Anda di halaman 1dari 3

Di dalam Al Qur'an Allah azza wa jall mengajarkan kita tentang satu hal, yang jika kita bisa menggapainya

dalam hidup ini, ia jauh lebih berharga dari apapun di dunia. Segalanya akan menjadi biasa-biasa saja
(maksudnya dunia tidak lagi menggiurkan - pent.) jika kita bisa memilikinya. dan hal itu adalah kedekatan
kita kepada Allah. Memiliki hubungan baik dengan ALlah dan benar-benar mendekatkan diri kepada-Nya.
Yang terjadi pada manusia adalah, ketika hidup sedang enak-enaknya, banyak diantara kita yang lalai.
Main game, noton film dan drama, buka sosmed, nongkrong, hangout bareng temen, tidur, Allah
dilupakan. Seolah-olah Allah hilang dari kehidupannya.

hingga kemudian musibah datang. tapi di saat musibah itu menimpa, teman2 malah menjauh, main
game juga sudah nggak ada feel nya, nongkrong nggak bisa, mau jalan nggak bisa, sebab Allah cabut
nikmat sehat dari tubuhnya. Saat itulah semua kesenangan yang kita kerjakan tidak lagi berarti. Satu-
satunya YAng kita perdulikan adalah bagaimana caranya bisa bangun dari tempat tidur dan segera pulang
dari rumah sakit. "Alangkah nikmatnya andai aku bisa jalan lagi." Dibawakan makan favorit kita kada
beliur, dibawakan film mau nonton juga udah males, semua kesenangan yang dulunya penting dan
mejadi bagian yang tidak terlepaskan dalam hidup kita, sudah tidak lagi kita perdulikan. Bodo amat.
Hanya karena satu nikmat Allah cabut dari hidup kita.

Maka pada saat itu, kita memiliki dua pilihan. Jika kita termasuk orang yang berdiri di tepi jurang, maka
kita akan mulai mengeluh kepada ALlah. Ya Allah kenapa kau timpakan ini kepadaku? Engkau tidak suka
melihatku bahagia, Ya Allah? Atau kita bisa meraih nikmat terbesar yang bisa kita raih dalam hidup, yaitu
penghambaan dan kedekatan diri kita kepada ALlah. kemampuan untuk menyadari bahwa bahkan saat
kita sehat, saat kita berkecukupan harta, saat segalanya berjalan lancar dan hidup kita baik-baik saja,
bahwa semua itu kita raih sebagai subsidi dari ALlah. ALlah yang meyediakan kebutuhan kita setiap saat
dan tidak ada satupun yang kita dapatkan sebab kemampuan kita sendiri. Tidak satupun hal itu yang
memang pantas kita meraihnya.

Untuk inilah Allah azza wajalla katakan [ulaika lahum nasibum mimma kasabu]. Allah bahkan
menjelaskan dalam kitabNya yang mulia mengenai Fadl. [wabtaghu fadlan minallah] bukan [kasabam
minallah]. Kita tidak bisa meraih sesuatu. Segalanya yang kita punya adalah rahmat dari Allah. Tapi kita
tidak sadar, sebab segalanya mudah. Tapi kemudian ketika musibah datang, baru kita mulai memohon
kepada ALlah, meminta, menangis, sholat lebih khusyu' dari sebelumnya, berusaha dengan sungguh2
mendekat kepada ALlah, lalu Allah sembuhkan penyakit dan hati kita. Dan akhirnya kita sadar, saat
dimana kita sendirian di terbaring sakit, sendirian menangis bermunajat kepada ALlah, saat itulah
momen terindah dalam kehidupan kita. Satu-satunya saat dimana kita merasa dekat, seolah tidak ada
jarak antara kita dengan ALlah. Dan bisa jadi saat itulah yang nanti akan menyelamatkan kita di akhirat
kelak dari siksa neraka. Maka saat itulah yang merupakan anugerah/nikmat/rahmat terbesar dari Allah
untuk kita.

