Anda di halaman 1dari 18

A.

Khadijah binti Khuwailid (Ibunda Orang-orang Mukmin)


Khodijah binti Khuwailid adalah istri pertama Rosulullahyang dinikahi ketika
berusia 40 tahun. Beliau berasal dari kalangan kaum Quraisy yang sangat terhormat
dan kaya raya. Khadijah tidak hanya dikenal sebagai wanita yang suci dan baik
akhlaknya, tetapi juga dikenal sebagai seorang penguasa kaya raya dan sukses yang
kemudian menjadi pendukung utama bagi dakwah Rosulullah dengan segala
tantangan yang harus dihadapinya, tidak hanya dengan segenap jiwa dan raga tetapi
juga hartanya. Bahkan sejarah menuliskan bahwa Khadijah menjadi salah satu
penyandang dana terbesar dalam sejarah perjuangan dakwah Nabi SAW.
Kesuksesan Khadijah dalam bidang bisnis tidak hanya dikarenakan harta
warisan dari kedua orang tua dan mantan suaminya yang juga berasal dari keluarga
yang kaya raya, tetapi hal itu tidak lepas dari sikapnya yang baik terhadap relasi
bisnis dan kepeduliannya terhadap para pekerjanya serta sikapnya yang selalu hati-
hati dalam berbisnis dan senantiasa mengembangkan usahanya dengan modal
kepercayaan. Sikap yang demikianlah yang membuat bisnis Khadijah semakin maju
dan berkembang hingga keluar kota Makkah.
Pertemuan Khadijah dengan Muhammad diawali ketika Muhammad bekerja
sebagai salah satu karyawan di perusahaannya yang menjualkan barang
dagangannya. Saat itu Muhammad masih berusia 15 tahun. Bersama dengan
Maisaroh, salah satu karyawan kepercayaan Khodijah, Muhammad menjualkan
dagangannya keluar kota Makkah.
Sebagai seorang yang dikenal dengan kejujuran dan kemahirannya dalam
berdagang, tidak mengherankan jika Muhammad selalu pulang dengan menyerahkan
hasil yang memuaskan. Sikap Muhammad yang santun dan jujur itulah yang menarik
hati Khadijah. Terlebih Maisaroh yang selalu menyertai Muhammad dalam berdagang
selalu menceritakan bagaimana sikap Muhammad yang selalu jujur dalam berdagang.
Suatu hari dalam perjalanan ke Syam untuk berdagang, Maisaroh melihat
suatu kejadian aneh yang belum pernah dilihat sebelumnya. Di tengah matahari yang
cukup terik, gulungan awan selalu mengikuti perjalanan Muhammad seolah
melindunginya dari sengatan sinar matahari. Kejadian ini membawa kesan mendalam
di hati maisaroh, terlebih ketika dia mendengar seorang rahib yang mengatakan
bahwa Muhammad adalah laki-laki yang ditunggu-tunggu oleh bangsa Arab yang
kedatangannya telah tertulis di dalam kitab Taurat dan Injil. Kejadian-kejadian tersebut
tidak lupa dicerikan oleh Maisaroh kepada Khadijah.
Semua hal yang terkait dengan Muhammad memang tidak pernah lepas dari
segala yang baik. Meski pada awalnya Khadijah tidak berniat untuk menikah kembali
setelah kematian suaminya (sebelumnya Khadijah memang pernah menikah dengan
‘Atiq bin ‘Ahid dan Abu Halah) dan hanya ingin mengkonsentrasikan hidupnya dalam
dunia bisnis, tetapi kebaikan hati, kemuliaan akhlak serta kepandaiannya dalam
berdagang membuat Khadijah menceritakan keinginannya untuk meminang
Muhammad kepada Nafisah binti Munyah, seseorang yang dipercaya oleh Khadijah
yang pada akhirnya menjadi penghubung pernikahan Khadijah dengan Muhammad.
Akhirnya perkawinan Muhammad dengan istrinya Khadijah dilaksanakan pada
hari Jum’at dua bulan setelah kembalinya Muhammad dari berniaga ke Syams, pada
saat itu Muhammad berusia 25 tahun, sedangkan Khadijah telah berusia 40 tahun.
Meskipun usia Khadijah lebih tua 15 tahun dari Muhammad, tetapi tidak meragukan
Muhammad untuk menikahinya. Bagi Muhammad, Khadijah tidak hanya seorang yang
cerdas, kaya dan lihai dalam berbisnis, tetapi lebih dari itu Khadijah adalah
perempuan yang cantik, bermata jeli, mulia, baik akhlaknya, serta berasal dari
keluarga yang bernasab baik. Khadijah adalah satu-satunya istri Rosulullah yang
memberikan keturunan. Dari perkawinannya dengan Khadijah memiliki putra-putri
yakni Abdullah bin Muhammad, Ibrahim bin Muhammad, Qasim bin Muhammad,
Zainab binti Muhammad, Ruqayyah binti Muhammad, dan Fatimah binti
Muhammad[1]. Selain menjadi istri pertama Rosulullah yang memberikan keturunan,
Khadijah juga merupakan satu-satunya istri Rosulullah yang tidak pernah dipoligami,
karena Rosulullah memang melakukan poligami setelah wafatnya Khadijah.
Khadijah adalah sosok istri yang sholehah, yang selalu memahami jiwa
suaminya dengan baik, dan menjadi pendukung utama di saat sebagian besar orang
masih dalam kebimbangan. Dia adalah orang pertama yang percaya pada kenabian
Muhammad. Karenanya Khadijah selalu memberikan perlindungan dan ketenangan
dalam jiwa dan hidup Rosulullah.
Sudah menjadi kebiasaan Rosulullah dari sebelum dia meneriwa wahyu, pergi
ke gua Hira’ untuk menyepi dan bermunajat kepada Allah. Setiap akan pergi ke gua,
Khadijah selalu menyiapkan bekal untuk suaminya, karena di sana Rosulullah akan
beribadah hingga beberapa malam. Hinga suatu hari malaikat jibril datang untuk
menyampaikan wahyu pertama dari Allah, hingga membuat tubuh Rosulullah bergetar
hebat. Sekembalinya dari menerima wahyu di gua Hira’, Rosulullah langsung menuju
ke rumahnya dan minta diselimuti. Kedatangan beliau yang tidak seperti biasanya,
membuat Khadijah langsung menenangkannya dan menyelimutinya dengan segenap
kasih sayang. Setelah merasa tenang, beliau menceritakan semua peristiwa yang
terjadi di dalam gua Hira’. Serta merta Khadijah membesarkan dan menghibur beliau
dengan menyatakan bahwa bergebiralah karena Allah tidak akan merendahkanmu.
Kemudian Khadijah membawa Nabi kepada pamannya Waraqah bin Naufal seorang
penganut Kristen masa itu yang sangat pandai berbahasa Arab dan menerjemahkan
Injil ke dalam bahasa Arab. Kemudian Rosulullah menceritakan semua peristiwa yang
dialaminya, kemudian Waraqah berkata bahwa yang datang kepada Muhammad
adalah Jibril sang penyampai wahyu dari Allah, sebagaimana dia juga telah
mendatangi nabi Musa AS untuk menyampaikan wahyu Allah. Waraqah juga berkata
bahwa seandainya dia masih hidup ketika sebagian besar orang memusuhi
Muhammad, maka ia akan menjadi pelindung dan pembelamu. Kemudian
Muhammad bertanya apakah mereka akan memusuhiku?, waraqahpun menjawab “ya
mereka akan memusuhimu, karena setiap orang yang mengemban amanah
sepertimu pasti akan dimusuhi”[2].
Kejadian di gua Hira; disaat Muhammad berusia 40 tahun adalah merupakan
salah satu pertanda kenabian beliau. Peristiwa tersebut juga menjadi babak baru
kehidupan Khadijah, dimana dia harus mempercayai dan mengikuti ajaran Rosulullah
dengan segala konsekwensinya.
