memiliki semangat jihad dan kesabaran dalam menghadapi cobaan, lebih-lebih setelah berpisah dengan
suami dan anak-anaknya. Berkat kematangan berpikir dan ketepatan dalam mengambil keputusan, dia
mendapatkan kedudukan mulia di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Di dalam sirah Ummahatul
Mukminin dijelaskan tentang banyaknya sikap mulia dan peristiwa penting darinya yang dapat diteladani
kaum muslimin, baik sikapnya sebagai istri yang selalu menjaga kehormatan keluarga maupun sebagai
pejuang di jalan Allah.
Cobaan Datang
Karena orang-orang Quraisy masih saja menyiksa kaum muslimin, akhirnya Allah membuka hati
penduduk Madinah untuk menerima Islam. Kemudian Rasulullah mengizinkan kaum muslimin untuk hijrah
ke sana, baik secara kelompok maupun perorangan. Abu Salamah, istri, dan anaknya (Salamah) hijrah ke
sana. Di tengah perjalanan mereka dihadang oleh kaum Bani Makhzum (kaumnya Ummu Salamah) yang
kemudian merampas serta menyandera Ummu Salamah. Keluarga Abu Salamah (Bani Asad) ikut campur
tangan dan mereka menolak menyerahkan Salamah, bahkan si anak dirampas dan dijauhkan dari ibunya.
Sedangkan Bani Makhzum menculik Ummu Salamah dan dipenjara. Adapun Abu Salamah dibiarkan ke
Yatsrib dengan hati penuh kesedihan karena harus berpisah dengan istri dan anaknya.
Keadaan demikian berjalan kurang lebih setahun lamanya. Ummu Salamah terus-menerus menangis
karena kecewa atas perbuatan kaumnya, sehingga akhirnya ada seorang laki-laki dari kaumnya yang
merasa iba dan membiarkan Ummu Salamah menyusul suaminya di Madinah. Adapun Bani Asad
menyerahkan kembali putranya, Salamah, kepadanya. Akan tetapi, banyak rintangan yang harus dia
hadapi, dan berkat keimanan dan keinginan yang kuat, dia mampu mengatasi semua itu dan tiba di
Madinah.
Di Rumah Rasulullah
Rasulullah mulai memikirkan perkara Ummu Salamah, seorang mukminah mujahidah yang memiliki
kesabaran, dan Ummu Salamah pun telah menolak lamaran dua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar.
Rasulullah pun berpikir dengan penuh pertimbangan dan kasih sayang untuk tidak membiarkannya larut
dalam kesedihan dan kesendirian.
Dalam keadaan seperti itu Rasulullah mengutus Hathib bin Abi Balta’ah menemui Ummu Salamah dengan
maksud meminangnya untuk beliau. Maka oleh Ummu Salamah diterimanya pinangan tersebut.
Bagaimana mungkin baginya untuk tidak menerima pinangan dari orang yang lebih baik dari Abu
Salamah, bahkan lebih baik dan semua orang di dunia.
Dengan perkawinan tersebut maka Ummu Salamah termasuk kalangan Ummahatul- Mukminin, dan oleh
Rasulullah ia ditempatkan di kamar Zainab binti Khuzaimah yang digelari Ummul-Masakin (ibu bagi orang-
orang miskin) sampai Ummu Salamah meninggal dunia.
Hal itu diceritakan oleh Ummu Salamah kepada kami. Ia berkata, “Aku dipersunting oleh Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam, lalu aku dipindahkan dan ditempatkan di rumah Zainab (ummul- masakiin).”
Beberapa keistimewaan yang dimiliki Ummu Salamah adalah ketajaman logika, kematangan berpikir, dan
keputusan yang benar atas banyak perkara. Karena itu, ia memiliki kedudukan yang agung di sisi
RasulullahShallallahu ‘Alaihi Wasallam, seperti interaksinya dengan para Ummahatul-Mukminin yang
merupakan interaksi yang diliputi rasa kasih sayang dan kelemah-lembutan.
Saat Wafatnya
Pada tahun ke-59 hijriah, usia Ummu Salamah telah mencapai 84 tahun. Usia tua dan pikun merambah di
pertambahan umurnya. Allah ta’ala mengangkat ruhnya yang suci naik ke atas menuju hadirat-Nya. Ia
meninggal dunia setelah hidup dengan aktivitas yang dipenuhi oleh pengorbanan, jihad, dan kesabaran di
jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Beliau dishalatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhudan dikuburkan di al-Baqi’ di samping kuburan Ummahatul-Mukminin lainnya.
Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Ummu Salamah dan semoga Allah memberinya
tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Hafshah binti Umar bin Khaththab adalah putri seorang laki-laki yang terbaik dan mengetahui hak-hak
Allah dan kaum muslimin. Umar bin Khaththab adalah seorang penguasa yang adil dan memiliki hati yang
sangat khusyuk. Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah merupakan bukti cinta kasih beliau kepada
mukminah yang telah menjanda setelah ditinggalkan suaminya, Khunais bin Hudzafah as-Sahami, yang
berjihad di jalan Allah, pernah berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan gugur dalam Perang
Badar. Setelah suami anaknya meninggal, dengan perasaan sedih, Umar menghadap Rasulullah untuk
mengabarkan nasib anaknya yang menjanda. Ketika itu Hafshah berusia delapan belas tahun. Mendengar
penuturan Umar, Rasulullah memberinya kabar gembira dengan mengatakan bahwa beliau bersedia
menikahi Hafshah.
Jika kita menyebut nama Hafshah, ingatan kita akan tertuju pada jasa-jasanya yang besar terhadap kaum
muslimin saat itu. Dialah istri Nabi yang pertama kali menyimpan Al-Qur’an dalam bentuk tulisan pada
kulit, tulang, dan pelepah kurma, hingga kemudian menjadi sebuah kitab yang sangat agung.
Nasab dan Masa Petumbuhannya
Nama lengkap Hafshah adalah Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin Riyah bin
Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah. Ibunya adalah Zainab binti
Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara perempuan Utsman bin Madh’un. Hafshah
dilahirkan pada tahun yang sangat terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasullullah
memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah dibangun kembali setelah roboh karena
banjir. Pada tahun itu juga dilahirkan Fathimah az-Zahra, putri bungsu Rasulullah dari empat putri, dan
kelahirannya disambut gembira oleh beliau. Beberapa hari setelah Fathimah lahir, lahirlah Hafshah binti
Umar bin Khaththab. Mendengar bahwa yang lahir adalah bayi wanita, Umar sangat berang dan resah,
sebagaimana kebiasaan bapak-bapak Arab Quraisy ketika mendengar berita kelahiran anak
perempuannya. Waktu itu mereka menganggap bahwa kelahiran anak perempuan telah membawa aib
bagi keluarga. Padahal jika saja ketika itu Umar tahu bahwa kelahiran anak perempuannya akan
membawa keberuntungan, tentu Umar akan menjadi orang yang paling bahagia, karena anak yang
dinamai Hafshah itu kelak menjadi istri Rasulullah. Di dalam Thabaqat, Ibnu Saad berkata, “Muhammad
bin Umar berkata bahwa Muhammad bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya, Umar mengatakan,
‘Hafshah dilahirkan pada saat orang Quraisy membangun Ka’bah, lima tahun sebelum Nabi diutus menjadi
Rasul.”
Sayyidah Hafshah Radhiyallahu ‘anha dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Umar bin Khaththab.
Dalam soal keberanian, dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas.
Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sama dengan ayahnya. Kelebihan lain yang dimiliki Hafshah
adalah kepandaiannya dalam membaca dan menulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim
dimiliki oleh kaum perempuan.
