Anda di halaman 1dari 3

MENSIKAPI TAKDIR ALLAH SWT

Suatu hal yang pasti tidak akan luput dari keseharian kita adalah permasalahan hidup, dimanapun,
kapanpun, apapun dan dengan siapapun, semuanya adalah berpotensi masalah. Namun andaikata kita
cermati dengan seksama ternyata dengan persoalan yang persis sama, sikap orangpun berbeda-beda,
ada yang begitu panik, goyah, kalut, stress tapi ada pula yang menghadapinya dengan begitu mantap,
tenang atau bahkan malah menikmatinya.
Jadi masalah yang sesungguhnya bukan terletak pada persoalannya melainkan pada sikap terhadap
persoalan tersebut. Oleh karena itu siapapun yang ingin menikmati hidup ini dengan baik, benar, indah
dan bahagia adalah mutlak harus terus menerus meningkatkan ilmu dan keterampilan dirinya dalam
menghadapi persoalan tersebut.
Setidaknya ada 5 kiat dalam menghadapi permasalahan kehidupun ini, khususnya untuk hal-hal yang
sudah terjadi (takdir), yaitu:
1. Siap
Siap menghadapi yang cocok dengan yang diinginkan dan siap menghadapi yang tidak cocok dengan
keinginan. Kita memang diharuskan memiliki keinginan, cita-cita, rencana yang benar dan wajar dalam
hidup ini, bahkan kita sangat dianjurkan untuk gigih berikhtiar mencapai apapun yang terbaik bagi
dunia akhirat, semaksimal kemampuan yang Allah SWT berikan kepada kita.
Namun bersamaan dengan itu kitapun harus sadar-sesadarnya bahwa kita hanyalah makhluk yang
memiliki sangat banyak keterbatasan untuk mengetahui segala hal yang tidak terjangkau oleh daya
nalar dan kemampuan kita.
Ketahuilah kita punya rencana, dan Allah SWT pun punya rencana, dan yang pasti terjadi adalah
apa yang menjadi rencana Allah SWT, karena Allahlah perencana yang terbaik.
Yang lebih lucu serta menarik dalam mensikapi kejadian, yaitu kita sering marah dan kecewa dengan
suatu kejadian namun setelah waktu berlalu ternyata “kejadian” tersebut begitu menguntungkan dan
membawa hikmah yang sangat besar dan sangat bermanfaat, jauh lebih baik dari apa yang diharapkan
sebelumnya.
Kita tidak tahu apa dibalik rencana Allah SWT terhadap diri kita dan keluarga kita.
Oleh karena itu bulatkan tekad, sempurnakan ikhtiar namun hati harus tetap menyerahkan
segala keputusan dan kejadian yang terjadi…adalah yang terbaik atas kehendak & ijin Allah
SWT. Dan siapkan mental kita sebagai hamba Allah untuk menerima apapun yang akan terjadi.
Allah berfirman, 
“Boleh jadi engkau tidak menyukai sesuatu padahal bagi Allah itu lebih baik bagimu, dan boleh jadi
engkau menyukai sesuatu padahal dalam pandangan Allah itu buruk bagimu” (Al-Baqarah [2]: ayat
216)

