika Nabi
membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafshah)
suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada
Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah
dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian
(yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain
(kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan
(antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya, "Siapakah yang telah
memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab, "Telah diberitahukan
kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". Jika kamu
berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah
condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu
menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu
pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-
malaikat adalah penolongnya pula. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi
Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik
daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang
mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.

—At-Tahrim [66]:1–5

Teladan Istri-istri Nabi Muhammad saw.

Anda mungkin juga menyukai