Anda di halaman 1dari 30

Shahabiyah - Sahabat Nabi Perempuan

Sahabat Nabi Perempuan atau dalam bahasa Arab Shahabiyah adalah wanita-wanita
terhebat dan agung pada zaman Rasulullah, Nabi Muhammad SAW yang merupakan generasi
terbaik sepanjang sejarah peradaban Islam. Mereka sarat dengan taqwa, karena senantiasa
terpupuk dengan Al Quran dan As-Sunnah. Bukan hanya itu, pengorbanan dan kegigihan
dalam membela akidahnya, mengorbankan segala yang dimiliki untuk kepentingan Islam.Tak
sedikit dari mereka rela meyerahkan jiwa demi tegaknya agama Islam. Berikut daftar para
sahabat-sahabat nabi perempuan tersebut :

Biografi Khadijah binti Khuwailid

Khadijah binti Khuwailid merupakan isteri pertama Nabi Muhammad. Beliau


adalah Ummul Mukminin istri Rasulullah yang pertama, wanita pertama yang mernpercayai
risalah Rasulullah, dan wanita pertama yang melahirkan putra-putri Rasulullah. Dia
merelakan harta benda yang dimilikinya untuk kepentingan jihad di jalan Allah. Dialah orang
pertama yang mendapat kabar gembira bahwa dirinya adalah ahli surga.
Nama lengkapnya adalah Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin
Qushai. Khadijah al-Kubra, anak perempuan dari Khuwailid bin Asad dan Fatimah binti
Za'idah, berasal dari kabilah Bani Asad dari sukuQuraisy. Ia merupakan wanita as-Sabiqun
al-Awwalun.
Khadijah binti Khuwailid adalah sebaik-baik wanita ahli surga. Ini sebagaimana sabda
Rasulullah, “Sebaik-baik wanita ahli surga adalah Maryam binti Imran dan Khadijah binti
Khuwailid.”
Khadijah lahir sekitar tahun 555/565/570, beliau berasal dari golongan pembesar
Mekkah. Menikah dengan Nabi Muhammad, ketika berumur 40 tahun, manakala Nabi
Muhammad berumur 25 tahun. Ada yang mengatakan usianya saat itu tidak sampai 40 tahun,
hanya sedikit lebih tua dari Nabi Muhammad. Khadijah merupakan wanita kaya dan terkenal.
Khadijah bisa hidup mewah dengan hartanya sendiri. Meskipun memiliki kekayaan
melimpah, Khadijah merasa kesepian hidup menyendiri tanpa suami, karena suami pertama
dan keduanya telah meninggal. Suami pertama Khadijah adalah Abu Halah at-Tamimi, yang
wafat dengan meninggalkan kekayaan yang banyak, juga jaringan perniagaan yang luas dan
berkembang. Pernikahan kedua Khadijah adalah dengan Atiq bin Aidz bin Makhzum, yang
juga wafat dengan meninggalkan harta dan perniagaan. Dengan demikian, Khadijah menjadi
orang terkaya di kalangan suku Quraisy. Namun, beberapa sumber menyangkal bahwa
Khadijah pernah menikah sebelum bertemu Nabi Muhammad SAW.
 Mengurus harta
Sayyidah Khadijah dikenal dengan julukan wanita suci sejak perkawinannya dengan
Abu Halah dan Atiq bin Aidz karena keutamaan ãkhlak dan sifat terpujinya. Karena itu,
kalangan Quraisy memberikan penghargaan dan penghormatan yang tinggi kepadanya.

Dengan kekayaannya yang berlimpah tentu Khadijah tidak dapat bekerja sendiri,
maka ia mengangkat beberapa pegawai untuk membawa dagangannya ke Yaman pada musim
dingin dan ke Syam pada musim panas. Diantara para pegawai tersebut terdapat seseorang
yang paling dipercaya dan dikenal dengan nama Maisarah. Dia dikenal sebagai pemuda yang
ikhlas dan berani, sehingga Khadijah pun berani melimpahkan tanggung jawab untuk
pengangkatan pegawai baru yang akan mengiring dan menyiapkan kafilah, menentukan
harga, dan memilih barang dagangan. Sebenarnya itu adalah pekerjaan berat, namun
penugasan kepada Maisarah tidaklah sia-sia.

 Mengenal Muhammad bin Abdullah


Muhammad bin Abdullah adalah seorang pemuda dari Kaum Quraisy yang wara,
takwa, dan jujur. Sejak usia lima belas tahun, Muhammad bin Abdullah telah diajak oleh
Maisarah untuk menyertainya berdagang.
Selama berniaga dengan Muhammad bin Abdullah, Maisarah sering mendapat
keuntungan yang sangat besar akibat dari kejujuran Muhammad dalam berdagang. Selain itu
selama berniaga, dia melihat gulungan awan tebal yang senantiasa
mengiringi Muhammad yang seolah-olah melindungi beliau dari sengatan matahari. Dia pun
mendengar seorang rahib yang bernama Buhairah, yang mengatakan
bahwa Muhammad adalah laki-laki yang akan menjadi nabi yang ditunggu-tunggu oleh orang
Arab sebagaimana telah tertulis di dalam Taurat dan Injil. Semua hal tersebut diceritakan
Maisarah kepada Khadijah.
Mendengar cerita dari Maisarah, menimbulkan kecenderungan perasaan Khadijah
terhadap Muhammad, sehingga dia menemui anak pamannya, Waraqah bin Naufal. Waraqah
mengatakan bahwa akan muncul nabi besar yang dinanti-nantikan manusia dan akan
mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya Allah. Penuturan Waraqah itu
menjadikan niat dan kecenderungan Khadijah terhadap Muhammad semakin bertambah,
sehingga dia ingin menikah dengan Muhammad. Setelah itu dia mengutus Nafisah, saudara
perempuan Ya’la bin Umayyah untuk meneliti lebih jauh tentang Muhammad, sehingga
akhirnya Muhammad diminta menikahi dirinya.
Ketika itu Khadijah berusia empat puluh tahun, namun dia adalah wanita dari
golongan keluarga terhormat dan kaya raya, sehingga banyak pemuda Quraisy yang ingin
menikahinya. Muhammad pun menyetujui permohonan Khadijah tersebut. Maka, dengan
salah seorang pamannya, Muhammad pergi menemui paman Khadijah yang bernama Amru
bin As’ad untuk meminang Khadijah.
Ketika itu, usia Muhammad berusia dua puluh lima tahun, sementara Khadijah empat
puluh tahun. Walaupun usia mereka terpaut sangat jauh dan harta kekayaan mereka pun tidak
sepadan, pernikahan mereka bukanlah pernikahan yang aneh, karena Allah Subhanahu wa
ta’ala telah memberikan keberkahan dan kemuliaan kepada mereka.

 Keturunan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam


Setelah menikah dengan Nabi Muhammad SAW, Khadijah melahirkan dua orang
anak laki-laki, yaitu Qasim dan Abdullah serta empat orang anak perempuan, yaitu Zainab,
Ruqayah, Ummu Kultsum dan Fatimah. Seluruh putra dan putrinya lahir sebelum masa
kenabian, kecuali Abdullah. Karena itulah, Abdullah kemudian dijuluki ath-Thayyib (yang
balk) dan ath-Thahir (yang suci).
Zainab banyak rnenyerupai ibunya. Setelah besar, Zainab dinikahkan dengan anak
bibinya, Abul Ash ibnur Rabi’. Pernikahan Zainab ini merupakan peristiwa pertama
Rasulullah rnenikahkan putrinya, dan yang terakhir beliau menikahkan Ummu Kultsum dan
Ruqayah dengan dua putra Abu Lahab, yaitu Atabah dan Utaibah. Ketika Nabi Shallallahu
alaihi wassalam diutus menjadi Rasul, Fathimah az-Zahra, putri bungsu beliau rnasih kecil.
Selain mereka ada juga Zaid bin Haritsah yang sering disebut putra Muhammad.
Semula, Zaid dibeli oleh Khadijah dari pasar Mekah yang kemudian dijadikan budaknya.
Ketika Khadijah menikah dengan Muhammad, Khadijah
memberikan Zaid kepada Muhammad sebagai hadiah. Rasulullah sangat mencintai Zaid
karena dia memiliki sifat-sifat yang terpuji. Zaid pun sangat mencintai Rasulullah. Akan
tetapi di tempat lain, ayah kandung Zaid selalu mencari anaknya dan akhirnya dia mendapat
kabar bahwa Zaid berada di tempat Muhammad dan Khadijah. Dia mendatangi Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam untuk memohon agar beliau mengembalikan Zaid kepadanya
walaupun dia harus membayar mahal. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam memberikan
kebebasan penuh kepada Zaid untuk memilih antara tetáp tinggal bersamanya dan ikut
bersama ayahnya. Zaid tetap memilih hidup bersama Rasulullah, sehingga dari sinilah kita
dapat mengetahui sifat mulia Zaid.
Agar pada kemudian hari nanti tidak menjadi masalah yang akan memberatkan
ayahnya, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam dan Zaid bin Haritsah menuju halaman
Ka’bah untuk mengumumkan kebebasan dan pengangkatan Zaid sebagai anak. Setelah itu,
ayahnya merelakan anaknya dan merasa tenang. Dari situlah mengapa banyak yang
menjuluki Zaid dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Akan tetapi, hukum pengangkatan
anak itu gugur setelah turun ayat yang membatalkannya, karena hal itu merupakan adat
jahiliah, sebagaimana firman Allah berikut ini:
” … jika kamu mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu … ” (QS. At-Taubah:5)

 Masa Kenabian Muhammad Shallallahu alaihi wassalam


Muhammad bin Abdullah hidup berumah tangga dengan Khadijah binti Khuwailid
dengan tenterarn di bawah naungan akhlak mulia dan jiwa suci sang suami. Ketika itu,
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam menjadi tempat mengadu orang-orang Quraisy dalam
menyelesaikan perselisihan dan pertentangan yang terjadi di antara mereka. Hal itu
menunjukkan betapa tinggi kedudukan Rasulullah di hadapan mereka pada masa
prakenabian. Beliau menyendiri di Gua Hira, menghambakan diri kepada Allah yang Maha
Esa, sesuai dengan ajaran Nabi Ibrahim a.s.
Khadijah sangat ikhlas dengan segala sesuatu yang dilakukan suaminya dan tidak
khawatir selama ditinggal suaminya. Bahkan dia menjenguk serta menyiapkan makanan dan
minuman selama beliau di dalam gua, karena dia yakin bahwa apa pun yang dilakukan
suaminya merupakan masalah penting yang akan mengubah dunia. Ketika itu, Nabi
Muhammad berusia empat puluh tahun.
Saat Rasulullah menerima wahyu pertama di gua hira, maka Khadijah memberikan
ketenteraman kepada Rasulullah dengan segala kelembutan dan kasih sayang sehingga beliau
merasa tenteram dan aman. Beliau ridak langsung menceritakan kejadian yang menimpa
dirinya kepada Khadijah karena khawatir Khadijah menganggapnya sebagai ilusi atau
khayalan beliau belaka. untuk lengkapnya silahkan baca di "Biografi Nabi Muhammad
S.A.W Nabi dan Rosul Terakhir Panutan Bagi Seluruh Umat Manusia"

 Awal Masa Jihad di Jalan Allah


Khadijah meyakini seruan suaminya dan menganut agarna yang dibawanya sebelum
diumumkan kepada rnasyarakat. Itulah langkah awal Khadijah dalam menyertai suaminya
berjihad di jalan Allah dan turut menanggung pahit getirnya gangguan dalam menyebarkan
agama Allah.
Beberapa waktu kemudian Jibril kembali mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu
alaihi wassalam. untuk membawa wahyu kedua dari Allah:
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan dan
Tuhanmu agungkanlah dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah
berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleb
(balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah” (QS.
Al-Muddatstir:1-7)
Ayat di atas merupakan perintah bagi Rasulullah untuk mulai berdakwah kepada
kalangan kerabat dekat dan ahlulbait beliau. Khadijah adalah orang pertama yang
menyatakan beriman pada risalah Rasulullah Muhammad dan menyatakan kesediaannya
menjadi pembela setia Nabi. Kemudian menyusul Sahabat-sahabat Nabi lainnya.

