Anda di halaman 1dari 16

MUHASABAH DIRI

Allah punya banyak hamba untuk diurusi, tapi apa pernah Dia melupakanmu.
Kebutuhanmu disediakan, tidurmu dinyenyakkan, salahmu diingatkan, namun kau tak pernah
lagi berdoa untuk bisa berjumpa dengan-Nya. Kendali kau lebih mementingkan orang-orang
serta pekerjaanmu ketimbang solatmu kemarin. Apa pernah Tuhan melarangmu bersujud
lagi? Saat ternyata hal yang kau pentingkan justru menyakiti dan kau ingin menemui-Nya,
apa Dia mengusirmu pergi? Sekarang lihat siapa yang paling kau cari Ketika dunia tidak
menganggapmu berharga lagi. Manusia di sampingmu banyak, tapi adakah yang setulus di
langit dalam hal menyayangimu? Dalam memaafkan kesalahanmu? Shalatlah, temui Dia.
Dunia juga tak menjamin kau bisa hidup lama. Minta maaflah dengan bahasamu, Allah tak
akan menjeda sebanyak apa kau berkata nanti.
Seharusnya, kita tidak lebih penting dari debu yang hilang. Toh alam raya takkan
goyah hanya karena kehilangan keberadaan kita. Apalagi hanya aku. Lihat saja bagaimana
samudra membentang, dan kita hanyalah titik-titik kecil di antara birunya. Tuhan yang Maha
Tunggal tidak membutuhkan kita, benar? Tapi Dia mengasihi lebih dari siapapun yang
pernah menyayangimu. Melihatmu melakukan kemaksiatan dengan sengaja, tapi tak lekas
menghukummu. Padahal itu mudah jika Dia berkehendak. Nyawamu seutuhnya milik-Nya,
apapun dapat terjadi semau dan seingin firman-Nya. Namun dengan sabar mengingatkanmu
berkali-kali seiring maksiatmu tak henti-henti. Kau adalah apa yang tak Dia butuhkan. Tapi
memelukmu dengan penuh kasih saying. Ceritakanlah manisnya perlakuan manusia yang
pernsh mencintaimu. Lalu sadari betapa hanya ada satu cinta yang begitu sabar. Cinta yang
tak diuntungkan akan hadirmu, tapi di garda terdepan hanya untuk mengingatkanmu saat
keliru. Dia mengingatmu, padahal Dia tidak butuh kamu.
Beberapa orang mendewakan manusia, lalu menjulukinya dengan sebuah cinta.
Dimana jantung berpicu lebih kencang dari batas normal, dan raut muka tak kuasa menahan
rona merah, serta bayangan tentang dia yang di bawa pulang hingga kerumah. Saat cinta
mengetuk hati bani adam, siapakah yang patut disalahkan? Tidak ada. Semua orang termasuk
kamu, tak bisa disalahkan atas perasaan ini. Ah, bukankah salah satu fungsi hati memanglah
mencintai? Tapia da syaratnya. “Cintai sesuatu yang baik dan dengan cara yang baik. Ya?”.
Jangan salahkan keadaan, “Kenapa harus mencintai jika harus ujungnya dibuat pisah”. Tapi
katakanlah pada hatimu “Belajarlah untuk percaya pada takdirmu sendiri”. Takdiri barat titik-
titik kosong pada lembar soal ujian, lalu Allah mengisinya, sapulah kekhawatiranmu, garis
takdirmu sudah teramat aman di tangan-Nya. Ketahuilah, yang membuat hatimu tidak baik-
baik saja adalah pikiranmu sendiri. Damaikan hatimu dan biarkanlah ia beristirahat. Ada
banyak yang harus kau lakukan, seperti kembali memperbaiki diri. Sudahlah, jangan melulu
menatap kolom chatmu dengan dia. Di tangan Allah, urusanmu akan selalu baik-baik saja.
Masih menyoal kebahagiaan dan ujian yang tidak ada hentinya menjadi pembahasan.
Karena Sebagian besar kita ahanya sibuk mencari tapi tidak tau cara memaknai. Jika hari ini
kamu masih bisa bangun di pagi hari, ambilah wudhu dan berdoalah, ingat!! di kubur sana
ada yang menangis ingin kembali ke dunia untuk memperbaiki sholatnya. Jika hari ini kamu
masih bisa bernafas dan melafalkan dzikir, ingat dikubur sana ada yang ketakutan
menghadapi pertanyaan munkar dan nakir. Tuhan tidak memberi ujian kepada makhluknya,
melainkan menyiapkan hikmah dan bahagia. Lagipula manusia diberi ujian sesuai kadar
keimanan. Dalam Hadist Riwayat Bukhari, Saad bin Ali Waqash berkata, Aku bertanya pada
Rasulullah Saw, “Ya Rasulallah siapa orang yang paling berat ujian dan cobaannya?” Nabi
SAW menjawab, “Para nabi kemudian yang menyerupai mereka, seseorang diuji sesuai
dengan kadar agamanya. Maka jika agamanya tipis/lemah, dia diuji sesuai itu (ringan). Dan
jika imannnya kokoh ia diuji sesuai itu (keras). Seseorang diuji terus menerus hingga ia
berjalan di muka bumi bersih dari dosa dosa”. Lihatlah maksud Tuhan, tidaklah seseorang
diuji melainkan diberi pengampunan serta tidaklah dari manusia melainkan diuji dengan
bencana akar diketahui bagaimana sabarnya. Atau diuji dengan kebahagiaan agar diketahui
bagaimana syukurnya. Jadi ketika ujian ataupun bahagia sedang menyapa, ingat diluar sana
ada yang lebih sakit keadaannya tapi tidak seberisik keluhannya.
Didepan kaca, para wanita memegang kuas dan gincu, sementara yang laki-laki
menyemprot parfum dan merapikan baju. Dengan tujuan apa, merapikan diri agar sedap
dipandang sesame. Tapi pernahkah kau lakukan hal yang sama, memantaskan diri pada
TuhanMu, wahai manusia. “Wah cantiknya, wah kerennya” seiringnya ucapan itu yang di
dambakan, pujian-pujian semu yang sebenarnya berisi kecemburuan. Lalu aku membaca
sebuah cuitan, begini yang dituliskan, “Jika fisik lebih penting dari pada jiwa. Mengapa
jiwa diangkat kelangit dan tubuh dikubur dalam tanah?”. Tapi begitulah kita pada orang
lain, kita selalu memantaskan. Sementara itu bertingkah semaunya pada Tuhan. Padahal kita
tahu kuat bisa melemah, cantik bisa memudar. Tidak ada sesuatu yang kekal, keabadian
hanya milik Tuhan Yang Maha Besar. Kita juga perlu ingat, seseorang yang tampak baik di
depan manusia, belum tentu karena banyak amalNya, tapi karena Allah tutupi aib dan
kekurangannnya. Maka peringatan terbaik bagi kita hanyalah “Orang bilang hidup hanya
sekali, maka nikmatilah” Tetapi mereka lupa “Matipun hanya sekali” maka bersiaplah!!
Jika piring-piring kecil dirumahku masih terisi dengan nasi, kurasa tidak ada yang
perlu kucemaskan. Jika lemari tua rumahku masih ada tumpukan pakaian yang bisa aku
kenakkan, kurasa tidak ada yang perlu kusesalkan. Jika sholat dan lembaran Qur’an masih
bisa aku baca dan tegakkan, apa yang aku takutkan. Terkadang kita terlalu jauh menafsirksan
kebahagiaan, padahal ia begitu dekat, dalam hati yang mau mensyukuri nikmat. Terkadang
kita terlalu jauh mencari rasa tenang, padahal ia selalu ada dalam hati yang lapang. Kadang
kita terlalu sibuk memandang nikmat orang lain “Wah enaknya!”. Padahal nikmat kita juga
banyak, seharusnya “Alhamdulillah aku juga punya”. Hidup ini indah jika setiap dari kita
mau menjadikan rasa syukur sebagai penengah. Maka dari itu, jika nanti aku sedang tengelam
dalam kesedihan, tengelamkan aku dalam keimanan, agar ia nanti membawaku terapung.
Tuhan, jika nanti aku terbang dalam kebahagiaan, izinkan sayapnya adalah islam dan iman,
agar tak lupa untuk merenung. Jika hidup serupa alam, izinkanlah aku menjelma serupa pasir
didaratan yang tetap lapang sekalipun tergerus ombak lautan. Jika hidup serupa tulisan,
izinkan aku menjelma menjadi Al-Qur’an yang tenggelam didalam Firman-Firman Indah
Tuhan.
Tusukan kali ini tidak datang disebabkan dinginnya angin malam, bukan pula rindu
seseorang yang sengaja kulupakan namanya. Ini perihal aku, adegan di setiap jengkal
hidupku yang akan segera selesai, kapanpun Tuhan berkehendak. Aku mendengus kasar saat
segala yang kurencanakan tak berjalan semanis yang kuinginkan. Niat menjauhi maksiat
terpaksa kandas, aku diperbudak setan terlaknat. Ya, “HIJRAH” yang kugadang-gadang
akan berhasil, akan tetap saja kalah dengan nafsu. “Lantas, benarkah aku selemah itu?”.
