Anda di halaman 1dari 14

Khadijah binti Khuwailid merupakan isteri pertama Nabi Muhammad.

Beliau adalah Ummul Mukminin


istri Rasulullah yang pertama, wanita pertama yang mernpercayai risalah Rasulullah, dan wanita
pertama yang melahirkan putra-putri Rasulullah. Dia merelakan harta benda yang dimilikinya untuk
kepentingan jihad di jalan Allah. Dialah orang pertama yang mendapat kabar gembira bahwa dirinya
adalah ahli surga.

Nama lengkapnya adalah Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai. Khadijah al-
Kubra, anak perempuan dari Khuwailid bin Asad dan Fatimah binti Za'idah, berasal dari kabilah Bani
Asad dari sukuQuraisy. Ia merupakan wanita as-Sabiqun al-Awwalun.

Khadijah binti Khuwailid adalah sebaik-baik wanita ahli surga. Ini sebagaimana sabda Rasulullah,
“Sebaik-baik wanita ahli surga adalah Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid.”

Khadijah lahir sekitar tahun 555/565/570, beliau berasal dari golongan pembesar Mekkah. Menikah
dengan Nabi Muhammad, ketika berumur 40 tahun, manakala Nabi Muhammad berumur 25 tahun. Ada
yang mengatakan usianya saat itu tidak sampai 40 tahun, hanya sedikit lebih tua dari Nabi Muhammad.
Khadijah merupakan wanita kaya dan terkenal. Khadijah bisa hidup mewah dengan hartanya sendiri.
Meskipun memiliki kekayaan melimpah, Khadijah merasa kesepian hidup menyendiri tanpa suami,
karena suami pertama dan keduanya telah meninggal. Suami pertama Khadijah adalah Abu Halah at-
Tamimi, yang wafat dengan meninggalkan kekayaan yang banyak, juga jaringan perniagaan yang luas
dan berkembang. Pernikahan kedua Khadijah adalah dengan Atiq bin Aidz bin Makhzum, yang juga
wafat dengan meninggalkan harta dan perniagaan. Dengan demikian, Khadijah menjadi orang terkaya di
kalangan suku Quraisy. Namun, beberapa sumber menyangkal bahwa Khadijah pernah menikah
sebelum bertemu Nabi Muhammad SAW.

Mengurus harta
Sayyidah Khadijah dikenal dengan julukan wanita suci sejak perkawinannya dengan Abu Halah dan Atiq
bin Aidz karena keutamaan ãkhlak dan sifat terpujinya. Karena itu, kalangan Quraisy memberikan
penghargaan dan penghormatan yang tinggi kepadanya.

Dengan kekayaannya yang berlimpah tentu Khadijah tidak dapat bekerja sendiri, maka ia mengangkat
beberapa pegawai untuk membawa dagangannya ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam pada
musim panas. Diantara para pegawai tersebut terdapat seseorang yang paling dipercaya dan dikenal
dengan nama Maisarah. Dia dikenal sebagai pemuda yang ikhlas dan berani, sehingga Khadijah pun
berani melimpahkan tanggung jawab untuk pengangkatan pegawai baru yang akan mengiring dan
menyiapkan kafilah, menentukan harga, dan memilih barang dagangan. Sebenarnya itu adalah
pekerjaan berat, namun penugasan kepada Maisarah tidaklah sia-sia.
Mengenal Muhammad bin Abdullah
Muhammad bin Abdullah adalah seorang pemuda dari Kaum Quraisy yang wara, takwa, dan jujur. Sejak
usia lima belas tahun, Muhammad bin Abdullah telah diajak oleh Maisarah untuk menyertainya
berdagang.

Selama berniaga dengan Muhammad bin Abdullah, Maisarah sering mendapat keuntungan yang sangat
besar akibat dari kejujuran Muhammad dalam berdagang. Selain itu selama berniaga, dia melihat
gulungan awan tebal yang senantiasa mengiringi Muhammad yang seolah-olah melindungi beliau dari
sengatan matahari. Dia pun mendengar seorang rahib yang bernama Buhairah, yang mengatakan bahwa
Muhammad adalah laki-laki yang akan menjadi nabi yang ditunggu-tunggu oleh orang Arab sebagaimana
telah tertulis di dalam Taurat dan Injil. Semua hal tersebut diceritakan Maisarah kepada Khadijah.

Mendengar cerita dari Maisarah, menimbulkan kecenderungan perasaan Khadijah terhadap


Muhammad, sehingga dia menemui anak pamannya, Waraqah bin Naufal. Waraqah mengatakan bahwa
akan muncul nabi besar yang dinanti-nantikan manusia dan akan mengeluarkan manusia dari kegelapan
menuju cahaya Allah. Penuturan Waraqah itu menjadikan niat dan kecenderungan Khadijah terhadap
Muhammad semakin bertambah, sehingga dia ingin menikah dengan Muhammad. Setelah itu dia
mengutus Nafisah, saudara perempuan Ya’la bin Umayyah untuk meneliti lebih jauh tentang
Muhammad, sehingga akhirnya Muhammad diminta menikahi dirinya.