 Masa Berdakwah Terang-terangan


Setelah berdakwah secara sembunyi- sembunyi, turunlah perintah Allah kepada
Rasulullah untuk memulai dakwah secara terang-terangan. Seruan beliau sangat aneh
terdengar di telinga orang-orang Quraisy. Rasulullah Muhammad memanggil manusia untuk
beribadah kepada Tuhan yang satu, bukan Laata, Uzza, Hubal, Manat, serta tuhan-tuhan lain
yang mernenuhi pelataran Ka’bah. Tentu saja mereka menolak, mencaci maki, bahkan tidak
segan-segan menyiksa Rasulullah. Setiap jalan yang beliau lalui ditaburi kotoran hewan dan
duri.
Khadijah tampil mendampingi Rasulullah dengan penuh kasih sayang, cinta, dan
kelembutan. Wajahnya senantiasa membiaskan keceriaan, dan bibirnya meluncur kata-kata
jujur. Setiap kegundahan yang Rasulullah lontarkan atas perlakuan orang-orang Quraisy
selalu didengarkan oleh Khadijah dengan penuh perhatian untuk kemudian dia memotivasi
dan rnenguatkan hati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam.
Khadijah adalah tempat berlindung bagi Rasulullah. Dari Khadijah, beliau
memperoleh keteduhan hati dan keceriaan wajah istrinya yang senantiasa menambah
semangat dan kesabaran untuk terus berjuang menyebarluaskan agama Allah ke seluruh
penjuru. Khadijah pun tidak memperhitungkan harta bendanya yang habis digunakan dalam
perjuangan ini. Sementara itu, Abu Thalib, parnan Rasulullah, menjadi benteng pertahanan
beliau dan menjaga beliau dari siksaan orang-orang Quraisy, sebab Abu Thalib adalah figur
yang sangat disegani dan diperhitungkan oleh kaum Quraisy.

 Wafatnya Khadijah
Setelah berbagai upaya gagal dilakukan untuk menghentikan dakwah Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam, baik itu berupa rayuan, intimidasi, dan penyiksaan, kaum
Quraisy memutuskan untuk memboikot dan mengepung kaum muslimin dan menulis
deklarasi yang kemudian digantung di pintu Ka’bah agar orang-orang Quraisy memboikot
kaum muslimin, termasuk Rasulullah, istrinya, dan juga pamannya. Mereka terisolasi di
pinggiran kota Mekah dan diboikot oleh kaum Quraisy dalam bentuk embargo atas
transportasi, komunikasi, dan keperluan sehari-hari lainnya.
Beberapa hari setelah pemboikotan, Abu Thalib jatuh sakit, dan semua orang
meyakini bahwa sakit kali mi merupakan akhir dan hidupnva. Abu Thalib meninggal pada
tahun itu pula, maka tahun itu disebut sebagai ‘Aamul Huzni (tahun kesedihan) dalam
kehidupan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
Pada tahun yang sama, Sayyidah Khadijah sakit keras akibat beberapa tahun
menderita kelaparan dan kehausan karena pemboikotan itu. Semakin hari, kondisi badannya
semakin menurun, sehingga Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam semakin sedih. Dalam
sakit yang tidak terlalu lama, dalam usia enam puluh lima tahun Khadijah. Khadijah
dikuburkan di dataran tinggi Mekah, yang dikenal dengan sebutan al-Hajun. Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam sendiri yang mengurus jenazah istrinya dan kalimat terakhir yang
beliau ucapkan ketika melepas kepergiannya adalah: “Sebaik-baik wanita penghuni surga
adalah Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid.”
Saudah binti Zam'ah
Saudah binti Zam'ah adalah wanita pertama yang dinikahi Nabi Muhammad
SAW sesudah Khadijah r.a. dan dia sendiri yang bersama Nabi SAW selama kurang lebih 3
tahun sehingga beliau berumah tangga dengan 'Aisyah r.a.

 Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad SAW


Sebelum menikah dengan Rasulullloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Saudah telah
menikah dengan Sakran bin Amr Al-Amiry, mereka berdua masuk islam dan kemudian
berhijrah ke Habasyah bersama dengan rombongan shahabat yang lain.
Ketika Sakran dan istrinya Saudah tiba di Habasyah maka Sakran jatuh sakit dan
meninggal. Maka jadilah Saudah menjanda. Kemudian datanglah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam meminang saudah dan diterima oleh saudah dan menikahlah Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Saudah pada bulan Ramadhan.
Ia bersama suaminya yang terdahulu adalah termasuk kelompok kaum muslimin yang
berjumlah 8 orang dari Bani Amir yang hijrah ke Habasyah dengan meninggalkan harta-
harta mereka. Mereka arungi laut penderitaan diatas keridhaan, rela atas lematian yang akan
menghadangnya , demi kemenangan agama yang mulia ini. Dan sungguh bertambah keras
siksa dan kesempitan yang dialaminya karena penolakan mereka terhadap kesasatan dan
kesyirikan.
Saudah meriwayatkan lima hadits dari Rasulullah SAW. Diantaranya satu hadits
diriwayatkan dalam Sahihain [Ibnul Jauzil, Al-Mujtanaa]. Dalam satu riwayat, bahwa
Bukhari meriwayatkan dari Saudah dua hadits. [Al-Maqdisi, Al-Kamaal bii Ma'rifatir Rijaal]

 Nama dan nasabnya


Dia adalah ummul mukminin Saudah bintu Zama’ah bin Qois bin Abdu Syams bin
Abdu Wudd Al-Amiriyyahradhiallahu’anha. Ibunya adalah Syamusy bintu Qois bin Zaid An-
Najjariiyyah. Dia adalah wainta yang dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sepeninggal Khadijah radhiallahu’anha, kemudian menjadi istri satu-satunya
bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam masuk berumah tangga dengan Aisyah.

 Pinangan
Sebelum Saudah dinikahi Rasulullah, Khaulah binti Hakim berbicara kepada Rasul
SAW dan menawarkan 'Aisyah binti Ash-Shiddiq r.a. namun dia masih kecil. Maka biarlah
dia dipinang, kemudian ditunggu hingga dewasa. Akan tetapi, siapakah yang akan
memperhatikan urusan-urusan Nabi SAW dan melayani putri-putri serta memenuhi rumah
beliau ? Pernikahan dengan 'Aisyah tidak akan berlangsung sebelum 2 atau 3 tahun lagi.
Siapakah gerangan wanita yang memimpin urusan-urusan Nabi SAW dan memelihara putri-
putrinya ? Dia adalah Saudah binti Zam'ah dari bani Ady bin Najjar.
Rasul SAW mengizinkan Khaulah meminang keduanya. Pertama Khaulah datang ke
rumah Abu Bakar r.a., lalu ke rumah Zam'ah. Dia menemui puterinya, Saudah, dan berkata :
"Kebaikan dan berkah apa yang dimasukkan Allah kepadamu, wahai Saudah ?" Saudah
bertanya karena tidak tahu maksudnya, "Apakah itu, wahai Khaulah ?" Khaulah
menjawab :"Rasulullah SAW mengutus aku untuk meminangmu." Saudah berkata dengan
suara gemetar, "Aku berharap engkau masuk kepada ayahku dan menceritakan hal itu
kepadanya." Maka terjadi kesepakatan dan berlangsunglah pernikahan.
Saudah mengalami situasi yang menyebabkan Rasulullah SAW mengulurkan
tangannya yang penyayang untuk menolong masa tua dan meringankan kekerasan hidup yang
dirasakan oleh Saudah. Saudah telah hijrah ke Habasyah untuk menyelamatkan agama
bersama suami, putra pamannya. Kemudian suaminya meninggal sebagai muhajir dan Saudah
tinggal sendirian. Saudah menjadi janda yang hidup di tanah perantauan sebelum tiba di
Ummul Qura. Rasul SAW telah terkesan oleh wanita muhajir yang mu'min dan janda itu.
Ternyata, Saudah setuju untuk menikah dengan Rasulullah SAW.

 Sifat Saudah binti Zam'ah


Saudah adalah tipe seorang istri yang menynangkan suaminya dengan kesegaran
candanya, sebagaimana dalam kisah yang diriwayatkan oleh Ibrahim AN-Nakha’i
bahwasanya Saudah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Wahai Rasulullah tadi malam aku shalat di belakangmu, ketika ruku’ punggungmu
menyentuh hidungku dengan keras, maka aku pegang hidungku karena takut kalau keluar
darah,” maka tertawalah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibrahim berkata, Saudah
biasa membuat tertawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan candanya. (Thobaqoh
Kubra, 8:54).

 Bersama Rasulullah hingga akhir hayat


Saudah memahami bahwa pernikahannya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
didasari karena rasa iba beliau kepadanya setelah kematian suaminya. Semua itu menjadi
jelas ketika Nabi ingin menceraikannya secara baik-baik, sehingga ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan tentang keinginannya untuk thalaq Saudah ,
maka Saudah merasa se-akan-akan berada dalam mimpi yang buruk yang menyesakkan
dadanya. Ia tetap ingin menjadi istri Sayyidul Mursalin sampai Allah membangkitkannya
dirinya di hari kiamat kelak. Dengan suara yang lembut ia berbisik kepada
suaminya: “Tahanlah aku ya Rasulullah dan demi Allah, aku berharap Allah membangkitkan
aku di hari kiamat dalam keadaan aku sebagai istrimu”. Kemudian ia memberikan hari-hari
gilirannya untuk ‘Aisyah istri yang sangat disayangi beliau.
Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperkenankan permintaan
wanita yang mempunyai perasaan baik ini. Sehingga Allah turunkan ayat tentang hal ini,
yaitu dalam surat An-Nisa ayat 128 :
“….maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-
benarnya dan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik.”

