Anda di halaman 1dari 27

Ummu Salamah adalah seorang Ummul-Mukminin yang berkepribadian kuat, cantik, dan menawan, serta

memiliki semangat jihad dan kesabaran dalam menghadapi cobaan, lebih-lebih setelah berpisah dengan
suami dan anak-anaknya. Berkat kematangan berpikir dan ketepatan dalam mengambil keputusan, dia
mendapatkan kedudukan mulia di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Di dalam sirah Ummahatul
Mukminin dijelaskan tentang banyaknya sikap mulia dan peristiwa penting darinya yang dapat diteladani
kaum muslimin, baik sikapnya sebagai istri yang selalu menjaga kehormatan keluarga maupun sebagai
pejuang di jalan Allah.

Nama dan Nasabnya


Nama sebenarnya Ummu Salamah adalah Hindun binti Suhail, dikenal dengan nama Ummu Salamah.
Beliau dibesarkan di lingkungan bangsawan dari Suku Quraisy. Ayahnya bernama Suhail bin Mughirah bin
Makhzum. Di kalangan kaumnya, Suhail dikenal sebagai seorang dermawan sehingga dijuluki Dzadur-
Rakib(penjamu para musafir) karena dia selalu menjamu setiap orang yang menyertainya dalam
perjalanan. Dia adalah pemimpin kaumnya, terkaya, dan terbesar wibawanya. Ibu dari Ummu Salamah
bernama Atikah binti Amir bin Rabi’ah bin Malik bin Jazimah bin Alqamah al-Kan’aniyah yang berasal dari
Bani Faras.
Demikianlah, Hindun dibesarkan di dalam lingkungan bangsawan yang dihormati dan disegani.
Kecantikannya meluluhkan setiap orang yang melihatnya dan kebaikan pribadinya telah tertanam sejak
kecil.

Pernikahan dan Perjuangannya


Banyak pemuda Makkah yang ingin mempersunting Hindun, dan yang berhasil menikahinya adalah
Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal bin Abdullah bin Umar bin Makhzum, seorang penunggang kuda terkenal
dari pahlawan-pahlawan suku Bani Quraisy yang gagah berani. Ibunya bernama Barrah binti Abdul-
Muththalib bin Hasyim, bibi Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Abdullah adalah saudara sesusuan Nabi dari
Tsuwaibah, budak Abu Lahab. Mereka hidup bahagia, dan rumah tangga mereka diliputi kerukunan dan
kesejahteraan.
Tidak lama setelah itu, dakwah Islam menarik hati mereka sehingga mereka memeluk Islam dan menjadi
orang-orang pertama yang masuk Islam. Begitu pula dengan Hindun, dia tergolong orang-orang yang
pertama masuk Islam, dan bersama suaminya memulai perjuangan dalam hidup mereka.
Orang-orang Quraisy selalu mengganggu dan menyiksa kaum muslimin agar mereka meninggalkan
agama Islam dan kembali ke agama nenek moyang mereka. Melihat kondisi seperti itu,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam mengizinkan mereka untuk hijrah ke Habasyah, sehingga mereka
disebut sebagai kaum muhajirin yang pertama. Mereka menetap di Habasyah, dan di sana Hindun
melahirkan anak-anaknya: Zainab, Salamah, Umar, dan Durrah.
Setelah beberapa lama, mereka berniat kembali ke Makkah, terutama setelah mendengar keislaman dua
tokoh penting Quraisy, Umar bin Khaththab dan Hamzah bin Abdul-Muththalib. Akan tetapi, ternyata
penyiksaan masih terus berlangsung, bahkan bertambah dahsyat. Untuk menjaga kehormatan diri dan
keluarganya, Abu Salamah meminta perlindungan dari Abu Thalib (paman Nabi) dari siksaan kaumnya,
yaitu Bani Makhzum, dan Abu Thalib menyatakan perlindungannya.