Ketika itu Khadijah berusia empat puluh tahun, namun dia adalah wanita dari golongan keluarga
terhormat dan kaya raya, sehingga banyak pemuda Quraisy yang ingin menikahinya. Muhammad pun
menyetujui permohonan Khadijah tersebut. Maka, dengan salah seorang pamannya, Muhammad pergi
menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin As’ad untuk meminang Khadijah.

Ketika itu, usia Muhammad berusia dua puluh lima tahun, sementara Khadijah empat puluh tahun.
Walaupun usia mereka terpaut sangat jauh dan harta kekayaan mereka pun tidak sepadan, pernikahan
mereka bukanlah pernikahan yang aneh, karena Allah Subhanahu wa ta’ala telah memberikan
keberkahan dan kemuliaan kepada mereka.

Keturunan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam


Setelah menikah dengan Nabi Muhammad SAW, Khadijah melahirkan dua orang anak laki-laki, yaitu
Qasim dan Abdullah serta empat orang anak perempuan, yaitu Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum dan
Fatimah. Seluruh putra dan putrinya lahir sebelum masa kenabian, kecuali Abdullah. Karena itulah,
Abdullah kemudian dijuluki ath-Thayyib (yang balk) dan ath-Thahir (yang suci).

Zainab banyak rnenyerupai ibunya. Setelah besar, Zainab dinikahkan dengan anak bibinya, Abul Ash
ibnur Rabi’. Pernikahan Zainab ini merupakan peristiwa pertama Rasulullah rnenikahkan putrinya, dan
yang terakhir beliau menikahkan Ummu Kultsum dan Ruqayah dengan dua putra Abu Lahab, yaitu
Atabah dan Utaibah. Ketika Nabi Shallallahu alaihi wassalam diutus menjadi Rasul, Fathimah az-Zahra,
putri bungsu beliau rnasih kecil.

Selain mereka ada juga Zaid bin Haritsah yang sering disebut putra Muhammad. Semula, Zaid dibeli oleh
Khadijah dari pasar Mekah yang kemudian dijadikan budaknya. Ketika Khadijah menikah dengan
Muhammad, Khadijah memberikan Zaid kepada Muhammad sebagai hadiah. Rasulullah sangat
mencintai Zaid karena dia memiliki sifat-sifat yang terpuji. Zaid pun sangat mencintai Rasulullah. Akan
tetapi di tempat lain, ayah kandung Zaid selalu mencari anaknya dan akhirnya dia mendapat kabar
bahwa Zaid berada di tempat Muhammad dan Khadijah. Dia mendatangi Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam untuk memohon agar beliau mengembalikan Zaid kepadanya walaupun dia harus membayar
mahal. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam memberikan kebebasan penuh kepada Zaid untuk memilih
antara tetáp tinggal bersamanya dan ikut bersama ayahnya. Zaid tetap memilih hidup bersama
Rasulullah, sehingga dari sinilah kita dapat mengetahui sifat mulia Zaid.

Agar pada kemudian hari nanti tidak menjadi masalah yang akan memberatkan ayahnya, Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam dan Zaid bin Haritsah menuju halaman Ka’bah untuk mengumumkan
kebebasan dan pengangkatan Zaid sebagai anak. Setelah itu, ayahnya merelakan anaknya dan merasa
tenang. Dari situlah mengapa banyak yang menjuluki Zaid dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Akan
tetapi, hukum pengangkatan anak itu gugur setelah turun ayat yang membatalkannya, karena hal itu
merupakan adat jahiliah, sebagaimana firman Allah berikut ini:

” … jika kamu mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu
seagama dan maula-maulamu … ” (QS. At-Taubah:5)

Masa Kenabian Muhammad Shallallahu alaihi wassalam


Muhammad bin Abdullah hidup berumah tangga dengan Khadijah binti Khuwailid dengan tenterarn di
bawah naungan akhlak mulia dan jiwa suci sang suami. Ketika itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam
menjadi tempat mengadu orang-orang Quraisy dalam menyelesaikan perselisihan dan pertentangan
yang terjadi di antara mereka. Hal itu menunjukkan betapa tinggi kedudukan Rasulullah di hadapan
mereka pada masa prakenabian. Beliau menyendiri di Gua Hira, menghambakan diri kepada Allah yang
Maha Esa, sesuai dengan ajaran Nabi Ibrahim a.s.