Memeluk Islam
Hafshah tidak termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam, karena ketika awal-awal
penyebaran Islam, ayahnya, Umar bin Khaththab, masih menjadi musuh utama umat Islam hingga suatu
hari Umar tertarik untuk masuk Islam. Ketika suatu waktu Umar mengetahui keislaman saudara
perempuannya, Fathimah dan suaminya Said bin Zaid, dia sangat marah dan berniat menyiksa mereka.
Sesampainya di rumah saudara perempuannya, Umar mendengar bacaan Al-Qur’an yang mengalun dari
dalam rumah, dan memuncaklah amarahnya ketika dia memasuki rumah tersebut. Tanpa ampun dia
menampar mereka hingga darah mengucur dari kening keduanya. Akan tetapi, hal yang tidak terduga
terjadi, hati Umar tersentuh ketika meihat darah mengucur dari dahi adiknya, kemudian diambilnyalah Al
Qur’an yang ada pada mereka. Ketika selintas dia membaca awal surat Thaha, terjadilah keajaiban. Hati
Umar mulai diterangi cahaya kebenaran dan keimanan. Allah telah mengabulkan doa Nabi yang
mengharapkan agar Allah membuka hati salah seorang dari dua Umar kepada Islam. Yang dimaksud
Rasulullah dengan dua Umar adalah Amr bin Hisyam atau lebih dikenal dengan Abu Jahl dan Umar bin
Khaththab.
Setelah kejadian itu, dari rumah adiknya dia segera menuju Rasulullah dan menyatakan keislaman di
hadapan beliau, Umar bin Khaththab bagaikan bintang yang mulai menerangi dunia Islam serta mulai
mengibarkan bendera jihad dan dakwah hingga beberapa tahun setelah Rasulullah wafat. Setelah
menyatakan keislaman, Umar bin Khaththab segera menemui sanak keluarganya untuk mengajak mereka
memeluk Islam. Seluruh anggota keluarga menerima ajakan Umar, termasuk di dalamnya Hafshah yang
ketika itu baru berusia sepuluh tahun.
Cobaan Besar
Hafshah senantiasa bertanya kepada Rasulullah dalam berbagai masalah, dan hal itu menyebabkan
marahnya Umar kepada Hafshah, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa
memperlakukan Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Beliau bersabda, “Berwasiatlah
engkau kepada kaum wanita dengan baik.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah marah besar
kepada istri-istrinya ketika mereka meminta tambahan nafkah sehingga secepatnya Umar mendatangi
rumah Rasulullah. Umar melihat istri-istri Rasulullah murung dan sedih, sepertinya telah terjadi
perselisihan antara mereka dengan Rasulullah. Secara khusus Umar memanggil putrinya, Hafshah, dan
mengingatkannya untuk menjauhi perilaku yang dapat membangkitkan amarah beliau dan menyadari
bahwa beliau tidak memiliki banyak harta untuk diberikan kepada mereka. Karena marahnya, Rasulullah
bersumpah untuk tidak berkumpul dengan istri-istri beliau selama sebulan hingga mereka menyadari
kesalahannya, atau menceraikan mereka jika mereka tidak menyadari kesalahan. Kaitannya dengan hal
ini, Allah berfirman,
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala
perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu
secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di
kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian
pahala yang besar. “ (QS. Al-Ahzab)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjauhi istri-istrinya selama sebulan di dalam sebuah kamar yang
disebut khazanah, dan seorang budak bernama Rabah duduk di depan pintu kamar.
Setelah kejadian itu tersebarlah kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
telah menceraikan istri-istri beliau. Yang paling merasakan keresahan adalah Umar bin Khaththab,
sehingga dia segera menemui putrinya yang sedang menangis. Umar berkata, “Sepertinya Rasulullah
telah menceraikanmu.” Dengan terisak Hafshah menjawab, “Aku tidak tahu.” Umar berkata, “Beliau telah
menceraikanmu sekali dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau menceraikanmu sekali lagi, aku tidak
akan berbicara dengan mu selama-lamanya.” Hafshah menangis dan menyesali kelalaiannya terhadap
suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyendiri, belum ada
seorang pun yang dapat memastikan apakah beliau menceraikan istri-istri beliau atau tidak. Karena tidak
sabar, Umar mendatangi khazanah untuk menemui Rasulullah yang sedang menyendiri. Sekarang ini
Umar menemui Rasulullah bukan karena anaknya, melainkan karena cintanya kepada beliau dan merasa
sangat sedih melihat keadaan beliau, di samping memang ingin memastikan isu yang tersebar. Dia
merasa putrinyalah yang menjadi penyebab kesedihan beliau. Umar pun meminta penjelasan dari beliau
walaupun di sisi lain dia sangat yakin bahwa beliau tidak akan menceraikan istri – istri beliau. Dan
memang benar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan menceraikan istri-istri beliau sehingga
Umar meminta izin untuk mengumumkan kabar gembira itu kepada kaum muslimin. Umar pergi ke masjid
dan mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menceraikan istri-istri beliau. Kaum
muslimin menyambut gembira kabar tersebut, dan tentu yang lebih gembira lagi adalah istri-istri beliau.
Setelah genap sebulan Rasulullah menjauhi istri-istrinya, beliau kembali kepada mereka. Beliau melihat
penyesalan tergambar dari wajah mereka. Mereka kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk lebih
meyakinkan lagi, beliau mengumumkan penyesalan mereka kepada kaum muslimin. Hafshah dapat
dikatakan sebagai istri Rasul yang paling menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada Allah dengan
sepenuh hati dan menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah. Hafshah memperbanyak ibadah,
terutama puasa dan shalat malam. Kebiasaan itu berlanjut hingga setelah Rasulullah wafat. Bahkan pada
masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, dia mengikuti perkembangan penaklukan-penaklukan besar, baik
di bagian timur maupun barat.
Hafshah merasa sangat kehilangan ketika ayahnya meninggal di tangan Abu Lu’luah. Dia hidup hingga
masa kekhalifahan Utsman, yang ketika itu terjadi fitnah besar antar muslimin yang menuntut balas atas
kematian Khalifah Utsman hingga masa pembai’atan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu,
Hafshah berada pada kubu Aisyah sebagaimana yang diungkapkannya, “Pendapatku adalah sebagaimana
pendapat Aisyah.” Akan tetapi, dia tidak termasuk ke dalam golongan orang yang menyatakan diri
berba’iat kepada Ali bin Abi Thalib karena saudaranya, Abdullah bin Umar, memintanya agar berdiam di
rumah dan tidak keluar untuk menyatakan ba’iat.
Tentang wafatnya Hafshah, sebagian riwayat mengatakan bahwa Sayyidah Hafshah wafat pada tahun ke
empat puluh tujuh pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dia dikuburkan di Baqi’,
bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang lain.
Pemilik Mushaf yang Pertama
Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya Al-Qur’an di tangannya setelah mengalami
penghapusan karena dialah satu-satunya istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang pandai membaca dan
menulis. Pada masa Rasul, Al-Qur’an terjaga di dalam dada dan dihafal oleh para sahabat untuk kemudian
dituliskan pada pelepah kurma atau lembaran-lembaran yang tidak terkumpul dalam satu kitab khusus.
Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan Riddah
(peperangan melawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khaththab untuk mendesak
Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer. Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau
mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena pada zaman
Rasul hal itu tidak pernah dilakukan. Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu bakar akhirnya memerintah
Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya. Mushaf asli Al-Qur’an
itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal.
Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Hafshah Radhiyallahu ‘anha dan semoga Allah memberinya
tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Pernikahan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dengan Zainab binti Jahsy didasarkan pada perintah
Allah sebagai jawaban terhadap tradisi jahiliah. Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah yang berasal dan
kalangan kerabat sendiri. Zainab adalah anak perempuan dari bibi Rasulullah, Umaimah binti Abdul
Muththalib. Beliau sangat mencintai Zainab.
Nasab dan Masa Pertumbuhannya
Nama lengkap Zainab adalah Zainab binti Jahsy bin Ri’ab bin Ya’mar bin Sharah bin Murrah bin Kabir bin
Gham bin Dauran bin Asad bin Khuzaimah. Sebelum menikah dengan Rasulullah, namanya adalah Barrah,
kemudian diganti oleh Rasulullah menjadi Zainab setelah menikah dengan beliau. Ibu dari Zainab
bernama Umaimah binti Abdul-Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushai. Zainab dilahirkan di Mekah
dua puluh tahun sebelum kenabian. Ayahnya adalah Jahsy bin Ri’ab. Dia tergolong pernimpin Quraisy
yang dermawan dan berakhlak baik. Zainab yang cantik dibesarkan di tengah keluarga yang terhormat,
sehingga tidak heran jika orang-orang Quraisy menyebutnya dengan perempuan Quraisy yang cantik.
Zainab termasuk wanita pertama yang memeluk Islam. Allah pun telah menerangi hati ayah dan
keluarganya sehingga memeluk Islam. Dia hijrah ke Madinah bersama keluarganya. Ketika itu dia masih
gadis walaupun usianya sudah layak menikah.
Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengutus seseorang untuk mengabari Zainab tentang perintah
Allah tersebut. Betapa gembiranya hati Zainab mendengar berita tersebut, dan pesta pernikahan pun
segera dilaksanakan serta dihadiri warga Madinah.
Zainab mulai memasuki rumah tangga Rasulullah dengan dasar wahyu Allah. Dialah satu-satunya istri
Nabi yang berasal dari kerabat dekatnya. Rasulullah tidak perlu meminta izin jika memasuki rumah Zainab
sedangkan kepada istri-istri lainnya beliau selalu meminta izin. Kebiasaan seperti itu ternyata
menimbulkan kecemburuan di hati istri Rasul lainnya.
Orang-orang munafik yang tidak senang dengan perkembangan Islam membesar-besarkan fitnah bahwa
Rasulullah telah menikahi istri anaknya sendiri. Karena itu, turunlah ayat yang berbunyi,
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah
Rasulullah dan penutup nabi-nabi…. “ (Qs. Al-Ahzab: 40)
Zainab berkata kepada Nabi, “Aku adalah istrimu yang terbesar haknya atasmu, aku utusan yang terbaik
di antara mereka, dan aku pula kerabat paling dekat di antara mereka. Allah menikahkanku denganmu
atas perintah dari langit, dan Jibril yang membawa perintah tersebut. Aku adalah anak bibimu. Engkau
tidak memiliki hubungan kerabat dengan mereka seperti halnya denganku.” Zainab sangat mencintai
Rasulullah dan merasakan hidupnya sangat bahagia. Akan tetapi, dia sangat pencemburu terhadap istri
Rasul lainnya, sehingga Rasulullah pernah tidak tidur bersamanya selama dua atau tiga bulan sebagai
hukuman atas perkataannya yang menyakitkan hati Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab wanita Yahudiyah
itu.
Zainab bertangan terampil, menyamak kulit dan menjualnya, juga mengerjakan kerajinan sulaman, dan
hasilnya diinfakkan di jalan Allah.
Wafatnya
Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah yang pertama kali wafat menyusul beliau, yaitu pada tahun
kedua puluh hijrah, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dalam usianya yang ke-53, dan
dimakamkan di Baqi. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Zainab berkata menjelang ajalnya, “Aku
telah menyiapkan kain kafanku, tetapi Umar akan mengirim untukku kain kafan, maka bersedekahlah
dengan salah satunya. Jika kalian dapat bersedekah dengan semua hak-hakku, kerjakanlah dari sisi yang
lain.” Semasa hidupnya, Zainab banyak mengeluarkan sedekah di jalan Allah.
Tentang Zainab, Aisyah berkata, “Semoga Allah mengasihi Zainab. Dia banyak menyamaiku dalam
kedudukannya di hati Rasulullah. Aku belum pernah melihat wanita yang lebih baik agamanya daripada
Zainab. Dia sangat bertakwa kepada Allah, perkataannya paling jujur, paling suka menyambung tali
silaturahmi, paling banyak bersedekah, banyak mengorbankan diri dalam bekerja untuk dapat
bersedekah, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Selain Saudah, dia yang memiliki tabiat yang
keras.”
Semoga Allah memberikan kemuliaan kepadanya (Sayyidah Zainab Binti Jahsy) di akhirat dan
ditempatkan bersama hamba-hamba yang saleh. Amin.
Khadijah binti Khuwaild adalah sebaik-baik wanita ahli surga. Ini sebagaimana sabda Rasulullah, “Sebaik-baik wanita ahli
surga adalah Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid.” Khadijah adalah wanita pertama yang hatinya tersirami
keimanan dan dikhususkan Allah untuk memberikan keturunan bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam., menjadi
wanita pertama yang menjadi Ummahatul Mukminin, serta turut merasakan berbagai kesusahan pada fase awal jihad
pcnyebaran agama Allah kepada seluruh umat manusia.
Khadijah adalah wanita yang hidup dan besar di lingkungan Suku Quraisy dan lahir dari keluarga terhormat pada lima
belas tahun sebelum Tahun Gajah, sehingga banyak pemuda Quraisv yang ingin mempersuntingnya. Sebelum menikah
dengan Rasulullah, Khadijah pernah dua kali menikah. Suami pertama Khadijah adalah Abu Halah at-Tamimi, yang wafat
dengan meninggalkan kekayaan yang banyak, juga jaringan perniagaan yang luas dan berkembang. Pernikahan kedua
Khadijah adalah dengan Atiq bin Aidz bin Makhzum, yang juga wafat dengan meninggalkan harta dan perniagaan.
Dengan demikian, Khadijah menjadi orang terkaya di kalangan suku Quraisy.
Wanita Suci
Sayyidah Khadijah dikenal dengan julukan wanita suci sejak perkawinannya dengan Abu Halah dan Atiq bin Aidz karena
keutamaan akhlak dan sifat terpujinya. Karena itu, tidak heran jika kalangan Quraisy memberikan penghargaan dan
berupa penghormatan yang tinggi kepadanya.
Kekayaan yang berlimpahlah yang menjadikan Khadijah tetap berdagang. Akan tetapi, Khadijah merasa tidak mungkin
jika semua dilakukan tanpa bantuan orang lain. Tidak mungkin jika dia harus terjun langsung dalam berniaga dan
bepergian membawa barang dagangan ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam pada musim panas. Kondisi itulah yang
menyebabkan Khadijah mulai mempekerjakan beberapa karyawan yang dapat menjaga amanah atas harta dan
dagangannya. Untuk itu, para karyawannya menerima upah dan bagian keuntungan sesuai dengan kesepakatan.
Walaupun pekerjaan itu cukup sulit, bermodalkan kemampuan intelektual dan kecemerlangan pikiran yang didukung
oleh pengetahuan dasar tentang bisnis dan bekerjasama, Khadijah mampu menyeleksi orang-orang yang dapat diajak
berbisnis. Itulah yang mengantarkan Khadilah menuju kesuksesan yang gemilang.