Malam ini, kuistirahatkan badan sekaligus hatiku yang tak kaaruan. Amarah, kekecewaan,
kesenduan, dan apapun yang dunia tuang padaku, seolah dengan lembutnya kunikmati.
Kusyukuri sakitnya, kuterima perihnya, karena aku mengakui beberapa hal menyakitkan
datang agar kita sadar akan kesalahan yang tidak kita sadari. Dan hijrah yang gagal, adalah
buah dari cinta yang masih cacat. Ilmu agama kita mungkin bertambah, tapi cinta untuk-Nya
juga masih terpecah belah. “Ada saatnya kita merasa menjadi orang yang paling berdosa di
antara milyaran manusia. Dan Ketika kita ingin menyerah, Tuhan Maha Pemaaf”.
Dulu, aku mengamati ke dalam masjid saat hampir semua manusia berdoa. Sesuatu
yang kuyakini setiap mereka meminta padaMu perkara berbeda. Ada yang menunduk dengan
bisikan lirih, namun wajah itu sangat damai. Ada juga yang terpejam matanya, saat isi
kepalanya sangat ramai. Mereka berjejer dan berdekatan, dalam hening dan sebenarnya doa-
doa itu saling menyusul diatas sana. Mereka keluar dari rumah berbeda, lantas berbaris
menyembah satu Tuhan yang serupa. Pandanganku pun teralih pada seorang kakek
menengadahkan tangan di deretan paling ujung. Dengan begitu kusadari bahwa di hadapan-
Mu umur hanyalah angka. Walau suatu hari nanti kami akan menua, kemanjaan di dada ini
masih dengan wujud sama. Dengan tangan keriput nanti, kami akan menengadah
sebagaimana dulu kami muda.
Sejatinya, mengingat-Nya bukan rencana,. Tapi, apapun yang kuhadapi dalam hidup,
sampai kunci yang hilang pun kuadukan pada-Nya. Pernah kutanya diriku sendiri siapakah
yang paling kucintai, tapi aku menggelengkan kepala, tak tahu. Namun, bila kau disebelahku,
membicarakan keagungan-Nya padaku, aku orang pertama yang menyukai perkataanmu
seolah kau membicarakan kekasihku. Kau tahu? Terlepas bagaimana buruknya sikapku,
berbicara dengan-Nya meski lewat angin adalah waktu terfaforit. Semakin banyak hal yang
kulalui, semakin aku sadar betapa aku membutuhkan-Nya tidak hanya satu hari. Kini dan
seterusnya, Dia benar-benar tidak boleh pergi. Lantas sepuluh jari yang kusatukan, aku
usaikan doa dengan perkataan bahwa”Tuhan, selain-Mu aku tidak punya siapa-siapa.” Bukan
karena tidak ada raga lain di sekitarku, tapi karena yang memahamiku hanya Dia.
Dengan posisi duduk menghadap jendela, aku memandangi kitab-Mu yang ku
genggam. Bukankah kecil dulu, dengan Al-Qur’an kebesaran,firman-Mu adalah hal yang
kuperjuangkan untuk bisa kubaca? Besar ini, ia tidak lagi jadi sebuah kesulitan. Bacaanku
lancer, api aku yang menghilang. Aku menuntaskan hari tanpa semangat menyandingnya
lagi. Kalau pun tak sengaja menatap, aku memalingkan wajah, mencari sesuatu yang lebih
menarik. Kala itu, dari arah luar jendela, angin datang menerpa wajahku. Dan aku mulai
bertanya, “Sebenarnya apa yang sudah kucari dari diriku di masa lalu?” Allah, aku tidak
benar-benar sibuk sampai tidak ada waktu untuk ayat-ayatMu. Aku meninggalkannya, Ketika
aku jauh dan hanya menganggap-Mu sebagai separuhku. Dunia bilang, banyak hal
menyenangkan darinya yang membuat kepala panas perlahan dingin. Tapi aku bersaksi, ayat-
Mu membuat ketentraman yang tidak kudapat dari arah lain.
Aku mengintip rakaatmu yang masih terkesan terburu-buru. Seperti murid terlambat
sekolah. Semacam tidak tenang dan terkesan ingin kabur. Aku pun mengamati dzikirmu yang
tidak selengkap sewaktu kau butuh sesuatu, apakah mencintaiNya hanya sebatas “Aku lagi
butuh?” Dimulai dari ujung rambutmu, hingga ujung kakimu saat ini. Diawali dari sebelum
kau ada hingga kini berwujud menjadi manusia. Allahlah dibalik mampumu berlari, bernapas,
berbicara, dan banyak hal lainnya. Dia mengatur rizki mu bagaimana sepiring nasi hadir di
depanmu setiap pagi. Kau kira, siapakah yang selama ini membuatmu terbangun daari tidur
malam yang Panjang? Sempat-sempatnya kau datang hanya di waktu yang sempat dengan
durasi waktu yang sempit. Bisa-bisanya main lari setelah salam tanpa seutas pamit. Tanpa
adanya peninggalan tasbih, tahmid, takbir dan ucapan syukur mengenai nikmat-Nya yang tak
terhitung. Katamu, Allah itu Tuhan, tapi sikapmu pada-Nya tidak mencerminkan demikian.
Aku termenung diantara bantal dan guling. Mata yang terpejam tak juga
menghantarkan ruhku berkunjung pada mimpi. Setelah membaca do'a tidur dengan khidmat,
raa kantuk itu masih enggan menghampiri. Pernahkah kau bertanya, malam apa yang kelak
menghantarkanmu pada kematian? Do’a tidur ke berapa yang menjadi akhir petualanganmu?
Wajah siapa yang terakhir akan kau lihat sebelum kepergianmu yang mendadak? “Apakah
hari ini, atau besok? Setelah menikah, atau saat kuliah? Meninggal dirumah, atau
diperantauan?” Kuketuk kepalaku beberapa kali yang sialnya pertanyaan masih kembali.
Menghujaniku deras tanpa sepatah permisi. Gerimis menyambut malamku yang semakin
larut, menitipkan ketenangan. Dengan lembut, kurapalkan kalimat istighfar dalam diam.
Ketika otakku berhenti memproduksi kata, Ketika itu pula tidak kudapati apapun selain
istighfar. Karena hal yang paling ku ingat pertama kali adalah dosaku kepada-Mu, Tuhan.
Ya Allah, hanya kepada-Mu aku menitipkan segalanya. Bahkan saat mendengar doa
panjangku, Engkau tahu jika yang kuucapkan masih belum sepenuhnya. Aku menunduk dan
menengadah, menghadap kiblat dan diam. Salah satu waktu yang tak pernah kusesali, berdua
denganMu walau mulutku hanya diam. Tuhanku, benar aku punya keinginan, tapi aku tidak
bisa melawan kehendakMu. Maka saat berharap, kusematkan kalimat “Jika memang terbaik,
tolong berikan untukku” Tidak lagi ada pinta yang memaksa untuk dikabulkan, aku berserah
padaMu yang mengetahui masa lalu dan masa depan. Kini yang kusemogakan adalah
kekuatan hatiku, sebab mungkin di depan sana ada hilang yang harus diikhlaskan, ada datang
yang tidak diharapkan namun harus diterima. Dan aku akan baik-baik saja selama imanku
padaMu tidak terluka.
Ada kalanya kedua telapak tangan ini kujadikan satu, menuntunnya persis kearah
kiblat-Mu. Sebagian doanya adalah perulangan dari yang kemarin, separuhnya lagi pinta baru
yang coba kusandingkan. Dan saat semua sudah kurangkum, aamiin ku bergegas
menerbangkan mereka. Melesat ke jantung langit dengan membopong berbagai tema. Pada
pekerjaan sepele yang hendak kuhadapi, kataku pada-Mu “Allah, bantulah aku untuk ini.”
Untungnya, bukan sebuah pelanggaran memintai-Mu yang sedang menerima doa dari
makhluk lain. Tuhanku, tidak tahu kali keberapa aku mengagumi-Mu Yang Maha Besar.
Dengan kata lain, tetaplah di sisiku karena lemah ku ini tidak bisa jika Kau tinggal. Aku
melihat dunia setiap hari, dan berkata pada jalanan sore, “Bukankah semua ini tidak abadi?”
Aktivitas makhluk akan berhenti total, dan penjara tidak lagi ada. Ya, dulu kata penjara
terdengar buruk di telingaku. Tapi kalua terpenjaranya dalam rahmat-Mu, aku menyerahkan
diri.