Penjelasan yang diperoleh dari paman Khadijah tersebut, membuat Khadijah
semakin mantap dan mempercayai suaminya bahwa dia akan mengemban amanah
Allah untuk mennyampaikannya kepada seluruh umat manusia, yang tentu saja akan
mendapatkan banyak tantangan-tantangan, sehingga iapun siap berjuang bersama
Rosulullah dan berada di belakang untuk memberikan dukungan dan perlindungan.
Rosulullahpun mengatakan pada Khadijah yakni “ Aku mengharapkan Khadijah
sebagai benteng yang kuat dari diriku”.
Khadijah menjadi seeorang yang sangat penting pada awal masa penyebaran
Islam. Tidak hanya ketika dakwah dilakukan secara sembunyi-sembunyi tetapi juga
pada saat dakwah secara terbuka. Tantangan semakin dirasakan ketika Rosulullah
memulai dakwahnya secara terbuka. Khadijahpun tidak hanya menjadi pelindung dan
pendukung tetapi juga menjadi penawar dan penyejuk Rosulullah di saat beliau
banyak mengalami siksaan dan hambatan dari orang-orang kafir, bahkan oleh
saudaranya sendiri Abu Lahab beserta istrnya Ummu Jamil dengan sangat keji.
Khadijah selalu tampil mendampingi Rasulullah dengan penuh kasih sayang,
cinta, dan kelembutan. Wajahnya senantiasa membiaskan keceriaan, dan bibirnya
meluncur kata-kata jujur. Setiap kegundahan yang Rasulullah lontarkan atas
perlakuan orang-orang Quraisy selalu didengarkan oleh Khadijah dengan penuh
perhatian untuk kemudian dia memotivasi dan rnenguatkan hati Nabi Muhammad
Shallallahu alaihi wassalam. Bersama Rasulullah, Khadijah turut menanggung
kesulitan dan kesedihan, sehingga tidak jarang dia harus mengendapkan perasaan
agar tidak terekspresikan pada muka dan mengganggu perasaan suaminya.
Mengenai hal ini, Rasulullah SAW pernah bersabda : ”Khadijah beriman kepadaku
ketika orang-orang mengingkari. Dia membenarkan aku ketika orang-orang
mendustakan. Dan dia memberikan hartanya kepadaku ketika orang-orang tidak
memberiku apa-apa. Allah mengaruniai aku anak darinya dan mengharamkan bagiku
anak dari selain dia.”
Begitu besarnya jasa dan dukungan Khadijah terhadap perjuangan dalam
menyebarkan ajaran Allah. Sehingga kematiannya sangat memukul perasaan Nabi
Saw. Khadijah meninggal pada usia 64 tahun 6 bulan, dia telah mengarungi bahtera
rumah tangga bersama Nabi selama 24 tahun. Dalam 24 tahun kebersamaannya
dengan Nabi Saw, membuat Khadijah mempunyai tempat yang sangat istimewa di
hati Rosulullah, sehingga tahun kematiannya disebut dengan ‘Aamul Huzni (tahun
kesedihan). Khadijah adalah Ummul Mukminin istri Rasulullah yang pertama, wanita
pertama yang mernpercayai risalah Rasulullah, dan wanita pertama yang melahirkan
putra-putri Rasulullah. Dia juga orang pertama yang mendapat kabar gembira bahwa
dirinya adalah ahli surga.
Rosulullah sendiri yang mengurus jenazah Khadijah, dia dimakamkan di di
dataran tinggi Mekah, yang dikenal dengan sebutan al-Hajun, dan kalimat terakhir
yang beliau ucapkan ketika melepas kepergiannya adalah: “Sebaik-baik wanita
penghuni surga adalab Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid.”[3]
[1] http://dkmfahutan.wordpress.com/2006/10/09/putra-putri-rasulullah/
[2] http://manikhapsara.multiply.com/reviews/item/12
[3] http://abihumaid.wordpress.com/2008/06/20/khadijah-binti-khuwailid-wafat-3h/
B. Bilal bin Rabah
Bilal ibn Rabah adalah seorang budak yang berasal dari Habasyah (sekarang
disebut Ethiopia). Bilal dilahirkan di daerah Sarah kira-kira 34 tahun sebelum hijrah
dari seorang ayah yang dikenal dengan panggilan Rabah. Sedangkan ibunya dikenal
dengan Hamamah. Hamamah ini adalah seorang budak wanita yang berkulit hitam
yang tinggal di Mekkah. Oleh karenanya, sebagian orang memanggilnya dengan
nama Ibnu Sauda (Anaknya budak hitam).
Masa kecil Bilal dihabisakan di Makkah, sebagai putra dari seorang budak,
Bilal melewatkan masa kecilnya dengan bekerja keras dan menjadi budak. Sosok
Bilal digambarkan sebagai seorang yang berperawakan khas Afrika yakni tinggi, besar
dan hitam. Dia menjadi budak dari keluarga bani Abduddar. Kemudian saat ayah
mereka meinggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang yang
menjadi tokoh penting kaum kafir.
Bilal termasuk orang yang teguh dengan pendiriannya. Ketika Rosulullah Saw
mulai menyampaikan risalahnya kepada penduduk Makkah. Bilal termasuk golongan
orang yang pertama-tama masuk Islam. Masuknya Bilal ke dalam ajaran Islam
mengakibatkan penderitaan yang mendalam karena berbagai siksaan yang diterima
dari majikannya. Apalagi sang majikan Umayyah bin Khalaf termasuk tokoh penting
kaum kafir Quraisy. Siksaan yang diterima Bilal memang cukup berat, hal ini karena
Bilal adalah seorang budak yang lemah dan tidak mempunyai kuasa apapun. Berbeda
dengan para sahabat Nabi Saw yang lain seperti Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib yang
mempunyai keluarga dan siap melindungi menghadapi ulah kaum kafir yang
senantiasa mengganggu dan menghalangi kaum muslimin dengan berbagai cara.
Penyiksaan kaum kafir Quraisy terhadap para budak yang mustad’afin
memang sangat kejam. Hal ini juga dirasakan oleh Bilal bin Rabah yang diperlakukan
secara kejam oleh Umayyah bin Khalaf beserta para algojonya. Bilal dicambuk hingga
tubuhnya yang hitam tersebut melepuh. Tetapi dengan segala keteguhan hati dan
keyakinannya, dia tetap mempertahankan keimanannya meski harus menahan
berbagai siksaan tanpa bisa melawan sedikitpun. Setiap kali dia dicambuk, dia hanya
bisa mengeluarkan kata-kata: “ahad, ahad (Tuhan yangEsa)”. Tidak hanya sekedar
dicambuk, kemudian Umayyahpun menjemur Bilal tanpa pakaian di tengah matahari
yang sangat terik dengan menaruh batu yang besar di atas dadanya. Dengan segala
kepasrahan, lagi-lagi Bilalpun hanya bisa berkata: “ahad, ahad”. Setiap kali menyiksa
Bilal, Umayyah selalu mengingatkannya untuk kembali pada ajaran nenek moyang,
dan Tuhannya Latta, Uzza, tetapi Bilal tidak pernah menyerah dengan keadaan. Dia
tetap kukuh dan terus berkata: “ahad, ahad” setiap kali siksaan itu datang kepadanya.
Semakin Bilal teguh dan kuat, semakin keras Umayyah menyiksa Bilal. Bahkan dia
mengikatkan sebuah tali besar di leher Bilal lalu menyerahkannya kepada orang-
orang bodoh dan anak-anak. Umayyah menyuruh mereka untuk membawa keliling
Bilal ke seluruh perkampungan Mekkah serta menariknya ke seluruh dataran yang
ada di kota tersebut.
Akhirnya Allah mengakhiri siksaan demi siksaan yang dialami oleh Bilal melalui
Abu Bakar al-Shiddiq. Suatu hari, disaat Bilal kembali disiksa oleh majikannya
Umayyah, Abu Bakar sedang lewat tidak jauh dari tempat penyiksaannya. Melihat hal
tersebut, Abu Bakar bermaksud membeli Bilal dari Umayyah bin Khalaf. Lalu
Umayyahpun meninggikan harganya karena ia menduga bahwa Abu Bakar tidak akan
mampu untuk membayarnya.