Khadijah sangat ikhlas dengan segala sesuatu yang dilakukan suaminya dan tidak khawatir selama
ditinggal suaminya. Bahkan dia menjenguk serta menyiapkan makanan dan minuman selama beliau di
dalam gua, karena dia yakin bahwa apa pun yang dilakukan suaminya merupakan masalah penting yang
akan mengubah dunia. Ketika itu, Nabi Muhammad berusia empat puluh tahun.
Saat Rasulullah menerima wahyu pertama di gua hira, maka Khadijah memberikan ketenteraman
kepada Rasulullah dengan segala kelembutan dan kasih sayang sehingga beliau merasa tenteram dan
aman. Beliau ridak langsung menceritakan kejadian yang menimpa dirinya kepada Khadijah karena
khawatir Khadijah menganggapnya sebagai ilusi atau khayalan beliau belaka. untuk lengkapnya silahkan
baca di "Biografi Nabi Muhammad S.A.W Nabi dan Rosul Terakhir Panutan Bagi Seluruh Umat Manusia"

Awal Masa Jihad di Jalan Allah


Khadijah meyakini seruan suaminya dan menganut agarna yang dibawanya sebelum diumumkan kepada
rnasyarakat. Itulah langkah awal Khadijah dalam menyertai suaminya berjihad di jalan Allah dan turut
menanggung pahit getirnya gangguan dalam menyebarkan agama Allah.

Beberapa waktu kemudian Jibril kembali mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam.
untuk membawa wahyu kedua dari Allah:

“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan dan Tuhanmu agungkanlah
dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah
kamu memberi (dengan maksud) memperoleb (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi
perintah) Tuhanmu, bersabarlah” (QS. Al-Muddatstir:1-7)

Ayat di atas merupakan perintah bagi Rasulullah untuk mulai berdakwah kepada kalangan kerabat dekat
dan ahlulbait beliau. Khadijah adalah orang pertama yang menyatakan beriman pada risalah Rasulullah
Muhammad dan menyatakan kesediaannya menjadi pembela setia Nabi. Kemudian menyusul Sahabat-
sahabat Nabi lainnya.

Masa Berdakwah Terang-terangan


Setelah berdakwah secara sembunyi- sembunyi, turunlah perintah Allah kepada Rasulullah untuk
memulai dakwah secara terang-terangan. Seruan beliau sangat aneh terdengar di telinga orang-orang
Quraisy. Rasulullah Muhammad memanggil manusia untuk beribadah kepada Tuhan yang satu, bukan
Laata, Uzza, Hubal, Manat, serta tuhan-tuhan lain yang mernenuhi pelataran Ka’bah. Tentu saja mereka
menolak, mencaci maki, bahkan tidak segan-segan menyiksa Rasulullah. Setiap jalan yang beliau lalui
ditaburi kotoran hewan dan duri.

Khadijah tampil mendampingi Rasulullah dengan penuh kasih sayang, cinta, dan kelembutan. Wajahnya
senantiasa membiaskan keceriaan, dan bibirnya meluncur kata-kata jujur. Setiap kegundahan yang
Rasulullah lontarkan atas perlakuan orang-orang Quraisy selalu didengarkan oleh Khadijah dengan
penuh perhatian untuk kemudian dia memotivasi dan rnenguatkan hati Nabi Muhammad Shallallahu
alaihi wassalam.

Khadijah adalah tempat berlindung bagi Rasulullah. Dari Khadijah, beliau memperoleh keteduhan hati
dan keceriaan wajah istrinya yang senantiasa menambah semangat dan kesabaran untuk terus berjuang
menyebarluaskan agama Allah ke seluruh penjuru. Khadijah pun tidak memperhitungkan harta
bendanya yang habis digunakan dalam perjuangan ini. Sementara itu, Abu Thalib, parnan Rasulullah,
menjadi benteng pertahanan beliau dan menjaga beliau dari siksaan orang-orang Quraisy, sebab Abu
Thalib adalah figur yang sangat disegani dan diperhitungkan oleh kaum Quraisy.

Wafatnya Khadijah
Setelah berbagai upaya gagal dilakukan untuk menghentikan dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam, baik itu berupa rayuan, intimidasi, dan penyiksaan, kaum Quraisy memutuskan untuk
memboikot dan mengepung kaum muslimin dan menulis deklarasi yang kemudian digantung di pintu
Ka’bah agar orang-orang Quraisy memboikot kaum muslimin, termasuk Rasulullah, istrinya, dan juga
pamannya. Mereka terisolasi di pinggiran kota Mekah dan diboikot oleh kaum Quraisy dalam bentuk
embargo atas transportasi, komunikasi, dan keperluan sehari-hari lainnya.

Beberapa hari setelah pemboikotan, Abu Thalib jatuh sakit, dan semua orang meyakini bahwa sakit kali
mi merupakan akhir dan hidupnva. Abu Thalib meninggal pada tahun itu pula, maka tahun itu disebut
sebagai ‘Aamul Huzni (tahun kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.

Pada tahun yang sama, Sayyidah Khadijah sakit keras akibat beberapa tahun menderita kelaparan dan
kehausan karena pemboikotan itu. Semakin hari, kondisi badannya semakin menurun, sehingga
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam semakin sedih. Dalam sakit yang tidak terlalu lama, dalam usia
enam puluh lima tahun Khadijah. Khadijah dikuburkan di dataran tinggi Mekah, yang dikenal dengan
sebutan al-Hajun. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam sendiri yang mengurus jenazah istrinya dan
kalimat terakhir yang beliau ucapkan ketika melepas kepergiannya adalah: “Sebaik-baik wanita penghuni
surga adalah Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid.”