Ya Allah, dengan mengingat-Mu aku mampu mengontrol diri sendiri. Seperti bila
ingin bertindak yang tidak-tidak, mengingat-Mu adalah bius yang kemudian membuatnya
berhenti. Benih-benih cinta yang tersimpan untuk-Mu sebetulnya belum sempurna, namun
secara bersamaan aku bersyukur diriku patuh atas sesuatu yang sudah kubilang tidak. Jika
digambarkan, dunia ini terlalu indah dan aku ingin berenang menjelajahi keluasannya.
Namun, harus kuakui bahwa tak disemua tempat ridho-Mu berada. Di atas kepala, payung-
payung iman yang walau terlihat ringkih masih bersamaku. Sampai kaki yang mulanya ingin
sengaja tersesat, jadi berfikir dua kali. Maka Tuhan, jika bukan karena mengingat-Mu, iyakah
aku akan berhenti? Pada ujungnya, aku mengembalikan segala perkara pada keridhoan-Mu.
Tepatnya sedang diperjuangkan. Lantas akan kususun kembali imanku jika dalam
perjalanannya ia hancur berantakan. Sampai bila dunia yang berisik ini menemui batas
waktunya, akhirnya aku bisa berlari. Menggabungkan diri dengan mereka yang dulu
perjuangannya Kau cintai.
Sejauh ini, Engkau yang menatapku paling lama. Tidak melewatkan satu hal pun
dariku saat keadaan baik atau mendesak. Namun dengan kurang ajarnya, aku malah melihat
diriku dengan mencari apa yang tidak ia punya, semacam menutup mata dari segala
pemberian-Mu. Padahal, yang merasakan baik-Mu padaku bukanlah itu juga hanya aku? Aku
mengoreksi nikmat-Mu seolah menuntut diberi lebih. Sering melirik apa yang tidak aku
punya tentu membuat syukurku sangat mengkabur. Namun aku segera menyadarkan diri.
Setelah diingat, aku disini untuk menyembah-Mu. Lantas mengapa memusingkan apa yang
bukan menjadi tuntutan-Mu? Setelah meributkan apa yang tidak kugenggam, aku menoleh
pada yang kupunya hari ini. Lihat Tuhan, bahkan aku belum menghargai mereka dengan
sebaik-baiknya, lalu aku malah meminta lebih? Mendengus kecil, aku berhenti memaksakan
level kesempurnaan dalam kepalaku. Mulai hari ini, seberapa pun yang Kau takar untukku,
bagiku itu adalah hal yang sempurna.
Kita sama, sama-sama manusia, kalua kamu pernah sedih akupun juga, kalau kamu
punya kekurangan, akupun punya, hanya saja bentuk kesedihanku dan dirimu dibuat berbeda.
Tau kenapa? Karena kamu itu kamu dan aku adalah aku, kita tercipta dengan porsi yang pas,
ujian sesuai kemampuan, kesedihan berimbang dengan kebahagiaan. Jika semua benda langit
ingin menjadi matahari lalu siapakah yang menjadi bulan? Jika semua orang ingin menjadi si
A lalu siapa yang menggenapi huruf sampai dengan Z? Kita ibarat abjad dengan fungsinya
masing-masing, tidklah tercipta kalimat bila kita saling debat “Allah memberi banyak
kelebihan padamu dan hanya sedikit padaku”, NOO!! Kamu salah, setiap kita adalah huruf,
suatu ketidaksempurnaan, karena itu dibuat beda untuk saling menyempurnakan, jangan
bilang padaku “enak jadi kamu” karena Allah tau andai dijadikan aku kamu tidak akan
mampu begitupun diriku yang tak sanggup hidup menjadi dirimu. Sudahlah kita jalan bareng
saja, maksudnya jangan saling iri, lebih baik saling melengkapi.
Ada saatnya Ketika orang meremehkanmu kau tak lagi peduli, kau sudah paham
bahwa dunia memang sekejam ini, ia hanya melihat pada sebagian orang, lalu mengabaikan
Sebagian lain. Namamu tak pernah berada di posisi baik, “Dunia hanya melihat yang
istimewa”, sedang yang tak punya apa-apa pastilah terkubur Namanya. Namun, cobalah
sejenak berdialog dengan dirimu sendiri, apa untungnya menjadi perbincangan? Apa
mulianya dianggap baiksedang hakikatnya pun tak demikian? Apa untungnya dipandang
berharga, jikalau langit saja tak mengenal nama kita? Sudahlah, kau tak perlu menonjolkan
diri hanya agar dihargai, toh penilaian manusia hanya sepanjang lidahnya, kamu harus tau
nikmat terbesar bukan Ketika namamu terkenal dimasyarakat atau bahkan media social, tapi
Ketika derap langkahmu tiada seoang pun yang tahu, sedang langit bergemuruh rindu, ingin
segera berjumpa dengan ruhmu.
Kenapa Enggan Bertaubat? Apakah langit-Nya tertutup setelah kau berbuat dosa,
hingga berat rasanya jemarimu meminta ampunan-Nya? Langsung mati dan disiksakah kamu
selepas bermaksiat, atau justru kessempatan yang diberi selepas pengkhianatan yang Allah
temui padamu? Allah Maha Pengampun, kau tidak percaya? Taubatlah!! “tapi saya berdosa
lagi”, Taubat lagi!! “Saya malu kepada Allah” Justru Ketika kau berhenti bertaubat maka kau
telah sombong seakan tak lagi butuh pengampunan. Maha Penganmpun-Nya memang untuk
mengampunimu. Maha Pengasih-Nya memang untuk mengasihimu. Datangi Allah, seburuk
apapun dirimu. Ingat denyut yang dijaga, nadi yang bekerja, dan nyawa yang tinggal adalah
suratan Allah bahwa kita bisa dan pasti mampu lebih baik. Allah percayakan kesempatan
bukan untuk dibiarkan. Allah percaya kau mampu, lantas untuk apa kau meragu? Sebaik-baik
pemaksiat seperti kita ialah yang segera melakukan taubat.
Aku tersenyum pada waktu subuh takala Mentari mulai terbangun, sejagat do’a
yangsemalam ku panjatkan, berganti dengan ucapan“ Selamat pagi wahai jiwa, semoga
keberkahan menyertaimu” Aku bersenang takala siang mulai benderang, disertai angin yang
meriuh menggugurkan daun pepohonan, tasbihku menyeru di sebalik padangan mata yang
diam beradu melebur Bersama luasnya langit biru. Namun, aku merenung saat sore bertamu,
setelah siang kulewati dengan dosa dan kudapati diriku basah kuyup dengannya. Lisanku,
mataku, ahh, selalu begini, agaknya iman yang tertanam belum kokoh, aku masih berteman
dengan kemaksiatan. Hingga sang malam datang, bersimpun aku dalam segenap perasaan
malu, tangan kuangkat, hati kuhadirkan, “Sungguh seandainya dosa ibarat jerawat, pastilah
sejak lama wajahku tak berupa, orang jijik memandangku, aku pun malu untuk bertemu”.
TUHAN….. sekecil apapun nikmat, kusyukuri sebab itu dari-Mu, kutahu bahwa
kurangku banyak namun dimanakah rasa terimakasihku, bukankah bersyukur adalah
kewajiban, dimana taka da hubungannya dengan kesempurnaan? Syukurku pernah tewas di
masa lalu karena minimya kesadaranku kepada-Mu, aku buta melihat apa yang Engkau beri,
kuadili apa-apa yang tak kumiliki, dari situ aku mulai belajar untuk mengenal dari firman
yang beribu tahun lalu Kau wahyukan, aku mencintaiMu Tuhan. Cinta yang penuh
penerimaan, cinta yang tumbuh setelah perkenalanku padaMu. Lewat sujud yang mulai
kupanjangkan, melalui aamiin usai doa ku lantunkan., kini ku rasakan makna pepatan ”Tak
kenal maka tak sayang”. Mencintai-Mu butuh waktu, sangat melelahkan, tapisaat berhasil
memasuki wilayah cintaMu aku benar-benar bahagia, tidak lagi menuntut apa yang akan
kudapat, tapi justru sibuk berjuang apa yang bisa ku korbankan hanya untuk-Mu.
Aku mwmbaca kitab-Mu seusai Maghrib, setelah ribuan hari kugugurkan untuk
menjauhi-Mu. Aku juga membuka mulut, berdoa agar Engkau menjaga ibu bapak, seolah
nafasku bisa berhenti kapanpun. Hari-hari ku kemarin telah berhasil memuat dosa. Maka
Tuhan, kini mauku satu, menghapuskannya. Aku akan berdoa kepada-Mu dengan tangan
paling tulus tanpa harus menunggu waktu tua. Bahwa menjadi baik memang tidak perlu
menunggu kulit menua. Karena sepanjang sejarah yang pernah terjadi, kematian tidak
menanyakan “sudah cukupkah umurmu untuk pergi?” Allahku, malam aku melihat awan
melaksanakan tugasnya menurunkan hujan. Ia sangat patuh kepada-Mu. Lantas diantara
dinginnya aku berpikir, kira-kira sepatuh itulah gambaran malaikat saat Kau utus
mengambilku.