Wafatnya Khadijah
Beberapa hari setelah pemboikotan, Abu Thalib jatuh sakit, dan semua orang meyakini bahwa sakit kali ini merupakan
akhir dari hidupnya. Dalam keadaan seperti itu, Abu Sufjan dan Abu Jahal membujuk Abu Thalib untuk menasehati
Muhammad agar menghentikan dakwahnya, dan sebagai gantinya adalah harta dan pangkat. Akan tetapi, Abu Thalib
tidak bersedia, dan dia mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam tidak akan bersedia menukar
dakwahnya dengan pangkat dan harta sepenuh dunia.
Abu Thalib meninggal pada tahun itu pula, maka tahun itu disebut sebagai ‘Aamul Huzni (tahun kesedihan) dalam
kehidupan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Sebaliknya, orang-orang Quraisy sangat gembira atas kematian Abu
Thalib itu, karena mereka akan lebih leluasa mengintimidasi Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam dan pengikutnya.
Pada saat kritis menjelang kematian pamannya, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam membisikkan sesuatu, Secepat ini
aku kehilangan engkau?
Pada tahun yang sama, Sayyidah Khadijah sakit keras akibat beberapa tahun menderita kelaparan dan kehausan karena
pemboikotan itu. Semakin hari, kondisi badannya semakin menurun, sehingga Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
semakin sedih. Bersama Khadijahlah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam membangun kehidupan rumah tangga yang
bahagia. Dalam sakit yang tidak terlalu lama, dalam usia enam puluh lima tahun, Khadijah meninggal, menyusul Abu
Thalib. Khadijah dikuburkan di dataran tinggi Mekah, yang dikenal dengan sebutan al-Hajun. Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam sendiri yang mengurus jenazah istrinya, dan kalimat terakhir yang beliau ucapkan ketika melepas kepergiannya
adalah: “Sebaik-baik wanita penghuni surga adalab Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid.”
Khadijah meninggal setelah mendapatkan kemuliaan yang tidak pernah dimiliki oleh wanita lain, Dia adalah Ummul
Mukminin istri Rasulullah yang pertama, wanita pertama yang mempercayai risalah Rasulullah, dan wanita pertama yang
melahirkan putra-putri Rasulullah. Dia merelakan harta benda yang dimilikinya untuk kepentingan jihad di jalan Allah.
Dialah orang pertama yang mendapat kabar gembira bahwa dirinya adalah ahli surga. Kenangan terhadap Khadijah
senantiasa lekat dalam hati Rasulullah sampai beliau wafat. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah
Khadijah binti Khuwailid dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam membuka lembaran kehidupan rumah tangganya dengan Aisyah yang telah
banyak dikenal. Aisyah laksana lautan luas dalam kedalaman ilmu dan takwa. Di kalangan wanita, dialah sosok yang
banyak menghafal hadits-hadits Nabi, dan di antara istri-istri Nabi, dia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki istri Nabi
yang lain. Ayahnya adalah sahabat dekat Rasulullah yang menemani beliau hijrah. Berbeda dengan istri Nabi yang lain,
kedua orang tua Aisyah melakukan hijrah bersama Rasulullah.
Ketika wahyu datang kepada Rasulullah, Jibril membawa kabar bahwa Aisyah adalah istrinya di dunia dan akhirat,
sebagaimana diterangkan di dalam hadits riwayat Tirmidzi dari Aisyah :
‘Jibril datang membawa gambarnya pada sepotong sutera hijau kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam., lalu berkata, ini
adalah istrimu di dunia dan akhirat.”
Dialah yang menjadi sebab atas turunnya firman Allah yang menerangkan kesuciannya dan membebaskannya dari fitnah
orang-orang munafik.
Fitnah Terhadapnya
Aisyah pernah mengalami fitnah yang mengotori lembaran sejarah kehidupan sucinya, hingga turun ayat Al-Q ur’an yang
menerangkan kesucian dirinya. Kisahnya bermula dari sini. Seperti biasanya, sebelum berangkat perang, Rasulullah
mengundi istrinya yang akan menyertainya berperang. Ternyata undian jatuh kepada Aisyah, sehingga Aisyah yang
menyertai beliau dalam Perang Bani al-Musthaliq. Saat itu bertepatan dengan turunnya perintah memakai hijab. Setelah
perang selesai dan kaum muslimin memetik kemenangan, Rasulullah kembali ke Madinah. Ketika tentara Islam tengah
beristirahat di sebuah pelataran, Aisyah masih berada di dalam sekedup untanya. Pada malam harinya, Rasulullah
mengizinkan rombongan berangkat pulang. Ketika itu Aisyah pergi untuk hajatnya, dan kembali. Ternyata, kalung di
lehernya jatuh dan hilang, sehingga dia keluar dari sekedup dan mencari-cari kalungnya yang hilang. Ketika pasukan siap
berangkat, sekedup yang mereka angkat ternyata kosong. Mereka mengira Aisyah berada di dalam sekedup. Setelah
kalungnya ditemukan, Aisyah kembali ke pasukan, namun alangkah kagetnya karena tidak ada seorang pun yang dia
temukan. Aisyah tidak meninggalkan tempat itu, dan mengira bahwa penuntun unta akan tahu bahwa dirinya tidak
berada di dalamnya, sehingga mereka pun akan kembali ke tempat semula. Ketika Aisyah tertidur, lewatlah Shafwan bin
Mu’thil yang terheran-heran melihat Aisyah tidur. Dia pun mempersilakan Aisyah menunggangi untanya dan dia
menuntun di depannya. Berawal dari kejadian itulah fitnah tersebar, yang disulut oleh Abdullah bin Ubay bin Salul.
Ketika tuduhan itu sampai ke telinga Nabi, beliau mengumpulkan para sahabat dan meminta pendapat mereka. Usamah
bin Zaid berkata, “Ya Rasulullah, dia adalah keluargamu … yang kau ketahui hanyalah kebaikan semata.“ Ali juga
berpendapat, “Ya Rasulullah, Allah tidak pernah mempersulit engkau. Banyak wanita selain dia.” Dari perkataan Ali, ada
pihak yang memperuncing masalah sehingga terjadilah pertentangan berkelanjutan antara Aisyah dan Ali. Mendengar
pendapat-pendapat dari para sahabat Nabi, bertambah sedihlah Aisyah, terlebih setelah dia melihat adanya perubahan
sikap pada diri Nabi.
Ketika Aisyah sedang duduk-duduk bersama orang tuanya, Rasulullah menghampirinya dan bersabda:
“Wahai Aisyah aku mendengar berita bahwa kau telah begini dan begitu. Jika engkau benar-benar suci, niscaya Allah
akan menyucikanmu. Akan tetapi, jika engkau telah berbuat dosa, bertobatlah dengan penuh penyesalan, niscaya Allah
akan mengampuni dosamu.” Aisyah menjawab, “Demi Allah, aku tahu bahwa engkau telah mendengar kabar ini, dan
ternyata engkau mempercayainya. Seandainya aku katakan bahwa aku tetap suci pun, niscaya hanya Allahlah yang
mengetahui kesucianku, dan tentunya engkau tak akan mempercayaiku. Akan tetapi, jika aku mengakui perbuatan itu,
sedangkan Allah mengetahui bahwa aku tetap suci, maka kau akan mempercayai perkataanku. Aku hanya dapat
mengatakan apa yang dikatakan Nabi Yusuf, ‘Maka bersabar itu lebih baik’. Dan Allah pula yang akan menolong atas apa
yang engkau gambarkan.”
