Anda di halaman 1dari 5

KEPERGIANMU

“Mengulang Kembali Kisah”


Sebaik-baik perbuatan alangkah baiknya diawali
dengan Bismillah agar segala sesuatu yang tertuang di
dalam tulisan ini menjadi amal kebaikan dan memberi
manfaat bagi pembacanya.
Absolut atau kemutlakan, kata ini mungkin
terakhir terdengar saat mempelajari ilmu yang
menggunakan rumus dan sudah pasti jawabannya hanya
ada satu yang benar. Lain halnya kehidupan manusia di
dunia, segala sesuatunya telah diskenariokan puluhan
tahun sebelum bumi dan langit terbentuk bahkan, setiap
makhluk memiliki takdir yang berbeda. Allah Azza Wa
Jalla sang penentu kemutlakan pada setiap insan
manusia dengan kehendak-Nya. Mengimani takdir yang
baik maupun buruk merupakan bukti berserah kita
dalam menjalani hidup dengan ikhlas. Pengorbanan,
penerimaan, memaafkan, merelakan, dan kepasrahan
mungkin itu semua dapat dideskripsikan dalam
memaknai mengikhlaskan.
Kita mengingat kembali selebihnya satu tahun
telah terlewati menikmati indahnya takdir Allah SWT
(jangan disingkat ya) yang telah menghadirkan
makhluk kecil covid-19 diantara (di antara) kehidupan
manusia di penjuru dunia ini. Menggambarkan
keikhlasan sepertinya tidak perlu lagi berpanjang lebar
untuk mendefinisikannya dapat kita lihat hampir setiap
waktu kita mendengar, melihat, bahkan merasakan
sendiri kehilangan keluarga atau kerabat terdekat
karena wabah yang sedang berdampingan dengan kita
saat ini. Mengapa kata mengikhlaskan lekat sekali
dengan kehilangan? Apakah kita harus merasakan
kehilangan terlebih dahulu agar kita bisa mengetahui
bagaimana caranya harus mengikhlaskan? Nyatanya
iya, kehilangan seseorang yang kita cintai sangat
membuat hampir beberapa kehidupan seseorang hancur.
Hancur karena wujud jasmaninya tidak akan kembali,
dia adalah cinta pertama anak perempuan yang selama
ini rela berkorban, menemani, dan menggenggam
tangan disetiap (di setiap) langkah kehidupan hingga
jenjang pernikahan. Ataukah selama ini aku
melewatkan waktu yang mana sebagiannya hampir
terbuang sia-sia untuk sesuatu yang tidak ada
maknanya sehingga kini menyesali akan kepergiannya.
Bahkan ada beberapa bagian dari dalam diri terasa
kosong, kalut, dan tidak terarah karena enggan untuk
berdamai dengan diri sendiri dan memaafkan yang
telah terjadi di masa lalu.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya (Al-Baqarah: 286)”
“Aku Memaafkan Diriku”
Terdengar mudah tetapi kadang diabaikan,
sering kita melupakan bahwa letak keikhlasan bukan
hanya di lisan tetapi juga di hati. Bilamana hati kita
kotor, apakah bisa cahaya kebaikan menembusnya?
Sebelum melangkah lebih jauh, sejenak kutuliskan
ketidakberdayaanku sebagai hamba yang memohon
ampun, ini adalah bentuk penerimaan atas diriku sendiri
dan bermunajat kepada Allah untuk selalu mendapat
pertolongan dari-Nya.
Wahai Allah, Tuhan pemilik diriku yang telah
menciptakanku sebaik-baik bentuk tetapi kini aku yang
lemah ini memohon ampunan atas diriku dengan apa
yang telah terjadi, bantu hambamu ini untuk
memaafkan masa laluku yang kufur atas nikmat
karunia-Mu dan agar melewatinya dengan penuh
ikhlas. Segala sesuatu yang terjadi bukan lain atas
kehendak-Mu maka dari itu aku ridha. Aku mengimani
Qada dan Qodar-Mu ya Allah, ini merupakan bukti
berserahku dan aku percaya ini semua yang akan
membawaku kedalam (ke dalam) kelapangan hati.
“Kini Merelakanmu Lebih Baik”
Kepergianmu mengingatkanku betapa lelah
engkau berjuang demi aku. Sehari saja aku merasakan
tanpamu, sesak di dada ini, bagaimana engkau
melewati ini sendirian tanpa mengeluh?
Apakah terasa berat?
Tidak, karena aku sudah menitipkan hatiku pada-Nya,
kini tugasku hanyalah berserah dengan rasa optimis.
Optimis agar aku tidak memaksakan sesuatu yang pada
akhirnya belum tentu baik untukku, melainkan baik
untuk orang lain.
“Aku percaya, takdir Allah pastilah yang terbaik
untukku dan untukmu juga.”

“Berjuanglah Hingga Kau Lupa Aku Lelah”


Titik paling tinggi saat berproses mengikhlaskan
yakni perjuangan. Setelah fase kehilangan, memaafkan
dan merelakan kini fase kehidupan menyongsong hari
baru yaitu perjuangan. Memang berat, namun tidak
mengapa karena sejatinya semua proses membutuhkan
waktu, perlahan tetapi pasti. Teringat olehku proses
terbentuknya batu berlian. Awal mulanya hanya
seonggok batu hitam kemudian ditempa di perut bumi
dengan suhu paling tinggi hingga terbentuklah batuan
berkilau yang memiliki kekuatan dan nilai yang tinggi.
Nilai perjuangan di kehidupanku kini adalah amal saleh
yang bisa kupersembahkan untuknya. Yakinlah segala
sesuatu yang terjadi pasti terlewati dan berujung, maka
berjuanglah hingga mencapai kebahagian dari segala
sisi aspek kehidupan lahiriah maupun batiniah. Aku
berharap kita semua akan terus berjuang, banyak hari-
hari bahagia yang akan menanti di depan sana. Aamiin
Ya Rabbal Alamin.

Anda mungkin juga menyukai