Anda di halaman 1dari 11

Khodijah binti Khuwailid Istri Yang Tercinta Wahai Muslimah Mengapa kita harus mencari panutan yang lain,

Kalau di hadapan kita ada sosok yang paling baik, dan Mulia Ibu bagi orang Mukminin Istri yang setia lagi Taat Sebagai penentram hati sang suami dan sebaik-baik teladan bagi kaum wanita Simaklah sabda Rasulullah : Sebaik-baik wanita ialah Maryam binti Imran. Sebaik-baik wanita ialah Khadijah binti Khuwailid. (HR Muslim dari Ali bin Abu Thalib radiyallahu anhu). Dan sebaik -baik wanita dalam masanya adalah Khadijah Dialah Khadijah binti Khuwailid istri Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang pertama. Ia lahir pada tahun 68 sebelum Hijrah. Hidup dan tumbuh serta berkembang dalam suasana keluarga yang terhormat dan terpandang, berakhlak mulia, terpuji, berkemauan tinggi, serta mempunyai akal yang suci, sehingga pada zaman jahiliyah diberi gelar Ath-Thahirah. Khadijah adalah wanita kaya yang hidup dari usaha perniagaan. Dan untuk menjalankan perniagaannya itu ia memiliki beberapa tenaga laki-laki, diantaranya adalah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam (sebelum beliau menjadi suaminya). Sebenarnya Khadijah adalah wanita janda yang telah menikah dua kali. Pertama ia menikah dengan Zurarah At-Tamimi dan yang kedua menikah dengan Atid bin Abid AlMakhzumi. Dan masing-masing wafat dengan meninggalkan seorang putera. Pada masa jandanya, banyak tokoh Quraisy yang ingin mempersuntingnya. Namun ia selalu menolaknya. Dibalik semua itu, Allah memang telah mempersiapkan Khadijah binti khuwailid untuk menjadi pendamping Rasul-Nya yang terakhir, yakni Muhammad bin Abdullah Shallallahu alaihi wa sallam. Untuk pembela dan penolong risalah yang beliau sampaikan. Pada usianya yang ke empat puluh, beliau menikah dengan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, pada waktu itu Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam belum diangkat menjadi rasul dan baru berusia 25 tahun. Perbedaan usia tidaklah menimbulkan permasalahan bagi rumah tangga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahkan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada waktu membentuk rumah tangga dengannya tidak mempunyai isteri yang lainnya. Pernikahannya dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dikaruniai beberapa putera oleh Allah Subhanahu wa Taala yaitu Qosim, Abdullah, Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum dan Fathimah. Namun putera beliau yang laki-laki meninggal dunia sebelum dewasa. Suatu hari Khadijah mendapatkan suaminya pulang dalam keadaan gemetaran. Terpancar dari raut wajahnya kekhawatiran dan ketakutan yang sangat besar. Selimuti aku!., Selimuti aku!, seru Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada isterinya. Demi melihat kondisi yang seperti itu, tidaklah membuat Khodijah menjadi panik. Kemudian diselimuti dan dicoba untuk menenangkan perasaan suaminya. Rasul pun segera menceritakan pada istrinya, kini tanpa disadarinya, tahulah ia bahwa suaminya adalah utusan Allah subhanahu wa taala. Dengan tenang dan lemah lembut, Khadijah berkata : Wahai putera pamanku, Demi Allah, dia tidak

akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sesungguhnya engkau termasuk orang yang selalu menyambung tali persaudaraan, berkata benar, setia memikul beban, menghormati dan suka menolong orang lain. Tutur kata manis dari sang istri menjadikan beliau lebih percaya diri dan tenang. Khadijah, sungguh mulia akhlaqmu. Diawal permulaan Islam, peranan Khadijah tidaklah sedikit. Dengan setia ia menemani suaminya dalam menyampaikan Risalah yang diemban oleh beliau dari Rabb Subhanahu wa Taala. Wanita pertama yang beriman kepada Allah ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengajaknya menuju jalan Rabb-Nya. Dia yang membantu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam mengibarkan bendera Islam. bersama Rasulullah sebagai angkatan pertama. Dengan penuh semangat, Khadijah turut berjihad dan berjuang, mengorbankan harta, jiwa, dan berani menentang kejahilan kaumnya. Khadijah seorang yang senantiasa menentramkan dan menghibur Rasul disaat kaumnya mendustakan risalah yang dibawa. Seorang pendorong utama bagi Rasul untuk selalu giat berdawah, bersemangat dan tidak pantang menyerah. Ia juga selalu berusaha meringankan beban berat di pundak Rasul. Perhatikan pujian Rasul terhadap Khadijah : Dia (Khadijah) beriman kepadaku