 Keutamaan Saudah binti Zam'ah


Di antara keutamaan Saudah adalah ketaatan dan kesetiaannya yang sangat
kepada Rasulullah. Ketika haji wada’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda
kepada para istri-istrinya: Ini adalah saat haji bagi kalian kemudian setelah ini hendaknya
kalian menahan diri di rumah-rumah kalian, maka sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa sallam, Saudah selalu di rumahnya dan tidak berangkat haji lagi sampai dia meninggal.
(Sunan Abu Dawud 2/140).

 Wafat
Saudah termasuk deretan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang
menjaga dan menyampaikan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh para imam yang terkemuka seperti Imam Ahmad, Imam
Bukhari, Abu Dawud dan Nasa’i.
Saudah meninggal di akhir kekhalifahan Umar di Madinah pada tahun 54 Hijriyah.
Sebelum dia meninggal dia mewariskan rumahnya kepada Aisyah. Semoga Allah
meridhainya dan membalasnya dengan kebaikan yang melimpah.
Aisyah Binti Abu Bakar - Istri Nabi Muhammad SAW
Aisyah binti Abu Bakar adalah istri dari Nabi Muhammad salallahi alaihi
wassaalam. ‘Aisyah adalah putri dari Abu Bakar (khalifah pertama), hasil dari pernikahan
dengan isteri keduanya yaitu Ummi Ruman yang telah melahirkan Abd al Rahman dan
Aisyah. Beliau termasuk ke dalam ummul-mu'minin (Ibu orang-orang Mukmin). Ia dikutip
sebagai sumber dari banyak hadits, dimana kehidupan pribadi Muhammad menjadi topik
yang sering dibicarakan.
Aisyah binti Abu Bakar adalah satu-satunya istri Nabi Muhammad yang saat dinikah
oleh Nabi Muhammad berstatus gadis. Sedangkan istri-istri Nabi Muhammad yang lain
umumnya adalah janda.
Nama dan Nasab - Beliau adalah ‘Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq bin Abu
Quhafah bin ‘Amir bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay.
Ibunda beliau bernama Ummu Rumman binti ‘Umair bin ‘Amir bin Dahman bin Harist bin
Ghanam bin Malik bin Kinanah.

 Pernikahan dengan Nabi Muhammad SAW


‘Aisyah .ra terlahir empat atau lima tahun setelah diutusnya Rasulullah salallahi alaihi
wassaalam. Ayah Aisyah, Abu Bakar merasa Aisyah sudah cukup umur untuk menikah,
karena hal itu, Aisyah akan dinikahkan dengan Jubayr bin Mut'im, tetapi pernikahan tersebut
tidak terjadi disebabkan Ayah Jubair, Mut‘im bin ‘Adi menolak aisyah dikarenakan Abu
Bakar telah masuk Islam pada saat itu. Istri Mut'im bin Adi mengatakan tidak mau
keluarganya mempunyai hubungan dengan para muslim, yang dapat menyebabkan Jubair
menjadi seorang Muslim.
Menurut Tabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal and Ibn Sad), Aisyah
dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun, dimana Aisyah
menjadi istri ketiga Muhammad setelah Khadijah dan Saudah binti Zam'ah. Tetapi terdapat
berbagai silang pendapat mengenai pada umur berapa sebenarnya Muhammad menikahi
Aisyah? Sebagian besar referensi (termasuk sahih Bukhari dan sahih Muslim) menyatakan
bahwa upacara perkawinan tersebut terjadi di usia enam tahun, dan Aisyah diantarkan
memasuki rumah tangga Muhammad sejak umur sembilan tahun.
Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan Ghulam Nabi Muslim Sahib, dengan
berdasarkan referensi dari Kitab Ahmal fi Asma’ al-Rijjal karangan al-Khatib al-Tibrizi
dimana dalam kitab tersebut disebutkan Setidaknya Aisyah berumur 19 tahun saat menikah
dengan Nabi.

 Keutamaan Aisyah ra
Pribadi yang Haus Ilmu - Selama Sembilan tahun hidup dengan Rasulullah saw.
Beliau dikenal sebagai pribadi yang haus akan ilmu pengetahuan. Ketekunan dalam belajar
menghantarkan beliau sebagai perempuan yang banyak menguasai berbagai bidang ilmu.
Diantaranya adalah ilmu al-qur’an, hadist, fiqih, bahasa arab dan syair. Keilmuan Aisyah
tidak diragukan lagi karena beliau adalah orang terdekat Rasulullah yang sering mengikuti
pribadi Rasulullah. Banyak wahyu yang turun dari Allah disaksikan langsung oleh Aisyah ra.
“Aku pernah melihat wahyu turun kepada Rasulullah pada suatu hari yang sangat
dingin sehingga beliau tidak sadarkan diri, sementara keringat bercucuran dari dahi
beliau.“ (HR. Bukhari).
Periwayat Hadist - Aisyah juga dikenal sebagai perempuan yang banyak
menghapalkan hadist-hadist Rasulullah. Sehingga beliau mendapat gelar Al-mukatsirin
(orang yang paling banyak meriwayatkan hadist). Ada sebanyak 2210 hadist yang
diriwayatkan oleh Aisyah ra. Diantaranya terdapat 297 hadist dalam kitab shahihain dan
sebanyak 174 hadist yang mencapai derajat muttafaq ‘alaih. Bahkan para ahli hadist
menempatkan beliau pada posisi kelima penghafal hadist setelah Abu Hurairah, Ibnu
Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas.
Kecerdasan dan keluasan ilmu yang dimiliki Aisyah ra sudah tidak diragukan lagi.
Bahkan beliau dijadikan tempat bertanya para kaum wanita dan para sahabat tentang
permasalahan hukum agama, maupun kehidupan pribadi kaum muslimin secara umum.
Hisyam bin Urwah meriwayatkan hadis dari ayahnya. Dia mengatakan: “Sungguh aku
telah banyak belajar dari ‘Aisyah. Belum pernah aku melihat seorang pun yang lebih pandai
daripada ‘Aisyah tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah diturunkan, hukum fardhu dan
sunnah, syair, permasalahan yang ditanyakan kepadanya, hari-hari yang digunakan di tanah
Arab, nasab, hukum, serta pengobatan."
Pribadi yang Tegas dalam Menegakkan Hukum Allah - Aisyah juga dikenal
sebagai pribadi yang tegas dalam mengambil sikap. Hal ini terlihat dalam penegakan hukum
Allah, Aisyah langsung menegur perempuan-perempuan muslim yang melanggar hukum
Allah.
Suatu ketika dia mendengar bahwa kaum wanita dari Hamash di Syam mandi di
tempat pemandian umum. Aisyah mendatangi mereka dan berkata, “Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda, ‘Perempuan yang
menanggalkan pakaiannya di rumah selain rumah suaminya maka dia telah membuka tabir
penutup antara dia dengan Tuhannya.“ (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
Aisyah pun pernah menyaksikan adanya perubahan pada pakaian yang dikenakan
wanita-wanita Islam setelah Rasulullah wafat. Aisyah menentang perubahan tersebut seraya
berkata, “Seandainya Rasulullah melihat apa yang terjadi pada wanita (masa kini), niscaya
beliau akan melarang mereka memasuki masjid sebagaimana wanita Israel dilarang
memasuki tempat ibadah mereka.”
Di dalam Thabaqat Ibnu Saad mengatakan bahwa Hafshah binti Abdirrahman
menemui Ummul-Mukminin Aisyah. Ketika itu Hafsyah mengenakan kerudung tipis.
Secepat kilat Aisyah menarik kerudung tersebut dan menggantinya dengan kerudung yang
tebal.
Pribadi yang Dermawan - Dalam hidupnya Aisyah ra juga dikenal sebagai pribadi
yang dermawan. Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa Aisyah ra pernah menerima uang
sebanyak 100.000 dirham. Kemudian beliau meminta para pembantunya untuk membagi-
bagikan uang tersebut kepada fakir miskin tanpa menyisakan satu dirhampun untuk beliau.
Padahal saat itu beliau sedang berpuasa.
Harta duniawi tidak menyilaukan Aisyah ra. Meskipun pada saat itu kelimpahan
kekayaan berpihak kepada kaum muslimin. Aisyah ra tetap hidup dalam kesederhanaan
sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Setelah Rasulullah meninggal dunia, Aisyah ra menghabiskan hidupnya untuk
perkembangan dan kemajuan Islam. Rumah beliau tak pernah sepi dari pengunjung untuk
bertanya berbagai permasalahan syar’iat . Sampai-sampai Khalifah Umar bin
khatab dan Usman bin Affan mengangkat beliau menjadi penasehat. Hal ini merupakan
wujud penghormatan Umar dan Ustman terhadap kemuliaan Ilmu yang dimiliki oleh Aisyah
ra.

 Wafatnya ‘Aisyah .ra


‘Aisyah .ra meninggal pada malam selasa, tanggal 17 Ramadhan setelah shalat witir,
pada tahun 58 Hijriyah. Yang demikian itu menurut pendapat mayoritas ulama. Ada juga
yang berpendapat bahwa beliau wafat pada tahun 57 H, dalam usia 63 tahun dan sekian
bulan. Para sahabat Anshar berdatangan pada saat itu, bahkan tidak pernah ditemukan satu
hari pun yang lebih banyak orang-orang berkumpul padanya daripada hari itu, sampai-sampai
penduduk sekitar Madinah turut berdatangan.
‘Aisyah .ra dikuburkan di Pekuburan Baqi’. Shalat jenazahnya diimami oleh Abu
Hurairah dan Marwan bin Hakam yang saat itu adalah Gubernur Madinah.
Sosok Aisyah ra merupakan teladan yang tepat bagi muslimah tanpa perlu
menggembar-gemborkan masalah emansipasi yang terjadi saat ini. Keberadaan Aisyah sudah
membuktikan bahwa perempuan juga diberikan posisi yang layak di zaman Rasulullah
saw dan para shahabat.
Hafshah binti Umar ra
Hafshah binti Umar adalah salah seorang istri nabi Muhammad
SAW setelah Khadijah binti Khuwailid, Saudah binti Zum'ah, dan Aisyah binti Abu Bakar. Ia
seorang janda dari seorang pria bernama Khunais bin Hudhafah al-Sahmiy, yang berjihad di
jalan Allah SWT, pernah berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan gugur dalam
Perang Badar.
Nama lengkap Hafshah adalah Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin
Abdul-Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab
Adawiyah. Ibunya adalah Zaynab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah,
saudara perempuan Utsman bin Madh’un.

