Anda di halaman 1dari 14

Berikut ini kita tampilkan nama-nama Istri Nabi Muhammad SAW beserta sekilas

penjelasannya:

1. SITI KHADIJAH: Nabi mengawini Khadijah ketika Nabi masih berumur 25 tahun,
sedangkan Khadijah sudah berumur 40 tahun. Khadijah sebelumnya sudah menikah 2 kali
sebelum menikah dengan Nabi SAW. Suami pertama Khadijah adalah Aby Haleh Al Tamimy
dan suami keduanya adalah Oteaq Almakzomy, keduanya sudah meninggal sehingga
menyebabkan Khadijah menjadi janda. Lima belas tahun setelah menikah dengan Khadijah, Nabi
Muhammad SAW pun diangkat menjadi Nabi, yaitu pada umur 40 tahun. Khadijah meninggal
pada tahun 621 A.D, dimana tahun itu bertepatan dengan Mi’raj nya Nabi Muhammad SAW ke
Surga. Nabi SAW sangatlah mencintai Khadijah. Sehingga hanya setelah sepeninggalnya
Khadijah lah Nabi SAW baru mau menikahi wanita lain.

2. SAWDA BINT ZAM’A: Suami pertamanya adalah Al Sakran Ibn Omro Ibn Abed Shamz,
yang meninggal beberapa hari setelah kembali dari Ethiophia. Umur Sawda Bint Zam’a sudah 65
tahun, tua, miskin dan tidak ada yang mengurusinya. Inilah sebabnya kenapa Nabi SAW
menikahinya.

3. AISHA SIDDIQA: Seorang perempuan bernama Kholeah Bint Hakeem menyarankan agar
Nabi SAW mengawini Aisha, putri dari Aby Bakrs, dengan tujuan agar mendekatkan hubungan
dengan keluarga Aby Bakr. Waktu itu Aishah sudah bertunangan dengan Jober Ibn Al Moteam
Ibn Oday, yang pada saat itu adalah seorang Non-Muslim. Orang-orang di Makkah tidaklah
keberatan dengan perkawinan Aishah, karena walaupun masih muda, tapi sudah cukup dewasa
untuk mengerti tentang tanggung jawab didalam sebuah perkawinan. Nabi Muhammad SAW
bertunangan dulu selama 2 tahun dengan Aishah sebelum kemudian mengawininya. Dan
bapaknya Aishah, Abu Bakr pun kemudian menjadi khalifah pertama setelah Nabi SAW
meninggal.

4. HAFSAH BINT UMAR: Hafsah adalah putri dari Umar, khalifah ke dua. Pada mulanya,
Umar meminta Usman mengawini anaknya, Hafsah. Tapi Usman menolak karena istrinya baru
saja meninggal dan dia belum mau kawin lagi. Umar pun pergi menemui Abu Bakar yang juga
menolak untuk mengawini Hafsah. Akhirnya Umar pun mengadu kepada nabi bahwa Usman dan
Abu Bakar tidak mau menikahi anaknya. Nabi SAW pun berkata pada Umar bahwa anaknya
akan menikah demikian juga Usman akan kawin lagi. Akhirnya, Usman mengawini putri Nabi
SAW yiatu Umi Kaltsum, dan Hafsah sendiri kawin dengan Nabi SAW. Hal ini membuat Usman
dan Umar gembira.

5. ZAINAB BINT KHUZAYMA: Suaminya meninggal pada perang UHUD, meninggalkan dia
yang miskin dengan beberapa orang anak. Dia sudah tua ketika nabi SAW mengawininya. Dia
meninggal 3 bulan setelah perkawinan yaitu pada tahun 625 A.D.

6. SALAMA BINT UMAYYA: Suaminya, Abud Allah Abud Al Assad Ibn Al Mogherab,
meninggal dunia, sehingga meninggalkan dia dan anak-anaknya dalam keadaan miskin. Dia saat
itu berumur 65 tahun. Abu Bakar dan beberapa sahabat lainnya meminta dia mengawini nya, tapi
karena sangat cintanya dia pada suaminya, dia menolak. Baru setelah Nabi Muhammad SAW
mengawininya dan merawat anak-anaknya, dia bersedia.
7. ZAYNAB BINT JAHSH: Dia adalah putri Bibinya Nabi Muhammad SAW, Umamah binti
Abdul Muthalib. Pada awalnya Nabi Muhammad SAW sudah mengatur agar Zaynab mengawini
Zayed Ibn Hereathah Al Kalby. Tapi perkawinan ini kandas ndak lama, dan Nabi menerima
wahyu bahwa jika mereka bercerai nabi mesti mengawini Zaynab (surat 33:37).

8. JUAYRIYA BINT AL-HARITH: Suami pertamanya adalah Masafeah Ibn Safuan. Nabi
Muhammad SAW menghendaki agar kelompok dari Juayreah (Bani Al Mostalaq) masuk Islam.
Juayreah menjadi tahanan ketika Islam menang pada perang Al-Mustalaq (Battle of Al-
Mustalaq). Bapak Juayreyah datang pada Nabi SAW dan memberikan uang sebagai penebus
anaknya, Juayreyah. Nabi SAW pun meminta sang Bapak agar membiarkan Juayreayah untuk
memilih. Ketika diberi hak untuk memilih, Juayreyah menyatakan ingin masuk islam dan
menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah yang terakhir. Akhirnya Nabi
pun mengawininya, dan Bani Almustalaq pun masuk islam.