Aisyah sangat mengharapkan Allah menurunkan wahyu berkaitan dengan masalahnya, namun wahyu itu tidak kunjung
turun. Baru setelah beberapa saat, sebelum seorang pun meninggalkan rumah Rasulullah, wahyu yang menerangkan
kesucian Aisyah pun turun kepada beliau. Rasulullah segera menemui Aisyah dan berkata, “Hai Aisyah, Allah telah
menyucikanmu dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira
bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat
Balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam
penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.”(QS. An-Nuur:11)
Demikianlah kemulian yang disandang Aisyah, sehingga bertambahlah kemuliaan dan keagungannya di hati Rasulullah.
Wafatnya Aisyah
Dalam hidupnya yang penuh dengan jihad, Sayyidah Aisyah wafat pada usia 66 tahun, bertepatan dengan bulan
Ramadhan, tahun ke-58 hijriah, dan dikuburkan di Baqi’. Kehidupan Aisyah penuh kernuliaan, kezuhudan, ketawadhuan,
pengabdian sepenuhnya kepada Rasulullah, selalu beribadah, serta senantiasa melaksanakan shalat malam. Bahkan dia
sering memberikan anjuran untuk shalat malam kepada kaum muslimin. Dari Abdullah bin Qais, Imam Ahmad
menceritakan, “Aisyah berkata, ‘Janganlah engkau tinggalkan shalat malam, karena sesungguhnya Rasulullah tidak
pernah meninggalkannya. Jika beliau sakit atau sedang malas, beliau melakukannya sambil duduk.” Aisyah memiliki
kebiasaan untuk memperpanjang shalat, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Abdullah bin Abu Musa, “Mudrik
atau Ibnu Mudrik mengutusku kepada Aisyah untuk menanyakan segala urusan. Aku tiba ketika dia sedang shalat dhuha,
lalu aku duduk sampai dia selesai melaksanakan shalat. Mereka berkata, ‘Sabar-sabarlah kau menunggunya.” Aisyah pun
senantiasa memperbanyak doa, sangat takut kepada Allah, dan banyak berpuasa sekalipun cuaca sedang sangat panas.
Di dalam Musnad-nya, Ahmad berkata, “Abdurrahman bin Abu Bakar menemui Aisyah pada hari Arafah yang ketika itu
sedang berpuasa sehingga air yang dia bawa disiramkan kepada Aisyah. Abdurrahman berkata, ‘Berbukalah.’ Aisyah
menjawab, ‘Bagaimana aku akan berbuka sementara aku mendengar Rasulullah telah bersabda, ‘Sesungguhnya puasa
pada hari Arafah akan menebus dosa-dosa tahun sebelumnya.”
Selain itu, Aisyah banyak mengeluarkan sedekah sehingga di dalam rumahnya tidak akan ditemukan uang satu dirham
atau satu dinar pun. Nabi Shallallahu alaihi wassalam. pernah bersabda, “Berjaga dirilah engkau dari api neraka
walaupun hanya dengan sebiji kurma.”
Di dalam riwayat lain dikatakan, “Aku didatangi oleh seorang ibu yang membawa dua orang putrinya. Dia meminta
sesuatu dariku sedangkan aku tidak memiliki apa pun untuk diberikan kepada mereka selain satu biji kurma. Aku
memberikan kurma itu kepadanya, dan ibu itu membaginya kepada kedua anaknya. Dia berdiri kemudian pergi. Setelah
itu Rasulullah masuk dan bersabda, ‘Barang siapa mengasuh anak-anak itu dan berbuat baik kepada mereka, maka
mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.“ (HR. Muttafaq Alaihi).
Ada juga riwayat lain yang membuktikan kedermawanan Aisyah. Urwah berkata, “Mu’awiyah memberikan uang sebanyak
seratus ribu dirham kepada Aisyah. Demi Allah, sebelum matahari terbenam, Aisyah sudah membagi-bagikan semuanya.
Budaknya berkata, ‘Seandainya engkau belikan daging untuk kami dengan uang satu dirham.’ Aisyah menjawab,
‘Seandainya engkau katakan hal itu sebelum aku membagikan seluruh uang itu, niscaya akan aku lakukan hal itu
untukmu.”
Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Aisyah dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-
Nya. Amin.
Asma binti Abu Bakar adalah anak kepada Khalifah Islam pertama, Abi Bakar as-Siddiq dan Qatilah binti Abdul Uzza.
Adiknya, Siti Aishah adalah isteri kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau dilahirkan pada 27 tahun sebelum hijrah dan
adalah antara golongan pertama memeluk agama Islam.
Asma' juga diberi gelaran sebagai wanita yang mempunyai dua tali pengikat atau zat al-Nithaqain. Beliau diberi gelaran
itu kerana membelah selendangnya kepada dua bahagian bagi dijadikan tali pinggang. Peristiwa ini berlaku ketika Nabi
Muhammad dan Abu Bakar keluar dari kota Mekah. Mereka bersembunyi di gua di puncak Gunung Thur kerana ancaman
Quraisy yang mahu membunuh nabi.
Selama beberapa malam, Asma' meredah kegelapan malam dan menghadapi risiko bagi menghantar makanan kepada
nabi dan ayahnya. "Pada malam ini, ayah dan Rasulullah akan berangkat ke kota Madinah," jelas Abu Bakar kepada
anaknya pada malam ketiga makanan dibawa kepadanya. "Semoga perjalanan ayah dan Rasulullah dilindungi oleh Allah.
Saya akan meletakkan makanan dan bekas air di atas kuda," balas Asma' sambil memandang wajah ayahnya dan
Rasulullah yang akan memulakan perjalanan ke kota Madinah.
"Berapa lama lagi kamu akan hidup di atas dunia ini? Mati kerana mempertahankan kebenaran adalah lebih baik
daripada segala-galanya. "Demi Allah, mati di mata pedang adalah lebih terhormat daripada mati dipukul dengan tali
cemeti dalam keadaan hina," Asma' menyambung lagi kata-katanya kerana tidak mahu anaknya terpedaya dengan janji
kosong yang ditawarkan oleh Hajaj itu.
"Saya bimbang Hajaj akan menyeksa dan menyalib tubuh saya sekiranya berjaya membunuh diri saya nanti," Abdullah
tidak mahu mayatnya diperlakukan kejam oleh pihak musuh sebagai membalas dendam. "Seekor kambing yang sudah
disembelih tidak akan berasa sakit apabila dibuang kulitnya. Pergilah berjuang atas nama kebenaran dan mohon bantuan
daripada Allah," Asma' memberi kata-kata semangat kepada Abdullah. "Saya akan berjuang sehingga ke titisan darah
terakhir," ucap Abdullah sambil mencium tangan ibunya. Dia beredar bagi menghadapi pasukan tentera Hajaj yang sudah
mengepung kota Mekah. "Sekiranya begitu, nahaslah kamu Abdullah !" balas Hajaj. Dia mengarahkan pasukan tentera
menyerang Abdullah dan pengawalnya.