 Lahirnya Hafshah
Hafshah dilahirkan pada tahun yang sangat terkenal dalam sejarah orang Quraisy,
yaitu ketika Rasullullah memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah
dibangun kembali setelah roboh karena banjir. Pada tahun itu juga dilahirkan Fathimah az-
Zahra, putri bungsu Rasulullah dari empat putri, dan kelahirannya disambut gembira oleh
beliau. Beberapa hari setelah Fathimah lahir, lahirlah Hafshah binti Umar bin Khaththab.
Sayyidah Hafshah r.a. dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Umar bin
Khaththab. Dalam soal keberanian, dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan
ucapannya tegas. Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sama dengan ayahnya. Kelebihan
lain yang dimiliki Hafshah adalah kepandaiannya dalam membaca dan menulis, padahal
ketika itu kemampuan tersebut belum lazim dimiliki oleh kaum perempuan.
Hafshah tidak termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam, karena ketika
awal-awal penyebaran Islam, ayahnya, Umar bin Khaththab, masih menjadi musuh utama
umat Islam hingga suatu hari Umar tertarik untuk masuk Islam.

 Pernikahan dengan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam


Setelah Hafshah menjanda karena ditinggalkan suaminya, Khunais bin Hudzafah as-
Sahami yang gugur dalam Perang Badar, Umar sangat sedih karena anaknya telah menjadi
janda pada usia yang sangat muda, sehingga dalam hatinya terbersit niat untuk menikahkan
Hafshah dengan seorang muslim yang sholeh agar hatinya kembali tenang. Untuk itu dia
pergi kerumah Abu Bakar dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan
tetapi Abu Bakar diam, tidak menjawab sedikitpun. Kemudian Umar menemui Utsman bin
Affan dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi pada saat
itu, Utsman masih berada dalam kesedihan karena istrinya Ruqayah binti Muhammad, baru
meninggal. Utsman pun menolak permintaan Umar.
Menghadapi sikap dua sahabatnya, Umar sangat kecewa. Kemudian dia
menemui Rasulullah SAW dengan maksud mengadukan sikap kedua sahabatnya itu.
Mendengar penuturan Umar, Rasulullah SAW bersabda, ” Hafshah akan menikah dengan
seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah
dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.” Disinilah Umar mengetahui
bahwa Rasulullah SAW yang akan meminang putrinya.
Umar merasa sangat terhormat mendengar niat Rasulullah SAW untuk menikahi
putrinya, dan kegembiraan tampak pada wajahnya. Umar langsung menemui Abu
Bakar untuk mengutarakan maksud Rasulullah SAW. Abu Bakar berkata, ” Aku tidak
bermaksud menolakmu dengan ucapanku tadi, karena aku tahu bahwa Rasulullah SAW telah
menyebut-nyebut nama Hafshah, namun aku tidak mungkin menyebut rahasia beliau
kepadamu. Seandainya Rasulullah SAW membiarkannya tentu akulah yang akan menikahi
Hafshah.” Umar baru saja memahami mengapa Abu Bakar menolak putrinya. Sedangkan
sikap Utsman hanya karena sedih atas meninggalnya Ruqayah dan dia bermaksud
mempersunting saudaranya, Ummu Kultsum, sehingga nasabnya dapat terus bersambung
dengan Rasulullah SAW. Setelah Utsman menikah dengan Ummu Kultsum, dia dijuluki
dzunnuraini ( pemilik dua cahaya ).
Di rumah Rasulullah SAW, Hafshah menempati kamar khusus, sama
dengan Saudah dan Aisyah. Secara manusiawi Aisyah sangat mencemburui Hafshah karena
mereka sebaya. Lain halnya dengan Saudah binti Zum`ah yang menganggap Hafshah sebagai
wanita mulia putri Umar bin Khattab, sahabat Rasulullah SAW yang terhormat.
Pesan umar kepada puterinya - Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha
dekat dengan Aisyah dan mencintainya, karena Umar mengetahui bahwa
kedudukan Aisyah sangat tinggi dihati Rasulullah SAW juga yang ridha
terhadap Aisyah berarti ridha terhadap Rasulullah SAW. Selain itu Umar juga mengingatkan
Hafshah agar menjaga tindak tanduknya sehingga diantara mereka berdua tidak terjadi
perselisihan. Akan tetapi memang sangat manusiawi jika diantara mereka tetap saja terjadi
kesalahpahaman yang bersumber dari perasaan cemburu.

 Kehidupan setelah menikah


Hafshah hidup bersama dengan istri-istri Rasulullah dan Ummahatul mukminin yang
suci. Di dalam rumah tangga Nubuwwah ada istri selain beliau yakni Saudah dan Aisyah.
Maka tatkala ada kecemburuan beliau mendekati Aisyah karena dia lebih pantas dan lebih
layak untuk cemburu. Beliau senantiasa mendekati dan mengalah dengan Aisyah mengikuti
pesan bapaknya (Umar) yang berkata: “Betapa kerdilnya engkau bila dibanding
dengan Aisyah dan betapa kerdilnya ayahmu ini apabila dibandingkan dengan ayahnya”.
Hafshah dan Aisyah pernah menyusahkan Nabi, maka turunlah ayat :”Jika kamu
berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong untuk
menerima kebaikan dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabi, maka
sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitu pula) Jibril” (Q.S. at-Tahrim: 4).
Telah diriwayatkan bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mentalak sekali
untuk Hafshah tatkala Hafshah dianggap menyusahkan Nabi namun beliau rujuk kembali
dengan perintah yang dibawa oleh Jibril ‘alaihissalam yang mana dia berkata: “Dia adalah
seorang wanita yang rajin shaum, rajin shalat dan dia adalah istrimu di surga”.
Hafshah pernah merasa bersalah karena menyebabkan kesusahan dan
penderitaan Nabi dengan menyebarkan rahasianya namun akhirnya menjadi tenang
setelah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memaafkan beliau. Kemudian Hafshah
hidup bersama Nabi dengan hubungan yang harmonis sebagai seorang istri bersama
suaminya. Manakala Rasul yang mulia menghadap ar-Rafiiq al-A’la dan Khalifah dipegang
oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, maka Hafshah- lah yang dipercaya diantara Ummahatul
Mukminin termasuk Aisyah didalamnya, untuk menjaga mushaf Al-Qur’an yang pertama.
Hafshah radhiallaahu ‘anha mengisi hidupnya sebagai seorang ahli ibadah dan ta’at
kepada Allah, rajin shaum dan juga shalat, satu-satunya orang yang dipercaya untuk menjaga
keamanan dari undang-undang umat ini, dan kitabnya yang paling utama yang sebagai
mukjizat yang kekal, sumber hukum yang lurus dan ‘aqidahnya yang utuh.

 Pemilik mushaf pertama


Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya Al Qur`an ditangannya. Dialah
istri Nabi SAW yang pertama kali menyimpan Al Qur`an dalam bentuk tulisan pada kulit,
tulang, dan pelepah kurma, hingga kemudian menjadi sebuah Kitab yang sangat agung.
Mushaf asli Al Qur`an itu berada dirumah Hafshah hingga dia meninggal.
Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam
peperangan Riddah (peperangan melawan kaum murtad). Kondisi seperti itu
mendorong Umar bin Khaththab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an
yang tercecer. Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau mengumpulkan Al-Qur’an dalam
satu kitab itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena pada zaman Rasul hal itu tidak
pernah dilakukan. Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu bakar akhirnya memerintah Hafshah
untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya.
Sayyidah Hafshah wafat pada tahun ke-47 pada masa pemerintahan Mu`awiyah bin
Abu Sufyan. Dia dikuburkan di Baqi`, bersebelahan dengan kuburan-kuburan istri-istri Nabi
SAW yang lain.
Zainab Binti Khuzaimah Ra
Zainab binti Khuzaimah adalah istri Nabi Muhammad Shallahu alaihi wa
salam yang dikenal dengan Kesabaran, kebaikan, kedermawanan, dan sifat santunnya
terhadap orang miskin Sehingga di zaman jahiliyah, beliau dikenal dengan nama Ummul
Masakin (ibunda orang-orang miskin). Beliau adalah isteri Rasulullah saw yang pertama kali
meninggal dunia di Madinah. Sebelumnya, lebih dahulu meninggal Khadijah ra. di Mekah.
Nama lengkap: Zainab binti Khuzaimah ra. bin Al-Harits bin Abdullah bin Amr bin
Abdu Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah Al-Hilaliyah. Ibunya bernama Hindun binti
‘Auf bin Al-Harits bin Hamathah.

 Ummul Masakin (ibunda orang-orang miskin)


Ibnu Sa’ad berkata, “Zainab binti Khuzaimah ra. bin Al-Harits bin Abdullah bin ‘Amr
bin Abdu Manaf bin Hilal bin ‘Amir bin Sha’sha’ah, beliau dikenal dengan gelar Ummul
Masakin di zaman jahiliyah.
Al-Balazary berkata, “Ummul Masakin adalah kun-yah (panggilan) bagi Zainab ra.
di masa jahiliyah.” Al-Asqalany berkata, “Zainab memang dipanggil dengan sebutan
Ummul Masakin di masa jahiliyah.”
Dalam sebuah riwayat Ath-Thabrany, beliau mengatakan, “Rasulullah saw. menikahi
Zainab binti Khuzaimah Al-Hilaliyah ra., atau sering disebut dengan sebutan Ummul
Masakin. Dikenal dengan sebutan itu, karena beliau banyak memberi makan orang-orang
miskin.
Ibnu Katsir juga berkata, “Zainablah yang sering dikenal dengan sebutan Ummul
Masakin. Itu karena beliau banyak bersedekah, dan berbuat baik kepada orang-orang
miskin.”