Mau sedih atau pun senang, sajadah ibarat bandara. Tempat keningku mendarat,
sekaligus merapal doa. Berdialog dengan Tuhan selalu menenangkan, meski yang kuungkap
pada-Nya seringkali menyedihkan. Selalu ada masa ketika kau ingin berdialog tanpa lagi
melibatkan manusia. Terlalu enggan melafadzkan kata, apalagi berbicara. Bukankah apa yang
kau rasa tak dapat diungkapkan lewat bahasa? Akhirnya malam datang. Kau bergegas
menutup mata, padahal masih pukul delapan. Dan alas an terbesarmu kurang lebih seperti ini
“Kalau aku tidak segera tidur, bisa-bisa aku tidak kuat bangun”. Lalu perlahan, kesadaranmu
mulai menghilang seiring rembulan bergerak meninggalkan malam. Kau tenggelam Bersama
mimpi, sebelum akhirnya terbangun untuk beberapa rakaat yang sudah kau rencanakan tadi.
Kemarin, aku berantakan. Sebetulnya ajku sering seperti ini. Muak dengan segalanya,
siapapun, dan apapun itu. Sementara yang kuingin hanyalah jauh pergi. Sungguh !! pada
suatu ketika, Allah membuat hidupku mendekati kata sempurna. Pada suatu ketika pula,
Allah menjadikanku seperti tak ingin bernyawa. Ujian diberikan, masalah tiba silih
bergantian,”Yaa Allah, kemana bahagiaku?”. Siang pun berganti. Sore hari aku mengaji.
Meski dada masih tersisa kecewa, lisan ini terus membaca. Dan aku tak mahir bahasa arab,
aku pun melirik terjemahnya. Disana tertulis “Apakah manusia mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan, “kami telah beriman,” sementara mereka tidak diuji
lagi?”. Seketika kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Memastikan tak ada siapa-siapa selain
angin. Aku pun menengadah keatas. Barulah kusadar, ada Allah yang menjalankan ini semua.
Ini bukan kebetulan. Dia sedang menegurku, aku harus peka.
Pernahkah tertidur dengan pikiran tak teratur? Seolah segalanya tak lagi ingin kau
rasakan. Notif siapapun, tak berhasil meredakan hati murammu, kau tampak kosong saat
matamu terbuka. Hujan menjadi bahasamu berbicara. Senja menjadi penenangmu satu-
satunya. Diantara gerimis dan sinar mentari, pikiranmu melayang entak kau bawa kemana ia
pergi. Suatu ketika, takala kau melaksanakan sholat, bukan ketenangan yang datang
memelukmu, melainkan ingin cepat selesai. Sholat yang dulunya ampuh menenangkan, kini
tidak lagi menggetarkan. “Why?” Akhirnya, kau putuskan mengingat kembali apa-apa yang
kau lakukan akhir-akhir ini dan benar saja, maksiatlah pemusnah tenang dalam dada. Kita
lupa, bahwa dosa selalu diiringi kegelisahan. Dan jauh dari-Nya ialah sebuah kehancuran.
SURGA. Kau adalah ujung yang teramat kurindukan. Bait pujangga tak akan becus
menggambarkanmu. Kau yang tak tertuliskan dalam khayal, adalah apa yang selalu
kudambakan. “Tapi, dunia senantiasa menjagalkan darimu, akankah aku selamat
menjumpaimu?”. Terkadang, aku teringat akan kakek dan nenekku, mereka sudah lama tiada.
Sore-sore di persawahan, ketika senja hendah pamit ke peraduan aku bertanya, kakek sedang
apa? pertanyaan yang pastinya tak pernah terjawab. Entahlah, aku penasaran akan keadaan
mereka di sana. Bukankah alam yang sekarang mereka tempuh adalah alam yang kelak
kulalui juga? Kau tau? Ketika seseorang meningalkanmu, kau akan bersedih lalu kembali
melanjutkan hidup. Tapi ketika yang meningalkan mereka, hidup mana lagi yang hendak kau
lanjutkan? Hanya ada hari pertanggungjawaban yang sydah menuntutmu dan kau tak akan
mampu kabur-kaburan. Senang tidak senang, kau dan aku harus mati pada saatnya.
Setelah melalaikan sholat wajib, ada tahajud yang tertinggal. Kujalani Isya’ di akhir
waktu dengan hati penuh sadar. Perbincangan dengan Tuhan tidak lagi menjadi rutinitas. Dan
sholat seperti hanya memenuhi formalitas yang tentunya dijalankan dengan setengah hati.
Keburukan tidak diciptakan tunggal, ia berkomplot dengan keburukan lainnya. Ketika ada
rasa malas sholat, akan hadir malas ngaji, jarang berdoa, dan berakhir hati gundah. “Dosa
membuat hatimu mengeras, juga menahan air matamu turun” Firdaus mana yang kau pesan?
Dengan ghibah, durhaka,dan kesombongana?” BANGUN GUYS!!!
Mataku terpaku pada api yang membara, sembari menata sampah agar cepat terbakar,
kubayangkan diriku sedang tersiksa disana. Pukulan, tusukan, juga cambukan, mendominasi
khayalanku pada Jahannam. Aku terdiam. Lirih bibirku beristighfar. “Mrndekati bara api saja
tidak tahan, lantas betapa pedihnya dibakar?”. Lagi-lagi Tuhan membuatku mengingat-Nya
dengan cara yang sederhana. Sementara dadaku diterkam takut yang sebenar-benarnya.
Katakanlah dengan jujur, inikah rasanya pendosa?. Setetes air dari langit jatyh memeluk
pipiku. “Hujan telah datang”. Kuberlari menuju pintu rumah, meski sampai belum
sepenuhnya terbakar. Dan….Kau tau apa yang kulakukan selanjutnya?. Duduk di tengah
pintu, menekuk lutut, lalu memeluknya dalam-dalam. Menadahkan wajah kearah langit yang
kebetulan juga arah kiblat. Aku berbisik “Tuhan, di hari wafatku nanti, kuharap dosaku telah
sepenuhnya Engkau ampuni”. “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” Q.S
At-Tahrim ayat 6.
Pernah berjanji kepada Tuhan untuk berubah namun malah berakhir menyerah?
Mengarungi satu rakaat dengan khidmat, lalu teringat kunci sepeda? Jemuran belum kering
atau malah merindukan salah satu makhluk-Nya? Kita sok lupa. Ada hari dimana kita berdiri
sendirian menghadap Dia. Mengakui dosa tanpa mampu merangkai kata dusta. Dan sebuah
kitab berisi amalan kita tega-teganya datang. Ironisnya lagi, tidak satu gerak pun terlewatkan.
Seketika bayangan dosa berputar di kepala sementara mataku menyendu, “Wahai pendosa
Bernama aku, adakah alas an hingga Allah harus mencintaiku?”. Kutatap kedua tangan ku
dalam-dalam. Ingin memohon ampun, tapi maluku tak terlukiskan. Dan ketika aku hendak
menyerah Allah berfirman pada Q.S Al-Hijr Ayat 49 yang artinya ”Kabarkanlah kepada
hamba-hambaKu, bahwa sungguh Akulah Yang Maha Pengampun lagi Maha
pengasih.”
Kini, tempat paling hangat adalah tanah yang menampung shalatku. Rakaat yang dulu
kupikir perintah-Mu ini kebanyakan, sekarang menjadi lima favorit yang kutunggu. Awalnya
seperangkat dosaku membuat suasana agak asing. Namun setelah menghadap-Mu aku justru
yakin mampu memperbaiki semuanya. Allah, aku membedah kesalahan tempo lalu dan
mendatangi-Mu untuk diyakinkan bahwa aku bisa. Bahwa ada hal baik dalam diriku yang
masih tersisa. Semisal hari lalu aku tidak becus menjaga diri, ada hari yang sengaja Engkau
sisihkan untuk aku perbaiki. Maka mukadimah dari doaku selalu bermula dari permintaan
maaf. Serupa salahku yang tidak dapat diangka jumlahnya, aku ingin dimaafkan dari
kesalahan yang mana saja. Dan setelah mengusap wajah seusai berdoa, aku pun bersujud
kembali. Hanya untuk berbisik, ”Mohon terus penjarakan aku dalam keimanan yang seperti
ini.”
Hujan kembali hadir di sela rindu yang terlampir. Yang turut membasahi ketakutan
dalam dada seorang aku. Mata yang menatap gemerlap dunia, sedikit banyak mulai
mendambakan apa-apa yang ia punya. Kemewahan, kebebasan, kepopuleran, dan apapun itu.