Namun Abu Bakar mampu membayarnya dengan 9 awqiyah dari emas.
Umayyah berkata kepada Abu Bakar setelah perjanjian jual-beli ini usai: “Kalau
engkau tidak mau mengambil Bilal kecuali dengan 1 awqiyah emas saja, pasti sudah
aku jual juga.” Kemudian Abu Bakar menjawab: “Jika engkau tidak mau menjualnya
kecuali dengan 100 awqiyah, pasti aku akan tetap membelinya!”
Begitu Abu Bakar As Shiddiq memberitahukan Rasulullah Saw bahwa dia telah
membeli Bilal dan menyelamatkannya dari tangan penyiksa, maka Nabi Saw
bersabda: “Libatkan aku dalam pembebasannya, wahai Abu Bakar!” As Shidiq lalu
menjawab: “Aku telah membebaskannya, ya Rasulullah.”
Begitulah akhirnya Bilal pun menjadi seorang yang merdeka dan selamat dari
siksaan sang majikan. Kebebasannya menjadikan Bilal seorang yang semakin taat
mengikuti ajaran agama Allah dan rosulnya. Ketika Rosulullah Saw berhijrah ke
Madinah. Bilalpun turut serta berhijrah ke Madinah untuk menjauhi siksaan kaum kafir
Quraisy Makkah. Dia mengabdikan diri sepanjang hidupnya kepada Rosul yang
sangat dicintainya. Dia menjadi pengikut Rosul yang setia dan selalu mengikuti setiap
peperangan yang terjadi pada masa itu. Bahkan dia melihat dengan mata kepala
sendiri bagaimana akhirnya Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf mantan majikannya
tewas di tangan pedang kaum muslimin.
Ketika Rosulullah Saw selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan
menetapkan azan, maka Bilal bin Rabah ditunjuk sebagai orang pertama yang
mengumandangkan azan (muazin) dalam sejarah Islam. Bilalpun menjadi Muadzin
tetap pada masa Rosulullah Saw. Suaranya yang begitu merdu sangat menggetarkan
hati siapapun yang mendengarnya. Rosulullahpun sangat menyukai suara Bilal.
Biasanya, setelah mengumandangkan adzan, Bilal berdiri di depan pintu rumah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati hayya
‘alashsholaati…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal
segera melantunkan iqamat.
Ketika Rosulullah Saw akan menaklukkan kota Makkah, Bilalpun berada di
samping beliau. Saat Rasulullah Saw memasuki Ka’bah, Beliau hanya didampingi
oleh 3 orang saja, mereka adalah: Utsman bin Thalhah sang pemegang kunci Ka’bah,
Usamah bin Zaid orang kesayangan Rasulullah dan anak dari orang kesayangan
Beliau Zaid bin Haristah, serta Bilal bin Rabah sang muadzin Rasulullah Saw.
Kemudian Rosulullah Saw menyuruh Bilal untuk naik di atas ka’bah dan menyerukan
kalimat tauhid. Bilal menyerukan adzan dengan suara yang keras dan menggetarkan
hati setiap orang yang mendengarnya. Ribuan leher manusia melihat ke arah Bilal.
Ribuan lisan manusia yang mengikuti ucapan Bilal dengan hati yang khusyuk.
Pada suatu hari, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek
yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak,
sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab,
tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu,
selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia
membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat
istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan
shalat di luar masjid. Begitulah sosok Bilal, dia selalu berada di belakang Rosulullah
dalam kondisi apapun. Kecintaannya terhadap Rosulullah Saw pernah membuatnya
terbuai dalam mimpi bertemu dengan Rosul sepeninggal beliau. Dalam mimpinya itu,
Rasulullah Saw berkata kepada Bilal: “Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali
kepadamu,” Kemudian Bilalpun menjawab: “Ya, Rasulullah, aku pun sudah teramat
rindu ingin bertemu dan mencium harum aroma tubuhmu,” kata Bilal masih dalam
mimpin-ya. Setelah itu, mimpi tersebut berakhir begitu saja. Dan Bilal bangun dari
tidurnya dengan hati yang gulana. Ia dirundung rindu. Keesokan harinya, ia
menceritakan mimpi tersebut pada salah seorang sahabat lainnya. Seperti udara,
kisah mimpi Bilal bin Rabah segera memenuhi ruangan kosong di hampir seluruh
penjuru kota Madinah. Tak menunggu senja, hampir seluruh penduduk Madinah tahu,
semalam Bilal bermimpi ketemu dengan nabi junjungannya.
Sesaat setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan napas
terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan azan, sementara
jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum
dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan
rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba
suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang
hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang
membuat suasana semakin mengharu biru.
Sejak kepergian Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, Bilal hanya sanggup
mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu
anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Sehingga kaum muslimin yang
mendengarnya ikut larut dalam tangisan pilu. Karena itulah kemudian Bilal memohon
kepada Abu Bakar, sang khalifah yang menggantikan posisi Rasulullah Sholallahu
‘alaihi wasallam sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan
azan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin
kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan
ikut berperang ke wilayah Syam.
Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal
sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya
seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka
engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah,
maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.” Kemudian Abu Bakar menjawab,
“Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu
juga karena Allah.”. Mendengar jawaban Abu Bakar, Bilalpun segera menyahut,
“Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun
setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam wafat.” Akhirnya Abu Bakar menjawab,
“Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan
pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak
jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan azan
hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu
dengan Bilal Rodhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama. Pada saat itu khalifah
Umar bin Khattab baru saja menerima kunci kota Yerussalem. Dalam pertemuan
tersebut khalifah Umar bin Khattab meminta kepada Bilal untuk mau
mengumandangkan adzan dan akhirnya Bilalpun mau menuruti permintaan sang
khalifah. Mendengar Bilal menyuarakan adzan, kaum musliminpun merasa sangat
terharu, bahkan Umar tidak dapat menahan dirinya untuk tidak menangis tersedu-
sedu. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa
kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
BiIal adalah pengumandang seruan langit itu.
Peristiwa tersebut merupakan adzan terakhir yang diperdengarkan oleh suara
merdu dan syahdu Bilal bin Rabah di hadapan kaum muslimin. Bilal tetap tinggal di
Damaskus hingga akhir hayatnya. Menjelang kematiannya untuk menghadap sang
Khalik, Bilal seringkali mengucapkan kata-kata secara secara beulang-ulang, kata
tersebut adalah:
“Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih…
Muhammad dan sahabat-sahabatnya
Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih…
Muhammad dan sahabat-sahabatnya”
Demikianlah kisah seorang Bilal, keteguhan, ketegaran dan keyakinannya
akan ajaran kebenaran, telah mengangkat derajadnya dan menjadikannya seorang
mulia di sisi Allah dan rosulnya meskipun dia berasal dari seorang budak hitam yang
hina dan fakir. Sebuah kisah teladan bagi kita semua[1].
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Bilal_bin_Rabah, http://www.kaunee.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=249:bilal-bin-rabah&catid=100:riwayat-
tokoh&Itemid=140, http://permai1.tripod.com/bilal.html, http://abihumaid.wordpress.com/20
08/06/18/bilal-bin-rabah-al-habasyi-wafat-20-h641-m/, http://www.kajianislam.net/modules/
smartsection/item.php?itemid=310, http://ja-jp.facebook.com/notes/biografi-ulama/kisah-
sahabat-bilal-bin-rabah-rodhiallu-anhu-/10150094065860602,

C. Abdurrahman bin Abd Auf


Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Abd Auf bin Abd bin al-Harist bin
Zuhrah bin Kilab bin Murrah al-Quraisyi al-Zuhri. Abdurrahman bin Auf berasal
dari Bani Zuhrah. Seringkali dipanggil dengan Abu Muhammad. Abdurrahman bin Auf
temasuk golongan orang yang pertama masuk Islam, bahkan dia masuk Islam
sebelum Rosulullah Saw memasuki rumah al-Arqam bin Abi al-Arqom atau yang lebih
dikenal dengan Dar al-Arqam. Nama Abdurrahman adalah nama pemberian
Rosulullah setelah dia menyatakan keimanannya kepada ajaran Allah. Pada masa
jahiliyah namanya adalah Abd ‘Amr, dalam versi lain disebutkan nama jahiliyahnya
adalah Abd Ka’bah.