 Pernikahan
Sebelum menikah dengan Rasulullah, Zainab binti Khuzaimah ra. awalnya adalah
isteri Ath-Thufail bin Al-Harits. Namun beliau menceraikannya. Kemudian beliau dinikahi
saudara Ath-Thufail yang bernama Ubaidah bin Al-Harits ra., yang mati syahid di perang
Badar. Sepeninggal suaminya, Zainab ra. hidup sendiri di Madinah Al-Munawwarah. Tidak
ada keluarga yang menafkahi beliau, atau saudara yang menanggung kebutuhan beliau.
Hanya Allah swt yang menolongnya.
Zainab ra. adalah orang yang sangat penyabar. Beliau tidak pernah mengeluh, padahal
kesedihan bertubi-tubi menimpanya. Pertama, beliau diceraikan oleh suami pertamanya.
Kedua, beliau ditinggalkan oleh suami keduanya, karena gugur sebagai syahid dalam perang
Badar.
Pada akhirnya kesabarannya terbalaskan dengan kebaikan yang sangat besar.
Hati Rasulullah saw. tersentuh dengan kondisi Zainab ra. yang selalu dirundung musibah dan
kesedihan.
 Menikah dengan Rasulullah SAW
Kondisi Zainab Binti Khuzaimah Ra sebelum dinikahi Rasulullah
- Diceraikan suami pertamanya
- Suami keduanya pun meninggal dunia dengan syahid
- Beliau mandul, tidak mempunyai anak
- Tidak termasuk wanita cantik
- Tidak ada seorang sahabat pun yang melamar beliau, atau berusaha menghiburnya.
Rasulullah saw menikahi beliau dengan mahar yang dibayar sebanyak 400 Dirham.
Beliau juga dibangunkan rumah/kamar di sisi kamar Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shidiq ra.
dan Hafshah binti Umar bin Khattab ra. Rasulullah saw. adalah seorang suami yang sangat
penyayang. Beliau memberikan segenap kasih sayangnya kepada wanita yang selalu hidup
menderita ini.
Para ulama berselisih pendapat tentang lama waktu kebersamaan Zainab ra.
dan Rasulullah saw. Sebagian ulama mengatakan bahwa beliau hidup bersama Rasulullah
saw. hanya dua atau tiga bulan, karena tak lama kemudian beliau meninggal dunia.
Beliau adalah satu-satunya isteri Rasulullah saw. yang meninggal di masa hidup
Rasulullah saw selain Ibunda Khadijah ra. Tak lama beliau hidup bersama Rasulullah saw.
Dan karena pendeknya waktu itu, beliau tidak meriwayatkan sebuah hadits pun
dari Rasulullah saw.
Imam Adz-Dzahaby mengatakan, “Tidak ada hadits yang beliau riwayatkan.”
Sedangkan Ath-Thabrany mengatakan, “Ummul Masakin meninggal dunia saat Rasulullah
saw. masih hidup. Beliau hanya sebentar hidup bersama Rasulullah saw Beliau meninggal
dunia pada bulan Rabi’ul Akhir tahun 4 Hijriah, di Madinah.

 Wafatnya Zainab Binti Khuzaimah Ra


Zainab Binti Khuzaimah Ra meninggal dunia di usia yang masih sangat muda.
Sebagian referensi mengatakan bahwa umur beliau saat itu sekitar 30 tahun.
Al-Baladzary mengatakan, “Rasulullah saw. menguburkannya di Baqi’, beliau jugalah
yang mengimami shalat jenazahnya.” Semoga Allah swt. melimpahkan keridhaan-Nya dan
menempatkannya di surga yang sangat lapang.
Yang terbukti adalah sebaliknya. Rasulullah saw. menikah karena beliau memiliki
sikap mulia, kebersihan hati, kasih sayang, kebaikan, dan keutamaan. Beliau adalah utusan
Allah swt. yang didatangkan untuk membawa rahmat bagi sekalian alam. Beliau adalah
cahaya bagi seluruh manusia.
‫َو َم ا َأْر َس ْلَناَك ِإاَّل َر ْح َم ًة ِلْلَع اَلِم يَن‬
Artinya, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam.” (Al-Anbiya: 107)
Hindun binti Hudzaifa (Ummu Salamah) ra
Hindun binti Hudzaifah adalah istri dari Nabi Muhammad SAW yang dinikahi
dalam keadaan janda. Sebelumnya ia adalah istri dari Abu Salamah Abdullah bin Abdil Asad
al-Makhzumi (shahabat yang mengikuti dua kali hijrah). Hindun memiliki kunyah (julukan)
sebagai Ummu Salamah (Ibunya Salamah).
Ayah Hindun, Hudzaifah (Abu Umayyah) dijuluki sebagai “Zaad ar-Rakbi ” yakni
seorang pengembara yang berbekal. Dijuluki demikian karena apabila dia melakukan safar
(perjalanan) tidak pernah lupa mengajak teman dan juga membawa bekal, bahkan ia
mencukupi bekal milik temannya. Adapun ibu beliau bernama ‘Atikah binti Amir bin
Rabi’ah al-Kinaniyah dari Bani Farras yang terhormat.

 Ditinggal suami tercinta


Hindun binti Hudzaifah adalah seorang istri yang penuh cinta bagi suaminya, Abu
Salamah ‘Abdullah bin ‘Abdil Asad bin Hilal bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Makhzum bin
Yaqzhah bin Murrah bin Ka’b Al-Makhzumi radhiyallahu ‘anhu. Dalam beratnya cobaan dan
gangguan, mereka meninggalkan negeri Makkah menuju Habasyah untuk berhijrah,
membawa keimanan. Di negeri inilah Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha melahirkan anak-
anaknya, Salamah, ‘Umar, Durrah dan Zainab.
Tatkala terdengar kabar tentang Islamnya penduduk Makkah, mereka pun kembali
bersama kaum muslimin yang lain. Namun, ternyata semua itu berita hampa semata, hingga
mereka pun harus beranjak hijrah untuk kedua kalinya menuju Madinah. Di sanalah mereka
membangun hidup bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Selang beberapa lama di Madinah, seruan perang Badr bergema. Abu Salamah
radhiyallahu ‘anhu masuk dalam barisan para shahabat yang terjun dalam kancah
pertempuran. Begitu pula ketika perang Uhud berkobar, Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu ada
di sana, hingga mendapatkan luka-luka.
Tak lama Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berdampingan dengan kekasihnya,
karena Abu Salamah harus kembali ke hadapan Rabb-nya akibat luka-luka yang dideritanya.
Pada Perang Uhud Abu Umayyah, suami pertama Hindun terkena panah pada begian
lengan dan tinggal untuk mengobati lukanya hingga merasa sudah sembuh.
Selang dua bulan setelah perang Uhud, Rasulullah Saw mendapat laporan bahwa Bani
Asad merencanakan hendak menyerang kaum muslimin. Kemudian beliau memanggil Abu
Salamah dan mempercayakan kepadanya untuk membawa bendera pasukan menuju “Qathn”,
yakni sebuah gunung yang berpuncak tinggi disertai pasukan sebanyak 150 orang. Di antara
mereka adalah ‘Ubaidullah bin al-Jarrah dan Sa’ad bin Abi Waqqash.
Peperangan tersebut dimenangkan kaum muslimin sehingga mereka kembali dalam
keadaan selamat dan membawa harta rampasan perang (ghanimah). Disamping itu, mereka
dapat mengembalikan sesuatu yang hilang yakni kewibawaan kaum muslimin tatkala perang
Uhud. Pada pengiriman pasukan inilah luka yang diderita oleh Abu Salamah pada hari Uhud
kembali kambuh sehingga mengharuskan beliau terbaring ditempat tidur.
Pada suatu pagi Rasulullah Saw datang untuk menengoknya dan beliau terus
menunggunya hingga Abu Salamah berpisah dengan dunia. Ummu Salamah melepas
kepergian Abu Salamah pada bulan Jumadits Tsaniyah tahun keempat Hijriyah dengan pilu.
 Menikah dengan Rasulullah
Waktu terus berjalan. Ummu Salamah pun telah melalui masa ‘iddahnya sepeninggal
Abu Salamah. Meski demikian Ummu Salamah kerap menolak pinangan dari para sahabat
Rasul yang datang dengan maksud untuk menikahinya, bahkan, Abu Bakar
Assiddiq dan Umar bin Khatthab sekalipun.
Ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala hendak menganugerahkan sesuatu yang lebih
besar daripada itu semua. Datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ummu
Salamah radhiyallahu ‘anha, membuka pintu baginya untuk memasuki rumah tangga
nubuwwah. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha menjawab tawaran itu, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku adalah wanita yang sudah cukup berumur, dan aku memiliki anak-anak
yatim, lagi pula aku wanita yang sangat pencemburu.” Dari balik tabir, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam menanggapi, “Adapun masalah umur, sesungguhnya aku lebih
tua darimu. Adapun anak-anak, maka Allah akan mencukupinya. Sedangkan
kecemburuanmu, maka aku akan berdoa kepada Allah agar Allah menghilangkannya.”
Tak ada lagi yang memberatkan langkah Ummu Salamah untuk menyambut uluran
tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bulan Syawwal tahun keempat setelah hijrah
adalah saat-saat yang indah bagi Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, mengawali hidupnya di
samping seorang yang paling mulia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Selanjutnya Hindun binti Abu Umayyah menjadi Ummul mukminin. Beliau hidup
dalam rumah tangga nubuwwah yang telah ditakdirkan untuknya dan merupakan suatu
kedudukan yang beliau harapkan. Beliau menjaga kasih sayang dan kesatuan hati bersama
istri-istri Nabi lainnya. Rasulullah Saw pun memuliakannya dengan biasa mengunjunginya
pertama kali sehabis beliau menunaikan Shalat Ashar, sebelum mengunjungi istri-istrinya
yang lain.