Saudah binti Zam'ah adalah wanita pertama yang dinikahi Nabi Muhammad SAW sesudah Khadijah r.a.
dan dia sendiri yang bersama Nabi SAW selama kurang lebih 3 tahun sehingga beliau berumah tangga
dengan 'Aisyah r.a.

Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad SAW


Sebelum menikah dengan Rasulullloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Saudah telah menikah dengan
Sakran bin Amr Al-Amiry, mereka berdua masuk islam dan kemudian berhijrah ke Habasyah bersama
dengan rombongan shahabat yang lain.

Ketika Sakran dan istrinya Saudah tiba di Habasyah maka Sakran jatuh sakit dan meninggal. Maka jadilah
Saudah menjanda. Kemudian datanglah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminang saudah dan
diterima oleh saudah dan menikahlah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Saudah pada
bulan Ramadhan.

Ia bersama suaminya yang terdahulu adalah termasuk kelompok kaum muslimin yang berjumlah 8 orang
dari Bani Amir yang hijrah ke Habasyah dengan meninggalkan harta-harta mereka. Mereka arungi laut
penderitaan diatas keridhaan, rela atas lematian yang akan menghadangnya , demi kemenangan agama
yang mulia ini. Dan sungguh bertambah keras siksa dan kesempitan yang dialaminya karena penolakan
mereka terhadap kesasatan dan kesyirikan.

Saudah meriwayatkan lima hadits dari Rasulullah SAW. Diantaranya satu hadits diriwayatkan dalam
Sahihain [Ibnul Jauzil, Al-Mujtanaa]. Dalam satu riwayat, bahwa Bukhari meriwayatkan dari Saudah dua
hadits. [Al-Maqdisi, Al-Kamaal bii Ma'rifatir Rijaal]

Nama dan nasabnya


Dia adalah ummul mukminin Saudah bintu Zama’ah bin Qois bin Abdu Syams bin Abdu Wudd Al-
Amiriyyahradhiallahu’anha. Ibunya adalah Syamusy bintu Qois bin Zaid An-Najjariiyyah. Dia adalah
wainta yang dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepeninggal Khadijah radhiallahu’anha,
kemudian menjadi istri satu-satunya bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk berumah tangga dengan Aisyah.

Pinangan
Sebelum Saudah dinikahi Rasulullah, Khaulah binti Hakim berbicara kepada Rasul SAW dan menawarkan
'Aisyah binti Ash-Shiddiq r.a. namun dia masih kecil. Maka biarlah dia dipinang, kemudian ditunggu
hingga dewasa. Akan tetapi, siapakah yang akan memperhatikan urusan-urusan Nabi SAW dan melayani
putri-putri serta memenuhi rumah beliau ? Pernikahan dengan 'Aisyah tidak akan berlangsung sebelum
2 atau 3 tahun lagi. Siapakah gerangan wanita yang memimpin urusan-urusan Nabi SAW dan
memelihara putri-putrinya ? Dia adalah Saudah binti Zam'ah dari bani Ady bin Najjar.

Rasul SAW mengizinkan Khaulah meminang keduanya. Pertama Khaulah datang ke rumah Abu Bakar
r.a., lalu ke rumah Zam'ah. Dia menemui puterinya, Saudah, dan berkata : "Kebaikan dan berkah apa
yang dimasukkan Allah kepadamu, wahai Saudah ?" Saudah bertanya karena tidak tahu maksudnya,
"Apakah itu, wahai Khaulah ?" Khaulah menjawab :"Rasulullah SAW mengutus aku untuk
meminangmu." Saudah berkata dengan suara gemetar, "Aku berharap engkau masuk kepada
ayahku dan menceritakan hal itu kepadanya." Maka terjadi kesepakatan dan berlangsunglah
pernikahan.

Saudah mengalami situasi yang menyebabkan Rasulullah SAW mengulurkan tangannya yang penyayang
untuk menolong masa tua dan meringankan kekerasan hidup yang dirasakan oleh Saudah. Saudah telah
hijrah ke Habasyah untuk menyelamatkan agama bersama suami, putra pamannya. Kemudian suaminya
meninggal sebagai muhajir dan Saudah tinggal sendirian. Saudah menjadi janda yang hidup di tanah
perantauan sebelum tiba di Ummul Qura. Rasul SAW telah terkesan oleh wanita muhajir yang mu'min
dan janda itu. Ternyata, Saudah setuju untuk menikah dengan Rasulullah SAW.