Sosok Abdurrahman bin Auf dapat digambarkan sebagai seorang dengan
penampilan tubuh yang agak unik. Kulit tubuhnya putih dengan semu merah merona.
Bertubuh sedang, dengn mata bundar dan lebar serta bagian hitam matanya sangat
legam. Berhidung mancung dengan kedua telapak tangan besar dan tebal serta
dengan jari jemari yang keras. Melihat gambaran tubuhnya yang demikian, maka
akan terbayang sebuah kekuatan besar dalam dirinya, sehingga menjadi ancaman
bagi musuhnya. Dia siap untuk menerkam siapa saja musuh dalam pertempuran
bagaikan seekor harimau. Meskipun gambaran dirinya adalah seorang yang bertubuh
kuat dan kekar, tetapi dapam perilaku dan tindak tanduk, Abdurrahman adalah
seorang yang cukup tenang dan berbudi halus. Dia adalah orang yang tidak segan
membantu siapapun yang membutuhkan uluran tangannya. Bahkan dia siap
memberikan nyawa dan ruhnya jika memang demi kebaikan.
Abdurrahman bin Auf merupakan salah satu sahabat yang tidak saja menjadi
golongan orang yang pertama menyatakan keIslamannya tetapi dia juga termasuk
orang yang termasuk golongan sepuluh orang yang diberikan kabar gembira bahwa
dia akan masuk surga. KeIslaman Abdurrahman ini dikarenakan jasa dari Abu Bakar
Al-Shiddiq. Ketika Abu Bakar telah menyatakan keIslamannya, dia mendatangi
pemuda dan sahabat-sahabatnya yang telihat mempunyai budi pekerti yang baik
untuk diajak kedalam ajaran Islam. Dengan hidayah Allah, maka Abdurrahmanpun
masuk Islam dan meyakini ajaran baru tersebut dengan segenap keteguhan hatinya
meski tantangan dan penindasan juga dirasakan semakin berat oleh kaum muslimin,
tetapi Abdurrahman termasuk sosok yang kuat dan tegar. Abdurrahman juga termasuk
sahabat yang mengikuti hijrah pertama kaum muslimin ke Habasyah.
Ketika Rosulullah berhijrah ke Madinah, semua kaum muslimin juga mengikuti
beliau untuk berhijrah ke Madinah meski tidak datang secara bersama-sama.
Hubungan baik Rosulullah Saw dengan penduduk Madinah yang telah terjalin
semenjak ketika masih tinggal di Makkah menjadikan Madinah dianggap sebagai
tempat yang pas dan cocok sebagai markas umat muslimin selanjutnya, karenanya
Madinah menjadi ibukota dan pusat dakwah bagi penyebaran ajaran Islam di
kemudian hari.
Ketika Rosulullah mempersaudarakan antara kaum anshor dengan kaum
Muhajirin, Rosulullah mempersaudarakan Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin
Robi’ seorang yang kaya raya di Madinah. Sa’ad menawarkan separuh hartanya
untuk Abdurrahman, tetapi dengan halus Abdurrahman menolak dan malah
menanyakan dimanakah pasar sebagai tempat berdagang di kota Madinah?. Setelah
ditunjukkan letak pasar di kota Madinah, maka mulailah Abdurrahman berdagang,
meski dengan modal yang tidak seberapa. Sebagai seorang pedagang Abdurrahman
sangat berhati-hati dengan kehalalan uang yang akan masuk ke dalam tubuhnya. Dia
sangat menjauhi sesuatu hal yang haram bahkan syubhat (tidak jelas statusnya).
Dengan kehati-hatiannya ini justru mendatangkan rezeki yang berlimpah dan berlipat
ganda. Usahanya berjalan lancer dan mendatangkan keberkahan bagi kehidupannya,
sehingga Abdurrahman menjadi salah satu sahabat yang kaya raya selain Ustman bin
Affan.
Meskipun telah menjadi seorang yang kaya raya, tetapi Abdurrahman tidaklah
menjadi buta dengan kekayaannya tersebut. Meski dikenal sebagai seorang pekerja
keras, tetapi dia tidak pernah melalaikan kewajibannya untuk beribadah dan berdzikir
kepada Allah SWT disela-sela usaha bisnisnya. Dia juga selalu menyedekahkan
sebagian hartanya untuk kepentingan berjihad di jalan Allah. Pernah suatu hari dia
mendengar Nabi Saw berpidato, dalam pidatonya itu beliau berkata:” bersedekahlah
engkau karena sesungguhnya aku ingin mengirimkan serombongan pasukan”. Serta
merta Abdurrahman pulang kerumahnya dan mengambil uang untuk kemudian
diserahkan kepada Rosulullah Saw sambil berkata:”Ya Rosulullah Saw, aku hanya
mempunyai uang sebanyak empat ribu. Aku menyedekahkan sebanyak dua ribu,
sedangkan yang dua ribu aku tinggalkan untuk mencukupi kebutuhan keluargaku”.
Rosulullahpun menjadi terharu, kemudian beliau berkata:”Mudah-mudahan Allah
mengucurkan berkah atas apa yang telah kamu berikan. Dan mudah-mudahan Allah
melimpahkan berkah pada apa yang kamu simpan untuk keluargamu”.
Setelah doa Rosulullah Saw atas Abdurrahman, berkah dan rezeki yang
diterima oleh Abdurrahmanpun semakin deras mengalir. Setiap kali dia
menyedekahkan hartanya, semakin banyak rezeki yang datang kepadanya. Dia tidak
pernah memperhitungkan harta yang telah diberikan, karena dia yakin atas apa yang
telah dijanjikan oleh Allah bagi orang-orang yang suka bersedekah, yakni berupa
rezeki, kebaikan dan pahala.
Pada saat umat muslim akan menghadapi perang tabuk dan kebutuhan umat
muslim semakin meningkat. Selain kebutuhan tentara yang banyak, kota Madinah
tengah mengalami musim panas, sehingga perjalanan ke Tabuk sangat jauh dan sulit.
Datanglah Abdurrahman dengan membawa 2 ons emas yang diserahkan kepada
Rosulullah Saw.
Di saat perang tabuk tengah terjadi, kala itu umat muslimin hendak
menunaikan sholat. Pada saat yang sama Rosulullah Saw sedang pergi untuk suatu
keperluan. Karena waktu sholat telah tiba dan tidak mau menunggu terlalu lama untuk
menunaikannya, maka para sahabat menunjuk Abdurrahman bin Auf sebagai imam
dalam sholat. Rosulullah Saw yang telah menyelesaikan keperluannya kemudian
menyusul sholat dibelakang Abdurrahman sebagai makmum. Bagi Abdurrahman
peristiwa tersebut merupakan kejadian luar biasa dan merupakan kemuliaan tersendiri
karena pernah menjadi imam sedangkan Rosulullah berada di belakangnya.
Abdurrahman juga menjadi sahabat yang sangat aktif dalam mengikuti
peperangan yang terjadi pada masa Rosulullah, mulai dari perang badar, perang
Uhud, perang tabuk dan lain sebagainya. Dia tidak hanya mengorbankan harta
bendanya tetapi juga seluruh jiwa dan raganya untuk kepentingan agamanya. Dalam
perang Uhud, digambarkan bagaimana Abdurrahman mengalami luka-luka yang
cukup parah. Karena dalam perang tersebut umat muslim memang mengalami
kekalahan setelah melanggar perintah Rosulullah Saw. Dengan sekuat tenaga
Abdurrahman berusaha melindungi Rosulullah Saw dari serangan kaum Quraisy yang
semakin mendesak. Luka dalam tubuhnya tidak dirasakan sama sekali, gigi-giginya
rontok bahkan bekas luka dalam perang uhud tersebut membekas dan tidak dapat
dihilangkan dan menjadikan dia cacat seumur hidup.