Cobaan Datang
Karena orang-orang Quraisy masih saja menyiksa kaum muslimin, akhirnya Allah membuka hati
penduduk Madinah untuk menerima Islam. Kemudian Rasulullah mengizinkan kaum muslimin untuk hijrah
ke sana, baik secara kelompok maupun perorangan. Abu Salamah, istri, dan anaknya (Salamah) hijrah ke
sana. Di tengah perjalanan mereka dihadang oleh kaum Bani Makhzum (kaumnya Ummu Salamah) yang
kemudian merampas serta menyandera Ummu Salamah. Keluarga Abu Salamah (Bani Asad) ikut campur
tangan dan mereka menolak menyerahkan Salamah, bahkan si anak dirampas dan dijauhkan dari ibunya.
Sedangkan Bani Makhzum menculik Ummu Salamah dan dipenjara. Adapun Abu Salamah dibiarkan ke
Yatsrib dengan hati penuh kesedihan karena harus berpisah dengan istri dan anaknya.
Keadaan demikian berjalan kurang lebih setahun lamanya. Ummu Salamah terus-menerus menangis
karena kecewa atas perbuatan kaumnya, sehingga akhirnya ada seorang laki-laki dari kaumnya yang
merasa iba dan membiarkan Ummu Salamah menyusul suaminya di Madinah. Adapun Bani Asad
menyerahkan kembali putranya, Salamah, kepadanya. Akan tetapi, banyak rintangan yang harus dia
hadapi, dan berkat keimanan dan keinginan yang kuat, dia mampu mengatasi semua itu dan tiba di
Madinah.

Pesan Abu Salamah untuk Istrinya


Dalam membela Islam, peran Abu Salamah sangat besar. Dia dikenal berani dalam berperang. Rasulullah
menghargainya dengan mengangkatnya sebagai wakil Rasulullah di Madinah ketika beliau pergi
memimpin pasukan dalam perang Dzil Asyirah pada tahun kedua hijriah. Abu Salamah ikut dalam Perang
Badar dan Uhud. Ketika dalam perang Uhud, Abu Salamah mengalami luka yang cukup parah dan nyaris
meninggal, namun beberapa saat kemudian dia sembuh.
Setelah Perang Uhud, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menerima berita bahwa Bani Asad hendak
menyerang kaum muslimin di Madinah. Sebelum mereka menyerang, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wassalamberinisiatif mendahului mereka. Dalam misi ini, beliau menunjuk Abu Salamah untuk memimpin
pasukan yang berjumlah seratus lima puluh orang dan di dalamnya terdapat Saad bin Abi Waqqash, Abu
Ubaidah bin al-Jarrah, Amir bin al-Jarrah, dan yang lainnya. Pasukan diarahkan ke Bukit Quthn, tempat
mata air Bani Asad. Kemenangan gemilang diraih oleh pasukan Abu Salamah, dan mereka kembali ke
Madinah dengan membawa banyak harta rampasan perang. Di Madinah, luka-luka Abu Salamah kambuh
sehingga dia harus beristirahat beberapa waktu. Ketika sakit, Rasulullah selalu menjenguk dan
mendoakannya.
Ummu Salamah selalu mendampingi suaminya yang sedang dalam keadaan sakit sehingga dia merawat
dan menjaganya siang dan malam. Suatu hari, demam Abu Salamah menghebat, kemudian Ummu
Salamah berkata kepada suaminya,
“Aku mendapat berita bahwa seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya, kemudian suaminya
masuk surga, istrinya pun akan masuk surga, jika setelah itu istrinya tidak menikah lagi, dan Allah akan
mengumpulkan mereka nanti di surga. Demikian pula jika si istri yang meninggal, dan suaminya tidak
menikah lagi sepeninggalnya. Untuk itu, mari kita berjanji bahwa engkau tidak akan menikah lagi
sepeninggalku, dan aku berjanji untukmu untuk tidak menikah lagi sepeninggalmu.”
Abu Salamah berkata, “Maukah engkau menaati perintahku?”
Dia menjawab, “Adapun saya bermusyawarah hanya untuk taat.”
Abu Salamah berkata, “Seandainya aku mati, maka menikahlah.”
Lalu dia berdoa kepada Allah ”Ya Allah, kurniakanlah kepada Ummu Salamah sesudahku seseorang yang
lebih baik dariku, yang tidak akan menyengsarakan dan menyakitinya.”
Pada detik-detik akhir hidupnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu berada di samping Abu
Salamah dan senantiasa memohon kesembuhannya kepada Allah. Akan tetapi, Allah berkehendak lain.
Beberapa saat kemudian maut datang menjemput. Rasulullah menutupkan kedua mata Abu Salamah
dengan tangannya yang mulia dan bertakbir sembilan kali. Di antara yang hadir ada yang berkata, “Ya
Rasulullah, apakah engkau sedang dalam keadaan lupa?” Beliau menjawab, “Aku sama sekali tidak dalam
keadaan lupa, sekalipun bertakbir untuknya seribu kali, dia berhak atas takbir itu.” Kemudian beliau
menoleh kepada Ummu Salamah dan bersabda, “Barang siapa yang ditimpa suatu musibah, maka
ucapkanlah sebagaimana yang telah dperintahkan oleh Allah, ‘Sesungguhnya kita milik Allah, dan kepada-
Nyalah kita akan dikembalikan. Ya Allah, karuniakanlah bagiku dalam musibahku dan berilah aku ganti
yang lebih baik daripadanya, maka Allah akan melaksanakannya untuknya.”
Setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berdo’a: “Ya Allah, berilah ketabahan atas
kesedihannya, hiburlah dia dari musibah yang menimpanya, dan berilah pengganti yang lebih baik
untuknya.”
Abu Salamah wafat setelah berjuang menegakkan Islam, dan dia telah memperoleh kedudukan yang
mulia di sisi Rasulullah. Sepeninggal Abu Salamah, Ummu Salamah diliputi rasa sedih. Dia menjadi janda
dan ibu bagi anak-anak yatim.
Setelah wafatnya Abu Salamah, para pemuka dari kalangan sahabat bersegera meminang Ummu
Salamah. Hal ini mereka lakukan sebagai tanda penghormatan terhadapat suaminya dan untuk
melindungi diri Ummu Salamah. Maka Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab meminangnya,
tetapi Ummu Salamah menolaknya.
Pada saat dirundung kesedihan atas suami yang benar-benar dicintainya serta belum mendapatkan orang
yang lebih baik darinya, ia didatangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan maksud
menghiburnya dan meringankan apa yang dialaminya. Rasulullah berkata kepadanya, “Mintalah kepada
Allah agar Dia memberimu pahala pada musibahmu serta menggantikan untukmu (suami) yang lebih
baik.” Ummu Salamah bertanya, “Siapa yang lebih baik dari Abu Salamah, wahai Rasulullah?”