disaat orang-orang mengingkari. Ia membenarkanku disaat orang mendustakan. Dan ia membantuku dengan hartanya ketika orang-orang tiada mau. (HR. Ahmad, Al-Istiab karya Ibnu Abdil Baar) Kebijakan, kesetiaan dan berbagai kebaikan Khadijah tidak pernah lepas dari ingatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Bahkan sampai Khadijah meninggal. Ia benar-benar seorang istri yang mendapat tempat tersendiri di dalam hati Rasulullah shallallalhu alaihi wa sallam. Betapa kasih beliau kepada Khadijah, dapat kita simak dari ucapan Aisyah . Belum pernah aku cemburu terhadap istri-istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana cemburuku pada Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya. Tetapi Nabi shallallahu alaihi wa sallam selalu menyebut-nyebut namanya, bahkan adakalanya menyembelih kambing dan dibagikannya kepada kawan-kawan Khadijah. Bahkan pernah saya tegur, seakan-akan di dunia tidak ada wanita selain Khadijah, lalu Nabi menyebut beberapa kebaikan Khadijah, dia dahulu begini dan begitu, selain itu, aku mendapat anak daripadanya. Khadijah binti Khuwailid, wafat tiga tahun sebelum hijrah dalam usia 65 tahun. Kepergiaannya membuat kesedihan yang sangat mendalam di hati Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam maupun umat Islam. Ia pergi menghadap Rabb-Nya dengan meninggalkan banyak kebaikan yang tak terlupakan. Itulah Khadijah binti Khuwailid, yang Allah pernah menyampaikan peghormatan (salam) kepadanya dan Allah janjikan untuknya sebuah rumah di Syurga. Sebagaimana telah disebut dalam hadist dari Abu Hurairah: Jibril datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan berkata: Wahai Rasulullah, ini Khadijah datang kepada engkau dengan membawa bejana berisi lauk pauk atau makanan atau minuman. Apabila ia datang kepadamu, sampaikanlah salam kepadanya dari Tuhannya Yang Maha Mulia lagi Maha Agung dan juga dariku dan kabarkanlah berita gembira kepadanya mengenai sebuah rumah di surga yang terbuat dari mutiara di dalamnya tidak ada keributan dan kesusahan. (HR Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu anhu). Wahai orang yang terperdaya, .. istana tersebut lebih baik dari pada gemerlapnya dunia yang telah memperdayakanmu. Dan ini adalah sebaik-baik kabar gembira dibanding dunia dan segala isinya. Tidakkah kalian ingin mendapatkannya pula? Mudah-mudahan Allah memberikan balasan kepada Khadijah atas segala jasa dan kebaikanya dalam membela agama dan Rasul-Nya

dengan balasan yang sebaik-baiknya, penuh kenikmatan dan kecemerlangan di dalam istananya. KISAH SITI KHADIJAH, ISTRI RASULULLAH SAW Khadijah hadir di masa ba ngsa arab di Mekkah memandang rendah kaum wanita. Kala dimana bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena merasa malu. Namun Khadijah seolah membuat kelu lidah para pemuka Arab karena keunggulan sifatnya. Ia menampung bayi-bayi perempuan kecil yang tidak diinginkan ayahnya, mendidiknya dan menjadikan mereka bidadaribidadari penghias dunia. Karena keikhlasannya, tutur katanya yang santun dan ketegasan sikapnya, masyarakat Mekkah menjulukinya Sayyidah at-Tahirah (si wanita yang suci) dan ada juga yang memanggilnya Sayyidah NisaI Quraisy (pemimpin wanita Quraisy). Khadijah ra berasal dari keluarga bangsawan. Nasabnya berawal dari Qushay yang merupakan keturunan Ismail. Ayahnya adalah Khuwailid binti Asad bin Abdul Uzza bin Qushay.yang merupakan salah satu pemimpin terkemuka sebelum ia meninggal dalam peperangan. Ayahnya adalah orang yang mempertahankan Hajar Aswad dari agresi raja Tubba di Yaman. Sepupunya Waraqah bin Naufal, salah satu cendikia yang hanif dan mengetahui banyak hal. Ia mempelajari semua kitab baik Taurat maupun Injil dan berguru pada orang-orang bijak. Dia mengetahui kebenaran yang diceritakan oleh Musa AS maupun Isa AS bahwa akan datang Nabi terakhir di akhir zaman dan mengetahui ciri-ciri dari Nabi terakhir tersebut. Ia menolak menyembah berhala seperti yang dilakukan kaumnya. Dua suaminya telah meninggal lebih dulu dan masing-masing memberinya seorang putri yang diberi nama sama yaitu Hindun. Hindun yang pertama menjadi pencerita sejarah perkembangan Islam yang piawai. Sedangkan Hindun yang kedua adalah salah seorang sahabat Rasulullah. Sang Pengusaha Khadijah mewarisi harta yang sangat banyak baik dari keluarganya maupun dari suaminya. Ia sangat pandai berbisnis. Bahkan dikatakan bahwa sekali ia memberangkatkan rombongan yang