Abdurrahman bin Auf adalah salah satu sahabat yang mempunyai semangat
yang sangat tinggi untuk bersedekah. Hartanya dinafkahkannya dengan kedua belah
tangan, baik secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, sehingga mencapai
40.000 dirham perak. Kemudian menyusul pula 40.000 dinar emas. Sesudah itu dia
bersedekah lagi 200 uqiyah emas. Lalu diserahkannya pula 500 ekor kuda kepada
para pejuang. Sesudah itu 1500 ekor unta untuk pejuang-pejuang lainnya dan tatkala
dia hampir meninggal dunia, dimerdekakannya sejumlah besar budak-budak yang
dimilikinya. Kemudian diwasiatkannya supaya memberikan 400 dinar emas kepada
masing-masing bekas pejuang Perang Badar. Mereka berjumlah seratus orang, dan
semua mengambil bagiannya masing-masing. Dia berwasiat pula supaya memberikan
hartanya yang paling mulia untuk para ibu-ibu orang mukmin, sehingga ibu Aisyah
sering mendoakannya, “Semoga Allah memberikannya minum dengan minuman dari
telaga salsabil.”
Dalam kisah lain disebutkan bahwa pada suatu hari, saat kota Madinah sunyi
senyap, dikejutkan dengan suara dentuman keras dan beruntun, debu yang sangat
tebal mulai mendekat dari berbagai penjuru kota hingga nyaris menutupi ufuk. Debu
kekuning-kuningan itu mulai mendekati pintu-pintu kota Madinah. Semua penduduk
Madinah terbangun dan kaget melihat fenomena tersebut. Aisyah istri Rosulullahpun
bertanya-tanga:”Ada apa ini? Tidak ada hujan, tidak ada angina kenapa ada
guncangan seperti ini?” guncangan apakah ini?” Tanya Aisyah kepada salah seorang
sahabat. Kemudian sabahat itupun menjawab:”Guncangan ini berasal dari kafilah
Abdurrahman bin Auf yang membawa barang dagangan dari Syam”. Aisyah kemudian
bertanya kembali dengan sedikit tidak percaya:”Yang benar saja?mana ada kafilah
pegadang yang berjalan beriringan bisa membuat tanah bergoncang seperti ini?”.
Kemudian dijawab oleh sabahat: “benar Aisyah, kafilah besar ini terdiri dari tujuh ratus
ekor unta besar”, Ummul Mukmininpun menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian
berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku bermimpi melihat
Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak’.”
Perkataan Aisyah ini kemudian didengar juga oleh Abdurrahman, yang
kemudian menemui Aisyah dan menanyakan apa yang telah disabdakan oleh
Rosulullah. Wajahnya terlihat gembira karena telah dikabarkan masuk surga oleh
Rosulullah Saw sendiri. Kemudian tanpa berpikir panjang Abdurrahmanpun
membagikan 700 ratus ekor unta beserta harta benda yang ada di dalamnya kepada
seluruh penduduk Madinah. Karena pada saat itu kondisi kota Madinah juga sedang
dilanda paceklik yang berkepanjangan, sehingga penduduk Madinah merasakan
kesengsaraan akibat gagalnya hasil panen karena kekeringan yang panjang.
Khalifah Ustman bin Affanpun berkata tentang Abdurrahman:” Harta
Abdurrahman adalah halal dan bersih, dan menikmati harta tersebut menjadi
kesembuhan dan keberkahan. “Penduduk Madinah semuanya adalah sekutu Ibnu Auf
berkenaan dengan hartanya… karena sepertiganya ia pinjamkan kepada mereka,
sepertiganya untuk membayarkan hutang mereka, dan sepertiganya lagi ia sampai-
kan dan berikan kepada mereka.”
Begitulah sosok Abdurrahman bin Auf seorang yang kaya raya tetapi selalu
membelanjakan hartanya di jalan Allah. Dia sendiri adalah seorang yang zuhud, yang
selalu khawatir jika kekayaannya hanya akan membawanya ke neraka. Karenanya
setiap dikaruniai kekayaan, kecintaannya terhadap akhiratpun semakin bertambah.
Akhirat memang menjadi tujuan utamanya, sehingga dia tidak pernah memikirkan
harta kekayaannya yang berlimpah, karena bagi Abdurrahman hal itu hanya akan
menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Setelah wafatnya Rosulullah Saw, Abdurrahman bin Auf menjadi pelayan para
ummul mukminin. Seluruh kebutuhan istri Rosulullah Saw selalu dipenuhi dan tidak
pernah satu haripun dilewatkan tanpa mengunjungi para istri Rosulullah Saw. Jika
para ummul mukminin hendak keluar ataupun pergi haji, Abdurrahmanlah yang
mendampingi mereka.
Dalam sebuah kisah juga disebutkan bahwa suatu hari Abdurrahman pernah
menjual tanah seharga 40.000 dinar, kemudian membagikan semuanya untuk
keluarganya yaitu Bani Zahrah, untuk Ummahatul Mukminin, dan kaum fakir dari
kalangan kaum muslimin
Ketika khalifah Umar bin khattab wafat, Abdurrahman termasuk ke dalam tim 6
yang bermusyawarah untuk menentukan siapa khalifah pengganti setelah wafatnya
Umar. Lima sahabat lainnya sepakat menunjuk Abdurrahman sebagai khalifah. Akan
tetapi dia menolak kehormatan yang diberikan kepadanya dengan tegas, sambil
berkata: “Demi Allah seandainya saja ada pisau yang besar yang ditusukkan di
kerongkonganku, kemudian disayatkan ke bagian yang lain, maka aku lebih
menyukainya daripada harus menerima jabatan ini.
Abdurrahman bin Auf meninggal pada tahun 32 H di usianya yang ke 75 tahun.
Ummul mukminin Aisyah RHA ingin memberikan penghargaan khusus kepadanya
yang tidak pernah diberikannya kepada selainnya. Aisyah menawarkan kepadanya,
pada saat Ibnu Auf berbaring di atas ranjang kematiannya, untuk dikuburkan di
kamarnya di sisi Rasul SAW, Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab RA.
Tetapi Abdurrahman merasa malu jika jasadnya akan disandingkan bersebelahan
dengan Rosulullah Saw. Semasa hidupnya dia pernah berjanji dengan sahabat
karibnya yang bernama Ustman bin Mazh’un bahwa jika mereka meninggal, maka
akan dikuburkan bersebelahan. Akhirnya Abdurrahman dimakamkan di kota Makkah
tepatnya di makam al-Baqi’[1].
[1] http://embuntarbiyah.wordpress.com/2007/08/02/jadi-enterpreneur-teladani-
abdurrahman-bin-%E2%80%98auf/, http://www.oaseqalbu.net/modules.php?
name=News&file=article&sid=426, http://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_bin_Auf, http:/
/www.kajianislam.net/modules/smartsection/item.php?itemid=229, http://74.125.113.132/se
arch?q=cache:OGC25qaNSQoJ:jilbab.or.id/archives/285-abdurrahman-bin-auf/
+abdurrahman+bin+auf&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id, http://www.acehforum.or.id/abdurrahm
an-bin-auf-t1671.html?s=bf39d82197271bca161b01ad630e39bb&
Add a comment April 15, 2010

D. Hamzah bin Abdul Muthalib (Singa Allah dan Rosul)


Hamzah bin Abdul Muthalib adalah saudara sesusuan Rosulullah yang juga
pamannya. Jarak usia kedua Hamzah tidak jauh dengan Rosulullah yakni sekitar 2
tahun lebih tua dari Nabi Saw. Nama lengkapnya adalah Hamzah Abu ‘Amaarah bin
‘abdul Muthalib bin Hasyim bin ‘abdi Manaaf al Quraisy al Haasyimi, Ibunya bernama
Halah binti Wuhaib bin abdu manaf bin Zuhrah. Dari jalur sang ibu Hamzah juga
masih terbilang kerabat dekat Rosulullah. Mereka berdua adalah teman sepermainan
semenjak kecil, sehingga Hamzah termasuk orang yang sangat dekat dan mengenal
kepribadian Rosulullah Saw.