9. SAFIYYA BINT HUYAYY: Dia adalah dari kelompok Jahudi Bani Nadir. Dia sudah
menikah dua kali sebelumnya, dan kemudian menikahi Nabi SAW. Cerita nya cukup menarik,
mungkin Insya Allah disampaikan terpisah.

10. UMMU HABIBA BINT SUFYAN: Suami pertamanya adalah Aubed Allah Jahish. Dia
adalah anak dari Bibi Rasulullah SAW. Aubed Allah meninggak di Ethiopia. Raja Ethiopia pun
mengatur perkawinan dengan Nabi SAW. Dia sebenarnya menikah dengan nabi SAW pada 1
AH, tapi baru pada 7 A.H pindah dan tinggal bersama Nabi SAW di Madina, ketika nabi 60
tahun dan dia 35 tahun.

11. MAYMUNA BINT AL-HARITH: Dia masih berumur 36 tahun ketika menikah dengan
Nabi Muhammad SAW yang sudah 60 tahun. Suami pertamanya adalah Abu Rahma Ibn Abed
Alzey. Ketika Nabi SAW membuka Makkah di tahun 630 A.D, dia datang menemui Nabi SAW,
masuk Islam dan meminta agar Rasullullah mengawininya. Akibatnya, banyaklah orang Makkah
merasa terdorong untuk merima Islam dan nabi SAW.

12. MARIA AL-QABTIYYA: Dia awalnya adalah orang yang membantu menangani
permasalahan dirumah Rasullullah yang dikirim oleh Raja Mesir. Dia sempat melahirkan
seorang anak yang diberi nama Ibrahim. Ibrahim akhirnya meninggal pada umur 18 bulan. Tiga
tahun setelah menikah, Nabi SAW meninggal dunia, dan Maria (thx buat Joan) akhirnya
meninggal 5 tahun kemudian, tahun 16 A.H. Waktu itu, Umar bin Khatab yang menjadi Iman
sholat Jenazahnya, dan kemudian dimakamkan di Al-Baqi.

Khodijah binti Khuwailid


Istri Yang Tercinta
Wahai Muslimah…
Mengapa kita harus mencari panutan yang lain,
Kalau di hadapan kita ada sosok yang paling baik,
dan Mulia Ibu bagi orang Mukminin…
Istri yang setia lagi Taat…
Sebagai penentram hati sang suami…
dan sebaik-baik teladan bagi kaum wanita…

Simaklah sabda Rasulullah :


“Sebaik-baik wanita ialah Maryam binti Imran. Sebaik-baik wanita ialah Khadijah binti
Khuwailid. (HR Muslim dari Ali bin Abu Thalib radiyallahu ‘anhu).

“Dan sebaik -baik wanita dalam masanya adalah Khadijah”

Dialah Khadijah binti Khuwailid istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pertama. Ia
lahir pada tahun 68 sebelum Hijrah. Hidup dan tumbuh serta berkembang dalam suasana
keluarga yang terhormat dan terpandang, berakhlak mulia, terpuji, berkemauan tinggi, serta
mempunyai akal yang suci, sehingga pada zaman jahiliyah diberi gelar “Ath-Thahirah”.

Khadijah adalah wanita kaya yang hidup dari usaha perniagaan. Dan untuk menjalankan
perniagaannya itu ia memiliki beberapa tenaga laki-laki, diantaranya adalah Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam (sebelum beliau menjadi suaminya).

Sebenarnya Khadijah adalah wanita janda yang telah menikah dua kali. Pertama ia menikah
dengan Zurarah At-Tamimi dan yang kedua menikah dengan Atid bin Abid Al-Makhzumi. Dan
masing-masing wafat dengan meninggalkan seorang putera.

Pada masa jandanya, banyak tokoh Quraisy yang ingin mempersuntingnya. Namun ia selalu
menolaknya. Dibalik semua itu, Allah memang telah mempersiapkan Khadijah binti khuwailid
untuk menjadi pendamping Rasul-Nya yang terakhir, yakni Muhammad bin Abdullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk pembela dan penolong risalah yang beliau sampaikan.

Pada usianya yang ke empat puluh, beliau menikah dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam, pada waktu itu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam belum diangkat
menjadi rasul dan baru berusia 25 tahun.

Perbedaan usia tidaklah menimbulkan permasalahan bagi rumah tangga Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu membentuk
rumah tangga dengannya tidak mempunyai isteri yang lainnya.

Pernikahannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikaruniai beberapa putera oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu Qosim, Abdullah, Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum dan
Fathimah. Namun putera beliau yang laki-laki meninggal dunia sebelum dewasa.

Suatu hari Khadijah mendapatkan suaminya pulang dalam keadaan gemetaran. Terpancar dari
raut wajahnya kekhawatiran dan ketakutan yang sangat besar.

“Selimuti aku!…., Selimuti aku!…, “ seru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
isterinya. Demi melihat kondisi yang seperti itu, tidaklah membuat Khodijah menjadi panik.
Kemudian diselimuti dan dicoba untuk menenangkan perasaan suaminya. Rasul pun segera
menceritakan pada istrinya, kini tanpa disadarinya, tahulah ia bahwa suaminya adalah utusan
Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan tenang dan lemah lembut, Khadijah berkata : ”Wahai putera
pamanku, Demi Allah, dia tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sesungguhnya
engkau termasuk orang yang selalu menyambung tali persaudaraan, berkata benar, setia memikul
beban, menghormati dan suka menolong orang lain”. Tutur kata manis dari sang istri menjadikan
beliau lebih percaya diri dan tenang. Khadijah, …sungguh mulia akhlaqmu.