membawa dagangannya, setara dengan jumlah barang dagangan yang dibawa oleh seluruh pedagang Quraisy lainnya. Ia dijuluki memiliki sentuhan emas, karena kemampuannya mengorganisasikan bisnisnya sehingga kafilahnya selalu pulang dengan membawa untung yang berlipat. Para kafilah yang dipilih Khadijah membawa aneka barang khas Mekkah seperti kain, sulaman, jubah, selimut, ikat pinggang dan lain-lain. Juga menjadi distributor barang-barang dari para pedagang Yaman. Selain juga membawa kuda-kuda Arab yang tangguh untuk dijual kepada para prajurit. Tak kurang dari seribu unta yang membawa barang dagangannya setiap kali rombongan kafilahnya berangkat. Mengelola bisnis yang begitu besar bukanlah hal yang mudah. Terbukti saudara-saudara Khadijah yang lain yang sama-sama mewarisi harta keluarganya tidak seberuntung Khadijah. Tapi area bisnis Khadijah meliputi Mekah hingga ke negeri Syam. Hal itu tidak luput dari kepiawaiannya menentukan pemimpin kafilah yang membawa barang dagangannya. Menentukan pemimpin kafilah tidaklah mudah. Ia harus seorang yang jujur dan terpercaya karena akan membawa barang dagangan untuk waktu yang lama. Ia juga harus memiliki indra keenam untuk menentukan cuaca dan menjamin kecukupan perbekalan selama perjalanan. Harus bisa mengamankan barang dagangan dari para perampok yang menghadang mereka. Ia juga

harus pandai menyemangati kelompoknya sehingga tetap semangat hingga tujuan.Dan Khadijah tidak pernah meleset dalam memilih pemimpin kafilahnya. Sungguh wanita yang luar biasa. Memilih Suami yang tepat Sebagai wanita terkemuka, Khadijah diinginkan oleh banyak pemuka Quraisy. Selain itu meski usianya telah menginjak usia 40, namun kecantikannya tidaklah pudar dari wajahnya. Semakin banyaklah lamaran yang ia terima. Namun Khadijah belum juga menentukan pilihan pada siapapun. Suatu hari ia mendengar seorang pegawai kepercayaannya, Maisarah, yang ikut dalam rombongan kafilah menceritakan seorang pemuda yang menurutnya memiliki sifat yang istimewa. Pemuda itu bernama Muhammad (SAW), dan ia ikut dalam rombongan kafilah yang membawa barang dagangan Khadijah. Menurutnya cara berdagang Muhammad (SAW) berbeda dengan para pedagang lainnya. Ia sangat jujur, tidak pernah memanipulasi harga barang dagangannya dan tidak pernah menyembunyikan keuntungan yang diperolehya. Di sela-sela kesibukannya, ia masih bisa menyempatkan diri untuk merenung dan bertafakur. Dan yang lebih mengherankan, ia selalu memperoleh keuntunganyang besar bahkan sangat besar dari barang yang didagangkannya. Mendengar reputasinya, Khadijah merasa tertarik kepada pemuda luar biasa itu. Bukan karena kemudaan dan kegagahannya, tapi lebih kepada sifatnya. Maka ia sering meminta Maisarah untuk selalu menceritakan kisah-kisah pemuda yang semakin dirindukannya. Ia pun sering menceritakan isi hati dan harapannya kepada sahabatnya Nafisah, bisakah pemuda yang telah menawan hatinya menjadi miliknya. Akhirnya lagu cintanya terdengar oleh paman Nabi, Abu Thalib. Dan restupun segera datang. Tidak lama kemudian Khadijah pun menikah dengan Nabi yang saat itu berusia 25 tahun. Ummu Muslimin Selama 15 tahun mereka hidup bersama dan bahagia. Dari Khadijah, Nabi mendapatkan beberapa keturunan. Putra pertamanya yang diberi nama Qasim, meninggal saat usianya 2 tahun. Dua putra lainnya yaitu Tayyib dan Tahir juga meninggal saat mereka masih kecil. Namun 4 putri mereka; Zaynab, Ruqayya, Ummi Kultsum dan Fatimah tumbuh besar bersama mereka. Ia begitu mencintai dan menghormati suaminya. Kekayaan yang dimilikinya tidaklah membuatnya besar kepala ataupun merasa lebih. Ia menempatkan suaminya sebagai pemimpin keluarga yang wajib ditaati. Dan ia begitu mempercayainya. Khadijahlah wanita pertama dan orang pertama yang menyatakan kesaksiannya dan masuk Islam. Tanpa ragu ia menafkahkan seluruh hartanya untuk membiayai syiar Islam. Tak sedikitpun harta yang tersisa bahkan untuk Fatimah, satusatunya putri mereka yang tetap hidup hingga akhir kepemimpinan Nabi. Tidak pernah sedikit pun ia meragukan pernyataan Nabi yang dijuluki Al-Amin (yang dapat dipercaya) seperti ketika Nabi mendapatkan wahyunya yang pertama. Wafatnya Khadijah Tahun-tahun penuh kesulitan saat Nabi menyiarkan Islam, tidak menyurutkan cinta Khadijah. Ia dengan setia mendampinginya, menenangkannya dan dengan iklas membelanjakan hartanya di jalan Alloh. Ia memerdekakan para budak, menyantuni para fakir dan menyediakan penampungan bagi mereka. Meskipun kaum Quraisy tidak segan-segan menyiksa siapapun yang meyakini agama Islam, namun jumlah kaum Muslimin di Mekkah pelan tapi pasti semakin

