Anda di halaman 1dari 2

ACCEPTANCE

Atau kata orang jawa adalah “nrimo”, kadang jadi sesuatu hal yang sulit untuk diamini. Lebih
kepada karena kondisi yang ada tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki. Atau mungkin
bisa saja kita menghendakinya, tapi sesal kemudian datang karena sulit menjalaninya.
Lalu bagaimana?
“Ya sudah, mau bagaimana lagi?” jawabnya.

Parahnya adalah ketika kita masih ada rasa sesal di dalam hati kemudian melirik takdir
tetangga sebelah yang… kok sepertinya jauh lebih baik dari kita. Atau mengintip jajaran
memori masa lalu yang… kok sepertinya kita lebih baik waktu dulu. Atau membuka imajinasi
masa depan yang… kok sepertinya besok akan lebih cerah (ini yang bagus).

Padahal seringkali kita masuk dalam jeruji kondisi itu, ya karena pilihan kita sendiri.
Lalu siapa yang salah?
Lho kok malah menyalahkan diri sendiri?

Toh, saya juga yakin semua manusia kalau memutuskan sesuatu pasti memilih yang terbaik
bagi mereka. Lalu ketika jalan terpilih ternyata tidak mulus, padahal sudah yakin di awal,
nah ini yang jadi masalahnya.

Bagi saya yang ber-Tuhan, saya sering sekali pada akhirnya menanamkan, ini adalah jalan
yang terbaik bagi saya. Pasti Tuhan juga punya rencana lain, mengapa dahulu saya dibiarkan
memilih dan atau diberi jalan ini. Akhirnya ikhlas dan ridho adalah jalan satu-satunya. Dan
memang pada akhirnya itu yang bisa kita lakukan, baik yang ber-Tuhan maupun yang ….(isi
sendiri): dealing with yourself.

Ya memang, berdamai dengan diri sendiri itu tidak mudah. Bahkan saya sendiri juga sempat
berpikiran, “kok harus aku sih yang ditiupkan ruhnya ke dunia?” pada saat fase itu. Tapi
perlu diingat, kesabaran ekstra saat itu benar-benar sangat dibutuhkan. Selalu ambil sisi
positifnya, meskipun saat itu sepertinya nggak ada positif-positifnya samsek. Selalu tarik
napas kalau mulai memberatkan kepala, meskipun kala itu tarik napas juga sulit karena
sesak.

Mengutip kata teman sejawa(t) saya, “nrimo ing pandum” atau menerima
ketidaksempurnaan hidup. Dengan kata lain, kita sendiri juga harus mengerti hidup tidak
sepenuhnya lurus seperti jalan kuda yang dicucuk hidungnya. Termasuk hidup kita masing-
masing, hidup orang-orang sekitar yang barangkali berdampak kepada kita sendiri. Atas
semua yang terjadi, kadang kita juga perlu memaafkan diri sendiri, memaafkan orang lain
pula. Bagi yang ber-Tuhan, mungkin ini saatnya kita ditingkatkan derajat keikhlasannya.

Saat kita pahami itu, secepatnya barangkali kita bisa lihat titik putih dibalik gelapnya
prakara. Ada hitam, ada putih, kalau kata orang-orang. Seburuk-buruknya jalan itu untuk
kita masih ada pilihan untuk menghadapinya: cari solusi, atau ambil sisi baiknya (means kita
jadi tahu mana yang buruk dan tidak mengulanginya dan sebagainya). Pada intinya, pasti
ada pembelajaran yang tersisip di sela-sela gulita itu.
Sabar wae, Lur!

Anda mungkin juga menyukai