Kuharap, hatiku akan segera berhenti. Langkah paling tepat manakah yang lebih baik dari
memperbaiki diri? Dunia semakin sombong, dan manusia semakin bodoh karena mulai
menuhankannya. Salah satunya aku. Meski tak sepenuhnya terpaut, tak dapat kupungkiri,
hatiku kerap mencintai yang dunia miliki. Mengejar tipu dayanya., mendambakan
gemerlapnya, menghabiskan waktu hanya untuk bersenang-senang dengannya. Ketika
seharusnya Allah menjadikan satu-satunya tempat berharap, aku menjadikan-Nya salah satu
harapan. Ketika semestinya akhirat menyadi yang utama, aku mengingatnya takala susah atau
kesepian. Dan kau pasti setuju denganku, di kala kau tersesat Allah selalu ada mengingatmu.
Begitulah yang terjadi padaku dan kuyakin padamu juga. Karena pada dasarnya Allah begitu
menyayangi kita.
“Dalam samar, aku menemukan diriku terbaring lemah, dikelilingi banyak manusia.
Dan…..tunggu mengapa mereka semakin banyak? Apa yang dilakukan orang-orang ini?
Kenapa tubuhku ditutup?” Suatu hari, akan kau pahami mengapa dunia begitu hina.
Kecantikan yang kau usahakan serta ketampanan yang kau sombongkan, takkan menyisahkan
apa-apa. Suatu hari dihari kematianmu tangis akan pecah, orang-orang pun datang silih
berganti. Namun selepas itu, perlahan mereka melupakanmu. Memang harus bagaimana?
Sebagaimana kau melanjutkan hidup (di alam lain), mereka pun melanjutkan perjalanan di
bumi. Membangun usaha, menata hidup, meski tanpa kehadiranmu. Kau adalah topik dikala
mereka berkumpul dengan secangkir teh dan gemercik gerimis mengenang kematianmu.
Namun tetap saja, kau berjuang sendirian dialam sana. Jaga dirrimu baik-baik. Aku pun
demikian. Karena terima atau tidak, sudah hukum alam seseorang akan wafat dan lebur
dalam tanah. Tak terkecuali mereka, tak terkecuali kita.
Atas dasar apa kau mengenaliku dari kata “katanya”? Setiap manusia menilai dengan
kaca mata berbeda. Bergaullah dulu denganku, aku lebih suka mendapat nilai buruk darimu
yang mengenaliku secara langsung, daripada nilai baik tapi hasil “katanya”. Hei, tak
semestinya kau menganggap apa yang mereka kisahkan tetnatng ku sepenuhnya itu benar.
Dari musuhku, akan kau dapati betapa buruknya aku dimata mereka. Dan dari sahabatku,
akan kau terima kabar baik-baik yang sebetulnya aku pun tak sesuci itu. Aku lebih senang
uluran tanganmu mengajakku berkenalan dan saling sapa. Aku takkan marah walau kelak di
matamu sosokku mendapat nilai di bawah rata-rata. Aku yang apa adanya ini hanya tak suka
kau menilaiku dari katanya. Bukankah penilaian orang sering dipengaruhi kondisi hati?
Takala hubunganku dengan mereka baik, aku bak malaikat tak bercacat. Sebaliknya, aku bisa
menjelma menjadi iblis di situasi lain, ketika hubungnaku dengan mereka meretak. Maka
mari berjabat tangan kenali aku tanpa perlu perantara banyak orang. Karena semakin banyak
mulut, semakin berita itu kabur.
Simpan dulu gadgetmu kawan. Aku tak meragukan kemampuan jarimu mengetik
kalimat dengan secepat-cepatnya, kau teramat mahir untuk itu. Sekarang, giliran lisanmu
belajar bagaimana membaca Al-Qur’an dengan benar atau bila kau sudah mampu, tidak
rindukah mempraktekkan? Membaca Al-Qur’an tidaklah sesuntuk yang kau kira, banyak arti
yang membuatmu menemukan banyak keajaiban di sela ayat yang kau baca. Membaca
Qur’an tak membuatmu dijatuhi puluhan karung emas, tapi kedamaian turut hadir
menyejukkan hatimu yang memanas. Perkara-perkara dunia yang melelahkanmu dan
kerusuhan yang terjadi di labirin hatimu, tidak ada salahnya kau diinginkan sejenak.
Bukankah salah satu fungsi Qur’an adalah mengobati hati? Sekarang, lihat sekelilingmu,
ingat-ingat dimana kau meletakkan Qur’an mu. Atau jika kau sedang diluar, jangan lupa
pulang lalu membacanya. Aku tidak melarangmu membaca aplikasi, hanya saja menurut ku
akan jauh lebih puas rasanya jika memegang mushaf langsung dari pada di gadget.
Beberapa wanita merasa begitu rendah dengan fisiknya, bukan karena dia buruk tapi
salah memaknai apa itu “cantik”. Mereka mematok sendiri standar kecantikan itu seperti apa,
lalu menyakini bahwa sebelum ia bisa menjadi seperti kebanyakan orang, ia tak memiliki
harga diri. Kawan, meletakkan harga diri pada sesuatu yang tak abadi adalah kebodohan.
Silahkan merawat ragamu, namun jangan paksakan ia menjadi semacam milik orang lain
yang memang tercipta lebih. Silahkan rawat ragamu, tapi selepas itu usahlah
membandingkannya dengan lagi dengan orang lain ”Kau adalah kau, bukan mereka” Dan jika
perbandingan darimu terhadap ragamu sendiri terus saja berlangsung, mohon tanya pelan-
pelan pada hatimu, kau ini sedang belajar bersyukur dengan merawat diri atau ingin
memuaskan mata orang lain? Ikutlah bersamaku mengunjungi tuna netra, tuna rungu, dan
mereka yang tak sempurna, agar kau sadar “Menjadi dirimu sendiri adalah anugerah
terbesar”
Seorang ratu disetiap kerajaan tak dapat disentuk sembarangan tangan, selayaknya
seorang Muslimah yang tak dapat dijabat sembarangan. Di istana yang teramat ketat
pejagaannnya, seorang ratu begitu anggun nan mulia, dan seorang Muslimah dengan pakaian
tertutupnya, menyembunyikan perhiasan yang mereka punya. Ah, aku benar-benar
menempatkan nilai lebih pada wanita yang menjaga kesuciannya. Dimataku, (tentunya
berawal dari pengetauhan agama) mendapati wanita yang memegang teguh ajaran isalm kini
sudah punah dan patut diapresiasi. Kau benar, apresiasi dariku tak bernilai apa-apa. Tapi
kuyakin, Allah Yang Maha Melihat amat sangat mencintai hamba-hamba baik-Nya. Lantas?
Apakah kemudian mereka yang terbuka pakaiannnya pasti berstatus hina? Tidak juga, karena
manusia tidaklah dilihat dari siapa dan bagaimana dia hari ini, melainkan seperti apa akhir
kehidupan yang akan ia pilih. Sebab adakalanya, pemilik iman terhebat justru terlahir dari
mereka yang dulu berlumuran dosa, lantas mendapat hidayah dan bertaubat dengan sebenar-
benarnya. Untuk Muslimah, sebaik-baiknya kamu bukanlah yang paling membuka, tapi tutup
dan lindungilah perhiasan yang Allah amanatkan untuk kau juga. Janganlah diumbar,
seseorang berstatus suamimu kelaklah yang layak mengetahui betapa cantiknya dirimu. Yang
tidak berhak dipandang jangan kasih umbar. Yang tidak halal menyentuk jangan
diperbolehkan menyetuh !!!
Baru kusadari beberapa hal berubah. Shalatku yang dulu harus diperintah, kini
kulakukan tanpa intruksi lagi. Bahkan semasa kecil, aku pernah berkata “sudah” pada sholat
yang belu kulakukan, alias bohong. Tapi dewasa ini, kalau sampai tanpa sholat, mungkin
bewarasanku yang tidak tertolong. Aku menyukai bantal yang bisa meredakan kepala
lelahku, dan kini aku mencintai tanah tempat bersujud sembari melepaskan seada-adanya
perasaanku. Anak kecil yang kemarin apa-apa mengadu pada ibunya, kini ia Tangguh
bersama Tuhannya. Maka bila sholatnya usai, namun tubuh tidak beranjak, bukan karena
sajadahnya baru tau ada yang special di langit-langit kamarku. Sebab untuk menghadapi
dunia yang tingkahnya ada saja, aku perlu mendatangi Tuhan agar hatiku ingat bahwa semua
juga baik-baik saja.
Aku bersembunyi disebalik sholatku, di belakang ayah ibu, didepan manusia yang
mengenaliku. Tunggu sebentar, taukah apa yang kusembunyikan? Yang kusembunyikan ialah
aku, tentang buruknya sifat yang tak seindah statusku. Kutatap wajah yang amat kukenali ini
dengan penuh keprihatinan, sosok rapuh dengan pena-penanya yang menari dipermukaan.
Sosok pemuda yang masih lemah iman didadanya, seperti yoyo yang naik turun begitu saja.