bertambah. Keberhasilan perjuangan Nabi tidak terlepas dari keberadaan Abu Thalib, paman Nabi yang selalu melindunginya dan peranan Khadijah yang selalu mendampinginya. Namun hari itu pun datang ketika Khadijah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa di tahun yang sama dengan meninggalnya paman nabi Abu Thalib. Nabi sangat berduka. Ia menamakan tahun itu sebagai Tahun Kesedihan. Nabi kehilangan cinta Khadijah, namun cintanya kepada istrinya itu tidak pernah surut meskipun di kemudian hari ia memiliki beberapa istri. Suatu hari Aisyah, istri ketiganya, bertanya apakah hanya Khadijah yang pantas mendapatkan cintanya. Nabi menjawab Ia mempercayaiku saat orang lain tidak mempercayaiku. Ia menyatakan keimanannya saat orang lain menolakku. Dan ia menolongku saat tidak seorang pun mengulurkan tangannya. Abu Hurairah menceritakan; Jibril pernah datang kepada Rasulullah ketika Khadijah masih hidup dan ia berkata Wahai Rasululloh, Khadijah akan datang padamu dengan membawa semangkuk sup. Saat ia datang, berilah salam dari Alloh dan aku. Dan sampaikanlah kabar gembira dari surga untuknya dimana tidak ada kebisingan dan rasa letih. Khadijah binti Khuwailid meninggal di usianya yang ke 65. Ialah Ummu Muslimin pertama. Padanya Alloh menjanjikan surga. Dan semoga kesalihan dan keunggulan sifatnya bisa kita jadikan tauladan. KISAH CINTA NABI MUHAMMAD DAN KHADIJAH Makkah, sekitar 595 M. Suatu hari di tahun itu, perempuan bangsawan, kaya raya, cantik dan tekenal cerdas serta tegas duduk mendengarkan laporan seorang anak muda tentang perjalanan dan transaksi perdagangan yang dilakukannya di Syam (sebutan yang diberikan bagi kawasan yang membentang dari pegunungan Taurus, di sebelah utara, sampai ke Sinai, di sebelah selatan dan antara Laut Putih di sebelah barat dan hulu Sungai Eufrat dan Padang Pasir Arab di sebelah timur). Ternyata, transaksi itu sangat menguntungkan, karena anak muda itu dapat menjual barang dagangan yang dibawanya hampir dua kali lipat dari harga yang dibayarkan. Namun, bukan laporan itu yang memikat perempuan yang anggun nan cantik yang berusia sekitar 40 tahun itu. Entah mengapa perhatiannya kali ini lebih banyak tak terkendali dan kemudian terpusat pada anak muda itu sendiri. Bukan pada laporan yang dikemukakannya. Anak muda yang berusia sekitar 25 tahun itu memiliki sosok tubuh sedang, ramping, dengan bentuk kepala besar, punggung lebar, dan anggota tubuhnya yang sangat serasi. Kulitnya cerah, tidak teralalu putih dan tidak cokelat. Rambut dan janggut lebat dan hitam, tidak lurus dan tidak terlampau ikal. Rambutnya mencapai pertengahan antara daun telinga dan punggungnya. Panjang janggutnya serasi. Sementara dahinya lebar, matanya berbentuk oval lebar, dan alis matanya yang lebat tampak melengkung tetapi tidak bertaut. Walaupun janggutnya dibiarkan tumbuh, ketampanannya senantiasa berpendar. Yang menambah ketampanan alamiahnya adalah cahaya yang memancar di wajahnya dan pendar cahaya itu terutama tampak dahinya yang lebar dan matanya yang bening. Perempuan yang kelak mendapat gelar agung Ibunda Pertama Orang-orang Beriman itu benar-benar terpesona dan terpikat dengan anak muda itu. Menyadari dirinya masih cantik, tetapi 15 tahun lebih tua ketimbang anak muda itu, tiba-tiba membersit dalam benaknya ide berani : maukah anak muda itu menikah dengannya? Memang dia sudah banyak mengenal kehidupan, juga sudah mengenal pelbagai tipe pria. Dia pun telah melintas dua kali perkawinan dengan dua pria dari kalangan bangsawan. Dia juga sudah banyak memberi upah kepada sejumlah orang tua

dan anak muda yang membawa barang dagangannya. Tapi, dalam hidupnya, dia belum pernah melihat atau mengenal pria yang sungguh istimewa seperti anak muda yang satu itu. Begitu anak muda itu memohon diri dan berlalu, hati perempuan nan cantik dan berkepribadian sangat matang itu sangat resah dan gelisah. Bayang-bayang anak muda nan tampan, santun, ramah dan berakhlak mulia itu benarbenar menyergap dan menggelayuti benaknya. Dia pun tenggelam dalam pikirannya, membayangkan kembali nada-nada suara anak muda yang menggemakan kejujuran, keramahan, kesantunan dan ketegasan itu ketika menceritakan perjalanannya ke Syam. Dia tenggelam dalam perasaannya membayangkan kembali seraut wajah anak muda yang memancarkan keagungan dan kemudaan itu. Tiba-tiba, dia merasakan suara hatinya berputar-putar mengitari ruangan tempat dia bertemu dengan anak muda tersebut. Seketika hatinya bergetar dan tubuhnya gemetar. Dia kemudian bertanya kepada dirinya sendiri Duh, mengapa hatiku bergetar dan tubuhku gemetar, sedangkan masa mudaku hampir atau malah sudah berlalu. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi? Ketika merasa telah menemukan jawabannya, perempuan anggun nan bangsawan itu tiba-tiba tertegun dan tercenung. Benar-benar bingung dan limbung. Dia tidak tahu bagaimana menghadapi dunia dengan membawa perasaan seperti itu. selepas sedemikian lama dia menutup hatinya dan telepas dari kehidupan pria. Dia pun tidak mengerti, bagaimana dia harus menghadapi keluarganya, selepas menolak lamaran para tokoh dan para hartawan terpandang dan terkemuka di kota kelahirannya. Tapi, mengapa pula pula dia sibuk memikirkan tanggapan kaumnya, sebelum mengetahui tanggapan anak muda itu tentang dirinya. Apakah anak muda itu akan menaruh hati kepada seorang perempuan berusia 40 tahun dan berstatus janda? Perempuan yang mendapat gelar Putri Quraisy (Amirah Quraisy) itupun merasa diterpa perasaan sangat malu. Dalam usianya yang telah cukup lanjut, jika dibandingkan dengan anak muda itu, tentu dia lebih layak menjadi ibunda bagi anak muda itu. Malah, seandainya ibunda anak muda itu masih hidup pun, usianya tentu belum melintasi empat puluh tahun perjalanan hidup anak manusia. Selain itu, dirinya saat itu adalah seorang Ibunda. Suami pertamanya memberinya seorang putrid yang hampir tiba saatnya memasuki mahligai perkawinan. Sementara suami keduanya telah memberinya seorang putra, seorang bocah yang masih kecil. Akhirnya, tak kuasa menanggung beban gelagak hati dan pikiran yang sangat berat dan menggelisahkan hati itu, dia pun mengundang sahabat karibnya yang bernama Nafisah binti Munabbih, untuk melepaskan beban yang hampir kuasa ditanggungnya itu. Ketika sang sahabat datang menemuinya, dia pun segera melontarkan gejolak dan gelagak hati dan pikirannya yang galau dan risau itu kepada sang sahabat. Setelah lama berbincang dan bertukar pikiran, akhirnya sang sahabat menawarkan diri untuk mendekati anak muda itu, dan jika perlu, mengatur pernikahan mereka berdua. Tak lama selepas meninggalkan rumah megah perempuan anggun nan bangsawan yang sedang diterpa penyakit cinta itu, Nafisah pun dengan bergegas segera datang kepada anak muda yang membuat galau dan risau sahabatnya itu. selepas bebagi sapa sejenak dengan anak muda nan tampan, santun, ramah dan berakhlak mulia tersebut, Nafisah kemudian menyergapnya dengan sederet pertanyaan: apa sebabnya hingga saat itu dia belum juga berkeluarga; mengapa menghabiskan masa mudanya begitu saja; mengapa tidak menentramkan hati di samping seorang isteri yang menyayanginya dan meniadakan kesepian serta dapat menghiburnya?

Mendengar sederet pertanyaan yang mengusik hatinya itu, anak muda yatim dan tak pernah mengenal wajah ayahnya semenjak lahir itu hampir tak kuasa menahan air matanya yang hampir tumpah. Seketiak dia teringat akan kesepian dan keperihan hidup yang dideritanya semenjak ditinggal wafat ibundanya sebagai bocah berusia enam tahunan. Dia pun memaksa dirinya untuk tersenyum seraya menjawab, Aku belum menemukan siapa yang akan menjadi teman hidupku. Seketika itu juga Nafisah binti Munabbih, menyergap-nya dengan jawaban, Bagaimana kalau engkau ditawari seseorang yang memiliki harta, kecantikan, kemuliaan, dan kebangsawanan? Apakah engkau masih juga tidak menaruh perhatian? Pertanyaan Nafisah sangat menyentuh hati anak muda itu yang tak lain adalah Muhammad bin Abdullah yang kala itu belum lagi diangkat sebagai utusan Allah. Seketika itu pula dia mengerti, siapa yang dimaksudkan Nafisah. Dialah Khadijah binti Khuwailid. Siapa lagi, di kota Makkah kala itu, yang dapat menandingi Khadijah binti Khuwailid dalam hal kemuliaan, kebangsawanan dan kecantikan? Ya, andaikata benar yang ditawarkan Nafisah adalah Khadijah, tentu saja dia mau. Tapi, apakah memang Khadijah yang dimaksudkan Nafisah? Bagaimana aku dapat menikahinya? Tanya anak muda itu dengan perasaan ragu dan galau. Serahkan hal itu kepadaku! jawab Nafisah binti Munabbih lega dan gembira, karena anak muda itu tak menolak calon isteri yang ditawarkan kepadanya. Nafisah binti Munabbih segera memohon diri. Dia meninggalkan