Di Rumah Rasulullah
Rasulullah mulai memikirkan perkara Ummu Salamah, seorang mukminah mujahidah yang memiliki
kesabaran, dan Ummu Salamah pun telah menolak lamaran dua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar.
Rasulullah pun berpikir dengan penuh pertimbangan dan kasih sayang untuk tidak membiarkannya larut
dalam kesedihan dan kesendirian.
Dalam keadaan seperti itu Rasulullah mengutus Hathib bin Abi Balta’ah menemui Ummu Salamah dengan
maksud meminangnya untuk beliau. Maka oleh Ummu Salamah diterimanya pinangan tersebut.
Bagaimana mungkin baginya untuk tidak menerima pinangan dari orang yang lebih baik dari Abu
Salamah, bahkan lebih baik dan semua orang di dunia.
Dengan perkawinan tersebut maka Ummu Salamah termasuk kalangan Ummahatul- Mukminin, dan oleh
Rasulullah ia ditempatkan di kamar Zainab binti Khuzaimah yang digelari Ummul-Masakin (ibu bagi orang-
orang miskin) sampai Ummu Salamah meninggal dunia.
Hal itu diceritakan oleh Ummu Salamah kepada kami. Ia berkata, “Aku dipersunting oleh Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam, lalu aku dipindahkan dan ditempatkan di rumah Zainab (ummul- masakiin).”
Beberapa keistimewaan yang dimiliki Ummu Salamah adalah ketajaman logika, kematangan berpikir, dan
keputusan yang benar atas banyak perkara. Karena itu, ia memiliki kedudukan yang agung di sisi
RasulullahShallallahu ‘Alaihi Wasallam, seperti interaksinya dengan para Ummahatul-Mukminin yang
merupakan interaksi yang diliputi rasa kasih sayang dan kelemah-lembutan.