 Peristiwa yang dilalui Ummu Salamah di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi


wasallam
Banyak rentetan peristiwa dilaluinya bersama beliau. Satu dialaminya dalam
Perjanjian Hudaibiyah. Kala itu, pada bulan Dzulqa’dah tahun keenam setelah
hijrah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersama seribu empat ratus orang muslimin
ingin menunaikan ‘umrah di Makkah sembari melihat kembali tanah air mereka yang sekian
lama ditinggalkan. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha turut menyertai perjalanan beliau ini.
Namun setiba beliau dan para shahabat di Dzul Hulaifah untuk berihram dan memberi tanda
hewan sembelihan, kaum musyrikin Quraisy menghalangi kaum muslimin. Dari peristiwa ini
tercetuslah perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian itu di antaranya berisi larangan bagi kaum
muslimin memasuki Makkah hingga tahun depan. Betapa kecewanya para shahabat saat itu,
karena mereka urung memasuki Makkah.
Usai menyelesaikan penulisan perjanjian itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam pun memerintahkan kepada para shahabat, “Bangkitlah, sembelihlah hewan kalian,
kemudian bercukurlah!” Namun tak satu pun dari mereka yang bangkit. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam mengulangi perintahnya hingga ketiga kalinya, namun tetap tak
ada satu pun yang beranjak. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menemui
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dan menceritakan apa yang terjadi. Ummu Salamah pun
memberikan gagasan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah engkau ingin agar mereka
melakukannya? Bangkitlah, jangan berbicara pada siapa pun hingga engkau menyembelih
hewan dan memanggil seseorang untuk mencukur rambutmu.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri, kemudian segera melaksanakan
usulan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Seketika itu juga, para shahabat yang melihat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyembelih hewannya dan menyuruh seseorang
untuk mencukur rambutnya serta merta bangkit untuk memotong hewan sembelihan mereka
dan saling mencukur rambut, hingga seakan-akan mereka akan saling membunuh karena
riuhnya.
Semenjak bersama Abu Salamah radhiallahu ‘anhu, Ummu Salamah radhiyallahu
‘anha meraup banyak ilmu. Terlebih lagi setelah berada dalam naungan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam, di bawah bimbingan nubuwwah, Ummu Salamah mendulang
ilmu. Juga dari putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Fathimah radhiyallahu ‘anha.
Ummu Salamah menyampaikan apa yang ada pada dirinya hingga bertaburanlah riwayat dari
dirinya. Tercatat deretan panjang nama-nama ulama besar dari generasi pendahulu yang
mengambil ilmu darinya. Dia termasuk fuqaha dari kalangan shahabiyah.
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha telah melalui rentang panjang masa hidupnya
dengan menebarkan banyak faidah. Masa-masa kekhalifahan pun dia saksikan hingga masa
pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah. Pada masa inilah terjadi pembunuhan cucu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam, Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma. Ummu
Salamah sangat berduka mendengar berita itu. Dia benar-benar merasakan kepiluan. Tak
lama setelah itu, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha kembali menghadap Rabb-nya saat umur
beliau sudah mencapai 84 tahun. Hindun binti Abu Umayyah adalah istri Nabi yang terakhir
kali meninggal dunia.

Sumber bacaan :
1. Al-Ishabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, hal. 150-152
2. Shahihus Sirah an-Nabawiyah, Ibrahim Al-‘Aly, hal. 323
3. Siyar A’lamin Nubala’, Al-Imam Adz-Dzahabi, hal. 202-210
4. Tahdzibul Kamal, Al-Imam Al-Mizzi, hal. 317-319
Zainab binti Jahsy
Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah shalallahi alaihi wa salam. Zainab
termasuk wanita pertama yang memeluk Islam. Allah pun telah menerangi hati ayah dan
keluarganya sehingga memeluk Islam. Dia hijrah ke Madinah bersama keluarganya. Ketika
itu dia masih gadis walaupun usianya sudah layak menikah.
Zainab termasuk wanita yang taat dalam beragama, wara’, dermawan, dan baik.
Selain itu, dia juga dikenal mulia dan cantik, serta termasuk wanita terpandang di Makkah.
Nama lengkapnya adalah Zainab binti Jahsy bin Ri’ab bin Ya’mar bin Sharah bin Murrah bin
Kabir bin Gham bin Dauran bin Asad bin Khuzaimah. Sebelum menikah dengan Rasulullah,
namanya adalah Barrah, kemudian diganti oleh Rasulullah menjadi Zainab setelah menikah
dengan beliau. Dinyatakan dalam hadits Al-Bukhari dan Muslim, dari Zainab binti Abu
Salamah, dia berkata, “Namaku adalah Barrah, akan tetapi Rasulullah kemudian memberiku
nama Zainab.” (HR. Muslim dalam Al-Adab, 14/140).
Ibu dari Zainab bernama Umaimah binti Abdul-Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf
bin Qushai. Zainab dilahirkan di Mekah dua puluh tahun sebelum kenabian. Ayahnya adalah
Jahsy bin Ri’ab. Dia tergolong pemimpin Quraisy yang dermawan dan berakhlak baik.
Zainab yang cantik dibesarkan di tengah keluarga yang terhormat, sehingga tidak heran jika
orang-orang Quraisy menyebutnya dengan perempuan Quraisy yang cantik.

 Menikah dan bercerai dengan Zaid bin Haritsah


Zaid adalah salah seorang hamba sahaya milik Khadijah binti Khuwailid.
Ketika Rasulullah menikahi Khadijah, dia memberikan Zaid binti Haritsah kepada beliau.
Dan itu terjadi sebelum masa kenabian Muhammad. Zaid kemudian tinggal di rumah Nabi
Muhammad. Kemudian keluarga Zaid mencarinya ke Makkah, dan ingin menebusnya.
Mereka datang kepada Nabi untuk memintanya dari beliau. Kemudian beliau memberi
pilihan kepadanya antara tetap tinggal bersama beliau atau ikut keluarganya. Zaid lebih
memilih untuk bersama Nabi daripada harus bersama keluarganya.
Allah telah memberikan nikmat kepada Zaid bin Haritsah dengan keislamannya dan
Nabi telah memberinya nikmat dengan kebebasannya. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah,
beliau mempersaudarakan Zaid bin Haritsah dengan Hamzah bin Abdul Muththalib.
Sesampainya di Madinah beliau meminang Zainab binti Jahsy untuk Zaid bin
Haritsah. Semula Zainab menolak menikah dengannya, begitu juga dengan saudara laki-
lakinya. Selanjutnya Rasulullah menasihati mereka berdua dan menerangkan
kedudukan Zaid di hati beliau, sehingga turunlah ayat kepada mereka,
“Dan tidaklah patut bagi laki -laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.“ (Q.S. Al-Ahzab:
36).
Akhirnya Zainab menikah dengan Zaid sebagai pelaksanaan atas perintah Allah,
meskipun sebenarnya Zainab tidak menyukai Zaid. Melalui pernikahan itu Nabi saw ingin
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali dalam ketakwaan dan
amal perbuatan mereka yang baik. Pernikahan itu pun bertujuan untuk menghilangkan tradisi
jahiliyah yang senang membanggakan diri dan keturunan.
Haripun berlalu, Zaid menghadap Rasulullah untuk menjelaskan keadaan rumah
tangganya yang kurang harmonis. Rasulullah saw menyuruhnya untuk bersabar, dan Zaid pun
mengikuti nasihat beliau. Akan tetapi, dia kembali menghadap Rasulullah dan menyatakan
bahwa dirinya tidak mampu lagi hidup bersama Zainab.
Mendengar itu, beliau bersabda, “Pertahankan terus istrimu itu dan bertakwalah
kepada Allah.” Kemudian beliau mengingatkan bahwa pernikahan itu merupakan perintah
Allah. Zaid berusaha menenangkan diri dan bersabar, namun akhirnya terjadilah talak.

 Menjadi Istri Rasulullah Saw


Setelah Zainab bercerai dengan zaid bin Haritsah, Rasulullah Saw menikahi Zainab.
Allah swt menurunkan ayat-Nya,
"Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan
nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya:"Tahanlah terus
istrimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa
yang Allah akan menyatakannya dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang
lebih kamu takuti. Maka tatkala Zaid yang telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya
(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang
mukmin untuk mengawini ( istri-istri anak-anak angkat itu ) apabila anak-anak angkat itu
telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti
terjadi." (Al-Ahzab:37).
Maksud sesuatu yang disembunyikan dalam hati Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah berita dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau bahwa Zainab
radhiallahu ‘anha kelak akan menjadi istrinya.
Imam Az-Zuhri berkata, “Jibril turun kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberitahukan kepada beliau bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menikahkannya
dengan Zainab binti Jahsy radhiallahu ‘anha, itulah yang disembunyikan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hatinya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Kesimpulannya bahwa yang disembunyikan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berita Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa Zainab binti
Jahys radhiallahu ‘anhu, akan menjadi istrinya. Sedangkan yang membuat beliau
menyembunyikan hal itu adalah karena beliau khawatir omongan orang bahwa beliau
menikahi istri anaknya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin membatalkan keyakinan Jahiliyah seputar hukum
menikahi mantan istri anak angkat yang dipraktikkan sendiri oleh imam kaum muslimin
sehingga lebih mudah diterima oleh mereka.”

 Wafatnya Zainab binti Jahsy


Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah yang pertama kali wafat menyusul beliau,
yaitu pada tahun 20 H, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dalam usianya yang ke-
53, dan dimakamkan di Baqi.
Juwairiyah Binti Al-Harits
Juwairiyah Binti Al-Harits adalah salah satu istri Nabi Muhammad SAW yang
berasal dari Bani Musthaliq. Juwairiyah Binti al-Harits Bin Abi Dhirar bin al-Habib al-
Khuza’iyah al-Mushthaliqiyyah adalah secantik-cantik seorang wanita. Beliau termasuk
wanita yang ditawan tatkala kaum muslimin mengalahkan Bani Mushthaliq pada saat perang
Muraisi’. Sebelumnya, beliau bernama Barrah namun setelah masuk islam dan
dinikahi Rasulullah namanya berganti menjadi Juwairiyah. Setelah dia memeluk Islam,
Banil-Musthaliq mengikrarkan diri menjadi pengikut Nabi SAW.
Sebelum dinikahi Rasulullah, Juwairiyah menikah dengan anak pamannya, yaitu
Musafi bin Shafwan bin Malik bin Juzaimah, yang tewas dalam pertempuran Muraisi'
melawan kaum muslimin. Juwairiyah adalah seorang putri pemimpin Banil Musthaliq yang
bernama al-Harits bin Abi Dhiraar yang sangat memusuhi Islam.

 Menjadi tawanan saat perang Muraisi'


Suatu saat pemimpin Bani Musthaliq, Ayah Barrah berencana untuk menyerang kaum
Muslimin di Madinah. Bani Musthaliq berniat untuk mengalahkan pasukan tentara Islam dan
mengambil alih kekuasaan di antara suku-suku Arab. Rencana itupun sampai ke
telinga Rasulullah SAW.
Untuk memastikan kabar itu, Nabi SAW lalu menugaskan Buraidah bin Al-Hushaid
untuk memastikan kebenaran informasi itu. Ternyata, rencana penyerangan yang akan
dilakukan Bani Musthaliq itu tak sekedar isu melainkan kenyataan. Rasulullah pun menyusun
kekuatan dan menyerang terlebih dahulu.
Pertempuran tentara Islam melawan kaum kafir dari Bani Musthaliq itu dikenal
sebagai perang Perang Muraisi' dan terjadi pada bulan Sya'ban tahun kelima Hijrah. Dalam
pertempuran itu, umat Islam meraih kemenangan. Pemimpin bani Musthaliq, Al-Harits
melarikan diri dari medan peperangan dan suami Barrah tewas terbunuh.
Seluruh penduduk yang selamat, termasuk Barrah menjadi tawanan. Sebagai seorang
terpelajar, mengetahui dirinya menjadi tawanan, Barrah mengajukan tawaran untuk
membebaskan diri. Ia lalu mencoba bernegosiasi dan meminta bertemu dengan Nabi SAW.
Upayanya membuahkan hasil.
Tentang Juwairiyah, Aisyah mengemukakan cerita sebagaimana yang disebutkan oleh
Ibnu Saad dalam Thabaqatnya, “Rasulullah SAW menawan wanita-wanita Bani Musthaliq,
kemudian beliau menyisihkan seperlima dari mereka dan membagikannya kepada kaum
muslimin. Bagi penunggang kuda mendapat dua bagian, dan lelaki yang lain mendapat satu
bagian. Juwairiyah jatuh ke tangan Tsabit bin Qais bin Samas al-Anshari.