Akhirnya Abdullah terbunuh akibat serangan pasukan tentera Hajaj yang terlalu ramai. Hajaj mengarahkan salah seorang
tentera menyalib mayat Abdullah pada sebatang tiang. Asma' menulis surat kepada Malik bin Marwan meminta supaya
mayat anaknya yang disalib itu diturunkan supaya dapat dikebumikan. Seminggu selepas pengebumian Abdullah, Asma'
binti Abu Bakar menghembuskan nafas terakhirnya. "Saya hanya ada sehelai kain selendang. Bagaimana saya boleh
mengikat makanan dan bekas air pada pelana kuda? Oh, ya! Saya koyakkan kain selendang ini kepada dua bagi mengikat
makanan dan bekas air," bisik hati kecil Asma'. "Allah mengganti tali pengikat kamu dengan tali pengikat syurga," kata
Nabi Muhammad sambil memberi isyarat kepada Asma' semasa mereka mahu berangkat. Asma' pulang ke rumahnya
selepas melihat ayahnya dan nabi hilang daripada pandangan menuju ke kota Madinah. Walaupun beliau selamat pulang
dari gua itu, tetapi beliau masih menghadapi ancaman daripada golongan bangsawan Quraisy yang mahu mendapatkan
maklumat tentang lokasi ayahnya dan Nabi Muhammad.
Pada suatu malam, Abu Jahal dan beberapa orang bangsawan Quraisy datang ke rumahnya bagi mencungkil rahsia
daripada Asma' tentang lokasi ayahnya. Mereka menyangka Asma' akan memberitahu lokasi Abu Bakar dan Nabi. "Di
mana ayah kamu, Asma'?" tanya Abu Jahal dengan suara yang lembut kerana percaya Asma' akan memberitahunya.
"Saya tidak tahu di mana ayah saya sekarang," jawab Asma' yang tidak mahu menceritakan perkara sebenar kepada Abu
Jahal dan sekutunya. "Kamu jangan berpura-pura tidak tahu di mana ayah kamu berada!" Abu Jahal mula meninggikan
suaranya. Dia menggertak Asma'. "Kenapa saya perlu berbohong? Saya memang tidak tahu di mana ayah saya berada
sekarang!" Asma' mempertahankan kata-katanya di hadapan Abu Jahal dan pembesar Quraisy lain. Mereka mula
berpandangan antara satu sama lain. "Jangan cuba menipu saya. Buruk padahnya sekiranya kamu masih mahu
merahsiakan lokasi ayah kamu daripada saya," ugut Abu Jahal yang mula menggenggam erat tangannya kerana berasa
geram dengan sikap berani Asma'. "Berapa kali saya perlu nyatakan, saya tidak tahu di mana ayah saya berada sekarang.
Tuan-tuan pulang sahaja dan jangan ganggu saya lagi," mohon Asma' yang berdiri di pintu rumahnya.
”Fatimah adalah bagian dariku, siapa yang menyakitinya berarti menyakitiku, siapa yang membuatnya gembira maka ia
telah membahagiakanku.” (Al Hadis) Di kalangan suku Quraisy, Fatimah dikenal fasih dan pintar. Ia meriwayatkan hadis
dari ayahnya kepada kedua putranya Hasan dan Husein, suaminya Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Ummu Salamah, Salma
Ummu Rafi’, dan Anas bin Malik.
Kata ‘Fatimah’ berasal dari suku kata ‘Fathama’ yang berarti menyapih atau menghentikan atau menjauhkan. Sebuah
riwayat marfu’ menyebutkan, dinamakan ‘Fatimah’ karena Allah Ta’ala menjamin menjauhkan putri bungsu Nabi SAW
berikut seluruh keturunannya dari neraka. Riwayat ini diketengahkan oleh al Hafidz ad-Dimasyqi. Sementara riwayat versi
an-Nasa-i menyebutkan bahwa Allah Ta’ala akan membebaskan Fatimah beserta orang-orang yang mencintainya dari
neraka.
Fatimah juga disebut al-Battul yang berarti memisahkan, karena kenyataannya ia memang terpisah atau berbeda dari
wanita-wanita lain sesamanya, baik dari segi keutamaan, agama dan kecantikannya. Ada yang mengatakan, karena ia
memisahkan diri dari keduniaan untuk mendekat kepada Allah Ta’ala.
Fatimah Az-Zahra sangat terkenal di dunia Islam, karena hidup paling dekat dan paling lama bersama Nabi Muhammad
SAW. Dari dialah keturunan Nabi Muhammad berkembang yang tersebar di hampir semua negeri Islam. Di kalangan
penganut syiah, dia dan Ali bin Abi Thalib dianggap sebagai ahlulbait (pewaris kepemimpinan) Nabi Muhammad SAW.
Fatimah dilahirkan di Makkah pada 20 Jumadil Akhir, 18 tahun sebelum Nabi Muhammad hijrah atau di tahun kelima dari
kerasulannya. Dia adalah putri bungsu Nabi Muhammad SAW setelah Zainab, Ruqayah dan Ummu Kaltsum. Saudara laki-
lakinya yang tertua Qasim dan Abdullah, meninggal dunia pada usia muda.
Setahun setelah hijrah, Fatimah dinikahkan dengan Ali bin bi Thalib. Banyak yang ingin menikahinya kala itu. Maklum
saja, selain rupawan, ia adalah perempuan terhormat, anak Rasulullah SAW. Dia pernah hendak dilamar oleh Abu Bakar
dan Umar, keduanya sahabat Nabi Muhammad SAW, namun ditolak secara halus oleh Rasulullah SAW.
Sementara itu, Ali tidak berani melamar Fatimah karena kemiskinannya. Namun Nabi Muhammad SAW mendorongnya
dengan memberi bantuan sekadarnya untuk persiapan rumah tangga mereka. Maskawinnya sebesar 500 dirham (10
gram emas), sebagian diperolehnya dengan menjual baju besinya. Nabi Muhammad SAW memilih Ali sebagai suami
Fatimah karena ia adalah anggota keluarga yang sangat arif dan terpelajar, di samping merupakan orang pertama yang
memeluk Islam.
Dari perkawinan Fatimah dan Ali, lahirlah Hasan dan Husein. Keduanya terkenal sebagai tokoh yang meninggal terbunuh
di Karbala. Tak lama kemudian lahir berturut-turut: Muhsin serta tiga orang putri, Zaenab, Ummu Kaltsum, dan
Ruqoyyah.
Kehidupan rumah tangga Fatimah sangatlah sederhana, bahkan sering juga kekurangan. Beberapa kali ia harus
menggadaikan barang-barang keperluan rumah tangga mereka untuk membeli makanan, sampai-sampai kerudung
Fatimah pernah digadaikan kepada seorang Yahudi Madinah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Namun
demikian, mereka tetap bahagia, lestari sebagai suami istri sampai akhir hayat.
Fatimah adalah putri kesayangan Rasulullah SAW. Suatu waktu Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan kepada Ali,
”Fatimah adalah bagian dariku, siapa yang menyakitinya berarti menyakitiku, siapa yang membuatnya gembira, maka ia
telah membahagiakanku.” Ini dikatakan oleh Rasulullah SAW sehubungan dengan keinginan seorang tokoh Quraisy untuk
menikahkan anak perempuannya kepada Ali. Ali tidak menolak tetapi segera dicegah oleh Rasulullah SAW.
Sikap Nabi Muhammad SAW semakin keras ketika Abu Jahal manawarkan anak perempuannya kepada Ali. Nabi
Muhammad SAW mengatakan, ”Ceraikan dulu Fatimah jika Ali berniat untuk menikahkannya.” Ini merupakan bukti kuat
akan kecintaan Rasulullah SAW kepada putri bungsunya ini. Memang Nabi Muhammad SAW sangat sayang kepada
Fatimah. Sewaktu Nabi Muhammad SAW sakit keras menjelang wafatnya, Fatimah tiada hentinya menagis.