Sifat Saudah binti Zam'ah


Saudah adalah tipe seorang istri yang menynangkan suaminya dengan kesegaran candanya,
sebagaimana dalam kisah yang diriwayatkan oleh Ibrahim AN-Nakha’i bahwasanya Saudah berkata
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah tadi malam aku shalat di
belakangmu, ketika ruku’ punggungmu menyentuh hidungku dengan keras, maka aku pegang hidungku
karena takut kalau keluar darah,” maka tertawalah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibrahim
berkata, Saudah biasa membuat tertawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan candanya.
(Thobaqoh Kubra, 8:54).

Bersama Rasulullah hingga akhir hayat


Saudah memahami bahwa pernikahannya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam didasari karena rasa
iba beliau kepadanya setelah kematian suaminya. Semua itu menjadi jelas ketika Nabi ingin
menceraikannya secara baik-baik, sehingga ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan
tentang keinginannya untuk thalaq Saudah , maka Saudah merasa se-akan-akan berada dalam mimpi
yang buruk yang menyesakkan dadanya. Ia tetap ingin menjadi istri Sayyidul Mursalin sampai Allah
membangkitkannya dirinya di hari kiamat kelak. Dengan suara yang lembut ia berbisik kepada suaminya:
“Tahanlah aku ya Rasulullah dan demi Allah, aku berharap Allah membangkitkan aku di hari kiamat
dalam keadaan aku sebagai istrimu”. Kemudian ia memberikan hari-hari gilirannya untuk ‘Aisyah istri
yang sangat disayangi beliau.

Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperkenankan permintaan wanita yang mempunyai
perasaan baik ini. Sehingga Allah turunkan ayat tentang hal ini, yaitu dalam surat An-Nisa ayat 128 :

“….maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik.”

Keutamaan Saudah binti Zam'ah


Di antara keutamaan Saudah adalah ketaatan dan kesetiaannya yang sangat kepada Rasulullah. Ketika
haji wada’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada para istri-istrinya: Ini adalah saat
haji bagi kalian kemudian setelah ini hendaknya kalian menahan diri di rumah-rumah kalian, maka
sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, Saudah selalu di rumahnya dan tidak berangkat haji
lagi sampai dia meninggal. (Sunan Abu Dawud 2/140).

Wafat
Saudah termasuk deretan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menjaga dan
menyampaikan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hadits-haditsnya diriwayatkan
oleh para imam yang terkemuka seperti Imam Ahmad, Imam Bukhari, Abu Dawud dan Nasa’i.

Saudah meninggal di akhir kekhalifahan Umar di Madinah pada tahun 54 Hijriyah. Sebelum dia
meninggal dia mewariskan rumahnya kepada Aisyah. Semoga Allah meridhainya dan membalasnya
dengan kebaikan yang melimpah.

Aisyah binti Abu Bakar adalah istri dari Nabi Muhammad salallahi alaihi wassaalam. ‘Aisyah adalah putri
dari Abu Bakar (khalifah pertama), hasil dari pernikahan dengan isteri keduanya yaitu Ummi Ruman yang
telah melahirkan Abd al Rahman dan Aisyah. Beliau termasuk ke dalam ummul-mu'minin (Ibu orang-
orang Mukmin). Ia dikutip sebagai sumber dari banyak hadits, dimana kehidupan pribadi Muhammad
menjadi topik yang sering dibicarakan.

Aisyah binti Abu Bakar adalah satu-satunya istri Nabi Muhammad yang saat dinikah oleh Nabi
Muhammad berstatus gadis. Sedangkan istri-istri Nabi Muhammad yang lain umumnya adalah janda.

Nama dan Nasab - Beliau adalah ‘Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq bin Abu Quhafah bin ‘Amir bin
‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay. Ibunda beliau bernama Ummu
Rumman binti ‘Umair bin ‘Amir bin Dahman bin Harist bin Ghanam bin Malik bin Kinanah.

Pernikahan dengan Nabi Muhammad SAW


‘Aisyah .ra terlahir empat atau lima tahun setelah diutusnya Rasulullah salallahi alaihi wassaalam. Ayah
Aisyah, Abu Bakar merasa Aisyah sudah cukup umur untuk menikah, karena hal itu, Aisyah akan
dinikahkan dengan Jubayr bin Mut'im, tetapi pernikahan tersebut tidak terjadi disebabkan Ayah Jubair,
Mut‘im bin ‘Adi menolak aisyah dikarenakan Abu Bakar telah masuk Islam pada saat itu. Istri Mut'im bin
Adi mengatakan tidak mau keluarganya mempunyai hubungan dengan para muslim, yang dapat
menyebabkan Jubair menjadi seorang Muslim.

Menurut Tabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal and Ibn Sad), Aisyah dipinang pada usia 7
tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun, dimana Aisyah menjadi istri ketiga Muhammad
setelah Khadijah dan Saudah binti Zam'ah. Tetapi terdapat berbagai silang pendapat mengenai pada
umur berapa sebenarnya Muhammad menikahi Aisyah? Sebagian besar referensi (termasuk sahih
Bukhari dan sahih Muslim) menyatakan bahwa upacara perkawinan tersebut terjadi di usia enam tahun,
dan Aisyah diantarkan memasuki rumah tangga Muhammad sejak umur sembilan tahun.

Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan Ghulam Nabi Muslim Sahib, dengan berdasarkan
referensi dari Kitab Ahmal fi Asma’ al-Rijjal karangan al-Khatib al-Tibrizi dimana dalam kitab tersebut
disebutkan Setidaknya Aisyah berumur 19 tahun saat menikah dengan Nabi.

Keutamaan Aisyah ra
Pribadi yang Haus Ilmu - Selama Sembilan tahun hidup dengan Rasulullah saw. Beliau dikenal sebagai
pribadi yang haus akan ilmu pengetahuan. Ketekunan dalam belajar menghantarkan beliau sebagai
perempuan yang banyak menguasai berbagai bidang ilmu. Diantaranya adalah ilmu al-qur’an, hadist,
fiqih, bahasa arab dan syair. Keilmuan Aisyah tidak diragukan lagi karena beliau adalah orang terdekat
Rasulullah yang sering mengikuti pribadi Rasulullah. Banyak wahyu yang turun dari Allah disaksikan
langsung oleh Aisyah ra.

“Aku pernah melihat wahyu turun kepada Rasulullah pada suatu hari yang sangat dingin sehingga
beliau tidak sadarkan diri, sementara keringat bercucuran dari dahi beliau.“ (HR. Bukhari).

Periwayat Hadist - Aisyah juga dikenal sebagai perempuan yang banyak menghapalkan hadist-hadist
Rasulullah. Sehingga beliau mendapat gelar Al-mukatsirin (orang yang paling banyak meriwayatkan
hadist). Ada sebanyak 2210 hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. Diantaranya terdapat 297 hadist
dalam kitab shahihain dan sebanyak 174 hadist yang mencapai derajat muttafaq ‘alaih. Bahkan para ahli
hadist menempatkan beliau pada posisi kelima penghafal hadist setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas
bin Malik, dan Ibnu Abbas.

Kecerdasan dan keluasan ilmu yang dimiliki Aisyah ra sudah tidak diragukan lagi. Bahkan beliau
dijadikan tempat bertanya para kaum wanita dan para sahabat tentang permasalahan hukum agama,
maupun kehidupan pribadi kaum muslimin secara umum.
Hisyam bin Urwah meriwayatkan hadis dari ayahnya. Dia mengatakan: “Sungguh aku telah banyak
belajar dari ‘Aisyah. Belum pernah aku melihat seorang pun yang lebih pandai daripada ‘Aisyah tentang
ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah diturunkan, hukum fardhu dan sunnah, syair, permasalahan yang
ditanyakan kepadanya, hari-hari yang digunakan di tanah Arab, nasab, hukum, serta pengobatan."

Pribadi yang Tegas dalam Menegakkan Hukum Allah - Aisyah juga dikenal sebagai pribadi yang tegas
dalam mengambil sikap. Hal ini terlihat dalam penegakan hukum Allah, Aisyah langsung menegur
perempuan-perempuan muslim yang melanggar hukum Allah.

Suatu ketika dia mendengar bahwa kaum wanita dari Hamash di Syam mandi di tempat pemandian
umum. Aisyah mendatangi mereka dan berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. bersabda, ‘Perempuan yang menanggalkan pakaiannya di rumah selain rumah suaminya
maka dia telah membuka tabir penutup antara dia dengan Tuhannya.“ (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu
Majah)

Aisyah pun pernah menyaksikan adanya perubahan pada pakaian yang dikenakan wanita-wanita Islam
setelah Rasulullah wafat. Aisyah menentang perubahan tersebut seraya berkata, “Seandainya Rasulullah
melihat apa yang terjadi pada wanita (masa kini), niscaya beliau akan melarang mereka memasuki
masjid sebagaimana wanita Israel dilarang memasuki tempat ibadah mereka.”

Di dalam Thabaqat Ibnu Saad mengatakan bahwa Hafshah binti Abdirrahman menemui Ummul-
Mukminin Aisyah. Ketika itu Hafsyah mengenakan kerudung tipis. Secepat kilat Aisyah menarik kerudung
tersebut dan menggantinya dengan kerudung yang tebal.

Pribadi yang Dermawan - Dalam hidupnya Aisyah ra juga dikenal sebagai pribadi yang dermawan.
Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa Aisyah ra pernah menerima uang sebanyak 100.000 dirham.
Kemudian beliau meminta para pembantunya untuk membagi-bagikan uang tersebut kepada fakir
miskin tanpa menyisakan satu dirhampun untuk beliau. Padahal saat itu beliau sedang berpuasa.

Harta duniawi tidak menyilaukan Aisyah ra. Meskipun pada saat itu kelimpahan kekayaan berpihak
kepada kaum muslimin. Aisyah ra tetap hidup dalam kesederhanaan sebagaimana yang dicontohkan
oleh Rasulullah saw.