Hamzah adalah seorang yang perkasa, kuat dan sangat berani. Dia
mempunyai kesukaan berburu dan menjadi pemburu rusa yang sangat handal.
Hamzah juga sebagai seorang penunggang kuda yang cekatan, ahli pedang, dan bela
diri yang cukup disegani dan ditakuti di Makkah. Selain itu Hamzah juga dikenal
dengan manusia padang pasir yang lebih suka menyendiri.
Keberanian Hamzah sangat diakui oleh siapapun bahkan oleh para pembesar
Quraisy. Dia juga dikenal sebagai seorang berfikiran cerdas dan keras, sehingga dia
sangat melindungi Nabi Saw. Meski dia tidak langsung menerima ajakan Rosulullah
Saw untuk merubah keyakinan mengikuti ajaran Allah, tetapi dia tidak rela jika Nabi
Saw diperlakukan secara tidak baik oleh orang-orang kafir Quraisy.
Ada satu kisah tentang keberanian Hamzah bin Abdul Muthalib, saat itu dia
sedang berburu rusa, Hamzah mendengar suara keributan dari arah kemahnya,
ternyata seekor singa sedang memasuki kemahnya, dengan sigap dia meletakkan
hasil buruannya dan kemudian menghadapi singa tersebut sendirian. Setelah berhasil
menaklukkan singa tersebut, Hamzah menguliti kulit singa itu dan kemudian
meletakkannya diatas pelana kudanya. Orang-orang Makkah yang melihat kulit singa
diatas pelana kudanya sudah sangat faham akan keberanian Hamzah. Sehingga tidak
mengherankan jika banyak orang yang gentar jika berhadapan dengannya.
Masuknya Hamzah bin Abdul Muthalib ke dalam Islam, dimulai ketika Abu
Jahal mencaci maki Muhammad Saw. Pada saat itu sebenarnya Hamzah tidak
mengetahui peristiwa tersebut secara langsung, karena Hamzah sedang berburu
rusa. Seperti biasanya sekembalinya dari berburu, Hamzah langsung menuju ka’bah
untuk melakukan thawwaf sebelum kembali pulang kerumahnya. Kebetulan ketika
peristiwa pelampiasan amarah Abu Jahal kepada Muhammad Saw terjadi, seorang
budak perempuan yang bernama Jud’an bin Amir mengetahui kejadian tersebut.
Begitu melihat Hamzah datang dengan busurnya menuju Ka’bah, budak perempuan
itu menghampiri Hamzah dan menceritakan peristiwa yang terjadi antara Abu Jahal
dan Muhammad. Mendengar cerita dari seorang budak perempuan itu, dengan
segenap amarah dan tanpa berlama-lama Hamzah langsung menemui Abu Jahal dan
berniat untuk menghajar dan memberi pelajaran kepada Abu Jahal. Kebetulan Abu
Jahal sedang berada di dalam masjid yang tidak jauh dari ka’bah karena pada saat
setelah peristiwa tersebut dia langsung mengadakan pertemuan dengan para
pembesar Quraisy lainnya. Dengan berani Hamzah menantang Abu Jahal dan
berkata:”Kenapa Kamu cela dan kamu maki Muhammad saw, padahal aku telah
menganut agamanya dan mengatakan apa yang dikatakannya..?Nah, cobalah ulangi
kembali makianmu itu kepadaku jika kamu berani!”. Tidak hanya menantang Abu
Jahal, Hamzah juga langsung memukulkan busurnya ke kepala Abu Jahal, sehingga
darah segar pun mengucur. Tak hanya itu, ia pun memukul tubuh Abu Jahal hingga
babak belur dan tersungkur. Hamzah tetap berdiri dengan gagah berani di hadapan
petinggi Quraiys itu.
Pada saat Abu Jahal tersungkur, orang-orang dari suku Makhzumah ingin
menolongnya. Namun dicegah Hamzah, mereka pun kembali duduk. Demikian pula
para petinggi Quraiys, semula mereka akan menolong Abu Jahal dan menentang
Hamzah atas perlakuannya terhadap Abu Jahal. Namun mereka pun rupanya takut
dan akhirnya kembali duduk di masjid. Beberapa saat kemudian ia menendang debu
ke arah muka para petinggi Quraiys itu, dan meninggalkan tempat itu.
Peristiwa tersebut membekas di hati Hamzah hingga sampai rumahnya, dalam
keadaan marah Hamzah merenungkan bagaimana sebaiknya orang seperti dirinya,
apakah harus meninggalkan kepercayaan yang telah dipegang oleh nenek
moyangnya selama berpuluh-puluh tahun dan mengikuti agama baru yang belum dia
ketahui secara mendalam asal usulnya. Tetapi dalam hatinya dia mengakui keluhuran
sikap dan kemuliaan keponakannya Muhammad, dan dia tidak rela jika keponakannya
tersebut diperlakukan secara sewenang-wenang.
Ditengah-tengah kebimbangan tersebut, Hamzah pergi mendatangi ka’bah
dan bermunajat untuk memantapkan hati dan menemukan kebenaran. Kemudian
Allah membukakan hatinya untuk menerima ajaran Allah dengan segala keyakinan
dan tanpa keraguan sedikitpun di dalamnya. Setelah itu masuklah Hamzah kedalam
Islam.
Masuknya Hamzah ke dalam Islam menambah kekuatan barisan umat muslim.
Dia selalu siap dengan gagah berani membela Rosulullah. Dia selalu menjadi
pelindung Rosullah dan berada di belakang beliau dimanapun berada. Sehingga
Rosulullah memberinya gelar Asad Allah wa Asad Rosulih (Singa Allah dan Rosulnya).
Hamzah memang menjadi ksatria muslim yang handal, dia juga sangat aktif
dalam peperangan melawan kaum musyrikin. Dalam perang badar, pedang hamzah
banyak menghabiskan nyawa kaum kafir, bahkan seorang petinggi Quraisy juga ikut
binasa karena kelihaiannya. Dalam perang tersebut Hamzah memegang dua pedang
dan berada disamping Rosulullah Saw. Pada perang badar ini pasukan muslim
akhirnya memenangkan peperangan dengan sangat gemilang. Kemenangan tersebut
tidak lepas dari peran Hamzah bin Abdul Muthalib yang tampil dengan sangat berani
dan memperlihatkan kecapakannya dalam berperang dengan luar biasa.Kaum kafir
juga mundur teratur melihat banyaknya korban yang jatuh. Keberadaan Hamzah
menjadi pertimbangan tersendiri di kalangan kaum kafir, sehingga timbul dendam
yang sangat dalam terhadap Hamzah di hati mereka. Mereka pun berjanji akan
membinasakan Hamzah pada perang-perang selanjutnya.
Kurang lebih setahun setalah perang Badar, terjadi kembali peperangan antara
kaum muslimin dengan kaum kafir di bukit Uhud. Perang inilah yang kemudian
menewaskan salah satu sahabat dan paman Nabi Hamzah bin Abdul Muthalib.