Tapi buat orang-orang yang berdiri di tepi jurang, ketika kesusahan melanda, [fa in asobathu fitnatun
inqolaba ‘ala wajhihi] ia berpaling dari Allah. Apa maksudnya? Maksudnya “aku tidak mau berurusan lagi
sama Allah. Bisa2nya Allah menelantarkanku, bisa2nya Allah menimpakan kesusahan kepadaku, kenapa
Allah lakukan ini padaku”. Tapi sebenarnya hal ini bisa dipahami di era industri 4.0 saat ini sebagaimana
yang kita tahu bahwa kita hidup di masyarakat yang hiperkonsumtif, dimana segalanya serba instan. Ingin
hiburan, tinggal buka aplikasi di handphone. Ingin beli sesuatu tinggal buka amazon, barangnya datang
sendiri, segalanya menjadi terlalu mudah dan instan. Ingin sesuatu, sesuatu itu yang akan mendatangi
kita, kita tidak perlu bergerak kemana2. Segalanya cepat-cepat-cepat. Kita terlalu terbiasa dilayani
sekarang. Dan kalau satu pesanan Anda terlambat dua atau tiga hari saja, dengan mudahnya kita
memberi bintang satu, jempol ke bawah, bad rating, beginilah kondisi kita sekarang. Nah sekarang kita
berdoa kepada Allah, berharap Allah menyelesaikan masalah kita, tapi kita terlalu terbiasa mendapatkan
segalanya secara instan, jika tidak, tentu anda sudah menilai ini service yang buruk, saya ingin customer
service yang lebih baik dari ini, lalu kita memutuskan untuk tidak datang kepada Allah lagi dan menaruh
pesanan (place an order). Sebab merasa sebagai pelanggan (pelanggan adalah raja) sehingga
berpalinglah dari Allah seraya berkata, “Allah tidak mendengarkan permohonanku. Allah tidak
menyelesaikan masalahku”

Kita harus paham bahwa Allah punya rencana untuk setiap individu. Sebagai perbandingan, dalah kisah
Ya’qub a.s yang kehilangan anaknya. Allah kembailkan anak beliau a.s setelah bertahun2 lamanya.
Sedangkan dalam kisah nabi Musa a.s ibunya juga kehilangan anak yang ia larutkan di sungai nil. Tapi
allah kembalikan nabi musa a.s hanya beberapa jam setelah berpisah dari ibunya. Dimana saat musa a.s
mulai lapar, yang memberikan ASI adalah ibunya sendiri sebab Musa a.s tidak mau menyusu dari orang
lain. Apa maksudnya? Terkadang di dunia ini, Allah akan mengangkat penderitaan dan menjawab doa
kita secepatnya, kadang setelah bertahun2. Tapi dalam semua itu adalah kebaikan bagi kita.

Saya suka sekali cerita nabi Yusuf a.s karena kebaikan di dalamnya. Bertahun2 ayahnya menangisi (yusuf)
sampai ayahnya (yaqub) kehilangan penglihatannya sebagaimana disebutkan dalam al quran
(wabyaddhot ainahu) yang menurut beberapa ulama seperti alusi rha yaqub menjadi buta karena terlalu
banyak menangis. Tapi dimana yusuf? Yusuf menjadi budak, kemudian dipenjara bertahun2 lamanya.
Bukanlah kehidupan yang mudah. Tapi pada akhirnya ketika yusuf menafsirkan mimpi Raja ... (jelaskan
mimpinya) ... seandainya yusuf a.s tidak dipenjara ia tidak akan pernah bisa menafsirkan mimpi itu dan
memberikan solusi atas kekeringan yang melanda mesir (sesuai mimpi sang Raja), ratusan ribu bahkan
jutaan orangtua tidak perlu menangisi kehilangan anak2 mereka karena bencana kelaparan. Satu orang
ayah menangis selama beberapa tahun, tapi Allah jadikan airmatanya penyelamat bagi ratusan ribu
keluarga. Terkadang kesulitan yang harus kita jalani bukan hanya mengandung kebaikan bagi kita sendiri,
tapi bisa jadi melalui kesulitan yang kita alami menjadi sodaqoh jariyah untuk banyak orang lain dan kita
tidak tahu itu.