Kedudukannya yang Agung


Di antara perkara yang menunjukkan kedudukannya yang tinggi di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam adalah apa yang diceritakan Urwah bin Zubair; “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam
menyuruh Ummu Salamah melaksanakan shalat shubuh di Mekah pada hari penyembelihan (qurban) —
padahal saat itu merupakan hari (giliran)nya. Oleh sebab itu, Rasulullah merasa senang atas
kesetujuannya.”
Begitu juga hadits Ummi Kultsum binti Uqbah yang dimasukkan oleh Ibnu Sa’ad dalam (kitab) Thabaqat-
nya. Ummi Kultsum berkata; “Tatkala Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menikahi Ummu Salamah, beliau
berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya aku menghadiahkan untuk Raja Najasyi sejumlah bejana berisikan
minyak wangi dan selimut. Akan tetapi, aku bermimpi bahwa Raja Najasyi itu telah meninggal dunia,
kemudian hadiah yang kuberikan kepadanya dikembalikan kepadaku. Karena dikembalikan kepadaku,
maka barang tersebut menjadi milikku.”
Sebagaimana yang dikatakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Raja Najasyi meninggal dunia, dan hadiah
tersebut dikembalikan kepadanya. Lalu beliau memberikan kepada setiap istrinya masing-masing satu
uqiyah (1/2 liter Mesir) dan beliau memberi (sisa) keseluruhannya serta selimut kepada Ummu Salamah.
Setelah Ummu Salamah menjadi istrinya, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam memasukkannya dalam
kalangan ahlul-bait. Di antara riwayat tentang masalah tersebut adalah bahwasanya pernah pada suatu
hari Rasulullah berada di sisi Ummu Salamah, dan anak perempuan Ummu Salamah ada di sana.
Rasulullah kemudian didatangi anak perempuannya, Fathimah az-Zahra, disertai kedua anaknya, Hasan
dan Husain radhiyallahu ‘anhuma, lalu Rasullah memeluk Fathimah dan berkata, “Semoga rahmat Allah
dan berkah-Nya tercurah pada kalian wahai ahlul-bait. Sesungguhnya Dia Maha Terpuji (lagi) Maha
Mulia.”
Lalu menangislah Ummu Salamah. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menanyakan tentang
penyebab tangisnya itu. Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, engkau mengistimewakan mereka sedangkan
aku dan anak perempuanku engkau tinggalkan“. Beliau bersabda, “Sesungguhnya engkau dan anak
perempuanmu termasuk keluargaku.”
Anak perempuan Ummu Salamah, Zainab, tumbuh dalam peliharaan Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalamia termasuk di antara wanita yang memiliki ilmu yang luas pada masanya.
Sebelum Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam mempersunting Ummu Salamah, wahyu pernah turun
kepada Rasulullah di kamar Aisyah, yang dengan hal itu Aisyah membanggakannya pada istri-stri beliau
yang lain. Maka setelah Rasulullah menikahi Ummu Salamah, wahyu turun kepadanya ketika beliau
berada di kamar Ummu Salamah.

Beberapa Sikap Cemerlang pada Masa Hidup Ummu Salamah.