Setelah Rasulullah meninggal dunia, Aisyah ra menghabiskan hidupnya untuk perkembangan dan
kemajuan Islam. Rumah beliau tak pernah sepi dari pengunjung untuk bertanya berbagai permasalahan
syar’iat . Sampai-sampai Khalifah Umar bin khatab dan Usman bin Affan mengangkat beliau menjadi
penasehat. Hal ini merupakan wujud penghormatan Umar dan Ustman terhadap kemuliaan Ilmu yang
dimiliki oleh Aisyah ra.
Wafatnya ‘Aisyah .ra
‘Aisyah .ra meninggal pada malam selasa, tanggal 17 Ramadhan setelah shalat witir, pada tahun 58
Hijriyah. Yang demikian itu menurut pendapat mayoritas ulama. Ada juga yang berpendapat bahwa
beliau wafat pada tahun 57 H, dalam usia 63 tahun dan sekian bulan. Para sahabat Anshar berdatangan
pada saat itu, bahkan tidak pernah ditemukan satu hari pun yang lebih banyak orang-orang berkumpul
padanya daripada hari itu, sampai-sampai penduduk sekitar Madinah turut berdatangan.

‘Aisyah .ra dikuburkan di Pekuburan Baqi’. Shalat jenazahnya diimami oleh Abu Hurairah dan Marwan
bin Hakam yang saat itu adalah Gubernur Madinah.

Sosok Aisyah ra merupakan teladan yang tepat bagi muslimah tanpa perlu menggembar-gemborkan
masalah emansipasi yang terjadi saat ini. Keberadaan Aisyah sudah membuktikan bahwa perempuan
juga diberikan posisi yang layak di zaman Rasulullah saw dan para shahabat.

Hafshah binti Umar adalah salah seorang istri nabi Muhammad SAW setelah Khadijah binti Khuwailid,
Saudah binti Zum'ah, dan Aisyah binti Abu Bakar. Ia seorang janda dari seorang pria bernama Khunais
bin Hudhafah al-Sahmiy, yang berjihad di jalan Allah SWT, pernah berhijrah ke Habasyah, kemudian ke
Madinah, dan gugur dalam Perang Badar.

Nama lengkap Hafshah adalah Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin Riyah bin
Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah. Ibunya adalah Zaynab binti
Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara perempuan Utsman bin Madh’un.

Lahirnya Hafshah
Hafshah dilahirkan pada tahun yang sangat terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika
Rasullullah memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah dibangun kembali setelah
roboh karena banjir. Pada tahun itu juga dilahirkan Fathimah az-Zahra, putri bungsu Rasulullah dari
empat putri, dan kelahirannya disambut gembira oleh beliau. Beberapa hari setelah Fathimah lahir,
lahirlah Hafshah binti Umar bin Khaththab.

Sayyidah Hafshah r.a. dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Umar bin Khaththab. Dalam soal
keberanian, dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas. Aisyah
melukiskan bahwa sifat Hafshah sama dengan ayahnya. Kelebihan lain yang dimiliki Hafshah adalah
kepandaiannya dalam membaca dan menulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim
dimiliki oleh kaum perempuan.
Hafshah tidak termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam, karena ketika awal-awal
penyebaran Islam, ayahnya, Umar bin Khaththab, masih menjadi musuh utama umat Islam hingga suatu
hari Umar tertarik untuk masuk Islam.

Pernikahan dengan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam


Setelah Hafshah menjanda karena ditinggalkan suaminya, Khunais bin Hudzafah as-Sahami yang gugur
dalam Perang Badar, Umar sangat sedih karena anaknya telah menjadi janda pada usia yang sangat
muda, sehingga dalam hatinya terbersit niat untuk menikahkan Hafshah dengan seorang muslim yang
sholeh agar hatinya kembali tenang. Untuk itu dia pergi kerumah Abu Bakar dan meminta kesediaannya
untuk menikahi putrinya. Akan tetapi Abu Bakar diam, tidak menjawab sedikitpun. Kemudian Umar
menemui Utsman bin Affan dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi pada saat
itu, Utsman masih berada dalam kesedihan karena istrinya Ruqayah binti Muhammad, baru meninggal.
Utsman pun menolak permintaan Umar.

Menghadapi sikap dua sahabatnya, Umar sangat kecewa. Kemudian dia menemui Rasulullah SAW
dengan maksud mengadukan sikap kedua sahabatnya itu. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah SAW
bersabda, ” Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar.
Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.” Disinilah Umar
mengetahui bahwa Rasulullah SAW yang akan meminang putrinya.