Diawal permulaan Islam, peranan Khadijah tidaklah sedikit. Dengan setia ia menemani suaminya
dalam menyampaikan Risalah yang diemban oleh beliau dari Rabb Subhanahu wa Ta’ala.
Wanita pertama yang beriman kepada Allah ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajaknya menuju jalan Rabb-Nya. Dia yang membantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam mengibarkan bendera Islam. bersama Rasulullah sebagai angkatan pertama.
Dengan penuh semangat, Khadijah turut berjihad dan berjuang, mengorbankan harta, jiwa, dan
berani menentang kejahilan kaumnya.

Khadijah seorang yang senantiasa menentramkan dan menghibur Rasul disaat kaumnya
mendustakan risalah yang dibawa. Seorang pendorong utama bagi Rasul untuk selalu giat
berda’wah, bersemangat dan tidak pantang menyerah. Ia juga selalu berusaha meringankan
beban berat di pundak Rasul. Perhatikan pujian Rasul terhadap Khadijah :
“Dia (Khadijah) beriman kepadaku disaat orang-orang mengingkari. Ia membenarkanku disaat
orang mendustakan. Dan ia membantuku dengan hartanya ketika orang-orang tiada mau”. (HR.
Ahmad, Al-Isti’ab karya Ibnu Abdil Ba’ar)

Kebijakan, kesetiaan dan berbagai kebaikan Khadijah tidak pernah lepas dari ingatan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan sampai Khadijah meninggal. Ia benar-benar seorang istri
yang mendapat tempat tersendiri di dalam hati Rasulullah shallallalhu ‘alaihi wa sallam. Betapa
kasih beliau kepada Khadijah, dapat kita simak dari ucapan ‘Aisyah . “Belum pernah aku
cemburu terhadap istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana cemburuku pada
Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya. Tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu
menyebut-nyebut namanya, bahkan adakalanya menyembelih kambing dan dibagikannya kepada
kawan-kawan Khadijah. Bahkan pernah saya tegur, seakan-akan di dunia tidak ada wanita selain
Khadijah, lalu Nabi menyebut beberapa kebaikan Khadijah, dia dahulu begini dan begitu, selain
itu, aku mendapat anak daripadanya.”

Khadijah binti Khuwailid, wafat tiga tahun sebelum hijrah dalam usia 65 tahun. Kepergiaannya
membuat kesedihan yang sangat mendalam di hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
maupun umat Islam. Ia pergi menghadap Rabb-Nya dengan meninggalkan banyak kebaikan yang
tak terlupakan.

Itulah Khadijah binti Khuwailid, yang Allah pernah menyampaikan peghormatan (salam)
kepadanya dan Allah janjikan untuknya sebuah rumah di Syurga. Sebagaimana telah disebut
dalam hadist dari Abu Hurairah: “Jibril datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
berkata: “Wahai Rasulullah, ini Khadijah datang kepada engkau dengan membawa bejana berisi
lauk pauk atau makanan atau minuman. Apabila ia datang kepadamu, sampaikanlah salam
kepadanya dari Tuhannya Yang Maha Mulia lagi Maha Agung dan juga dariku dan kabarkanlah
berita gembira kepadanya mengenai sebuah rumah di surga yang terbuat dari mutiara di
dalamnya tidak ada keributan dan kesusahan.” (HR Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu
‘anhu).

Wahai orang yang terperdaya, .. istana tersebut lebih baik dari pada gemerlapnya dunia yang
telah memperdayakanmu. Dan ini adalah sebaik-baik kabar gembira dibanding dunia dan segala
isinya. Tidakkah kalian ingin mendapatkannya pula?

Mudah-mudahan Allah memberikan balasan kepada Khadijah atas segala jasa dan kebaikanya
dalam membela agama dan Rasul-Nya dengan balasan yang sebaik-baiknya, penuh kenikmatan
dan kecemerlangan di dalam “istananya”.

disunting dari Khodijah binti Khuwailid

Aisyah binti Abu Bakar


Hari-hari indah bersama kekasih Allah dilalui dengan singkatnya ketabahan menghiasi
kesendiriannya guru besar bagi kaumnya pendidikan kekasih Allah telah menempanya.

Dia adalah putri Abu Bakar Ash-Shiddiq , yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih
suka memanggilnya “Humaira”. ‘Aisyah binti Abu Bakar Abdullah bin Abi Khafafah berasal
dari keturunan mulia suku Quraisy.

Ketika umur 6 tahun, gadis cerdas ini dipersunting oleh manusia termulia Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berdasarkan perintah Allah melalui wahyu dalam mimpi beliau.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan mimpi beliau kepada ‘Aisyah :”Aku
melihatmu dalam mimpiku selama tiga malam, ketika itu datang bersamamu malaikat yang
berkata : ini adalah istrimu. Lalu aku singkap tirai yang menyembunyikan wajahmu , lalu aku
berkata sesungguhnya hal itu telah ditetapkan di sisi Allah.” (Muttafaqun ‘alaihi dari ‘Aisyah
radilayallahu ‘anha)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha memulai hari-harinya bersama Rasulullah sejak berumur 9 tahun.
Mereka mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga yang diliputi suasana Nubuwwah. Rumah
kecil yang disamping masjid itu memancarkan kedamaian dan kebahagiaan walaupun tanpa
permadani indah dan gemerlap lampu yang hanyalah tikar kulit bersih sabut dan lentera kecil
berminyak samin (minyak hewan).