Di antara sikap agungnya adalah apa yang ditunjukkannya pada Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalampada hari (perjanjian) Hudaibiyah. Pada waktu itu ia menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalamdalam perjalanannya menuju Makkah dengan tujuan menunaikan umrah, tetapi orang-orang
musyrik mencegah mereka untuk memasuki Makkah, dan terjadilah Perjanjian Hudaibiyah antara kedua
belah pihak.
Akan tetapi, sebagian besar kaum muslimin merasa dikhianati dan merasa bahwa orang-orang musyrik
menyia-nyiakan sejumlah hak-hak kaum muslimin. Di antara mayoritas yang menaruh dendam itu adalah
Umar bin al-Khaththab, yang berkata kepada Rasulullah dalam percakapannya dengan beliau, “Atas
perkara apa kita serahkan nyawa di dalam agama kita?” Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam menjawab,“Saya adalah hamba Allah dan rasul-Nya. Aku tidak akan menyalahi perintah-Nya,
dan Dia tidak akan menyia-nyiakanku.”
Akan tetapi, tanda-tanda bahaya semakin memuncak setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallammenyuruh kaum muslimin melaksanakan penyembelihan hewan qurban kemudian bercukur,
tetapi tidak seorang pun dari mereka melaksanakannya. Beliau mengulang seruannya tiga kali tanpa ada
sambutan.
Beliau menemui istrinya, Ummu Salamah, dan menceritakan kepadanya tentang sikap kaum muslimin.
Ummu Salamah berkata, “Wahai Nabi Allah, apakah engkau menginginkan perintah Allah ini dilaksanakan
oleh kaum muslimin? Keluarlah engkau, kemudian janganlah mengajak bicara sepatah kata seorang pun
dari mereka sampai engkau menyembelih qurbanmu serta memanggil tukang cukur yang mencukurmu.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kagum atas pendapatnya dan bangkit mengerjakan sebagaimana
yang diusulkan Ummu Salamah. Tatkala kaum muslimin melihat Rasulullah mengerjakan hal itu tanpa
berkata kepada mereka, mereka bangkit dan menyembelih serta sebagian dari mereka mulai mencukur
kepala sebagian yang lain tanpa ada perasaan keluh kesah dan penyesalan atas tindakan Rasulullah yang
mendahului mereka.
Ummu Salamah telah menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam di banyak peperangan, yaitu
peperangan Khaibar, Pembebasan Makkah, pengepungan Tha’if, peperangan Hawazin, Tsaqif kemudian
ikut bersama beliau di Haji Wada’.
Kita tidak melupakan sikapnya terhadap Umar bin al-Khaththab, tatkala Umar datang kepadanya dan
mengajak bicara tentang perkara keperluan Ummahatul-Mukminin kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam serta kekasaran mereka terhadap Rasulullah. Maka ia berkata, “Engkau ini aneh, wahai anak al-
Khaththab. Engkau telah ikut campur di setiap perkara sehingga ingin mencampuri urusan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam beserta istri-istrinya?”
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meninggal dunia ia senantiasa mengenang beliau dan
sangat berduka cita atas kewafatannya. Beliau senantiasa banyak melakukan puasa dan beribadah, tidak
kikir pada ilmu, serta meriwayatkan hadits yang berasal dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Telah diriwayatkannya sekian banyak hadits shahih yang bersumber dari Rasulullah dan suaminya, Abu
Salamah, serta dari Fathimah az-Zahraa Sedangkan orang yang meriwayatkan darinya banyak sekali, di
antara mereka adalah anak-anaknya dan para pemuka dan sahabat serta ahli hadits.
Di antara beberapa sikapnya yang nyata adalah pada hari pembebasan kota Mekah. Waktu itu Nabi keluar
dari Madinah bersama bala tentaranya dengan kehebatan dan jumlah yang belum pernah disaksikan oleh
bangsa Arab, sehingga orang-orang musyrik Quraisy merasa takut, dan mereka keluar dari rumah dengan
maksud menemui Rasulullah untuk bertobat dan menyatakan keislaman mereka.
Termasuk dari mereka, Abu Sufyan bin al-Harits bin Abdul-Muththalib (anak paman Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam.) dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah (anak bibi [dari ayah] Rasulullah,
saudara Ummu Salamah sebapak). Ketika mereka berdua meminta izin masuk menemui Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau enggan memberi izin masuk bagi keduanya disebabkan penyiksaan
mereka yang keras terhadap kaum muslimin menjelang beliau hijrah dari Mekah.
Maka berkatalah Ummu Salamah kepada Rasulullah dengan perasaan iba terhadap keluarganya sendiri
dan juga keluarga Rasulullah, “Wahai Rasulullah, mereka berdua adalah anak pamanmu dan anak bibimu
(dan ayah) serta iparmu.” Rasulullah menjawab, “Tidak ada keperluan bagiku dengan mereka berdua.
Adapun anak pamanku, aku telah diperlakukan olehnya dengan tidak baik. Adapun anak bibiku (dari
ayah) serta iparku telah berkata di Makkah dengan apa yang ia katakan.”
Pernyataan itu telah sampai kepada Abu Sufyan, anak paman Rasulullah. Maka ia berkata, “Demi Allah, ia
harus mengizinkanku atau aku mengambil anak ini dengan kedua tanganku -pada saat itu ia bersama
anaknya, Ja’far- kemudian kami harus berkelana di dunia sehingga mati kehausan dan kelaparan.”
Lalu Ummu Salamah memberitahukan perkataan Abu Sufyan tersebut kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam dengan kembali memohon rasa belas kasih. Akhirnya hati beliau menjadi luluh, lalu
mengizinkan keduanya masuk. Maka masuklah keduanya dan menyatakan keislaman serta bertobat di
hadapan Rasulullah.