Nabi Muhammad SAW memanggilnya dan berbisik kepadanya, tangisannya semakin bertambah, lalu Rasulullah SAW
berbisik lagi dan dia pun tersenyum. Kemudian hal tersebut ditanyakan orang kepada Fatimah, dan dia menjawab bahwa
dia menagis karena ayahnya memberitahukan kepadanya bahwa tak lama lagi sang ayah akan meninggal, tapi dia
tersenyum karena seperti kata ayahnya, dialah yang pertama akan menjumpainya di akhirat nanti.
Fatimah meninggal tak sampai selang setahun dari ayahnya. Diriwayatkan dari Aisyah RA, ”Fatimah wafat setelah enam
bulan ayahnya, Rasulullah SAW, tepatnya pada hari Selasa bulan Ramadlan tahun 11 Hijriyah. Fatimah RA wafat dalam
usia 28 tahun. Merasa ajal seudah dekat, dia membersihkan dirinya, memakai pakaian yang terbaik, memakai wewangian
dibantu oleh iparnya, Asma bin Abi Thalib. Dia meninggal dengan satu pesan; hanya Ali, suaminya, yang boleh
menyentuh tubuhnya.” Fatimah adalah seorang wanita yang agung, seorang ahli hukum Islam. Dia adalah tokoh wanita
dalam bidang kemasyarakatan, orangnya sangat sabar dan bersahaja, dan akhlaknya sangat mulia.
Sumayyah binti Khabath adalah hamba Abu Huzaifah bin Mughirah. Tuannya mengahwinkan Sumayyah dengan Yasir bin
Amir, perantau dari Yaman ke Mekah. Apabila Allah mengurniakan mereka seorang anak yang diberi nama Amar, Abu
Huzaifah pun membebaskan Sumayyah daripada menjadi hambanya.
Apabila Islam mula tersebar, keluarga Yasir antara golongan pertama memeluk agama suci itu. Sumayyah tidak gentar
dengan amaran musyrikin Quraisy yang menyeksa dan membunuh sesiapa yang memeluk Islam.
Apabila bangsawan Quraisy mengetahui Sumayyah sudah memeluk Islam, mereka menyerbu rumahnya. Keluarga Amar
ditangkap dan dibawa ke khalayak untuk diseksa.
“Mereka sudah menyahut ajaran Muhammad walaupun ditegah oleh pihak atasan Quraisy. Kamu akan menerima
balasan kerana ingkar perintah kami,” kata Abu Jahal kepada pengikutnya sambil menarik keluarga Yasir yang terikat ke
kawasan padang pasir di luar kota Mekah.
“Mereka tidak serik dengan hukuman kita walaupun pengikut agama yang dibawa Muhammad telah diseksa oleh kita,”
kata seorang bangsawan Quraisy yang berjalan di sebelah Abu Jahal.
“Kali ini saya tidak akan bebaskan mereka bertiga sehingga mereka mengaku berhala-berhala kita sebagai tuhan mereka,”
tegas Abu Jahal yang mengacah tombaknya ke arah keluarga Yasir yang diseret secara kasar oleh pengikut Abu Jahal.
Mereka berhenti di kawasan lapang yang dipenuhi bongkah batu besar. Yasir, Amar dan Sumayyah ditanggalkan pakaian
mereka lalu diikat pada bongkah batu yang panas mendidih dipanah matahari padang pasir.
Kaki dan tangan mereka diikat ketat sehingga tidak dapat bergerak seinci pun. Abu Jahal, pembesar Quraisy dan pengikut
setianya ketawa melihat penderitaan ketiga beranak itu.
“Kamu akan diseksa dengan lebih teruk seandainya kamu tidak mahu meninggalkan agama yang dibawa oleh
Muhammad. Kamu akan dibebaskan jika kamu sanggup mengaku berhala-berhala di kota Mekah ini sebagai tuhan
kamu,” Abu Jahal mula mengambil tali sebat bagi menakutkan Yasir, Sumayyah dan Amar.
“Kami tidak akan mengaku berhala-berhala itu sebagai tuhan kami. Hanya Allah Tuhan kami,” balas Yasir dengan tenang.
“Saya beriman dengan Allah sahaja,” kata Sumayyah pula.
“Berani kamu melawan kata-kata saya,” api kemarahan Abu Jahal semakin membara mendengarkan kata-kata Sumayyah
itu tadi.
“Ini balasan kepada kamu kerana enggan menerima berhala-berhala sebagai tuhan kamu,” Abu Jahal dan pengikutnya
mula menyebat tubuh Yasir, Sumayyah dan Amar dengan kejam. Hinggakan darah mengalir daripada tubuh mereka yang
terikat pada bongkah batu yang panas dipanah matahari tengah hari.
Berita penyeksaan keluarga Yasir sampai ke pengetahuan Nabi SAW sehingga baginda dan Abu Bakar keluar bagi
menyelamatkan keluarga tersebut daripada seksaan kejam Abu Jahal dan pengikutnya. Namun, mereka dihalang oleh
orang-orang Quraisy yang menyaksikan seksaan terhadap keluarga Yasir.
Hati Abu Jahal semakin sakit melihat reaksi Yasir, Sumayyah dan Amar yang masih enggan menerima berhala sebagai
tuhan mereka. Dia mengarahkan pengikutnya memakaikan baju besi kepada ketiga-tiga ahli keluarga tersebut agar
bahang matahari semakin menyeksa mereka.
“Kita lihat berapa lama kamu boleh menahan seksa di tengah-tengah kepanasan matahari ini,” sindir Abu Jahal sambil
memandang wajah Yasir dan Sumayyah dengan bengis.
“Tiada tuhan melainkan Allah,” kata Yasir, Sumayyah dan Amar merintih dalam kesakitan memakai baju panas.
“Letakkan batu besar ke atas badan Yasir,” arah Abu Jahal lagi kerana geram mendengar kata-kata Yasir sekeluarga.
Seksaan demi seksaan ke atas Yasir menyebabkan fizikalnya menjadi lemah kerana usianya yang sudah lanjut. Akhirnya,
Yasir menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan menyebut nama Allah tanpa menerima agama berhala Abu Jahal.
Walaupun hati Sumayyah hancur melihat suaminya mati akibat seksaan Abu Jahal yang kejam, dia gembira kepada
suaminya mati dalam menegakkan agama Allah.
“Kamu pun mahu mati seperti suami kamu. Lebih baik kamu terima tawaran saya sebelum ajal kamu tiba!” Abu Jahal
mahu menunjukkan yang seksaannya mampu mengubah pendirian pengikut Nabi Muhammad kepada ajaran berhala.
“Jangan kamu berharap saya akan menurut kata-kata kamu itu. Tiada tuhan melainkan Allah,”. Hati Sumayyah keras
seperti batu teguh pada keimanannya pada Allah.
“Kamu sudah semakin degil dan melawan kata-kata saya!” Abu Jahal mengambil tombak dari tangan kanannya lalu
dicucuk ke dalam alat sulit Sumayyah.
“Allahu Akbar”. Begitulah kata terakhir Sumayyah sebelum menghembuskan nafasnya akibat tikaman tombak Abu Jahal
itu.
Kematian Sumayyah dengan nama Allah di mulutnya demi mempertahankan keimanan pada Allah adalah peristiwa
penting dalam sejarah pengembangan agama Islam. Sumayyah adalah wanita pertama mati syahid dalam sejarah Islam.
Khaulah Al-Azwar merupakan seorang wanita yang hidup di zaman Sahabat RA. Khaulah memiliki kekuatan jiwa dan
fizikal yang kuat. Susuk tubuhnya tinggi lampai dan tegap. Sejak kecil beliau sudah pandai bermain pedang dan tombak.
Rasulullah s.a.w. telah membenarkan Khaulah menyertai angkatan peperangan muslimin bersama-sama mujahidah yang
lain.