Tapi kalau kita di tepi jurang, kita tidak akan punya keyakinan seperti itu kepada Allah sehingga kita
berpaling dari-Nya [inqalaba ala wajhihi]. Lalu Allah katakan [khasirad dunya wal akhirah]. Jika kita
termasuk yang demikian, maka sungguh kita telah merugi di dunia dan di akhirat. Padahal jika kita
bersabar, sebagaimana yang Allah katakan [laqad khalaqnal insana fii kabad] telah kami ciptakan
manusia dalam keadaan bersusah payah. Apakah kita beriman atau tidak, semua manusia itu memang
susah hidupnya, bukan? Apakah jika kita beriman lantas hidup kita menjadi mudah? Tidak bukan? Kita
beriman atau tidak, mencari nafkah tetap akan sulit, melawan penyakit tetap akan sulit,
menjalanimusibah tetap akan sulit. Tapi jika kita bisa menjalani musibah ini dengan iman dalam dada,
maka kita akan meraih kebaikan di dunia ini dan diakhirat. Kita akan meraih ketenangan jiwa yang tidak
semua orang bisa mendapatkannya.
Kita sakit, orang yang tidak beriman pun sakit. Tapi dalam keadaan sakit itu, kita bisa menemukan
kedamaian dan ketenangan, sedangkan mereka tidak. Kita kesulitan keuangan, orang tidak beriman juga
kesulitan keuangan. Sama saja bentuk kesulitannya, tapi hati kita tetap lapang. Allah anugerahkan
kepada kita qana’ah dan sakinah, pahala serta ridho dariNya dan mereka (kafir) menderita lahir batin.

Khasirad dunya wal akhirah itu menderita di dunia juga di akhirat. Untuk inilah kita memohon kepada
Allah rabbana atinaa fid dunya hasanah wa fil aakhirati hasanah. Maksud hasanah adalah, ketika kita
meminta kepada Allah kebaikan maka kebaikan itu yang baik luar dalam, nikmat, lezat, menenangkan
untuk dunia kita dan juga akan menjadi baik untuk akhirat kita. Inilah rabbana atinaa fid dunya hasanah
wa fil aakhirati hasanah. Maka jika kita berpaling, rugilah kita di dunia dan di akhirat. Al quran memiliki
tiga kata untuk kerugian, khusr (innal insana lafii khusr), kemudian khasaaran, dan khusraan. Khusraan
adalah maslaf sighah mubalaghah, seburuk2nya kerugian yang bisa kita terima dan kita banyangkan. Dari
segala kerugian yang Allah jelaskan di dalam AL Quran, inilah kerugian yang serugi2nya. Seseorang yang
pada mulanya beriman, tapi kehilangan keimanannya kepada Allah ketika musibah datang kepadanya.
Maka hasilnya sudah pasti ia akan rugi di kehidupan ini dan kehidupan selanjutnya.

Di dalam surah al mukminun allah katakan bahwa orang2 yg beriman itu adalah orang2 yang mewarisi
firdaus [alladziina yaritsuunal firdaus]. Suatu keanehan, mengingat di banyak tempat lain Allah berfirman
[yadkhuluunal jannah] orang2 yang akan memasuki surga. Tapi di surah al mukminun disebutkan akan
mewarisi firdause. Kita tahu bahwa pewarisan hanya bisa terjadi pada sesuatu yang sudah dimiliki
keluarga kita sejak orang tua kita atau nenek moyang kita. Ada dua penafsiran mengenai hal ini, yang
pertama bahwa surga/firdaus memang sudah hak adam sebelum Allah turunkan ke dunia, sehingga anak
keturunan adam pun berhak mewarisinya. Sedangkan yang kedua sebagaimana disebutkan dalam hadits
qudsi bahwa Allah sudah membagun rumah bagi setiap individu manusia di firdaus, surga tertinggi,
bukan hanya bagi manusia yang beriman, tetapi semua manusia. Tapi banyak diantara manusia yang
enggan meraihnya. Sehingga ketika orang2 beriman memasuki firdaus, akan ada banyak rumah2 yang
kosong sebab penghuninya masuk kedalam neraka. Mudah2an Allah menjadikan kita termasuk orang2
yang mewarisi rumah2 yang sudah menjadi hak kita di firdausil a’la, dan bukan orang2 yang rumahnya
kosong, sebab Allah sudah mengharapkan dengan ketetapan asalnya bahwa kita semua ini akan masuk
firdaus, jangan kacaukan ketentuan itu dengan berpaling dariNya hanya karena cobaan di dunia yang
sifatnya sementara. Jangan sampai kita jatuh kedalam jurang dan kehilangan iman kita kepada Allah.
Mari kita lihat kesusahan ini sebagai tes dari Allah, seberapa inginnya kita masuk surga, dan seberapa
maunya kita berusaha untuk meraihnya. Semoga Allah subhanahu wata’ala membantu kita dalam
kesusahan kita, dan semoga Allah tidak membiarkan kita kehilangan keimanan kita dalam masa2 sulit.

Anda mungkin juga menyukai