 Dinikahi oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam


Saat Juwairiyah jatuh ke tangan Tsabit bin Qais bin Samas al-Anshari, ia berumur 20
tahun. Beliau menulis untuk Tsabit bin Qais (bahwa beliau hendak menebus dirinya),
kemudian mendatangi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam agar mau menolong untuk
menebus dirinya. Maka menjadi iba-lah hati Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam melihat
kondisi seorang wanita yang mulanya adalah seorang sayyidah merdeka yang mana dia
memohon beliau untuk mengentaskan ujian yang menimpa dirinya. Maka beliau bertanya
kepada Juwairiyyah: ”Maukah engkau mendapatkan hal yang lebih baik dari itu ?”. Maka
dia menjawab dengan sopan: ”Apakah itu Ya Rasulullah ?”. Beliau menjawab: ”Aku tebus
dirimu kemudian aku nikahi dirimu!”. Maka tersiratlah pada wajahnya yang cantik suatu
kebahagiaan sedangkan dia hampir-hampir tidak perduli dengan kemerdekaan dia karena
remehnya. Beliau menjawab:”Mau Ya Rasulullah”. Maka Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa
sallam bersabda:” Aku telah melakukannya”.
‘Aisyah, Ummul Mukmini berkata: ”Tersebarlah berita kepada manusia
bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah menikahi Juwairiyyah binti al-Harits
bin Abi Dhirar. Maka orang-orang berkata:”Kerabat Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa
sallam! Maka mereka lepaskan tawanan perang yang mereka bawa, maka sungguh dengan
pernikahan beliau Shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan Juwairiyyah manjadi sebab
dibebaskannya seratus keluarga dari Bani Mushthaliq. Maka aku tidak pernah mengetahui
seorang wanita yang lebih berkah bagi kaumnya daripada Juwairiyyah.
Dan Ummul Mukminin ‘Aisyah menceritakan perihal pribadi
Juwairiyyah: ”Juwairiyyah adalah seorang wanita yang manis dan cantik, tiada seorangpun
yang melihatnya melainkan akan jatuh hati kepadanya. Tatkala Juwairiyyah meminta
kepada Rasulullah untuk membebaskan dirinya sedangkan -demi Allah- aku telah melihatnya
melalui pintu kamarku, maka aku merasa cemburu karena menduga bahwa Rasulullah
Shallallâhu ‘alaihi wa sallam akan melihat sebagaimana yang aku lihat.
Maka masuklah pengantin wanita, Sayyidah Bani Mushthaliq kedalam rumah tangga
Nubuwwah. Pada Mulanya, nama Beliau adalah Burrah namun Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi
wa sallam menggantinya dengan Juwairiyyah karena khawatir dia dikatakan keluar dari biji
gandum (keluar dari rumah burrah).

 Masuk Islamnya al-Harits beserta kaum Bani Musthaliq


Seperti diriwayatkan Aisyah RA, kabar pernikahan Rasulullah dan Juwairiyah
menyebar cepat di kalangan kaum Muslimin. Secara tak terduga, pernikahan itu menjadi
berkah bagi kaum Bani Musthaliq yang tertawan dan menjadi budak. Para sahabat
membebaskan semua tawanan yang masih memiliki hu bungan kekerabatan dengan
Juwairiyah.
Ibnu Hasyim meriwayatkan bahwa akhirnya ayah beliau yang bernama al-Harits
masuk Islam bersama kedua putranya dan beberapa orang dari kaumnya.
Semoga Allah merahmati Ummul Mukminin, Juwairiyyah karena pernikahannya
dengan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam membawa berkah dan kebaikan yang
menyebabkan kaumnya, keluarganya dan orang-orang yang dicintainya berpindah dari
memalingkan ibadah untuk selian Allah dan kesyirikan menuju kebebasan dan cahaya Islam
beserta kewibawaannya. Hal itu merupakan pelajaran bagi mereka yang bertanya-tanya
tentang hikmah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam beristri lebih dari satu.

 Wafatnya Juwairiyah
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, Juwairiyah mengasingkan diri serta
memperbanyak ibadah dan bersedekah di jalan Allah SWT dengan harta yang diterimanya
dari baitul mal. Ketika terjadi fitnah besar berkaitan dengan Aisyah, dia banyak berdiam diri,
tidak berpihak kemanapun.
Juwairiyah wafat pada masa kekhalifahan Mu`awiyah bin Abu Sufyan, pada usianya
yang keenam puluh. Ummul Mukminin, Juwairiyyah wafat pada tahun 50 H. Ada pula yang
mengatakan tahun 56 H. Dia dikuburkan di Baqi`, bersebelahan dengan kuburan istri-
istri Rasulullah SAW yang lain.
Ramlah binti Abu Sufyan - Wanita Pemegang Teguh Akidah
Ramlah binti Abu Sufyan adalah istri dari Muhammad SAW. Nama aslinya adalah
Ramlah, sebelum menikah dengan Rasulullah, ia dinikahi oleh Ubaydillah bin Jahsy. Ialah
salah seorang Ummul Mu’minin yang banyak diuji keimanannya. Disaat orang-orang
terdekat dan yang dicintainya merupakan musuh baginya. Terutama Suami pertamanya,
Ubaydillah bin Jahsy yang murtad dengan masuk agama nasrani setelah sebelumya ia seorang
muslim.
Ramlah binti Abu Sufyan dilahirkan 25 tahun sebelum hijrah atau kurang lebih 13
tahun sebelum Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul. Ayahnya adalah Shakhr bin Harb
bin Umayyah yang dikenal sebagai Abu Sufyan. Ia adalah pembesar Quraisy yang
terpandang pada masanya dan pemimpin orang-orang musyrik hingga penaklukan Mekah.
Sedangkan ibunya bernama Shafiyah binti Abul Ash, bibi Utsman bin Affan.

 Pernikahan pertama
Suami pertama Ramlah adalah Ubaidullah bin Jahsy, pemuda bangsawan Quraisy
yang tekun mempelajari ajaran Nabi Isa AS dan selalu menyertai Waraqah bin Naufal,
seorang pendeta nasrani. Ia melamar Ramlah. Lamaran itu diterima dan tak lama kemudian
mereka menikah.
Beberapa lama setelah pernikahan tersebut, Muhammad SAW diangkat sebagai
Rasul. Berita ini menyebar di kalangan masyarakat Quraisy. Ubaydillah menyambut
seruan Rasulullah dan menyatakan keimanannya karena ia mendengar Waraqah bin Naufal
membenarkan kenabian Muhammad SAW. Ramlah pun mengikuti jejak suaminya, memeluk
Islam.

 Murtadnya Ubaydillah
Saat Ramlah sedang mengandung, Rasulullah menyerukan kaum Muslimin untuk
hijrah ke Habasyah. Maka berangkatlah Ramlah dan suaminya menuju Habasyah. Ramlah
melahirkan Habibah, anaknya di Habasyah. Sejak itu ia lebih dikenal dengan sebutan Ummu
Habibah.
Suatu malam, Ummu Habibah terbangun dari tidurnya. Ia bermimpi buruk tentang
suaminya. "Aku melihat di dalam mimpi, suamiku Ubaidullah bin Jahsy dengan bentuk yang
sangat buruk dan menakutkan. Maka aku terperanjat dan terbangun, kemudian aku
memohon kepada Allah dari hal itu. Ternyata tatkala pagi, suamiku telah memeluk agama
Nasrani. Maka aku ceritakan mimpiku kepadanya namun dia tidak menggubrisnya," ujarnya.
Pagi harinya, Ubaydillah bin Jahsy berkata, "Ummu Habibah, aku berpikir tentang
agama, dan menurutku tidak ada agama yang lebih baik dari agama Nasrani. Aku
memeluknya dulu. Kemudian aku bergabung dengan agama Muhammad, tetapi sekarang aku
kembali memeluk Nasrani."
Ummu Habibah berkata, "Demi Allah, tidak ada kebaikan bersamamu!" Kemudian
diceritakanlah pada suaminya mimpi itu, tetapi ia tak menghiraukannya.
Suaminya mencoba dengan segala kemampuan untuk memurtadkannya, namun
Ummu Habibah tetap tak bergeming. Bahkan beliau justru mengajak suaminya kembali ke
Islam, namun ditolak dan Ubaydillah tetap murtad sampai akhir hayatnya.
Setelah berpisah dengan suaminya, Ummu Habibah membesarkan anaknya sendirian
di Habasyah.

 Menikah dengan Rasulullah


Hari-hari berlalu di bumi hijrah, dengan ujian-ujian berat menemani Ummu Habibah.
Tetapi dengan keimanan yang dikaruniakan Allah swt, dirinya mampu menghadapinya. Suatu
malam, ia melihat dalam mimpinya ada yang memanggilnya, “Wahai Ummul
Mu’minin!” beliaupun terperanjat bangun. Beliau menakwilkan mimpi tersebut
bahwa Rasulullah saw kelak akan menikahinya.
Setelah selesai masa ‘iddahnya, tiba-tiba ada seorang budak wanita (jariyah) dari
Najasyi yang memberitahukan kepada beliau bahwa Rasulullah saw telah meminangnya.
Alangkah bahagianya beliau mendengar kabar gembira tersebut. Setelah itu, beliau meminta
Khalid bin Sa’id bin Al-‘Ash untuk menjadi wakil baginya menerima lamaran raja Najasyi
(yang mewakili Rasulullah saw)
Suatu sore, Raja Najasyi mengumpulkan kaum muslimin yang berada di Habyah,
dalam rangka melangsungkan pernikahan tersebut. Datanglah mereka dengan dipimpin oleh
Ja’far bin Abi Thalib putra paman Nabi. Selanjutnya akad nikah pun dilangsungkan. Raja
Najasyi menyerahkan mahar Rasulullah saw sebesar 400 dinar kepada Khalid bin Sa’id. Raja
Najasyi lalu mengajak para sahabat untuk mengadakan walimah. Pernikahan itu terjadi
sekitar tahun ketujuh Hijriyah.
Ketika mendengar tentang pernikahan anaknya dengan Rasulullah saw, Abu
Sufyan berkata, "Muhammad adalah seorang yang mulia, Ummu Habibah adalah seorang
yang kuat dalam keimanan terhadap Allah dan Rasul-Nya."
Setelah kemenangan Khaibar, sampailah rombongan Muhajirin dari
Habsyah, Rasulullah bersabda, “Dengan sebab apa aku harus bergembira, karena
kemenangan Khaibar atau karena datangnya Ja’far?” sedangkan Ummu Habibah datang
bersama rombongan. Bertemulah Rasulullah dengannya pada tahun ke enam atau ke tujuh
hijriah. Kala itu Ummu Habibah berusia 40 tahun.
Setelah kemenangan kaum Muslimin dalam Perang Khaibar, rombongan muhajirin
dari Habasyah termasuk Ummu Habibah kembali ke Madinah dan menetap
bersama Rasulullah SAW.

