Anda di halaman 1dari 2

Cakrawala Batas Langit dan Bumi

Sesobek Syukur dari Dimensi Jumat


Angin sejuk berhembus segar menggandeng dedaunan kering yang gugur terpisah dari cokol
pohonnya. Semilirnya menyisir rambutku pelan-pelan. Aku terpaku dibelai tangan-tangan angin
sembari menikmati siraman rohani yang disirat di sela khutbah. Kutopangkan daguku sambil
menyimak mimbar dengan seorang ustadz penguasanya.

Kali ini tentang bersyukur. Satu hal yang sering diserukan, tapi kerap pula diabaikan. Manusia
selalu mengeluh tak berkecukupan. Mengeluh akan kesengsaran yang merayapi kehidupannya,
yang akunya bisa membunuh perlahan. Manusia tak pernah merasa puas. Abai bersyukur pada
Illahi Robbi. Meski tak semua.

Pun, manusia selalu mencari kesuksesan. Kesuksesan yang entah di mana ini selalu sukses
merangsang otot manusia bekerja, dan otaknya berputar. Demi meraih koordinat pasti
kesuksesan hidupnya. Padahal, yang tak mereka sadari, sampai sekarang, diri mereka ialah
pengejawantahan kesuksesan.

Pikirkanlah. Sebelum fisik manusia terbentuk, telah terjadi seleksi di ranah biologis. Calon-calon
manusia berenang bersama, demi tujuan akhir yang identik–menembus dinding sel telur. Satu
demi satu tumbang, kalah, dan mati sebelum mampu menyusup. Sedangkan benih yang paling
perkasa, yang paling kuat, yang paling sukses–yang tidak lain benih diri kita–berhasil membobol
dinding ovum, lalu lewat beberapa tahap transformasi berubah menjadi diri kita.

Benar-benar kesuksesan dari Yang Maha Agung. Tapi, pernahkah kita mensyukurinya? Bersujud
syukur menghantar rasa terima kasih kita pada-Nya?

Tidak? Bahkan mungkin mengucap hamdalah untuk itu saja tidak pernah. Kita selalu menakar
kesuksesan dengan kadar materiil yang bisa dihitung secara matematis. Bila koleksi rupiah
tertimbun banyak seperti lemak, kita akan menamai dan dinamai ’sukses’, namun, bila yang
sebaliknya terjadi, kita pasti akan mengutuki dan dikutuki sebagai ‘orang susah pembawa susah’.

Kita alpa dengan kesuksesan dalam tataran filosofis yang kadarnya jauh lebih berharga
ketimbang kesuksesan kasat mata. Kalau dirasa-rasa, ini memang sungguh naif. Dunia seakan
menggejala menjangkiti sisi kehidupan kita, sehingga pojok-pojok otak kita seolah sudah sesak
diduduki hasrat serta obsesi duniawi, sehingga plot-plot syukur pada Allah SWT semakin
tergusur lalu mengalami delesi dari otak kita.

Sudah saatnya bersyukur

Usai tercengang meresapi makna khutbah Jumat ini, marilah kita bersama bersimpuh dan
menengadahkan tangan memanjatkan syukur pada Allah. Mengucap hamdalah–meski untuk
pertama kalinya–atas penciptaan kita di dunia. Penuhilah diri kita dengan rasa syukur pada tiap
detiknya.

Hirup oksigen dengan nama Allah, kemudian rasakannya memenuhi parumu. Nikmati dan
syukuri saat alirannya memasuki lubang hidungmu. Menggetarkan buluh-buluh halus di dalam,
lalu membanjiri tenggorokanmu, dan bermuara di alveoulus. Nikmati dan syukuri saat paru-
parumu penuh. Sadarkan dirimu bahwa kamu adalah seorang manusia. Ciptaan Allah yang telah
sukses melampaui ujian pra-kehidupan-Nya.

Syukurilah nafas-nafasmu, juga detak jantung, dan pencernaanmu. Semua masih bekerja karena
kamu sukses menempuh segala coba yang dilimpahkan-Nya padamu. Cintailah dirimu sebagai
piala kesuksesan yang berharga ribu triliunan–kalau memang masih berpikir materialistis–yang
walau kekayaan seluruh orang di bumi dijumlahkan, takkan bisa membelinya. Karena
nominalmu tak terhingga.

Lalu aku…

Aku masih terperangah sekaligus merinding. Aku sadar, aku termasuk orang yang tak pandai
bersyukur. Paling tidak sampai saat itu. Aku seorang perfeksionis yang selalu mengeluh dan
mengeluh. Tak pernah cukup merasa puas.

Kalau kita masih sama, kini saatnya kita berubah. Mari bersama-sama ikut jamaah yang
menengadahkan tangan memanjatkan syukur pada Allah SWT. Biarkan bulir-bulir air mata kita
meleleh atas nama syukur pada-Nya. Mari meratapi dan menyadari, hidup ini sungguh penuh
kesuksesan. Hanya kita tak sepenuhnya sadar tentangnya.

***

Anda mungkin juga menyukai