Di rumah kecil itu terpancar pada diri Ummul Mukminin teladan yang baik bagi istri dan ibu
karena ketataatannya pada Allah, rasul dan suaminya. Kepandaian dan kecerdasannya dalam
mendampingi suaminya, menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat
mencintainya. Aisyah menghibur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintainya.
Aisyah menghibur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedih, menjaga kehormatan
diri dan harta suami tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berda’wah di jalan Allah.
Aisyah radhiyallahu ‘anha juga melalui hari-harinya dengan siraman ilmu dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga ribuan hadist beliau hafal.

Aisyah radhiyallahu ‘anha juga ahli dalam ilmu faraid (warisan dan ilmu obat-obatan). Urmah
bin Jubair putra Asma binti Abu Bakar bertanya kepada Aisya radhiyallahu ‘anha :” Wahai bibi,
dari mana bibi mempelajari ilmu kesehatan?.” Aisyah menjawab :”Ketika aku sakit, orang lain
mengobatiku, dan ketika orang lain sakit aku pun mengobatinya dengan sesuatu. Selain itu, aku
mendengar dari orang lain, lalu aku menghafalnya.”

Selain keahliannya itu, Aisyah juga seorang wanita yang menjaga kesuciannya. Seperti kisah
beliau sepulang dari perang Hunain, yang dikenal dengan haditsul ifqi. Ketika mendekati kota
Madinah, beliau kehilangan perhiasan yang dipinjam dari Asma. Lalu dia turun untuk mencari
perhiasan itu. Rombongan Rasulullah dan para sahabatnya berangkat tanpa menyadari bahwa
Aisyah tertinggal. Aisyah menanti jemputan, dan tiba-tiba datanglah Sufyan bin Muathal seorang
tentara penyapu ranjau. Melihat demikian, Sufyan menyabut Asma Allah lalu Sufyan turun dan
mendudukkan kendaraanya tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya kemudian Aisyah naik
kendaraan tersebut dan Sufyan menuntun kendaraan tersebut dengan berjalan kaki. Dari kejadian
ini, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya menyebarkan kabar bohong untuk memfitnah
ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha. Fitnah ini menimbulkan goncangan dalam rumah
tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi Allah yang Maha Tahu berkehendak
menyingkap berita bohong tersebut serta mensucikan beliau dalam Al-Qur’anul Karim dalam
surat An-Nur ayat 11-23.

Diantara kelebihan beliau yang lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih untuk
dirawat di rumah Aisyah dalam sakit menjelang wafatnya. Hingga akhirnya Rasulullah wafat di
pangkuan Aisyah dan dimakamkan dirumahnya tanpa meninggalkan harta sedikitpun. Ketika itu
Aisyah radhiyallahu ‘anha berusia 18 tahun. Sepeninggal Rasulullah, Aisyah mengisi hari-
harinya dengan mengajarkan Al-Qur’an dan Hadits dibalik hijab bagi kaum laki-laki pada
masanya.

Dengan kesederhanaannya, beliau juga menghabiskan hari-harinya dengan ibadah kepada Allah,
seperti puasa Daud. Kesederhanaan juga nampak ketika kaum muslimin mendapatkan kekayaan
dunia, beliau mendapatkan 100.000 dirham. Saat itu beliau berpuasa, tetapi uang itu semua
disedekahkan tanpa sisa sedikitpun. Pembantu wanitanya mengingatkan beliau :”Tentunya
dengan uang itu anda bisa membeli daging 1 dirham buat berbuka?” Aisyah menjawab : ”Andai
kamu mengatakannya tadi, tentu kuperbuat.”

Begitulah beliau yang tidak gelisah dengan kefakiran dan tidak menyalahgunakan kekayaan
kezuhudannya terhadap dunia menambah kemuliaan.

Disunting dari : Aisyah binti Abu Bakar

Saudah binti Zam’ah


Namanya menggoreskan tinta emas dalam lembaran sejarah kaum muslimin. Dia wanita yang
tabah. Keinginan menjadi pendamping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai wafatnya
adalah bukti kesetiannya terhadap beliau. Dia adalah Saudah binti Zam’ah. Aku ingin sekali
menjadi dirinya.

Saudah menikah pertama kali dengan Sakran bin Amr, saudara laki-laki Suhaili bin Amr Al-
Amiri. Ia bersama suaminya adalah termasuk kelompok kaum muslimin yang berjumlah 8 orang
dari Bani Amir yang hijrah ke Habasyah dengan meninggalkan harta-harta mereka. Mereka
arungi laut penderitaan diatas keridhaan, rela atas kematian yang akan menghadangnya, demi
kemenangan agama yang mulia ini. Dan sungguh bertambah keras siksa dan kesempitan yang
dialaminya karena penolakan mereka terhadap kesasatan dan kesyirikan.

Tak lama kemudian setelah berakhirnya pengujian pengungsian di negeri Habasyah, ujian yang
lainpun datang. Saudah harus kehilangan suaminya menghadap Sang Khaliq selama-lamanya.
Maka jadilah ia seorang janda seiring dengan usianya yang mulai menapaki masa senja.

Hari-hari duka dilalui dengan ketabahan. Dan inilah yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam merasa terkesan kepadanya serta bersedia membantu Saudah tak ubahnya seperti masa
kedukaan yang dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak meninggalnya Khadijah
Ummul Mukminin Ath-Thahirah. Wanita pertama yang beriman dikala manusia berada dalam
kekafiran, yang mendermakan hartanya ketika manusia menahannya, dan melalui dialah Allah
anugerahkan seorang putera.