Beliau adik kepada Zirar Al-Azwar yang kehandalannya di medan perang sememangnya tidak asing bagi bagi pencinta
sirah Islam. Skil dan teknik bertempur ini turut diwariskan kepada Khaulah oleh ayahnya Al-Azwar. Khaulah lantas menjadi
seorang wanita yang mahir berpedang dan berkuda. Jika diteliti sirah mujahidah ini, boleh dikatakan beliau ialah
pahlawan muslimat paling handal dalam sejarah Islam.
Dalam perang Yarmuk, beliau menjadi salah seorang yang menonjol atau memimpin kaum wanita yang turut serta
terlibat. Bahkan, beliau turut mengalami kecederaan di kepala dalam peperangan yang sangat bersejarah itu.
Namun, kisah kehandalannya bertempur yang paling masyhur adalah dalam satu operasi tentera Muslimin untuk
menyelamatkan saudaranya Zirar yang telah ditawan tentera Rom sewaktu satu penggempuran di sekitar Damascus.
Khaulah telah turut serta dalam operasi tersebut. Dengan berpakaian hitam, serban hijau dan menggunakan skarfnya
sebagai topeng, beliau yang menyertai pasukan Khalid bin Al-Waleed meluncur laju ke arah musuh, bertempur dengan
handal dan cermat; membantu tentera Muslimin yang ketika itu sudah keletihan berlawan. Raafe bin Umaira, panglima
skuad sebelum ketibaan Khalid mengungkapkan ketakjubannya, “Beliau berlawan seperti Khalid, namun jelas beliau
bukan Khalid”.
Khaulah mempamerkan kehandalannya berkuda dan bertempur dengan tombak. Beliau meluncur laju ke arah barisan
Rom, membunuh seorang dengan tombaknya, lalu meluncur ke arah barisan Rom di bahagian lain dan mencederakan
atau membunuh tentera Rom yang lain. Pertempurannya secara solo itu ibarat menjadi satu pertunjukan kepada tentera
Muslimin yang lain di samping membangkitkan semangat mereka untuk terus berjuang. Beliau akhirnya mendedahkan
identitinya yang pasti mengejutkan sesiapa yang mengetahui (dicatatkan Khalid hampir-hampir terjatuh dari kudanya).
Akhirnya, tentera Muslimin, bersama Khaulah berjaya membebaskan panglima Zirar dalam satu operasi serangan
berikutnya di Beit Lahiya, Gaza, Palestin.
Sewaktu menyertai perang Sahura, Khaulah dan beberapa orang wanita telah ditawan oleh musuh. Mereka telah
dikurung dan dikawal rapi beberapa hari lamanya tanpa senjata untuk melepaskan diri.
Nampaknya tidak ada cara lain yang paling berkesan melainkan membakar semangat sahabat-sahabatnya yang lain, agar
dapat bertindak pantas sebelum musuh mengapa apa-apakan mereka. Khaulah sedar Allah sendiri memberi jaminan
bahawa kekuatan jiwa boleh mengalahkan kekuatan senjata. Maka Khaulah pun berkata:
"Wahai sahabat-sahabatku yg sedang berjuang di jalan Allah, apakah saudari-saudari sanggup menjadi tukang-tukang
picit orang Rom? Apakah juga saudari semua sanggup menjadi hamba-hamba orang kafir yang dilaknati itu. Relakah
saudarai dihina dan dicaci maki oleh orang Rom durjana itu? Dimanakah letaknya harga diri saudari sebagai seorang
pejuang yang rindukan syurga Allah. Dimanakah letak kehormatan saudari sebagai seorang Islam yang bertaqwa?
Sesungguhnya mati itu adalah lebih baik bagi kita semua daripada menjadi hamba-hamba orang Rom".
Seorang daripada mereka menjawab, "Sesungguhnya apa yang engkau katakan itu adalah benar. Demi Allah, kami semua
mempunyai harga diri. Pedang lebih berguna dalam keadaan begini. Kalau kita lalai umpama kambing yang tidak
bertanduk tifak (mempunyai senjata)". Masing-masing mengemukakan berbagai pendapat dan semuanya menunjukkan
ingin mati syahid. Tidak seorangpun yang mahu menjadi tukang picit orang Rom. Tetapi malangnya mereka tidak
mempunyai senjata hatta sebilah pisau pun tidak ada. Tetapi Khaulah tidak mati akal dia terus menjawab:
“Wahai wanita-wanita muslimin sekalian, tiang-tiang dan tali khemah ini sangat berguna bagi kita dan cukuplah ini saja
senjata kita. Syahid lebih baik bagi kita dan inilah saja cara yang terbaik untuk kita melepaskan diri dari kehinaan ini,
sebelum mereka dapat menyentuh kita atau menyentuh salah seorg dari kita. Mari kita bersumpah untuk bersatu dalam
hal ini untuk menyerah diri kepada Allah. Sesungguhnya Allah akan menolong orang-orang yang menolongNYA”.
Masing-masing menjawab, “Demi Allah segala-segalanya katamu itu adalah benar. Kami tidak rela hidup dihina, syahid
lebih baik bagi kami daripada hidup menanggung malu”.
Tekad para tawanan ini sudah bulat. Setelah menetapkan harinya maka mereka pun melaksanakan keputusan yang
dibuat. Sebelum itu mereka berdoa sungguh-sungguh pada Allah dan bertaubat dengan segala dosa yang lalu. Menangis
dan merayu memohon campakkan dalam hati mereka kekuatan jiwa yang kuat dan semoga Allah memudahkan
pekerjaan dan berharap semoga datanglah bantuan-bantuan ghaib untuk menolong mereka. Khaulah telah memimpin
segala urusan dalam pekerjaan berat itu, dia menyandang tiang kayu siap untuk berjuang. Sebelum itu dia memberi
taklimat kepada anak-anak buahnya:
"Wahai saudari, jangan sekali-kali gentar dan takut. Kita semua harus bersatu dalam perjuangan ini dan jangan ada yang
terkecuali, patahkan tombak mereka, hancurkan pedang mereka, perbanyakkan bacaan takbir dan yang penting ialah
saudari mesti kuatkan hati saudari semua. Insya Allah pertolongan Allah sudah dekat".
Begitulah keyakinan Khaulah, berkat keberaniannya mereka semua terselamat dari segala bentuk bencana itu. Setelah
mengikat segala yang perlu, dia diikuti oleh Ifra Bt Ghaffar, Ummi Bt Utbah, Salamah Bt Zari’, Ran’ah Bt Amalun, Salmah
Binti Hu’man dan seluruh wanita lainnya. Khaulah mendahului memukul pengawal dengan tiang yang dibawanya lalu
menamatkan riwayat tersebut. Wanita-wanita lain bila melihat itu, maka masing-masing bersedia menyerang pengawal-
pengawal lain dan bertempurlah mereka dengan gagah berani.
Orang-orang Rom ketakutan kerana serangan yang datang secara tiba-tiba. Khaulah berjaya merampas sebuah tombak
lalu digunakan untuk bertempur sedangkan tiang di tangan kanannya digunakan sebagai melindungi dirinya dari tusukan
tombak dan tebasan pedang.
Akhirnya Khaulah dan semua wanita berjaya mencerai beraikan pasukan Rom dapat melepaskan diri dari kafir durjana
dan kembali ke pasukan Islam dengan selamatnya.
sy fatimah az zahrah
ummu aiman
Ruqaiyyah
Sumaiyyah
khansaa'
khaulah
nusaybah
umi kalthum
asiah isteri firaun