anak muda itu hanyut dalam lamunan, membayangkan kelemahlembutan Khadijah. Terbayang di pelupuk mata dan dalam pikirannya, masa depan nan indah penuh kemesraan dan kasih sayang. Tapi, dia segera menghentikan angan-angannya, agar tidak mengkhayal terlalu jauh. Sebab, dirinya tahu, Khadijah pernah beberapa kali menolak lamaran orang-orang Quraisy terkemuka dan terpandang. Untuk menenangkan diri, dia segera pergi menuju Kabah seraya berusaha mencoba bersikap realistis. Pada saat yang sama Nafisah segera menapakkan kaki menuju rumah Khadijah binti Khuwailid. Betapa gembira hati Khadijah selepas mendengarkan hasil perbincangan sahabatnya itu dengan anak muda itu. Khadijah kemudian meminta Nafisah memanggil anak muda itu agar datang kepadanya. Setalah dia datang, Khadijah pun berkata kepadanya, Wahai putra pamanku! Aku mencintaimu karena kebaikanmu kepadaku. Juga, karena engkau senantiasa terlibat dalam segala urusan di tengah masyarakat dengan sikap nan bijak. Aku menyukaimu karena engkau dapat diandalkan, juga karena keluhuran akhlak dan kejujuran perkataanmu. Kemudian perempuan nan bersih dan suci (al-Thahirah) yang menurut beberapa sumber, lahir di Makkah sekitar 565 M dan putri pasangan suami-istri Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai dan Fatimah binti Zaidah bin Al Asham dari Bani Amir bin Luayyi bin Ghalib itu menawarkan dirinya untuk dinikahi. Mereka pun sepakat agar masing-masing berbicara kepada pamannya. Khadijah berbicara kepada pamannya, Amr bin Asad, karena Ayahandanya, Khuwailid bin Asad, berpulang menjelang peristiwa Perang Fijar. Pada kesempatan tersebut, Hamzah bin Abdul Muththalibah, didampingi Abu Thalib bin Abdul Muththalib dan beberapa orang lainnya, yang diutus Bani Hasyim untuk mewakili mereka. Meskipun relatif masih muda, Hamzah adalah yang paling dekat hubungannya dengan Bani Asad, karena saudara perempuan kandungnya, Shafiyyah binti Abdul Muththalib, menikah dengan saudara lelaki Khadijah, Al-Awwam bin Khuwailid (suami keduanya). Maka, Hamzah membawa keponakannya menemui Amr bin Asad dan melamar Khadijah. Kesepakatan dicapai di antara mereka bahwa Muhammad harus memberinya mahar dua puluh ekor unta betina. Dan, kemudian dilaksanakan pernikahan antara Muhammad bin Abdullah dan Khadijah binti

Khuwailid bin Asad yang berasal dari klan Bani Hasyim dari Suku Bani Asad. Dengan kata lain, diantara istri-istri beliau, Khadijah inilah yang paling dekat garis keturunannya dengan beliau. Itulah kisah pertemuan dan perkawinan Rasulullah Saw. dan Istri teladan beliau, Khadijah. Pernikahan agung antara kedua manusia teladan itu, ternyata, kemudian tetap berlangsung hingga sang istri teladan itu wafat di usia sekitar 65 tahun. Selama sekitar 25 tahun itu, kehidupan suami-istri itu berlangsung penuh keserasian dan kebahagiaan. Semua putra-putri Rasulullah saw, adalah hasil pernikahan beliau dengan Khadijah, kecuali Ibrahim. Lima belas tahun selepas pernikahan beliau dengan Khadijah, beliau diangkat sebagai Rasul. Selama mendampingi beliau, peran istri teladan beliau ini sangat besar dalam upaya sang suami untuk menyeru dan mengajak umat manusia ke pangkuan agama tauhid dan meninggalkan agama berhala dan adat istiadat jahiliyah. Dengan penuh kesabaran, ketabahan dan ketegaran dia mendampingi sang suami tercinta di awal perjuangan berat menyebarkan Islam. Sebagai istri Rasulullah saw, dia banyak mengalami nestapa dan derita. Namun, dia tetap tabah dan setia. Dia tetap mendampingi sang suami tercinta ketika kaum musyrik Quraisy memboikot dan mengusir keluarga Bani Hasyim yang bersikeras menyebarkan Islam. Tak aneh jika beliau sangat kehilangan Ibunda Pertama Orang-orang beriman itu berpulang pada 10 atau 11 Ramadhan tahun ke 10 kenabian, di usia ke 65 tahun karena sakit demam. Ketika memakamkannya beliau meletakkan sendiri ke dalam liang lahad. Dan, tentang istrinya yang member beliau enam putraputri: Al Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah Az Zahra ini, sepeninggal Khadijah beliau memujinya, Allah tidaklah menganugerahkan kepadaku seorang istri sebagai pengganti yang lebih baik daripada Khadijah. Dia beriman kepadaku ketika semua orang mengingkari kenabianku. Dia membenarkanku ketika semua orang mendustakanku. Dia mengorbankan hartanya ketika semua orang berupaya mempertahankannya. Dan, dari rahimnya Allah menganugerahkan anak-anak bagiku, bukan dari perempuan-perempuan lain."