Namun setelah masa-masa itu datanglah Khaulah binti Hakim kepada Rasulullah seraya
bertanya:”Tidakkah engkau ingin menikah lagi, Ya Rasulullah?.” Dengan suara sedih dan duka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :”Siapakah yang akan menjadi istriku setelah
Khadijah, ya Khaulah?” Khaulah berkata lagi :”Terserah padamu , ya Rasulullah.., engkau
menginginkan yang gadis atau yang janda”. “Siapakah yang masih perawan?”, tanya Rasulullah
kepada Khaulah. Khaulah pun menjawab :”Anak perempuan dari orang yang paling engkau
cintai, ‘Aisyah binti Abu Bakar”. “Dan siapakah kalau janda?” tanya beliau. Khaulah menjawab:
“Ia adalah Saudah binti Zam’ah, yang ia beriman kepadamu dan mengikutimu atas apa-apa yang
kamu ada padanya”.

Akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
dan tidak lama kemudian beliau menikahi Saudah menjadi pendamping kedua bagi beliau.
Kehadirannya sebagai istri dalam rumah tangga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu
membahagiakan hati beliau. Dan Saudah hidup bersendirian dengan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sekitar tiga tahun lebih. Beliau membantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan putri-putri beliau.

Setelah selama tiga tahun baru kemudian datang lah ‘Aisyah ke rumah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan disusul istri-istri beliau yang lain seperti Hafshah, Zainab Ummu Salamah,
dan lainnya.

Saudah memahami bahwa pernikahannya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam didasari
karena rasa iba beliau kepadanya setelah kematian suaminya. Semua itu menjadi jelas ketika
Nabi ingin menceraikannya secara baik-baik, sehingga ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyampaikan tentang keinginannya untuk talak (thalaq) Saudah, maka Saudah merasa
se-akan-akan berada dalam mimpi yang buruk yang menyesakkan dadanya. Ia tetap ingin
menjadi istri Sayyidul Mursalin sampai Allah membangkitkannya dirinya di hari kiamat kelak.
Dengan suara yang lembut ia berbisik kepada suaminya: “Tahanlah aku, wahai Rasulullah dan
demi Allah, aku berharap Allah membangkitkan aku di hari Kiamat dalam keadaan aku sebagai
istrimu”. Kemudian ia memberikan hari-hari gilirannya untuk ‘Aisyah istri yang sangat disayangi
beliau.

Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperkenankan permintaan wanita yang


mempunyai perasaan baik ini. Sehingga Allah turunkan ayat tentang hal ini, yaitu dalam surat
An-Nisa ayat 128 :

ÝóáÇó ÌõäóÇÍó ÚóáóíúåöãóÇ Ãóäú íõÕúáöÍóÇ ÈóíúäóåõãóÇ ÕõáúÍðÇ æóÇáÕøõáúÍõ ÎóíúÑñ


“….maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik.”

Rasulullah bersabda : “Tidak ada seorang wanita pun yang paling aku senangi menjadi orang
sepertinya selain Saudah binti Zam`ah… (Hadis riwayat Muslim dari Aisyah radiyallahu ‘anha).

“Kata Saudah: Wahai Rasulullah, aku berikan hariku kepada Aisyah radliyallahu ‘anha. Jadi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi waktu kepada Aisyah radliyallahu ‘anha dua
hari, sehari miliknya sendiri dan sehari lagi pemberian Saudah.”(HR Muslim dari Aisyah
radliyallahu ‘anha)

Demikianlah Ummul Mukminin Saudah tinggal di rumah Nabi, dan beliau hari-harinya dengan
keridhaan, ketenangan dan rasa syukur kepada Allah sampai kepergiannya menghadap Rabbnya
dimasa pemerintahan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu.

Ummu al-Mukminin
Bagian dari serial Islam

Ummu al-Mu'minin
Para istri Muhammad

Khadijah binti Khuwaylid

Sawda binti Zam'ah

Aysyah binti Abu Bakr

Hafsa binti Umar


Zaynab binti Khuzayma

Ummu Salamah

Zaynab binti Jahsy

Juwayriya binti al-Harits

Ummu Habibah

Safiyya binti Huyayy

Maymuna binti al-Harits

Maryah binti Syama’un

[sunting] Khadijah binti Khuwailid


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Khadijah binti Khuwailid

Ia merupakan isteri Nabi Muhammad yang pertama. Sebelum menikah dengan Nabi, ia pernah
menjadi isteri dari Atiq bin Abid dan Abu Halah bin Malik dan telah melahirkan empat orang
anak, dua dengan suaminya yang bernama Atiq, yaitu Abdullah dan Jariyah, dan dua dengan
suaminya Abu Halah yaitu Hindun dan Zainab.

Berbagai riwayat memaparkan bahwa saat Muhammad s.a.w. menikah dengan Khadijah, umur
Khadijah berusia 40 tahun sedangkan Nabi hanya berumur 25 tahun. Tetapi menurut Ibnu Katsir,
seorang tokoh dalam bidang tafsir, hadis dan sejarah, mereka menikah dalam usia yang sebaya.
Nabi Muhammad s.a.w. bersama dengannya sebagai suami isteri selama 25 tahun yaitu 15 tahun
sebelum menerima wahyu pertama dan 10 tahun setelahnya hingga wafatnya Khadijah, kira-kira
3 tahun sebelum hijrah ke Madinah. Khadijah wafat saat ia berusia 50 tahun.

Ia merupakan isteri nabi Muhammad s.a.w. yang tidak pernah dimadu, karena semua isterinya
yang dimadu dinikahi setelah wafatnya Khadijah. Di samping itu, semua anak Nabi kecuali
Ibrahim adalah anak kandung Khadijah.