Sikapnya terhadap Fitnah


Ummu Salamah selalu berada di rumahnya, senantiasa ikhlas beribadah kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala dan menjaga Sunnah suaminya tercinta pada masa (khilafah) Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin
al-Khaththab.
Pada masa khilafah Utsman bin Affan ia melihat kegoncangan situasi serta perpecahan kaum muslimin di
seputar khalifah. Bahaya fitnah semakin memuncak di langit kaum muslimin. Maka ia pergi menemui
Utsman dan menasihatinya supaya tetap berpegang teguh pada petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallamserta petunjuk Abu Bakar dan Umar bin al-Khaththab, tidak menyimpang dari petunjuk tersebut
selama-lamanya.
Apa yang dikhawatirkan Ummu Salamah terjadi juga, yaitu peristiwa terbunuhnya Utsman yang saat itu
tengah membaca Al-Qur’an dan angin fitnah tengah bertiup kencang terhadap kaum muslimin. Pada saat
itu Aisyah telah membulatkan tekad untuk keluar menuju Bashrah disertai Thalhah bin Ubaidillah dan Az-
Zubair bin al-’Awwam dengan tujuan memobilisasi massa untuk melawan Ali bin Abi Thalib. Maka Ummu
Salamah mengirim surat yang memiliki sastra indah kepada Aisyah.
“Dari Ummu Salamah, Istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, untuk Aisyah Ummul-Mu’ minin.
Sesungguhnya aku memuji Allah yang tidak ada Ilah (Tuhan) melainkan Dia.
Amma ba’du.
Engkau sungguh telah merobek pembatas antara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan umatnya
yang merupakan hijab yang telah ditetapkan keharamannya.
Sungguh Al-Qur’an telah memberimu kemuliaan, maka jangan engkau lepaskan. Dan Allah telah menahan
suaramu, maka janganlah engkau mengeluarkannya. Serta Allah telah tegaskan bagi umat ini seandainya
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengetahui bahwa kaum wanita memiliki kewajiban jihad
(berperang) niscaya beliau berpesan kepadamu untuk menjaganya.
Tidakkah engkau tahu bahwasanya beliau melarangmu melampaui batas dalam agama, karena
sesungguhnya tiang agama tidak bisa kokoh dengan campur tangan wanita apabila tiang itu telah miring,
dan tidak bisa diperbaiki oleh wanita apabila telah hancur. Jihad wanita adalah tunduk kepada segala
ketentuan, mengasuh anak, dan mencurahkan kasih sayangnya.”
Ummu Salamah berada di pihak Ali bin Abi Thalib karena beliau mengikuti kesepakatan kaum muslimin
atas terpilihnya beliau sebagai khalifah mereka. Karena itu, Ummu Salamah mengirim/mengutus anaknya,
Umar, untuk ikut berperang dalam barisan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu.

Saat Wafatnya
Pada tahun ke-59 hijriah, usia Ummu Salamah telah mencapai 84 tahun. Usia tua dan pikun merambah di
pertambahan umurnya. Allah ta’ala mengangkat ruhnya yang suci naik ke atas menuju hadirat-Nya. Ia
meninggal dunia setelah hidup dengan aktivitas yang dipenuhi oleh pengorbanan, jihad, dan kesabaran di
jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Beliau dishalatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhudan dikuburkan di al-Baqi’ di samping kuburan Ummahatul-Mukminin lainnya.
Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Ummu Salamah dan semoga Allah memberinya
tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.