Sebagai contoh, kalau mau mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri, berjuanglah sungguh-
sungguh untuk diterima di tempat yang dicita-citakan, namun siapkan pula diri ini andai kata Allah
Yang Maha Tahu bakat, karakter dan kemampuan kita sebenarnya akan menempatkan di tempat yang
lebih cocok, walaupun tidak sesuai dengan rencana sebelumnya. Melamar kerja, lamarlah dengan
penuh kesungguhan, namun hati harus siap… andai kata Allah berkehendak lain, tidak mengijinkan
karena Allah tahu tempat jalan rejeki yang lebih berkah. Demikianlah dalam segala urusan apapun
yang kita hadapi, hasilnya semuanya tergantung Allah SWT.
2. Ridha
Siap menghadapi apa pun yang akan terjadi, satu-satunya langkah awal yang harus dilakukan adalah
mengolah hati kita agar ridha/ikhlas akan kenyataan yang ada. Mengapa demikian? Karena walaupun
dongkol, uring-uringan dan kecewa berat, tetap saja kenyataan itu sudah terjadi. Pendek kata, ridha
atau tidak, kejadian itu tetap sudah terjadi. Maka, lebih baik hati kita ridha & ikhlas menerimanya.
Misalnya, kita menyuruh anak perempuan kita yang masih SMP untuk memasak nasi, tetapi gagal dan
malah menjadi bubur. Andaikata kita muntahkan kemarahan, tetap saja nasi telah menjadi bubur, dan
tidak marah pun tetap bubur. Maka, daripada marah menzalimi orang lain dan memikirkan sesuatu
yang membuat hati mendidih, lebih baik pikiran dan tubuh kita disibukkan pada hal yang lain, seperti
mencari bawang goreng, ayam, seledri, keripik, dan kecap supaya bubur tersebut bisa dibuat bubur
ayam spesial. Dengan demikian, selain perasaan kita senang, nasi yang gagal pun tetap bisa dinikmati
dengan lezat.
Kalau kita sedang jalan-jalan, tiba-tiba ada batu kecil nyasar entah dari mana dan mendarat tepat di
kening kita, hati kita harus ridha, karena tidak ridha pun tetap benjol. Tentu saja, ridha atau rela
terhadap suatu kejadian bukan berarti pasrah total sehingga tidak bertindak apa pun. Itu adalah
pengertian yang keliru. Pasrah/ridha hanya amalan, hati kita menerima kenyataan yang ada, tetapi
pikiran dan tubuh wajib ikhtiar untuk memperbaiki kenyataan dengan cara yang diridhai
Allah. Kondisi hati yang tenang atau ridha ini sangat membantu proses ikhtiar menjadi positif,
optimal, dan bermutu.
Orang yang stress adalah orang yang tidak memiliki kesiapan mental untuk menerima kenyataan yang
ada. Selalu saja pikirannya tidak realistis, tidak sesuai dengan kenyataan, Misalkan tanah warisan telah
dijual tahun yang lalu dan saat ini ternyata harga tanah tersebut melonjak berlipat ganda. Orang-orang
yang malang selalu saja menyesali mengapa dahulu tergesa-gesa menjual tanah. Kalau saja mau
ditangguhkan, niscaya akan lebih beruntung. Itulah contoh orang yang tidak pernah ridha atas apa-apa
yang sudah terjadi.
Ketahuilah, hidup ini terdiri dari berbagai episode yang tidak monoton. Ini adalah kenyataan hidup,
kenanglah perjalanan hidup kita yang telah lalu dan kita harus benar-benar arif menyikapi setiap
episode dengan lapang dada, kepala dingin, dan hati yang ikhlas. Jangan selimuti diri dengan  keluh
kesah karena semua itu tidak menyelesaikan masalah, bahkan bisa jadi memperparah masalah. Dengan
demikian, hati harus ridha menerima apa pun kenyataan yang terjadi sambil ikhtiar memperbaiki
kenyataan pada jalan yang diridhai Allah SWT.
3. Optimis
Andaikata kita mau jujur, sesungguhnya kita ini paling hobi mengarang, mendramatisasi, dan
mempersulit diri. Sebagian besar penderitaan kita adalah hasil dramatisasi perasaan dan pikiran
sendiri. Selain tidak pada tempatnya, pasti ia juga membuat masalah akan menjadi lebih besar, lebih
seram, lebih dahsyat, lebih pahit, lebih gawat, lebih pilu daripada kenyataan yang aslinya, Tentu pada
akhirnya kita akan merasa jauh lebih nelangsa, lebih repot di dalam menghadapinya/mengatasinya.
Orang yang menghadapi masa pensiun, terkadang jauh sebelumnya sudah merasa sengsara. Terbayang
di benaknya saat gaji yang kecil, yang pasti tidak akan mencukupi kebutuhannya. Padahal, saat masih
bekerjapun gajinya sudah pas-pasan. Ditambah lagi kebutuhan anak-anak yang kian membengkak,
anggaran rumah tangga plus listrik, air, cicilan rumah yang belum lunas dan utang yang belum
terbayar.
Begitu banyak orang yang sudah pensiun ternyata tidak segawat yang diperkirakan atau bahkan jauh
lebih tercukupi dan berbahagia daripada sebelumnya. Apakah Allah SWT yang Mahakaya akan menjadi
kikir terhadap para pensiunan, atau terhadap kakek-kakek dan nenek-nenek? Padahal, pensiun
hanyalah salah satu episode hidup yang harus dijalani yang tidak mempengaruhi janji dan kasih sayang
Allah.
Maka didalam menghadapi persoalan apapun jangan hanyut tenggelam dalam pikiran yang salah. Kita
harus tenang, menguasai diri seraya merenungkan janji dan jaminan pertolongan Allah SWT.
Bukankah kita sudah sering melalui masa-masa yang sangat sulit dan ternyata pada akhirnya bisa
lolos? Yakinlah bahwa Allah yang Maha Tahu segalanya pasti telah mengukur ujian yang menimpa kita
sesuai dengan dosis yang tepat dengan keadaan dan kemampuan kita. Allah berfirman,
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan, dan sesudah kesulitan itu pasti
ada kemudahan” (Al-Insyirah [94]: ayat 5-6).