Kutatap tangan yang telah merangkai banyak kata dibuku dan social mediannya, “iakah aku
telah menjadi seperti apa yang biasa kukabarkan? Sebagaimana yang kusampaikan? Aku
bersyukur pada Allah Yang Maha Rahman atas kebaikan-Nya menutup rapat aib-aib ku. Tapi
malu ini tetap tak dapat dibendung, tak mampu direkayasa. Aku malu pada status yang tak
seindah realita. Aku malu pada pujian yang sungguh akulah kebalikannya. Aku bersembunyi
dan tidak ada yang lebih mengenaliku dari Tuhan Yang Mahaa Mengetahui. Maka
perkenalkan, ini aku seseorang yang tidak lebih baik dari dirimu.
Aku tak sempat megisahkan apapun pada senja sore tadi. Setelsh dzikir petang dan
sedikit doa kupanjatkan, seluruh dunia seakan ikut terkubur seiring senja beranjak kabur.
Hingga adzan maghrib terdengan, mengiringi perasaanku yang perlahan menenang dan
semakin tentram. Yaa Allah, jika dulu aku tak mahu tau ap aitu agama-Mu, tak mahu tahu
tentang perintah sholat-Mu. Dengan kekuasaan-Mu, kini aku terlatih untuk selalu
menjaganya. Ketika dahulu yang kusuka lagu-lagu penambah luka, kini lantunan ayat suci-
Mu adalah terbaik yang pernah kudengar, izinkan aku istiqamah pada jalan-Mu yang benar.
Terimakasih Tuhan, atas nikmat isalm, atas manisnya iman, atas apapun yang kau berikan
dema kebahagiaanku, mohon ampunkan seeluruh prasangka burukku dari hari lalu. Aku
merasa indah dengan islam-Mu, Yaa Allah. Hanya Engkau satu-satunya cahaya yang ku tuju
setelah kematianku, mohon jadikan namaku ada pada kelompok hamba terbaikMu, Yaa
Rabb.
Lebih baik kamu disini saja. Duduk dulu bersamaku, amri kita lihat betapa indahnya
bintang yang Tuhan ciptakan untuk kita. Betapa selama ini kita tersibuk dengan jejaring
social, hingga lupa melihat pertunjukan ciptaanNya. Lupakan sejenak mengenai rusuh
kepalamu. Istirahatkan dahulu semua letih laramu. Kamu yang selalu merasa kuat dan
memang benar-benar kuat. Sudah sewajarnya butuh istirahat. Jangan dahulu memikirkan
rumitnya hidup, mari kits istirahat sembari bertasbih memujiNya. Sungguh, selama kau hidup
masalah itu pasti ada. Mati satu pasti tumbuh lagi tunas baru. Kawan, kita semua ibarat lampu
rumah umur hidup yang terbatas, semakin lama kita semakin meredup lalu berakhir mati.
Maka, mengapa hidup harus kau buat lebih berat lagi? Engkau memang punya masalah, tapi
jawab dulu tanyaku “bukankah Allah itu lebih besar dari semua masalahmu?” jangan pernah
merasa seorang diri, sebab sebatang kara apapun dirimu nyatanya ada Tuhan yang selalu
peduli.
Mataku tertuju pada pintu rumah yang tertutup atau tepatnya sengaja ditutup. Sekilas
membuatku merasakan satu hal, seperti itulah kondisi hatiku selama ini. Banyak hal baik
yang Allah kirimkan padaku, namun sengaja kuusir lagi dan lagi. Sesuatu seperti bisikan
kecil kerap mendatangiku pelan-pelan “jangan lakukan itu!” suruh memelan. Dan aku tidak
bodoh memahamin apa maksudnya, ia tak ingin aku kembali menapaki dosa-dosa. Lalu
dengan tidak warasnya, pada ujungnya ia pun kembali ku abaikan. Anehnya, saat kaki dan
hatiku benar-benar jauh dari taat. Langit seakan menjatuhiku dengan bumerangnya, membuat
hidupku dipenjara masalah, hingga aku mampu kembali khusuk berdoa. Lantas, timbullah
perasaan yang menanyakan “apa mesti dibuat terluka agar Allah bisa kuingat selamanya?”
Hei kawan, apa iya Allah harus kirimkan duka agar kau paham dimana seharusnya
meletakkan rindu dan cinta.
Gelombang menenggelamkan kapaldi tengah samudra dan aku masih dengan usaha
menyelamatkan nyawaku dari neraka. Apakah hanya aku yang merasa jika menjadi sholeh
amat lah sulit, setan menyerang dari segala arah. Ia tak mau menyerah dan aku mengaku
sering kalah. Tapi setan tidak lebih kuat dari manusia, bukan? Maka biarkan aku membunuh
bisikannya dengan dzikirku, melawannya dengan do’aku, tidak peduli seberapa banyak
jebakkannya yang berhasil, aku akan berjalan lebih baik lagi. Oh, benar sekali! Aku memang
payah tapi hatiku menyakini esok ialah yang menanggung kalah. Kau tahu? Saat aku lelah
berbuat baik, lelah mencoba baik dan ingin berbalik, hati ini menahanku “Jika disini kau tak
dapat bahagia sepenuhnya, apakah kau mau menderita lagi di kehidupan kedua?” Sontak aku
menggeleng, mambayangkan siksaan yang seolah akan terjadi padaku.
Aku paham akan dosaku selama ini. Tidak perlu diumbarkan, aku sudah teramat sadar
diri. Akupun takkan menyangkal perkataanku yang sedikit menusuk, “munafik,” satu kata
yang kuterima dengan hati remuk. Kau harus tau, aku tidak pernah menganggap diriku
sebagai malaikat tanpa dosa. Nasihat yang kubagi bukan berarti akulah yang paling
sempurna. Justru akulah pendosa yang terketuk, lalu berharap kau pun mengetahui secuil
ilmu yang diizinkan Allah untuk kau terima. Kau pun tau, aku tidak ada bedanya denganmu,
bahkan dirimu lebih baik. Aku hanya berpikir bahwa sedikit memberi manfaat pada orang
lain bukanlah hal yang buruk. Kurasa, kita sering kehilangan iman di waktu-waktu tertentu,
lalu berharap status baikku sekali atau dua kali mampu berguna bagi hatimu. Saat ini, aku
juga menganggap diriku munafik. Tapi bersamaan dengan itu, biarlah aku tetap menyebarkan
hal baik sembari berdo’a agar hatiku tidak meniatkan hal lain termasuk mencari muka.
Aku terlalu bodoh untuk mengerti rencanamu, semesta. Hari lalu, saat aku begitu
marah akan nasibku, kau menyapaku seolah tak pernah berbuat salah, seakan tak ada yang
salah. Hingga kemudian dengan tenangnya kau datang. Memerlihatkan rantaian “hikmah”
dari sepenggal kisah yang sempat kunamai “takdir buruk”. Membuat dadaku menciut
menahan malu. Maaf untuk semua sangkaan burukku. Bagiku, rencanamu memang selalu
dadakan. Begitu hangat dengan efek mengagetkan. Aku tak paham caranya tersenyum
menanggapi takdir yang tidak sejalan dengan harapan baikku. Tapi tak juga menentang.
Karena sekuat apa kumenolak, hatiku percaya kau sedang memberikan yang terbaik. Benar?
Dan seorang pemain ini tidak seharusnya mengusik naskah. Jadi, entah apa yang hendak
terjadi nanti. Aku percayakan garis takdirku padaMu. Karena Engkau adalah bentuk dari
cinta-Nya Tuhan kepadaku. Terhitung detik ini, aku menerimamu, sesakit apapun awalnya.
Noda didada kian mengitam pekat, sepekat blackhole. Dosa ini, dosa itu menyatu
membatukan hatiku. Aku berlari kearah lain mencari permainan yang meredam gelisah.
Namun semuanya seolah tak mampu menghangatkan. Boleh aku mengaku? Detik yang
kulalui tanpa melibatkan nama-Nya, tak pernah mendamaikan. Harta yang kumiliki dan
kupakai bersenang-senang, tawa yang kudengarkan tak lebih dari rutinitas dengan jiwa yang
kosong. Dengan kata lain, aku membelah diri, bibirku tertawa namun jiwaku mati.
Kehampaan memelukku erat. Yang tak mampu kubeli satu, kedamaian. Pejabat dengan harta
mengalir, tak mungkin bisa mendolarkan hal itu. Kedamaian tak pernah mampu dibeli.
Sebagaimana iman yang tak mampu diwarisi. Mau mencoba? Hal terburuk yang pernah
terjadi adalah ketika ragamu kehilangan batinnya. Ketika ruhmu kehilangan iman yang
semestinya bertahta.