Umar merasa sangat terhormat mendengar niat Rasulullah SAW untuk menikahi putrinya, dan
kegembiraan tampak pada wajahnya. Umar langsung menemui Abu Bakar untuk mengutarakan maksud
Rasulullah SAW. Abu Bakar berkata, ” Aku tidak bermaksud menolakmu dengan ucapanku tadi, karena
aku tahu bahwa Rasulullah SAW telah menyebut-nyebut nama Hafshah, namun aku tidak mungkin
menyebut rahasia beliau kepadamu. Seandainya Rasulullah SAW membiarkannya tentu akulah yang
akan menikahi Hafshah.” Umar baru saja memahami mengapa Abu Bakar menolak putrinya. Sedangkan
sikap Utsman hanya karena sedih atas meninggalnya Ruqayah dan dia bermaksud mempersunting
saudaranya, Ummu Kultsum, sehingga nasabnya dapat terus bersambung dengan Rasulullah SAW.
Setelah Utsman menikah dengan Ummu Kultsum, dia dijuluki dzunnuraini ( pemilik dua cahaya ).

Di rumah Rasulullah SAW, Hafshah menempati kamar khusus, sama dengan Saudah dan Aisyah. Secara
manusiawi Aisyah sangat mencemburui Hafshah karena mereka sebaya. Lain halnya dengan Saudah
binti Zum`ah yang menganggap Hafshah sebagai wanita mulia putri Umar bin Khattab, sahabat
Rasulullah SAW yang terhormat.

Pesan umar kepada puterinya - Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha dekat dengan Aisyah
dan mencintainya, karena Umar mengetahui bahwa kedudukan Aisyah sangat tinggi dihati Rasulullah
SAW juga yang ridha terhadap Aisyah berarti ridha terhadap Rasulullah SAW. Selain itu Umar juga
mengingatkan Hafshah agar menjaga tindak tanduknya sehingga diantara mereka berdua tidak terjadi
perselisihan. Akan tetapi memang sangat manusiawi jika diantara mereka tetap saja terjadi
kesalahpahaman yang bersumber dari perasaan cemburu.

Kehidupan setelah menikah


Hafshah hidup bersama dengan istri-istri Rasulullah dan Ummahatul mukminin yang suci. Di dalam
rumah tangga Nubuwwah ada istri selain beliau yakni Saudah dan Aisyah. Maka tatkala ada
kecemburuan beliau mendekati Aisyah karena dia lebih pantas dan lebih layak untuk cemburu. Beliau
senantiasa mendekati dan mengalah dengan Aisyah mengikuti pesan bapaknya (Umar) yang berkata:
“Betapa kerdilnya engkau bila dibanding dengan Aisyah dan betapa kerdilnya ayahmu ini apabila
dibandingkan dengan ayahnya”.

Hafshah dan Aisyah pernah menyusahkan Nabi, maka turunlah ayat :”Jika kamu berdua bertaubat
kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong untuk menerima kebaikan dan jika
kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan
(begitu pula) Jibril” (Q.S. at-Tahrim: 4).

Telah diriwayatkan bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mentalak sekali untuk Hafshah
tatkala Hafshah dianggap menyusahkan Nabi namun beliau rujuk kembali dengan perintah yang dibawa
oleh Jibril ‘alaihissalam yang mana dia berkata: “Dia adalah seorang wanita yang rajin shaum, rajin
shalat dan dia adalah istrimu di surga”.

Hafshah pernah merasa bersalah karena menyebabkan kesusahan dan penderitaan Nabi dengan
menyebarkan rahasianya namun akhirnya menjadi tenang setelah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam memaafkan beliau. Kemudian Hafshah hidup bersama Nabi dengan hubungan yang harmonis
sebagai seorang istri bersama suaminya. Manakala Rasul yang mulia menghadap ar-Rafiiq al-A’la dan
Khalifah dipegang oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, maka Hafshah- lah yang dipercaya diantara Ummahatul
Mukminin termasuk Aisyah didalamnya, untuk menjaga mushaf Al-Qur’an yang pertama.

Hafshah radhiallaahu ‘anha mengisi hidupnya sebagai seorang ahli ibadah dan ta’at kepada Allah, rajin
shaum dan juga shalat, satu-satunya orang yang dipercaya untuk menjaga keamanan dari undang-
undang umat ini, dan kitabnya yang paling utama yang sebagai mukjizat yang kekal, sumber hukum yang
lurus dan ‘aqidahnya yang utuh.

Pemilik mushaf pertama


Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya Al Qur`an ditangannya. Dialah istri Nabi SAW yang
pertama kali menyimpan Al Qur`an dalam bentuk tulisan pada kulit, tulang, dan pelepah kurma, hingga
kemudian menjadi sebuah Kitab yang sangat agung. Mushaf asli Al Qur`an itu berada dirumah Hafshah
hingga dia meninggal.

Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan Riddah
(peperangan melawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khaththab untuk
mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer. Awalnya Abu Bakar merasa khawatir
kalau mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena
pada zaman Rasul hal itu tidak pernah dilakukan. Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu bakar akhirnya
memerintah Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya.

Sayyidah Hafshah wafat pada tahun ke-47 pada masa pemerintahan Mu`awiyah bin Abu Sufyan. Dia
dikuburkan di Baqi`, bersebelahan dengan kuburan-kuburan istri-istri Nabi SAW yang lain.

Anda mungkin juga menyukai