Dalam perang ini, pasukan muslimin berjumlah 700 orang yang dipimpin
langsung oleh Rosulullah Saw, sedangkan tentara kafir berjumlah 3000 orang. Meski
dengan jumlah yang sangat tidak seimbang, tetapi dengan strategi yang baik, hampir
saja pasukan muslim memenangkan peperangan. Dari awal Nabi telah menyiapkan
strategi dalam sebuah formasi yang kompak. Pada sayap kanan Nabi meletakkan
tentara di bawah bukit Uhud, sementara di sayap kiri Nabi juga meletakkan tentara di
kaki bukit Ainain. Pasukan muslim yang berada di sayap kanan aman karena
terlindungi oleh bukit Uhud, sebaliknya pasukan muslim yang berada pada sayap kiri
mempunyai potensi yang berbahaya, karena musuh bisa menyerang melalui jalur
belakang melalui bukit Ainain. Untuk mengantisipasi hal tersebut Nabi Saw
memasang 50 pemanah di Ainain dibawah pimpinan Abdullah bin Jubair. Dengan
jelas dan tegas Nabi Saw memerintahkan untuk selalu menggunakan anak panah,
dan jangan sekali-kali meninggalkan bukit meskipun dalam kondisi telah menang
ataupun kalah.
Akan tetapi para pemanah tersebut ternyata tidak mengindahkan perintah Nabi
dan meninggalkan Ainain sebelum selesai perang. Hal inilah yang menyebabkan
kekalahan kaum muslimin dalam perang Uhud.
Dalam perang Uhud ini Hamzah bin Abdul Muthalib juga menjadi target utama
kaum kafir setelah Rosulullah, hal ini dikarenakan apa yang telah dilakukan oleh
Hamzah pada perang sebelumnya (perang Badar). Hamzah sendiri meninggal di
tangan seorang budak Habsyi yang bernama Wahsyi. Wahsyi sendiri membunuh
Hamzah karena diperintah oleh majikannya Jubair bin Muth’im. Hal ini disebabkan
dendam Jubair bin Muth’im kepada Hamzah setelah pamannya Thu’aimah bin Adiy
(salah satu pembesar kafir Quraisy) tewas di tangan Hamzah pada perang Badar.
Sang majikan Thu’aimah menjanjikan akan memerdekakannya, jika dia berhasil
membunuh Hamzah. Mendengar tawaran tersebut, tentu saja Wahsyi tergiur dan
menerima tawaran untuk membunuh Hamzah.
Peristiwa pembunuhan tersebut terjadi dikisahkan sendiri oleh Wahsyi setelah
menjadi seorang muslim. Ketika tentara Quraisy keluar ke bukit Uhud, Wahsyi yang
sangat mahir dalam melempar pisau ikut keluar bersama mereka. Di medan perang
tersebut, mata Wahsyi selalu mencari –cari sosok Hamzah, hingga diantara orang-
orang yang sedang bertarung tersebut matanya tertuju pada seorang yang
mengamuk laksana seekor onta yang sedang mengamuk dan terus memukul dengan
pedangnya terhadap segala apa yang datang menyerangnya, tiada seorang pun yang
dapat melawannya. Dialah sosok Hamzah bin Abdul Muthalib yang sedang di cari-cari
dan menjadi target utama Wahsyi.
Kemudian Wahsyi bersembunyi di balik batu besar, sambil terus
memperhatikan Hamzah dan mempersiapkan pisau beracunnya, dia mencoba untuk
mencari waktu yang tepat. Saat itu tiba-tiba Sibak bin Abdul Uzza datang
menyerangnya. Begitu Hamzah melihat Sibak datang kepadanya, dia langsung
menyabetnya dengan sekali sabetan pedang kepalanya berguling ke atas tanah.
Bertepatan dengan peristiwa itu, Wahsyi melemparkan pisaunya ke arah Hamzah dan
tepat mengenai bawah perut dan menembus bawah selangkangnya. Mendapati
sebuah pisau tertancap di bawah perutnya, Hamzah kemudian berbalik dan mencoba
untuk melawan, tetapi dia sudah terlanjur tidak berdaya dan akhirnya tewas sebagai
seorang syahid’. Melihat jasad Hamzah yang tergeletak di atas tanah, Hindun binti
‘Utbah yang ayahnya terbunuh oleh Hamzah pada perang Badar datang membelah
perut Hamzah dan mengeluarkan hatinya, kemudian memakannya dan memuntahkan
kembali.
Melihat Hamzah terbunuh dengan kondisi yang telah tercincang, Rosulullah
merasakan kedukaan yang mendalam sehingga beliau meneteskan air mata,
Rosulullah melihatnya sebagai korban kebiadaban. Dia meninggal pada tahun ketiga
Hijriyah dan Rosulullah menyebutnya sebagai “sayyidus syhada”. Kemudian jasad
Hamzah dimakamkan dalam satu liang lahat dengan ‘Abdullah bin Jahsy.
Setelah peristiwa pembunuhan tersebut, akhirnya Wahsyipun sang budak dari
Habsyi dimerdekakan oleh majikannya. Tidak lama setelah peristiwa tersebut Wahsyi
akhirnya masuk ke dalam Islam. Sebagai tebusan dari rasa bersalahnya karena telah
membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib, Wahsyi membunuh Musailamah al-Kadzab
yang pasca wafatnya Nabi Saw mengaku sebagai Nabi pengganti Muhammad Saw.
Begitulah kisah hidup Hamzah bin Abdul Muthalib (sang singa Allah), seorang
yang terkenal dengan keberaniannya sehingga dengan tewasnya Hamzah Rosulullah
telah kehilangan seorang pelindungnya dan kaum muslimin kehilangan sebagian
kekuatannya[1].

[1]http://rumahhibban.multiply.com/journal/item/16/Syuhada_Uhud_Hamzah_bin_Abdul_M
uthalib, http://sahabatrasul.blogspot.com/2009/03/hamzah-bin-abdul-muthalib.html, http://h
aulasyiah.wordpress.com/2008/05/28/hamzah-bin-abdul-mutalib-wafat-3-
h/,http://hannyks.multiply.com/journal/item/16/HAMZAH_bin_ABDUL_MUTTHALIB, http://s
adeng-online.blogspot.com/2009/05/wahsy-sang-pembunuh-hamzah-bin-abdul.html

E. Zaid bin Haristah (Sang panglima kesayangan Nabi)


Zaid adalah salah satu orang yang sangat dekat dengan Rosulullah, seorang
yang bukan berasal dari golongan bangsawan dan berparas buruk. Tetapi meski
demikian Zaid bin Haritsah adalah termasuk salah satu sahabat yang sangat dekat
dengan Nabi dan ikut berjuang dalam menyebarkan ajaran Allah pada awal
perkembangan Islam, bahkan Zaid dikenal sebagai panglima yang sangat tangguh
yang memimpin berbagai peperangan dan senantiasa pulang membawa panji-panji
kemenangan.
Kisah hidup Zaid pernah membawanya menjadi seorang budak. Hal ini
berawal ketika ibunya Su’di binti Tsa’labah ingin membawanya untuk berziarah
kerumah salah seorang keluarganya di bani Ma’an. Dengan membawa bekal yang
cukup berangkatlah Zaid kecil dan ibunya bersama rombongan kafilah menuju
pemukiman bani Ma’an. Perjalanan ini memakan waktu selama berhari-hari.
Sementara ayah Zaid Haritsah tidak menyertai dalam perjalanan ini. Meski dengan
berat hati tetap Haristah melepaskan dua orang yang amat dicintainya, meski ada
keinginan besar untuk menyertai perjalanan istri dan anaknya tetapi apa daya,
Haristah tidak dapat turut serta, hal ini karena Haritsah sendiri harus menyelesaikan
beberapa pekerjaan yang tidak mungkin ditinggalkannya.
Akhirnya perjalanan panjang dan melelahkan itu membawa keduanya di
kampung Ma’an, namun ketika mereka tinggal disana, terjadi musibah yang membuat
duka mendalam kedua orang tua Zaid. Kampung Ma’an tiba-tiba diserang oleh
kelompok Badui yang memusuhi mereka mejadikan kampung tersebut porak poranda.
Tidak hanya itu seluruh harta benda dikuras habis bahkan beberapa orang menjadi
tawanan termasuk si kecil Zaid bin Haritsah.