Aku mengingatMu disela rintikan hujan. Mendudukkan diri menghadap jendela
kamar kanya untuk menatap rintik terjatuh. Menyatahkan bahwa terkadang diam adalah jurus
ampun untuk mengungkapkan segalanya. Aku membebaskan netraku mejelajahi ruang langit-
Mu, merasakan sewaktu-waktu ruh ini akan kembali ke hadapan-Mu. Meski realitanya, dosa
membuatku malu untuk mengakui bahwa akulah hamba dari Tuhan Yang Maha Pengasih. Di
bumi-Mu aku merasakan kisah-kisah Panjang dengan perasaan yang tak terdefinisikan.
Masalah yang memelikkan segalanya, mengaduk perasaanku, tak mau keluar. Sementara
hatiku melebam. Ia pun bertanya “kapan selesainya?” tapi imanku berkata, “Karena hidup
akan selalu bermasalah, kau hanyaa perlu berjanji, seterpuruk apa nanti jangan lari pada
sesuatu yang haram”
Aku memencet ponsel tanpa arah. Bergeming, tak ada yang menarik. Beralih pada
langit-langit kamar yang seolah menatap sinis kelakuanku,”salahku apa?” tak ada jawaban.
Sementara jarum jam memperdengarkan detiknya, membuatku menoleh menatapnya dengan
mata menyipit, TIDAK !! sudah berapa jam aku berduaan dengan benda tipis ini? Ruang
hatiku membeku, menatap Qur’an yang sama sekali belim kusentuh. Alih-alih membaca
dengan baik, pengliatanku memburam, sudah terlalu lama menatap layer. Aku bodoh!!
Padahal mata diciptakan untuk beribadah. Tapi malah,….. ”oh jadi ini ucapan terimakasihmu
kepada Allah? Selamat kau melakukan kesalahan lagi,” ucapku pada diri sendiri.
Kau terbangun dengan malas. Qobliyah subuh tidak lagi kau kejar. Doamu semakin
pendek, gadget menjadi favoritmu. “apa yang sebenarnya terjadi?” jangan bertanya untuk
jawaban yang sudah ada dikepalamu. Apa perlu kurekamkan dosa-dosa yang sudah kau
tabung minggu ini? Jujur pada dirimu, setidaknya itu membuatmu lega. Kau adalah
jawwaban untuk pertanyaan diatas. Kau memilih untuk berdosa, sedang kau tahu keburukan
akan menarikmu menuju keburukan lainnya. Saat langkahmu teramat jauh tenggelam,
dadamu dihantam gelisah, selamat memanen semua rasa paling bersalah.
Hanya karena Engkau tak terjamah mata, kadang aku melenyapkan-Mu dari kepala.
Juga do’a yang kupercayai hanya pada saat kau menjadikannya nyata. Saat ketukan ke 10
pintaku pada-Mu yang tak kunjung terjawab, hilang sudah yang sebelas dan seterusnya.
Keimanan ini sudah hanya sebatas tanda pengenal. Pernah kuamati pantulan diri dengan sorot
mata memalukan. Diakui atau ditolak, rakaat hanyalah Gerakan-gerakan tanpa nyawa.
Sempat kurenungkan, keislaman yang berawal dari keturunan sering berjuang menyepelekan.
Sesuatu yang didapat tanpa usaha, dikebanyakan kepala ia sudah hilang harga. Atau,hanya
aku saja? Entahlah.
Ini yang tak mampu kubendung. Aku masih bisa melepaskan tawaku, kecuali saat kau
mengingkatkan ku tentang siksa kubur dan neraka. Hal yang yang perlu kau tahu, aku sangat
mudah lemah meski hanya dengan mengingatnya. Aku akan otomatis mengeratkan bibirku
dan berharap untuk tidak pernah merasakan keduannya. Segerombolan doa sering kuantar
dengan senyum penuh harap. Namun, saat tiba bada permintaan agar Dia menyelamatkanku
dari segala siksaan-Nya, rautkuakan berubah lebih sayu. Kau tahu aku sangat berharap
kematianku adalah jalur pengantar menuju tempat dimana aku tidak lagi mencemaskan apa-
apa. bukan kepada tempat yang membuatku malah tidak baik-baik saja. Dan kau benar.
Sekuat-kuatku menyendiri, membayangkan waktu ketika aku harus mati dan menempuh ala
masing sendirian bukanlah perkara menyenangkan. Andai kau tahu bisa meneropong hatiku,
kau akan tau, sebesar apa aku tidak ingin mati sebelum membuat Tuhan mencintaiku lebih
dulu.
Di planet ini aku bersibuk. Menyeka keringat selepas bekerja, tertidur kala lelah, dan
bangun untuk aktivitas yang sama. Duniaku berisi kumpulan rutinitas yang tak ayal
membosankan, sujud tanpa rasa pun sering kulakukan. Apa kau pernah menatap langit dalam-
dalam seolah mencari dunia baru? Mengamati cakrawala seolah sebagaian darimu tercipta di
sana? Meyakinkan diri bahwa kehidupan selanjutnya akan datang sebentar lagi? Aku pernah.
Aku pernah kehilangan rona semangat di wajahku, aku pernah hilang arah dalam sujudku,
aku pernah merasa kosong dengan raga yang utuh, lantas aku menengadah. Di langit itu, aku
bermonolog. Mengeluarkan sebanyak banyaknya kata positif, meski dalam hati. “aku harus
melanjutkan hidup dengan baik. Meningkatkan ibadah dan mendapat peristirahatan terbaik.”
Aku percaya keajaiban, karena allah itu ada. Seperti udara, meski Dia tak nampak
kitab isa merasakannya. Hanya orang-orang pembohong yang mengatakan Tuhan itu dusta
belaka, sebab dalam pesawat yang hendak jatuh, mereka pun menyebut Tuhan dengan tiba-
tiba. Aku tak pernah ragu pada-Nya yang menjadikan api panas menjadi dingin untuk Nabi
Ibrahim as, membelah laut untuk Nabi Musa as, membelah bulan untuk Nabi Muhammad
SAW, dan menciptakan aku menjadi aku. Yang kuragui kemampuanku menunggu, karena
dalam batas waktu tertentu, kesabaran beranjak merapuh. Tapi disini aku belajar, berdo’a
juga bagian perjuangan. Jika berdo’a saja kumenyerah, aku malah merasa tak pantas diberi.
Do’a juga memaksakan untuk percaya, saat yang terjadi tak sesuai yang kudamba. Ada hal
baik yang sedang disimpan Tuhan untuk kejadian selanjutnya. Karena saat kita menatap apa
yang ada. Allah mengetahui hal-hal melebihi apa yang bisa terbaca.
Musibah kerap muncul tiba-tiba. Ia mencuri perhatianmu, membuatmu mau tak agar
terfokus padanya. Mencari celah agar amarahmu segera meledak dan menyalahkan Tuhan
atas semua. Setan pun beraksi, “Tuhan sangat jahat padamu, kan?” bisikannya menyeringai.
“Sudahlah, tak perlu sholat, jangan berdo’a, toh semua percuma saja, Tuhanmu
memandangmu sebelah mata.” Kemudian, sedikit banyak kau pun mengangguk meski kau
pahami ini hal yang keliru. Ada apa denganmu? Ia yang membisikanmu adalah ia yang
membuat Nabi Adam as. keluar dari surga. Ia pun menginginkan hal sama terhadap kita. Aku
tahu sabar itu sulit dan semestinya kau tahu, tak hanya kamu yang pernah sakit. Jika bumi tak
lagi memiliki derita, kabarkanlah padaku apa nikmatnya surgaa? Kawan, diujung waktu,
milikmu dan diriku. Kita akan mengistirahatkan segala lelah. Tapi terlebih dahulu kabarkan
pada hatimu, bahwa sebelum kebahagiaan ada derita yang perlu dibayar. Ketika datang masa
sulit, jangan lihat kedepan dan memikirkan bagaimana sulitnya. Tapi tengok kebelakang,
sebanyak apa nikmat yang sudah kau terima.
Mataku berpencar mengitari ruang. Sementara netraku sudah lebih dulu bertemu
Qur’an. Kuhembuskan nafas sedikit Panjang. Entah mengapa aku tak tertarik. Cuaca hati
yang gemar berubah, memengaruhi dampak ayat pada jiwa. Segenap perasaan “ogah-ogahan”
secepatnya kubuang paksa. Berpikir cepat, kugenggam bitab itu di telapak tangan berdosaku.
Dosa yang kubuat tak perlu kujabarkan, bukan? Kuangkat tangan kiriku, kupandangi dalam-
dalam tepatnya menyiratkan kepiluan. “Gue sering ngajak lo buat dosa, kan?” aku tersenyum
kecut, “kali ini dan gue harap seterusnya, gue mau ditemenin juga kea rah yang baik,”
kuhembuskan nafas sejenak, menetralkan sesak yang sedikit mengganjal, "Setidaknya, ada
kebaikan yang pernah kita lakuin sama-sama” bisikku.