Maskawin dari nabi Muhammad s.a.w. sebanyak 20 bakrah dan upacara perkawinan diadakan
oleh ayahnya Khuwailid. Riwayat lain menyatakan, upacara itu dilakukan oleh saudaranya Amr
bin Khuwailid.

Pernikahannya dengan Khadijah menghasilkan keturunan hanya enam orang, yaitu: Al Qosim,
Zainab, Rukayah, Ummu Kultsum, Fatimah, dan Abdullah.

Al Qosim mendapat julukan Abul Qosim, sedangkan Abdullah mempunyai julukan at Thoyib at
Thohir yang berarti "Yang Bagus dan Lagi Suci".
[sunting] Sawdah binti Zam'ah
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sawdah binti Zam'ah

Nabi menikah dengan Sawdah setelah wafatnya Khadijah dalam bulan itu juga. Sawdah adalah
seorang janda tua. Suami pertamanya ialah al-Sakran bin Amr. Sawdah dan suaminya al-Sakran
adalah di antara mereka yang pernah berhijrah ke Habsyah. Saat suaminya meninggal dunia
setelah pulang dari Habsyah, maka Rasulullah telah mengambilnya menjadi isteri untuk memberi
perlindungan kepadanya dan memberi penghargaan yang tinggi kepada suaminya.

Acara pernikahan dilakukan oleh Salit bin Amr. Riwayat lain menyatakan upacara dilakukan
oleh Abu Hatib bin Amr. Maskawinnya ialah 400 dirham.

[sunting] Aisyah binti Abu Bakar


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Aisyah binti Abu Bakar

Akad nikah diadakan di Mekkah sebelum Hijrah, tetapi setelah wafatnya Khadijah dan setelah
nabi Muhammad menikah dengan Saudah. Ketika itu Aisyah berumur 6 tahun. Rasulullah tidak
bersama dengannya sebagai suami isteri melainkan setelah berhijrah ke Madinah. Ketika itu,
Aisyah berumur 9 tahun sementara nabi Muhammad berumur 53 tahun.

Aisyah adalah satu-satunya isteri rasulullah yang masih gadis pada saat dinikahi. Saat itu Aisyah
berumur 9. Upacara dilakukan oleh ayahnya Abu Bakar dengan maskawin 400 dirham. Hadits
mengenai umur St ‘Aisyah RA tatkala dinikahkan adalah problematis, alias dhaif. Beberapa
riwayat yang termaktub dalam buku-buku Hadits berasal hanya satu-satunya dari Hisyam ibn
‘Urwah yang didengarnya sendiri dari ayahnya. Mengherankan mengapa Hisyam saja satu-
satunya yang pernah menyuarakan tentang umur pernikahan St ‘Aisyah RA tersebut. Bahkan
tidak oleh Abu Hurairah ataupun Malik ibn Anas. Itupun baru diutarkan Hisyam tatkala telah
bermukim di Iraq. Hisyam pindah bermukim ke negeri itu dalam umur 71 tahun. Mengenai
Hisyam ini Ya’qub ibn Syaibah berkata: “Yang dituturkan oleh Hisyam sangat terpecaya, kecuali
yang disebutkannya tatkala ia sudah pindah ke Iraq.” Syaibah menambahkan, bahwa Malik ibn
Anas menolak penuturan Hisyam yang dilaporkan oleh penduduk Iraq (Tahzib alTahzib, Ibn
Hajar alAsqalani, Dar Ihya alTurath alIslami, jilid II, hal.50). Termaktub pula dalam buku
tentang sketsa kehidupan para perawi Hadits, bahwa tatkala Hisyam berusia lanjut ingatannya
sangat menurun (alMaktabah alAthriyyah, Jilid 4, hal.301). Alhasil, riwayat umur pernikahan St
‘Aisyah RA yang bersumber dari Hisyam ibn ‘Urwah, tertolak. Untuk selanjutnya terlebih
dahulu dikemukakan peristiwa secara khronologis: - pre 610 Miladiyah (M): zaman Jahiliyah -
610 M: Permulaan wahyu turun - 610 M: Abu Bakr RA masuk Islam - 613 M: Nabi Muhammad
SAW mulai menyiarkan Islam secara terbuka - 615 M: Ummat Islam Hijrah I ke Habasyah - 616
M: Umar bin al Khattab masuk Islam - 620 M: St ‘Aisyah RA dinikahkan - 622 M: Hijrah ke
Madinah - 623/624 M: St ‘Aisyah serumah sebagai suami isteri dengan Nabi Muhammad SAW
Menurut Tabari: Keempat anak Abu Bakr RA dilahirkan oleh isterinya pada zaman Jahiliyah,
artinya pre-610 M. (Tarikh alMamluk, alTabari, Jilid 4, hal.50). Tabari meninggal 922 M. Jika St
‘Aisyah dinikahkan dalam umur 6 tahun berarti St ‘Aisyah lahir tahun 613 M. Padahal manurut
Tabari semua keempat anak Abu Bakr RA lahir pada zaman Jahiliyah, yaitu pada tahun sebelum
610 M. Alhasil berdasar atas Tabari, St ‘Aisyah RA tidak dilahirkan 613 M melainkan sebelum
610. Jadi kalau St ‘Aisyah RA dinikahkan sebelum 620 M, maka beliau dinikahkan pada umur di
atas 10 tahun dan hidup sebagai suami isteri dengan Nabi Muhammad SAW dalam umur di atas
13 tahun. Jadi kalau di atas 13 tahun, dalam umur berapa? Untuk itu marilah kita menengok
kepada kakak perempuan St ‘Aisyah RA, yaitu Asmah. Menurut Abd alRahman ibn abi Zannad:
“Asmah 10 tahun lebih tua dari St ‘Aisyah RA (alZahabi, Muassasah alRisalah, Jilid 2, hal.289).
Menurut Ibn Hajar alAsqalani: Asmah hidup hingga usia 100 tahun dan meninggal tahun 73 atau
74 Hijriyah (Taqrib al Tahzib, Al-Asqalani, hal.654). Alhasil, apabila Asmah meninggal dalam
usia 100 tahun dan meninggal dalam tahun 73 atau 74 Hijriyah, maka Asma berumur 27 atau 28
tahun pada waktu Hijrah, sehingga St ‘Aisyah berumur (27 atau 28) - 10 = 17 atau 18 tahun pada
waktu Hijrah, dan itu berarti St ‘Aisyah mulai hidup berumah tangga dengan Nabi Muhammad
SAW pada waktu berumur 19 atau 20 tahun. WaLlahu a’lamu bishshawab.