Aisyah binti Abu Bakar Hari-hari indah bersama kekasih Allah dilalui dengan singkatnya ketabahan menghiasi kesendiriannya guru besar bagi kaumnya pendidikan kekasih Allah telah menempanya. Dia adalah putri Abu Bakar Ash-Shiddiq , yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lebih suka memanggilnya Humaira. Aisyah binti Abu Bakar Abdullah bin Abi Khafafah berasal dari keturunan mulia suku Quraisy. Ketika umur 6 tahun, gadis cerdas ini dipersunting oleh manusia termulia Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdasarkan perintah Allah melalui wahyu dalam mimpi beliau. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengisahkan mimpi beliau kepada Aisyah :Aku melihatmu dalam mimpiku selama tiga malam, ketika itu datang bersamamu malaikat yang berkata : ini adalah istrimu. Lalu aku singkap tirai yang menyembunyikan wajahmu , lalu aku berkata sesungguhnya hal itu telah ditetapkan di sisi Allah. (Muttafaqun alaihi dari Aisyah radilayallahu anha) Aisyah radhiyallahu anha memulai hari-harinya bersama Rasulullah sejak berumur 9 tahun. Mereka mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga yang diliputi suasana Nubuwwah. Rumah kecil yang disamping masjid itu memancarkan kedamaian dan kebahagiaan walaupun tanpa permadani indah dan gemerlap lampu yang hanyalah tikar kulit bersih sabut dan lentera kecil berminyak samin (minyak hewan). Di rumah kecil itu terpancar pada diri Ummul Mukminin teladan yang baik bagi istri dan ibu karena ketataatannya pada Allah, rasul dan suaminya. Kepandaian dan kecerdasannya dalam mendampingi suaminya, menjadikan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sangat mencintainya. Aisyah menghibur Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sangat mencintainya. Aisyah menghibur Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika sedih, menjaga kehormatan diri dan harta suami tatkala Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdawah di jalan Allah. Aisyah radhiyallahu anha juga melalui hari-harinya dengan siraman ilmu dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sehingga ribuan hadist beliau hafal. Aisyah radhiyallahu anha juga ahli dalam ilmu faraid (warisan dan ilmu obat-obatan). Urmah bin Jubair putra Asma binti Abu Bakar bertanya kepada Aisya radhiyallahu anha : Wahai bibi, dari mana bibi mempelajari ilmu kesehatan?. Aisyah menjawab :Ketika aku sakit, orang lain mengobatiku, dan ketika orang lain sakit aku pun mengobatinya dengan sesuatu. Selain itu, aku mendengar dari orang lain, lalu aku menghafalnya. Selain keahliannya itu, Aisyah juga seorang wanita yang menjaga kesuciannya. Seperti kisah beliau sepulang dari perang Hunain, yang dikenal dengan haditsul ifqi. Ketika mendekati kota Madinah, beliau kehilangan perhiasan yang dipinjam dari Asma. Lalu dia turun untuk mencari perhiasan itu. Rombongan Rasulullah dan para sahabatnya berangkat tanpa menyadari bahwa Aisyah tertinggal. Aisyah menanti jemputan, dan tiba-tiba datanglah Sufyan bin Muathal seorang tentara penyapu ranjau. Melihat demikian, Sufyan menyabut Asma Allah lalu Sufyan turun dan mendudukkan kendaraanya tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya kemudian Aisyah naik kendaraan tersebut dan Sufyan menuntun kendaraan tersebut dengan berjalan kaki. Dari kejadian ini, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya menyebarkan kabar bohong untuk memfitnah

ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha. Fitnah ini menimbulkan goncangan dalam rumah tangga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tapi Allah yang Maha Tahu berkehendak menyingkap berita bohong tersebut serta mensucikan beliau dalam Al-Quranul Karim dalam surat An-Nur ayat 11-23. Diantara kelebihan beliau yang lainnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memilih untuk dirawat di rumah Aisyah dalam sakit menjelang wafatnya. Hingga akhirnya Rasulullah wafat di pangkuan Aisyah dan dimakamkan dirumahnya tanpa meninggalkan harta sedikitpun. Ketika itu Aisyah radhiyallahu anha berusia 18 tahun. Sepeninggal Rasulullah, Aisyah mengisi hariharinya dengan mengajarkan Al-Quran dan Hadits dibalik hijab bagi kaum laki-laki pada masanya. Dengan kesederhanaannya, beliau juga menghabiskan hari-harinya dengan ibadah kepada Allah, seperti puasa Daud. Kesederhanaan juga nampak ketika kaum muslimin mendapatkan kekayaan dunia, beliau mendapatkan 100.000 dirham. Saat itu beliau berpuasa, tetapi uang itu semua disedekahkan tanpa sisa sedikitpun. Pembantu wanitanya mengingatkan beliau :Tentunya dengan uang itu anda bisa membeli daging 1 dirham buat berbuka? Aisyah menjawab : Andai kamu mengatakannya tadi, tentu kuperbuat. Begitulah beliau yang tidak gelisah dengan kefakiran dan tidak menyalahgunakan kekayaan kezuhudannya terhadap dunia menambah kemuliaan. Disunting dari : Aisyah binti Abu Bakar Saudah binti Zamah Namanya menggoreskan