Sampai dua kali Allah SWT menegaskan janji-Nya. Tidak mungkin dalam hidup ini terus menerus
mendapatkan kesulitan karena dunia bukanlah Neraka. Demikian juga tidak mungkin dalam hidup ini
terus menerus memperoleh kelapangan dan kemudahan karena dunia bukanlah Surga. Keduanya,
kesulitan dan kemudahan dipergilirkan dengan keadilan Allah SWT.
4. Entrospeksi Diri
Ketahuilah, hidup ini bagaikan gema di pegunungan: apa yang kita bunyikan, suara itu pulalah yang
akan kembali kepada kita. Artinya, segala yang terjadi pada kita adalah buah dari apa yang kita
lakukan.
Allah berfirman,
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat
balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan
melihat balasannya pula” (Al-Zalzalah [99]: ayat 7 & 

Andaikata ada batu yang menghantam kening kita, selain hati harus ridha, kita pun harus merenung,
mengapa Allah menimpakan batu ini tepat ke kening kita, padahal lapangan begitu luas dan kepala ini
begitu kecil? Bisa jadi semua ini adalah peringatan bahwa kita sangat sering lalai bersujud. Allah tidak
menciptakan sesuatu kejadian dengan sia-sia, pasti segalanya ada hikmahnya. Dompet hilang?
Mengapa dari satu bus, hanya kita yang ditakdirkan kehilangan dompet? Jangan sibuk menyalahkan
pencopet karena memang sudah jelas ia salah dan memang begitu pekerjaannya. Coba renungkankah:
 Bisa jadi kita ini termasuk si kikir, si pelit, dan Allah Maha tahu jumlah zakat dan sedekah
yang harus dikeluarkan, dan ternyata masih juga belum kita zakati. Tidak ada kesulitan
bagi-Nya untuk mengambil apapun yang dititipkan kepada hamba-hamba-Nya.
 Bisa jadi harta yang kita miliki ini kita genggam erat-erat, padahal didalam harta kita … kita
diberi amanah oleh Allah SWT untuk memberikan kepada fakir miskin minimal 2,5 %, hal ini
belum kita laksanakan. Maka tidak ada kesulitan bagi Allah untuk mengeluarkan harta kita
secara paksa… bisa melalui cobaan sakit yang menghabiskan ratusan juta rupiah, cobaan
mobil yang dicuri orang, cobaan ditipu orang puluhan juta dengan iming-iming hadiah
mobil, dll.

Jadikanlah setiap masalah sebagai sarana efektif untuk mengevaluasi dan memperbaiki diri karena hal
itulah yang menjadi keuntungan bagi diri dan dapat mengundang pertolongan Allah SWT.
5. Hanya Bergantung kepada Allah.
Sesungguhnya tidak akan terjadi sesuatu kecuali dengan izin Allah. Baik berupa musibah maupun
nikmat. Walaupun bergabung jin dan manusia seluruhnya untuk mencelakakan kita, demi Allah tidak
akan jatuh satu lembar daunpun tanpa izin-Nya. Begitupun sebaliknya, walaupun bergabung jin dan
manusia menjanjikan akan menolong atau memberi sesuatu, tidak pernah akan datang rejeki satu
senpun tanpa izin-Nya. Mati-matian kita ikhtiar dan meminta bantuan siapapun, tanpa izin-Nya tak
akan pernah terjadi yang kita harapkan.
Maka, sebodoh-bodoh kita adalah orang yang paling berharap dan takut kepada selain Allah SWT.
Tiada daya dan tiada upaya kecuali pertolongan Allah Yang Maha Agung.
Pendek kata, jangan takut menghadapi masalah, tetapi takutlah tidak mendapat pertolongan Allah
SWT dalam menghadapinya. Tanpa pertolongan-Nya, kita akan terus berkelana dalam kesulitan,
dari satu persoalan ke persoalan lain.

Insya Allah, masalah yang ada dalam kehidupan ini, jika disikapi dengan hati yang ridha & ikhlas,
akan menjadikan hidup kita ini jauh lebih bermutu, mulia, bermakna dan terhormat baik di dunia
maupun diakhirat kelak.

Anda mungkin juga menyukai