[sunting] Hafshah binti Umar bin al-Khattab


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Hafshah binti Umar

Hafsah seorang janda. Suami pertamanya Khunais bin Hudhafah al-Sahmiy yang meninggal
dunia saat Perang Badar. Ayahnya Umar meminta Abu Bakar menikah dengan Hafsah, tetapi
Abu Bakar tidak menyatakan persetujuan apapun dan Umar mengadu kepada nabi Muhammad.
Kemudian rasulullah mengambil Hafsah sebagai isteri. Hafsah Binti Umar (wafat 45 H)

Hafshah binti Umar bin Khaththab adalah putri seorang laki-laki yang terbaik dan mengetahui
hak-hak Allah dan kaum muslimin. Umar bin Khaththab adalah seorang penguasa yang adil dan
memiliki hati yang sangat khusyuk. Pernikahan Rasulullah . dengan Hafshah merupakan bukti
cinta kasih beliau kepada mukminah yang telah menjanda setelah ditinggalkan suaminya,
Khunais bin Hudzafah as-Sahami, yang berjihad di jalan Allah, pernah berhijrah ke Habasyah,
kemudian ke Madinah, dan gugur dalam Perang Badar. Setelah suami anaknya meninggal,
dengan perasaan sedih, Urnar menghadap Rasulullah untuk mengabarkan nasib anaknya yang
menjanda. Ketika itu Hafshah berusia delapan belas tahun. Mendengar penuturan Umar,
Rasulullah memberinya kabar gembira dengan mengatakan bahwa beliau bersedia menikahi
Hafshah.

Jika kita menyebut nama Hafshah, ingatan kita akan tertuju pada jasa-jasanya yang besar
terhadap kaum muslimin saat itu. Dialah istri Nabi yang pertama kali menyimpan Al-Qur’an
dalam bentuk tulisan pada kulit, tulang, dan pelepah kurma, hingga kemudian menjadi sebuah
kitab yang sangat agung.

[sunting] Hindun binti Abi Umayyah (Ummu Salamah)


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Hindun binti Abi Umayyah

Salamah seorang janda tua mempunyai 4 anak dengan suami pertama yang bernama Abdullah
bin Abd al-Asad. Suaminya syahid dalam Perang Uhud dan saudara sepupunya turut syahid pula
dalam perang itu lalu nabi Muhammad melamarnya. Mulanya lamaran ditolak karena menyadari
usia tuanya. Alasan umur turut digunakannya ketika menolak lamaran Abu Bakar dan Umar al
Khattab.

Lamaran kali kedua nabi Muhammad diterimanya dengan maskawin sebuah tilam, mangkuk dari
sebuah pengisar tepung.
[sunting] Ramlah binti Abu Sufyan (Ummu Habibah)
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Hindun binti Abi Umayyah

Ummu Habibah seorang janda. Suami pertamanya Ubaidillah bin Jahsyin al-Asadiy. Ummu
Habibah dan suaminya Ubaidullah pernah berhijrah ke Habsyah. Ubaidullah meninggal dunia
ketika di rantau dan Ummu Habibah yang berada di Habsyah kehilangan tempat bergantung.

Melalui al Najashi, nabi Muhammad melamar Ummu Habibah dan upacara pernikahan
dilakukan oleh Khalid bin Said al-As dengan maskawin 400 dirham, dibayar oleh al Najashi bagi
pihak nabi.

[sunting] Juwayriyah (Barrah) binti Harits


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Juwayriyah binti Harits

Ayah Juwairiyah ialah ketua kelompok Bani Mustaliq yang telah mengumpulkan bala tentaranya
untuk memerangi nabi Muhammad dalam Perang al-Muraisi'.

Setelah Bani al-Mustaliq tewas dan Barrah ditawan oleh Tsabit bin Qais bin al-Syammas al-
Ansariy. Tsabit hendak dimukatabah dengan 9 tahil emas, dan Barrah pun mengadu kepada nabi.

Rasulullah bersedia membayar mukatabah tersebut, kemudian menikahinya.

[sunting] Shafiyah binti Huyay


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Shafiyah binti Huyay

Shafiyah anak dari Huyay, ketua suku Bani Nadhir, yaitu salah satu Bani Israel yang berdiam di
sekitar Madinah. Dalam Perang Khaibar, Shafiyah dan suaminya Kinanah bin al-Rabi telah
tertawan. Dalam satu perundingan setelah dibebaskan, Safiyah memilih untuk menjadi isteri nabi
Muhamad. Sofiah binti Huyai bin Akhtab (wafat 50 H).