tinta emas dalam lembaran sejarah kaum muslimin. Dia wanita yang tabah. Keinginan menjadi pendamping Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sampai wafatnya adalah bukti kesetiannya terhadap beliau. Dia adalah Saudah binti Zamah. Aku ingin sekali menjadi dirinya. Saudah menikah pertama kali dengan Sakran bin Amr, saudara laki-laki Suhaili bin Amr Al-Amiri. Ia bersama suaminya adalah termasuk kelompok kaum muslimin yang berjumlah 8 orang dari Bani Amir yang hijrah ke Habasyah dengan meninggalkan hartaharta mereka. Mereka arungi laut penderitaan diatas keridhaan, rela atas kematian yang akan menghadangnya, demi kemenangan agama yang mulia ini. Dan sungguh bertambah keras siksa dan kesempitan yang dialaminya karena penolakan mereka terhadap kesasatan dan kesyirikan. Tak lama kemudian setelah berakhirnya pengujian pengungsian di negeri Habasyah, ujian yang lainpun datang. Saudah harus kehilangan suaminya menghadap Sang Khaliq selama-lamanya. Maka jadilah ia seorang janda seiring dengan usianya yang mulai menapaki masa senja. Hari-hari duka dilalui dengan ketabahan. Dan inilah yang membuat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam merasa terkesan kepadanya serta bersedia membantu Saudah tak ubahnya seperti masa kedukaan yang dialami Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sejak meninggalnya Khadijah Ummul Mukminin Ath-Thahirah. Wanita pertama yang beriman dikala manusia berada dalam kekafiran, yang mendermakan hartanya ketika manusia menahannya, dan melalui dialah Allah anugerahkan seorang putera. Namun setelah masa-masa itu datanglah Khaulah binti Hakim kepada Rasulullah seraya bertanya:Tidakkah engkau ingin menikah lagi, Ya Rasulullah?. Dengan suara sedih dan duka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab :Siapakah yang akan menjadi istriku setelah Khadijah, ya Khaulah? Khaulah

berkata lagi :Terserah padamu , ya Rasulullah.., engkau menginginkan yang gadis atau yang janda. Siapakah yang masih perawan?, tanya Rasulullah kepada Khaulah. Khaulah pun menjawab :Anak perempuan dari orang yang paling engkau cintai, Aisyah binti Abu Bakar. Dan siapakah kalau janda? tanya beliau. Khaulah menjawab: Ia adalah Saudah binti Zamah, yang ia beriman kepadamu dan mengikutimu atas apa-apa yang kamu ada padanya. Akhirnya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menikah dengan Aisyah radhiyallahu anha dan tidak lama kemudian beliau menikahi Saudah menjadi pendamping kedua bagi beliau. Kehadirannya sebagai istri dalam rumah tangga Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mampu membahagiakan hati beliau. Dan Saudah hidup bersendirian dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sekitar tiga tahun lebih. Beliau membantu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan putri-putri beliau. Setelah selama tiga tahun baru kemudian datang lah Aisyah ke rumah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan disusul istri-istri beliau yang lain seperti Hafshah, Zainab Ummu Salamah, dan lainnya. Saudah memahami bahwa pernikahannya dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam didasari karena rasa iba beliau kepadanya setelah kematian suaminya. Semua itu menjadi jelas ketika Nabi ingin menceraikannya secara baik-baik, sehingga ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan tentang keinginannya untuk talak (thalaq) Saudah, maka Saudah merasa se-akan-akan berada dalam mimpi yang buruk yang menyesakkan dadanya. Ia tetap ingin menjadi istri Sayyidul Mursalin sampai Allah membangkitkannya dirinya di hari kiamat kelak. Dengan suara yang lembut ia berbisik kepada suaminya: Tahanlah aku, wahai Rasulullah dan demi Allah, aku berharap Allah membangkitkan aku di hari Kiamat dalam keadaan aku sebagai istrimu. Kemudian ia memberikan hari-hari gilirannya untuk Aisyah istri yang sangat disayangi beliau. Akhirnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memperkenankan permintaan wanita yang mempunyai perasaan baik ini. Sehingga Allah turunkan ayat tentang hal ini, yaitu dalam surat An-Nisa ayat 128 : .maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik. Rasulullah bersabda : Tidak ada seorang wanita pun yang paling aku senangi menjadi orang sepertinya selain Saudah binti Zam`ah (Hadis riwayat Muslim dari Aisyah radiyallahu anha). Kata Saudah: Wahai Rasulullah, aku berikan hariku kepada Aisyah radliyallahu anha. Jadi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membagi waktu kepada Aisyah radliyallahu anha dua hari, sehari miliknya sendiri dan sehari lagi pemberian Saudah.(HR Muslim dari Aisyah radliyallahu anha) Demikianlah Ummul Mukminin Saudah tinggal di rumah Nabi, dan beliau hari-harinya dengan keridhaan, ketenangan dan rasa syukur kepada Allah sampai kepergiannya menghadap Rabbnya dimasa pemerintahan Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu.

Anda mungkin juga menyukai