Dengan perasaan terpukul, pulanglah ibunda Zaid Su’di binti Tsa’labah
menemui suaminya dan mencerikan semua peristiwa yang telah menimpanya.
Setelah peristiwa yang memilukan tersebut, Haritsah beserta istrinya selalu mencari
tahu tentang keberadaan Zaid, dengan berjalan mengitari padang pasir, menjelajahi
kampung-kampung hingga bertanya kepada setiap kafilah yang lewat. Namun tidak
pernah ada jawaban mengenai keberadaan Zaid.
Sementara Zaid sendiri, yang menjadi tawanan para perampok, dibawa ke
sebuah pasar oleh kelompok badui untuk dijual bersama dengan harta hasil
rampokannya. Kemudian Zaid dibeli oleh seorang Quraisy yang bernama Hakim bin
Huzam bin Khuwailid yang kemudian menghadiahkan kepada bibinya Khadijah binti
Khuwailid yang pada saat itu telah menjadi istri Muhammad.
Kemudian Khadijah menyerahkan Zaid kepada Muhammad sebagai
pelayannya. Demikianlah pertemuan Zaid dengan Muhammad. Karenanya Zaid
termasuk orang yang dididik secara langsung oleh Rosulullah semenjak dia masih
kecil. Rosulullah sendiri mendidik dan mengasuh Zaid dengan penuh kasih sayang
dan memperlakukannya sebagai anaknya sendiri, sehingga Zaid sering dipanggil
dengan Zaid bin Muhammad. Sebagai seorang yang mulia dan penuh kasih sayang,
Muhammad juga memerdekakan Zaid.
Pada suatu hari, Zaid bertemu dengan seseorang yang berasal dari desa
tempat ayahnya Haritsh tinggal. Pertemuan tersebut menjadikan ayah Zaid Haritsah
mengetahui dimana keberadaan Zaid. Kemudian dengan perasaan yang sangat
gembira, berangkatlah Haritsah menuju Makkah untuk menemui Zaid ditemani
dengan pamannya. Setelah bertemu dengan Muhammad, Haritsah berkata:”Hai
Muhammad, engkau adalah orang yang mulia yang suka membebaskan orang yang
tertindas dan memberikan makan para tawanan, sudikah kiranya engkau memberikan
Zaid kepadaku? Maka aku akan memberikanmu uang sebagai tebusan”
Kemudian Muhammad menjawab: “Panggillah Zaid kemari, biarkanlah dia
bebas untuk memilih dengan siapa dia akan tinggal. Jika dia akan memilihmu, maka
saya akan merelakannya pergi bersamamu tanpa uang tebusan, dan begitu pula
sebaliknya”
Mendengar perkataan Nabi, Zaid sangat bergembira dan tanpa berpikir
panjang Zaid berkata kepada Muhammad:”aku akan memilih tinggal bersamamu
karena engkau ayahku dan juga pamanku”.
Mendengar perkataan Zaid kemudian Nabi memeluk dan mengusapnya
dengan kasih sayang hingga air matanya menetes. Kemudian Nabi membawanya
berkeliling ka’bah dan berkata di tengah-tengah kerumunan orang-orang Quraish:
“Saksikanlah mulai saat ini Zaid adalah anakku dan dia dia berhak menjadi ahli waris
dariku dan aku berhak menjadi ahli waris darinya”. Zaid sendiri merasa sangat
berbahagia karena telah diakui sebagai anak Muhammad, seorang yang dikenal mulia
dan berasal dari suku Quraisy. Sementara ayah Zaid Haristah, meski telah lama
merindukan kehadiran putranya, dia merasa pasrah dan lebih tenang karena Zaid
diasuh dan berada di tengah keluarga yang sangat baik dan mulia.
Setelah Muhammad diangkat menjadi Rosul dan menjalankan tugas
kenabiannya, Zaid termasuk golongan orang yang pertama menyatakan dirinya
mengikuti ajaran Rosulullah. Zaid juga menjadi orang yang selalu mengawal
Rosulullah dalam setiap dakwahnya. Rosulullahpun sangat mencintainya sebagai
seorang yang jujur, berjiwa besar, serta terpelihara lidah dan tangannya. Zaid juga
merupakan panglima yang gagah berani, yang mempunyai keahlian terbaik dalam
memanah. Sehingga setiap peperangan yang diikuti oleh Zaid, sudah dipastikan
bahwa ia akan menjadi panglimanya. Diantara peperangan yang pernah diikuti oleh
Zaid adalah perang Badr, perang Uhud, perang Khandak, perang Hunain, penaklukan
Khaibar dan lain sebagainya.
Setelah Rosulullah mengizinkan para sahabatnya untuk berhijrah ke Madinah,
Zaidpun turut serta berhijrah. Kemudian Rosul menikahkannya dengan ummu Aiman
yang kemudian melahirkan seorang putra bernama Usamah bin Zaid. Dalam
sejarahnya, sebagaimana ayahnya, Usamah juga tumbuh menjadi seorang
pemberani, bahkan Rosulullah pernah menunjuknya sebagai panglima di usianya
yang ke 17 tahun.
Sebagai seorang panglima, Zaid akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya
sebagai seorang syuhada’ di sebuah pertempura dalam perang mu’tah. Perang
Mu’tah adalah peperangan pertama kaum muslimin melawan bangsa adidaya di masa
itu, yakni bangsa Romawi. Perang ini dilakukan pada tahun ke delapan hijriyah. Pada
saat itu bangsa Romawi dipimpin oleh seorang yang bernama Heraklius. Peperangan
ini dipicu oleh terbunuhnya salah seorang utusan Nabi Saw yang bernama Harist bin
Umair oleh salah satu gubernur di bawah bangsa Romawi di Syam.
Dalam perang mu’tah ini Rosulullah menunjuk tiga orang panglima yakni Zaid
bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawanah. Rosulullah berkata pada
saat melepas pasukan ini ke nedan perang: “Kalian harus tunduk kepada Zaid bin
Harits sebagai pimpinan, seandainya ia gugur pimpinan dipegang oleh Ja’far bin Abi
Thalib, dan senadainya Ja’far gugur pula, maka tempatnya diisi oleh Abdullah bin
Rawabah.”
Pertempuran ini berlangsung sangat sengit, denga jumlah pasukan yang
sangat tidak berimbang, pasukan muslim terdiri atas 3000 pasukan, sementara
pasukan Romawi terdiri atas 200 ribu pasukan. Meski demikian, jumlah korban tewas
sebagai syuhada di kalangan orang muslim tercatat hanya 12 orang termasuk di
dalamnya ketiga panglima perang yang meninggal secara berurutan sesuai dengan
amanah yang diberikan oleh Rosulullah, mulai dari Zaid bin Haritsah, yang setelah
meninggal bendera kepemimpinan beralih pada Ja’far bin Abi Thalib, kemudian
Ja’farpun akhirnya gugur sebagai syuhada dengan 90 luka di badannya, setelah Ja’far
gugur bendera kepemimpinanpun beralih pada Abdullah bin Rawanah yang akhirnya
juga menghembuskan nafas terakhirnya di medan pertempuran. Melihat bendera
kepemimpinan yang tidak bertuan tersebut, akhirnya Tsabit bin Arqam mengambil
inisiatif untuk mengambil bendera tersebut dan para sahabat menunjuk Khalid bin
Walid sebagai panglimanya menggantikan ketiga panglima yang telah gugur
sebelumnya. Demikian hingga akhirnya usai peperangan Khalid bin Walid menjadi
panglima perang terakhir dalam perang mu’tah yang merugikan kaum Romawi
dengan banyaknya korban yang tewas di medan peperangan.
Perang mu’tah mengakhiri hidup Zaid bin Haritsah sebagai seorang syuhada
dengan imbalan surga Allah yang tentunya terbuka menanti kehadiran Zaid bin
Haritsah[1].
[1]http://risalahrasul.wordpress.com/2008/05/29/zaid-bin
Haritsah/,http://id.wikipedia.org/wiki/Zaid_bin_Haritsah,

Anda mungkin juga menyukai