Hafshah binti Umar bin Khaththab adalah putri seorang laki-laki yang terbaik dan mengetahui hak-hak
Allah dan kaum muslimin. Umar bin Khaththab adalah seorang penguasa yang adil dan memiliki hati yang
sangat khusyuk. Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah merupakan bukti cinta kasih beliau kepada
mukminah yang telah menjanda setelah ditinggalkan suaminya, Khunais bin Hudzafah as-Sahami, yang
berjihad di jalan Allah, pernah berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan gugur dalam Perang
Badar. Setelah suami anaknya meninggal, dengan perasaan sedih, Umar menghadap Rasulullah untuk
mengabarkan nasib anaknya yang menjanda. Ketika itu Hafshah berusia delapan belas tahun. Mendengar
penuturan Umar, Rasulullah memberinya kabar gembira dengan mengatakan bahwa beliau bersedia
menikahi Hafshah.
Jika kita menyebut nama Hafshah, ingatan kita akan tertuju pada jasa-jasanya yang besar terhadap kaum
muslimin saat itu. Dialah istri Nabi yang pertama kali menyimpan Al-Qur’an dalam bentuk tulisan pada
kulit, tulang, dan pelepah kurma, hingga kemudian menjadi sebuah kitab yang sangat agung.
Nasab dan Masa Petumbuhannya
Nama lengkap Hafshah adalah Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin Riyah bin
Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah. Ibunya adalah Zainab binti
Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara perempuan Utsman bin Madh’un. Hafshah
dilahirkan pada tahun yang sangat terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasullullah
memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah dibangun kembali setelah roboh karena
banjir. Pada tahun itu juga dilahirkan Fathimah az-Zahra, putri bungsu Rasulullah dari empat putri, dan
kelahirannya disambut gembira oleh beliau. Beberapa hari setelah Fathimah lahir, lahirlah Hafshah binti
Umar bin Khaththab. Mendengar bahwa yang lahir adalah bayi wanita, Umar sangat berang dan resah,
sebagaimana kebiasaan bapak-bapak Arab Quraisy ketika mendengar berita kelahiran anak
perempuannya. Waktu itu mereka menganggap bahwa kelahiran anak perempuan telah membawa aib
bagi keluarga. Padahal jika saja ketika itu Umar tahu bahwa kelahiran anak perempuannya akan
membawa keberuntungan, tentu Umar akan menjadi orang yang paling bahagia, karena anak yang
dinamai Hafshah itu kelak menjadi istri Rasulullah. Di dalam Thabaqat, Ibnu Saad berkata, “Muhammad
bin Umar berkata bahwa Muhammad bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya, Umar mengatakan,
‘Hafshah dilahirkan pada saat orang Quraisy membangun Ka’bah, lima tahun sebelum Nabi diutus menjadi
Rasul.”
Sayyidah Hafshah Radhiyallahu ‘anha dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Umar bin Khaththab.
Dalam soal keberanian, dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas.
Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sama dengan ayahnya. Kelebihan lain yang dimiliki Hafshah
adalah kepandaiannya dalam membaca dan menulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim
dimiliki oleh kaum perempuan.

Memeluk Islam
Hafshah tidak termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam, karena ketika awal-awal
penyebaran Islam, ayahnya, Umar bin Khaththab, masih menjadi musuh utama umat Islam hingga suatu
hari Umar tertarik untuk masuk Islam. Ketika suatu waktu Umar mengetahui keislaman saudara
perempuannya, Fathimah dan suaminya Said bin Zaid, dia sangat marah dan berniat menyiksa mereka.
Sesampainya di rumah saudara perempuannya, Umar mendengar bacaan Al-Qur’an yang mengalun dari
dalam rumah, dan memuncaklah amarahnya ketika dia memasuki rumah tersebut. Tanpa ampun dia
menampar mereka hingga darah mengucur dari kening keduanya. Akan tetapi, hal yang tidak terduga
terjadi, hati Umar tersentuh ketika meihat darah mengucur dari dahi adiknya, kemudian diambilnyalah Al
Qur’an yang ada pada mereka. Ketika selintas dia membaca awal surat Thaha, terjadilah keajaiban. Hati
Umar mulai diterangi cahaya kebenaran dan keimanan. Allah telah mengabulkan doa Nabi yang
mengharapkan agar Allah membuka hati salah seorang dari dua Umar kepada Islam. Yang dimaksud
Rasulullah dengan dua Umar adalah Amr bin Hisyam atau lebih dikenal dengan Abu Jahl dan Umar bin
Khaththab.
Setelah kejadian itu, dari rumah adiknya dia segera menuju Rasulullah dan menyatakan keislaman di
hadapan beliau, Umar bin Khaththab bagaikan bintang yang mulai menerangi dunia Islam serta mulai
mengibarkan bendera jihad dan dakwah hingga beberapa tahun setelah Rasulullah wafat. Setelah
menyatakan keislaman, Umar bin Khaththab segera menemui sanak keluarganya untuk mengajak mereka
memeluk Islam. Seluruh anggota keluarga menerima ajakan Umar, termasuk di dalamnya Hafshah yang
ketika itu baru berusia sepuluh tahun.