Jika rintik hujan boleh diadu, kurasa dosaku tak kalah deras menghantap bumi. Tapi
aku tak sudi membiarkannya. Bagaimanapun, dosaku bukan air yang menyegarkan
pepohonan, melainkan sejenis meteor yang akan meledakkan negerimu. Hari berjalan,
kukenali jenis-jenis dosa semakin dalam. Bahkan aku kualihkan untuk sekedar menepisnya.
Dosa itu manis, tapi yang ditinggalkan adalah efek gelisah dengan bola mataku yang bergerak
sembarang arah. Mengingat CCTV langit terus bekerja. Apakah kau tahu rasanya bersalah
pada orang yang sama? Niat mengajukan maaf tapi malu menampilkan muka? Mirip
semacam itu kala tanganku menengadah namun lekas kuturunkan. Dan dengan sisa
kepercayaan diriku, berekorkan antrian dosa masa lalu. Kurapalkan istighfar dengan malu
yang tertahan. Mungkin aku teramat hina melafadzkan, tapi lebih hina saat kematian datang
sebelum aku sempat menunjukkan pada-Nya bahwa aku menyesal.
Bukan Allah memberi jarak, kau yang bertingkah seolah enggan dekat-dekat. Tak ada
batas waktu menemui-Nya, tapi kau pilih mempersingkat. Apalagi saat beribadah, ragamu
menyembah, namun otakmu mengembara. Apakah adil menuntut kasih sayang-Nya saat
sholatmu terjadi tanpa cinta? Selesai tanpa do’a, tapi ingin dicintai? Jika saat kau ingat. Allah
menatap segalanya. Saat kau pura-pura tuli atas panggilan adzan, saat sholatmu berkecepatan
maksimal, saat selalu saja ada hal menarik untuk kau lakukan dari pada menemui-Nya. Lalu,
jika nama-Nya hanya juara dua di hatimu, mengapa kau menuntut-Nya menjadi pertama
menyayangimu?
Dan hebatnya, kau datang hanya saat perlu. Allah yang ada setiap detik, adalah yang
kau duakan setiap detak. Kau pergi, berlayar kearah lain. Melupakan-Nya yang merawatmu
seelok mungkin. Katakana padaku, siapakah selain Dia yang lebih hebat dalam
menyayangimu? Bahkan saat kau mengecewakan-Nya lebih dari kata berkali-kali
Mungkin maksudmu, Tuhan merusak rencanamu. Membuat hal yang yang kau susun
rapi, menjadi lembaran kosong tanpa sisa. Matamu menajam, hatimu menggeram “kenapa
sih?” bisikamu frustasi, tak terima. Pernahkan menjumpai saat apa yang dinasehatkan
ayahmu benar dan kau menyesal karena membangkang? Saat ibumu memberi petuah,
gengsimu meninggi, namun yang diucap memang benar adanya? Kawan, terkadang kita
dungu memaknai peristiwa. Kita mahir mengedepankan emosi, menyalahkan Tuhan, dan
bertingkah seolah satu-satunya manusia tertekan. Namun berarti kita benar. Bukankah
kemarin kau juga terluka, lalu malah bersyukur dikemudian harinya. Anggap ini kejadian
berulang, meski dengan level berbeda. Allah ingin kau percaya. Bukankah syahadatmu
mengatakan, tak ada sesembahan paling benar selain Dia?
Hari itu, kuhentikan tanganku yang hendak bertakbir, berusaha mengumpulkan fokus
sebanyak mungkin. Agar aku sadar dulu kepada siapa akan menyembah, di depan siapa aku
berdiri, supaya tak berujung pada lupa rakaat lagi. Allah aku mau seperti mereka, yang
menyimpan-Mu dikedalaman hatinya. Menghadap-Mu takut-takut seolah tak ada kata esok.
Hingga suatu hari takala setan mengeroyok ku lagi, rakaat ku tetap teguh. Bahkan surat lebih
panjang, sengaja biar lebih lama dengan-Mu. Sebab Tuhan, meski netraku tak sanggup
menangkap-Mu. Ada Engkau yang menatapku tanpa lupa, walau aku lebih sering
menyembah-Mu sekenanya.
Nanti, akan ada waktu saat aku mendatangiMu lebih dari lama. Ketidakmampuanku
menyangga sendiri hal-hal dunia, kuberitakan padaMu sejak takbir yang pertama. Ibadah ini,
terlalu sering mengetahui keadaan seseorang yang sejujurnya. Letak kekuatanku apa pada
kesadaran bahwa aku hamba-Mu. Hamba dari yang Maha Kuat, adalah kuat. Maka sholaat,
untukku merupakan istirahat. Aku tak punya tempat yang paling bisa dipercaya, jadi lariku
kalau bukan pada-Mu akan kemana? Izinkan aku menegaskan tubuh ku untuk serempak
menyembah-Mu. Menjadikan-Mu yang paling tahu perkara tangis dan tawaku. Karena
dihadapan-Mu topengku bakal karam, aku hanya tinggal aku yang tidak bisa orang pandang.
Aku kehilangan malam-malam untuk mensyukuri diriku sendiri. Apa-apa yang tidak
sempurna dalam diriku, semestinya itu bukan salahnya. Dan untuk menjadi seberhasil orang
lain, itu juga bukan tugasnya. Sebab ditemani oleh dua tangan, dua mata, dan satu hati yang
masih mengingat-Nya, itu saja sudah sangat luar biasa. Bukan juga opsi menyalahkan Tuhan
kalau daun yang jatuh saja tidak tahu terjadi kapan. Mensyukuri yang ada di depan mata,
tersenyum untuk yang masih tinggal, tidak seburuk saat kita terus menyalahkan takdir.
Mereka yang mendapati hal-hal baik di bulan januari dan aku yang insyaaAllah akan
mendapatinya di bulan yang lain. Apapun kisah yang terlaksana, Tuhan tetap Maha Baik, hari
ini dan seterusnya. Prasangka-prasangka apik tidak layak kukekang, biar ia tumbuh menjalar
di seluruh bagian hati. Agar paling tidak, biarpun momen pahit sedang terjadi, aku tidak lupa
akan Tuhanku yang pasti sangat baik sekali.
Jelas aku belum memperjuangkan imanku seluruhnya. Sepertinya, aku bahkan
kehilangan hal-hal baik yang dulu sangat ketatnya kujaga. Yang sempat kurawat hati-hati,
kemudian menghilang kala dewasa. Benar aku tidak suka dicaci, tapi setan jujur bahwa
menggodaku dulu tidak semudah ini. Dahiku pun mengerut. Aku akui orang lain tidak tahu
aib yang kusangga, tapi setiap sholat, bukankah aku membawa semua dosa yang Tuhan
melihatnya? Aku adalah apa yang seharusnya kuselamatkan. Dan mewarnainya dengan hal
tidak baik, bukankah sebuah penyelamatan. Aku telah mengusir hal baik dalam diriku tanpa
sengaja. Kini tugasku membuatnya kembali apapun caranya.
Aku mengintip dari balik jendela waktu kemerahan pada langit sore-Mu mulai
seempurna. Baru tadi kuselesaikan asarku, kini maghrib sudah hendak dijumpainya. Mereka
ingin saling berdekatan, sementara aku asyik berdiri sendirian. Taukah Tuhan bahwa lahir
dan mengenal-Mu adalah anugerah yang tidak ternilai. pundak yang menggendong banyak
keburukan hari ini, tak membuat percaya diriku luntur bahwa menjadi hamba yang Kau
sayangi suatu saat masih bisa terjadi. Sepi ini mengikatku untuk merindui-Mu kembali.
Untuk ke sekian, aku berterimakasih atas nikmat islam. Terpilih menjadi salah satu diantara
milyaran manusia lain, sedikit membuat pipiku kemerahan. Dilaporkan dari kejauhan jarak
bumi dengan langit, kabar hambaMu disini, Wahai Tuhan aku sungguh sangat baik. Lantas
jika tidak kelewatan, aku akan bilang, jika sesungguhnya aku sedang merindukan-Mu.
Aku tahu, kadang aku mecantumkan doa serampangan. Apa yang terbesit didalam
hati, begitu saja terlahir dari bibir. Dan termasuk yang kusadari, andai setiap aminku dibuat
nyata, bukan lagi keindahan yang akan jadi sebuah akhir. Aku banyak menerbangkan angan
yang sering Tuhan isyaratkan, “belum atau jangan”. Kuberusaha menyakinkan bahwa aku
akan baik-baik saja dengan permintaanku, namun Tuhan lebih tahu tidak layak dipercaya.
Kini Alhamdulillah, aku sedang berada pada jalan yang masih dipilihkan-Nya. Sama
sepertiku, kau pasti pernah merayu-Nya berkali-kali dengan permintaanmu. Tapi juga sama
denganku, Tuhan tidak bisa mengiyakan semua yang kita mau. Setitik sedih sangat ada, tap
ikan kita lebih mahir dari rasa kecewa.

Anda mungkin juga menyukai