Shafiyah memiliki kulit yang sangat putih dan memiliki paras cantik, menurut Ummu Sinan Al-
Aslamiyah, sehingga membuat cemburu istri-istri Muhammad yang lain. Bahkan ada istri
Muhammad dengan nada mengejek, mereka mengatakan bahwa mereka adalah wanita-wanita
Quraisy, wanita-wanita Arab sedangkan dirinya adalah wanita asing (Yahudi). Bahkan suatu
ketika Hafshah sampai mengeluarkan lisan kata-kata, ”Anak seorang Yahudi” hingga
menyebabkan Shafiyah menangis. Muhammad kemudian bersabda, “Sesungguhnya engkau
adalah seorang putri seorang nabi dan pamanmu adalah seorang nabi, suamimu pun juga seorang
nabi lantas dengan alasan apa dia mengejekmu?” Kemudian Muhammad bersabda kepada
Hafshah, “Bertakwalah kepada Allah wahai Hafshah!” Selanjutnya manakala dia mendengar
ejekan dari istri-istri nabi yang lain maka diapun berkata, “Bagaimana bisa kalian lebih baik
dariku, padahal suamiku adalah Muhammad, ayahku (leluhur) adalah Harun dan pamanku adalah
Musa?”[1] Shafiyah wafat tatkala berumur sekitar 50 tahun, ketika masa pemerintahan
Mu'awiyah.
[sunting] Zaynab binti Jahsy
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Zaynab binti Jahsy

Zaynab merupakan isteri Zaid bin Haritsah, yang pernah menjadi budak dan kemudian menjadi
anak angkat nabi Muhammad s.a.w. setelah dia dimerdekakan.

Hubungan suami isteri antara Zainah dan Zaid tidak bahagia karena Zainab dari keturunan mulia,
tidak mudah patuh dan tidak setaraf dengan Zaid. Zaid telah menceraikannya walaupun telah
dinasihati oleh nabi Muhammad s.a.w..

Upacara pernikahan dilakukan oleh Abbas bin Abdul-Muththalib dengan maskawin 400 dirham,
dibayar bagi pihak nabi Muhammad s.a.w.

[sunting] Zaynab binti Khuzaymah[2]


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Zaynab binti Khuzaymah

Zaynab putri Khuzaymah bin al-Harits bin Abdullah bin Amr bin Abdu Manaf bin Hilal bin
Amir bin Sha’sha’a bin Muawiyah. Dijuluki “Ibu orang-orang miskin” karena kedermawanannya
terhadap orang-orang miskin. Sebelumnya menikah dengan Muhammad, ia adalah istri dari
Abdullah bin Jahsy. Ada riwayat yang mengatakan ia istri Abdu Thufail bin al-Harits, tetapi
pendapat pertama adalah yang sahih. Ia dinikahi oleh Muhammad pada tahun ke 3 H dan hidup
bersamanya selama hanya dua atau tiga bulan., karena Zainab binti Khuzaimah meninggal dunia
sewaktu Muhammad masih hidup.

[sunting] Maymunah binti al-Harits[3]


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Maymunah binti al-Harits

Maymunah binti al-Harits bin Hazn bin Bujair bin al-Harm bin Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal
bin Amir bin Sha’sha’a bin Muawiyah bibi dari Khalid bin Walid dab Abdullah bin Abbas.
Rasulullah saw menikahinya di tempat yang bernama Sarif suatu tempat mata air yang berada
sembilan mil dari kota Mekah. Ia adalah wanita terakhir yang dinikahi oleh Muhammad. Wafat
di Sarif pada tahun 63 H.

[sunting] Maria al-Qabtiyya[4]


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Maria al-Qabtiyya

Mariah al-Qibthiyah ialah satu-satunya istri Nabi yang berasal dari Mesir. Ia seorang mantan
budak Nabi yang telah dinikahi dan satu-satunya pula yang dengannya Nabi memperoleh anak
selain Khadijah yakni Ibrahim namun meninggal dalam usia 4 tahun. Mariyah al-Qibtiyah wafat
pada 16H/637 M.

Seorang wanita asal Mesir yang dihadiahkan oleh Muqauqis, penguasa Mesir kepada Rasulullah
tahun 7 H. Setelah dimerdekakan lalu dinikahi oleh Rasulullah dan mendapat seorang putra
bernama Ibrahim. Sepeninggal Rasulullah dia dibiayai oleh Abu Bakar kemudian Umar dan
meninggal pada masa kekhalifahan Umar.
Seperti halnya Sayyidah Raihanah binti Zaid, Mariyah al-Qibtiyah adalah budak Rasulullah yang
kemudian beliau bebaskan dan beliau nikahi. Rasulullah memperlakukan Mariyah sebagaimana
beliau memperlakukan istri-istri beliau yang lainnya. Abu Bakar dan Umar pun memperlakukan
Mariyah layaknya seorang Ummul-Mukminin. Dia adalah istri Rasulullah satu-satunya yang
melahirkan seorang putra, Ibrahirn, setelah Khadijah.

Allah menghendaki Mariyah al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Khadijah.
Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah, terlebih setelah putra-
putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia.

Mariyah mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul
cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang
anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat hati-hati. Pada bulan Dzulhijjah
tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan bayinya yang kemudian Rasulullah memberinya
nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama bapak para nabi, Ibrahim. Lalu beliau
memerdekakan Mariyah sepenuhnya.

Anda mungkin juga menyukai