 Sepeninggal Rasulullah
Beberapa tahun setelah berkumpul dengan Ummu Habibah, Rasulullah SAW wafat.
Sepeninggal Rasulullah, dia benar-benar menyibukkan diri dengan beribadah dan berbuat
kebaikan. Dia berpegang teguh pada nasihat Rasulullah SAW dan senantiasa berusaha
mempersatukan kaum Muslimin dengan segala kemampuannya sampai ia meninggal dunia
pada tahun ke-46 Hijriyah.
Ummu Habibah meriwayatkan sekitar 65 hadits dari Rasulullah SAW dan dari Zainab
binti Jahsy. Beberapa orang juga meriwayatkan darinya seperti, Urwah bin Zubair, Zainab
binti Abu Salamah, Shafiyah binti Syaibah, Syahar bin Hausyab, dan anak perempuannya;
Habibah binti Ubaidillah bin Jahsy, dan saudara lelakinya; Muawiyah dan Atabah,
keponakannya; Abdullah bin Atabah, dan yang lainnya.
Menjelang wafatnya, Aisyah berkata pada Ummu Habibah, "Terkadang di antara kita
sebagai istri-istri Nabi ada suatu khilaf, semoga Allah mengampuniku dan mengampunimu
dari perbuatan atau sikap itu."
Ummu Habibah membalas, "Engkau telah membahagiakan diriku, semoga Allah juga
membahagiakan dirimu."

 Wafatnya Ramlah binti Abu Sufyan


Ramlah binti Abu Sufyan wafat pada tahun ke-46 Hijriyah, takkala berumur tujuh
puluhan tahun. Beliau wafat setelah memberikan keteladanan yang paling tinggi dalam
menjaga kewibawaan diennya dan bersemangat diatasnya, tinggi dan mulia jauh ddari
pengaruh jahiliyyah dan tidak menghiraukan nasab manakala bertentangan dengan
akidahnya.
Shafiyah binti Huyay - Istri Rasulullah Keturunan Yahudi
Shafiyah binti Huyay (sekitar 610 M - 670 M) adalah salah satu istri Nabi
Muhammad SAW yang berasal dari suku Bani Nadhir. Shafiyah adalah putri Huyay bin
Akhthab, pemimpin suku Yahudi Khaibar, salah satu Bani Israel yang bermukim disekitar
Madinah.
Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab bin Sa’yah bin Amir bin Ubaid bin Kaab bin al-
Khazraj bin Habib bin Nadhir bin al-Kham bin Yakhurn, termasuk keturunan Harun bin
Imran bin Qahits bin Lawi bin Israel bin Ishaq bin Ibrahim. Ibunya bernama Barrah binti
Samaual darin Bani Quraizhah. Shafiyyah dilahirkan sebelas tahun sebelum hijrah, atau dua
tahun setelah masa kenabian Muhammad.

 Menyakini kebenaran Rasulullah


Shafiyah adalah anak kesayangan bapaknya dan pamannya, sebagaimana dituturkan
oleh Shafiyah sendiri, yang dikisahkan oleh Ibnu Ishaq.
“Saya adalah anak kesayangan bapak saya dan paman saya, Abu Yasir.
Ketika Rasulullah datang di Yatsrib, beliau turun di Quba’ di kediaman Amru bin Auf. Maka
Bapak saya, Huyay bin Akhthab, dan paman saya, Abu Yasir pergi di pagi hari, akan tetapi
mereka berdua belum pulang meski matahari sudah kembali ke peraduannya. Tidak lama
kemudian, mereka datang dalam kondisi lelah, malas, dan lemas. Mereka berdua berjalan
dengan gontai. Saya menyambut mereka dengan ceria, seperti biasanya. Tapi, demi Allah,
tidak seorang pun diantara mereka berdua yang menoleh ke saya, ditambah lagi mereka
berdua tampak sedih. Tiba-tiba saya mendengar paman saya, Abu Yasir, berkata kepada
bapak saya, Huyay bin Akhthab,

“Apakah itu orangnya?”


“Ya, betul,” jawab ayah saya.
“Apa kamu mengenalnya?” tanya paman.
“Ya,” jawab ayah.
“Bagaimana pendapatmu tentang dia,” kata paman.
“Saya akan memusuhinya selama saya hidup,” kata ayah.

Setelah kejadian itu, Shafiyah mengetahui bahwa Rasulullah berada dalam jalan yang
benar. Ternyata selama ini, kaumnya tidak memberitahukan tentang Nabi Muhammad kepada
Shafiyah, karena faktor kedengkian dan iri hati, bukan karena Nabi Muhammad salah, setelah
ada bukti yang nyata pada diri mereka bahwa Nabi Muhammad adalah utusan akhir zaman.

 Huyay bin Akhthab


Huyay bin Akhthab memerangi dan menampakkan permusuhan terhadap Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun dia tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam merupakan nabi akhir zaman, sebagaimana termaktub dalam kitab Taurat.
Sifat dusta, tipu muslihat, dan pengecut ayahnya sudah tampak di mata Shafiyyah
dalam banyak peristiwa. Di antara yang menjadi perhatian Shafiyyah adalah sikap Huyay
terhadap kaumnya sendiri, Yahudi Bani Qurayzhah. Ketika itu, Huyay berjanji untuk
mendukung dan memberikan pertolongan kepada mereka jika mereka melepaskan perjanjian
tidak mengkhianati kaum Muslim (Perjanjian Hudaibiyah). Akan tetapi, ketika kaum Yahudi
mengkhianati perjanjian tersebut, Huyay melepaskan tanggung jawab dan tidak
menghiraukan mereka lagi. Hal lain adalah sikapnya terhadap orang-orang Quraisy Mekah.
Huyay pergi ke Mekah untuk menghasut kaum Quraisy agar memerangi kaum Muslim dan
mereka menyuruhnya mengakui bahwa agama mereka (Quraisy) lebih mulia daripada
agama Muhammad, dan Tuhan mereka lebih baik daripada Tuhan Muhammad.

 Penaklukan Khaibar
Perang Khandaq telah membuka tabir pengkhianatan kaum Yahudi terhadap
perjanjian yang telah mereka sepakati dengan kaum muslimin (Perjanjian
Hudaibiyah). Muhammad segera menyadari ancaman yang akan menimpa kaum muslimin
dengan berpindahnya kaum Yahudi ke Khaibar kernudian membentuk pertahanan yang kuat
untuk persiapan menyerang kaum muslimin.
Selanjutnya nabi Muhammad memimpin tentara Islam untuk menaklukkan Khaibar,
benteng terkuat dan terakhir kaum Yahudi. Perang berlangsung dahsyat hingga beberapa hari
lamanya, dan akhirnya kemenangan ada di tangan umat Islam. Benteng-benteng mereka
berhasil dihancurkan, harta benda mereka menjadi harta rampasan perang, dan kaum
wanitanya pun menjadi tawanan perang.
Pasukan kaum muslim berhasil mengalahkan benteng pertahanan terakhir suku
Yahudi di Khaibar. Huyay bin Akhthab mati terbunuh dalam peperangan itu. Sementara
putrinya, Shafiyah yang ditinggal mati suaminya menjadi tawanan.

 Masuk Islam dan Menikah dengan Rasulullah


Setelah orang-orang Yahudi kalah, dan bentengnya di Khaibar jatuh ke tangan kaum
muslim, Shafiyah menjadi salah satu tawanan perang. Dia masuk dalam bagian pendapatan
perang seorang sahabat, Dahiyyah bin Khalifah. Kemudian ada seorang laki-laki datang
menghadap Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah, engkau memberikan bagian kepada
Dahiyyah, Shafiyah binti Huyay, putri pemimpin Bani Quraizhah dan Bani Nadhir, padahal
Shafiyah hanya layak untuk engkau.”

Rasulullah bersabda, “Panggil Dahiyyah bersama Shafiyah.”

Dahiyyah datang membawa Shafiyah. Setelah Rasulullah melihat Shafiyah, beliau


berkata kepada Dahiyyah, “Ambillah budak yang lain dari tahanan yang ada.”
Dahiyyah pergi tanpa membawa pulang Shafiyyah, dia memilih tahanan yang lain
untuk dijadikan budak. Sementara Rasulullah mempunyai bagian harta perang, yang biasanya
dikenal dengan istilah shafi (jarahan perang yang dipilih pemimpin untuk
dirinya). Rasulullah bebas dalam memilih, apakah ingin memilih budak laki-laki, budak
perempuan, atau kuda, selama belum melebihi seperlima.
Rasulullah memberikan pilihan kepada Shafiyah, apakah ingin dimerdekakan,
kemudian akan dikembalikan kepada kaumnya yang masih hidup di Khaibar, ataukah ingin
masuk Islam kemudian dinikahi oleh Rasulullah. Shafiyah memilih untuk masuk Islam dan
menikah dengan beliau, dengan maskawin kemerdekaannya.
Pada saat itu, Shafiyah berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, saya memeluk
Islam dan saya sudah percaya kepadamu sebelum engkau mengajak saya. Saya sudah
sampai pada perjalananmu. Saya tidak punya keperluan kepada orang-orang Yahudi. Saya
sudah tidak mempunyai bapak, dan tidak mempunyai saudara yang merdeka. Lalu untuk apa
saya kembali kepada kaumku?”
Ungkapan hati Shafiyah ini menunjukkan kebijaksanaan dan kecerdasannya. Shafiyah
menjadi salah satu Ummul Mukminin dan itu merupakan kehormatan yang besar.

 Wafat
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Shafiyyah tetap komitmen terhadap Islam dan
mendukung perjuangan Nabi Muhammad SAW. Ketika terjadi fitnah besar atas
kematian Utsman bin Affan, dia berada di barisan Utsman.
Shafiyah banyak meriwayatkan hadits Nabi. Shafiyah wafat tatkala berumur sekitar
50 tahun, ketika masa pemerintahan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Marwan bin Hakam
menshalatinya, kemudian menguburkannya di Baqi’.

Anda mungkin juga menyukai