Menikah dan Hijrah ke Madinah


Keislaman Umar membawa keberuntungan yang sangat besar bagi kaum muslimin dalam menghadapi
kekejaman kaum Quraisy. Kabar keislaman Umar ini memotivasi para muhajirin yang berada di Habasyah
untuk kembali ke tanah asal mereka setelah sekian lama ditinggalkan. Di antara mereka yang kembali itu
terdapat seorang pemuda bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahami. Pemuda itu sangat mencintai
Rasulullah sebagaimana dia pun mencintai keluarga dan kampung halamannya. Dia hijrah ke Habasyah
untuk menyelamatkan diri dan agamanya. Setibanya di Mekah, dia segera mengunjungi Umar bin
Khaththab, dan di sana dia melihat Hafshah. Dia meminta Umar untuk menikahkan dirinya dengan
Hafshah, dan Umar pun merestuinya. Pernikahan antara mujahid dan mukminah mulia pun berlangsung.
Rumah tangga mereka sangat berbahagia karena dilandasi keimanan dan ketakwaan.
Ketika Allah menerangi penduduk Yatsrib sehingga memeluk Islam, Rasulullah menemukan sandaran baru
yang dapat membantu kaum muslimin. Karena itulah beliau mengizinkan kaum muslimin hijrah ke Yatsrib
untuk menjaga akidah mereka sekaligus menjaga mereka dari penyiksaan dan kezaliman kaum Quraisy.
Dalam hijrah ini, Hafshah dan suaminya ikut serta ke Yatsrib.

Cobaan dan Ganjaran


Setelah kaum muslimin berada di Madinah dan Rasulullah berhasil menyatukan mereka dalam satu
barisan yang kuat, tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi orang musyrik yang telah memusuhi dan
mengambil hak mereka. Selain itu, perintah Allah untuk berperang menghadapi orang musyrik sudah tiba.
Peperangan pertama antara umat Islam dan kaum musyrik Quraisy adalah Perang Badar. Dalam
peperangan ini, Allah telah menunjukkan kemenangan bagi hamba- hamba-Nya yang ikhlas sekalipun
jumlah mereka masih sedikit. Khunais termasuk salah seorang anggota pasukan muslimin, dan dia
mengalami luka yang cukup parah sekembalinya dari peperangan tersebut. Hafshah senantiasa berada di
sisinya dan mengobati luka yang dideritanya, namun Allah berkehendak memanggil Khunais sebagai
syahid dalam peperangan pertama melawan kebatilan dan kezaliman, sehingga Hafshah menjadi janda.
Ketika itu usia Hafshah baru delapan belas tahun, namun Hafshah telah memiliki kesabaran atas cobaan
yang menimpanya.
Umar sangat sedih karena anaknya telah menjadi janda pada usia yang sangat muda, sehingga dalam
hatinya terbetik niat untuk menikahkan Hafshah dengan seorang muslim yang saleh agar hatinya kembali
tenang. Untuk itu dia pergi ke rumah Abu Bakar dan merninta kesediaannya untuk menikahi putrinya.
Akan tetapi, Abu Bakar diam, tidak menjawab sedikit pun. Kemudian Umar menemui Utsman bin Affan
dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, pada saat itu Utsman masih berada
dalam kesedihan karena istrinya, Ruqayah binti Muhammad, baru meninggal. Utsman pun menolak
permintaan Umar. Menghadapi sikap dua sahabatnya, Umar sangat kecewa, dan dia bertambah sedih
karena memikirkan nasib putrinya. Kemudian dia menemui Rasulullah dengan maksud mengadukan sikap
kedua sahabatnya. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah bersabda, “Hafshah akan menikah dengan
seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang
yang lebih baik daripada Hafshah.” Semula Umar tidak memahami maksud ucapan Rasulullah, tetapi
karena kecerdasan akalnya, dia kemudian memahami bahwa Rasulullah yang akan meminang putrinya.
Umar merasa sangat terhormat mendengar niat Rasulullah untuk menikahi putrinya, dan kegembiraan
tampak pada wajahnya. Umar langsung menemui Abu Bakar untuk mengutarakan maksud Rasulullah Abu
Bakar berkata, “Aku tidak bermaksud menolakmu dengan ucapanku tadi, karena aku tahu bahwa
Rasulullah telah menyebut-nyebut nama Hafshah, namun aku tidak mungkin membuka rahasia beliau
kepadamu. Seandainya Rasulullah membiarkannya, tentu akulah yang akan menikahi Hafshah.” Umar
baru memahami mengapa Abu Bakar menolak menikahi putrinya. Sedangkan sikap Utsman hanya karena
sedih atas meninggalnya Ruqayah dan dia bermaksud menyunting saudaranya, Ummu Kultsum, sehingga
nasabnya dapat terus bersambung dengan Rasulullah. Setelah Utsman menikah dengan Ummu Kultsum,
dia dijuluki dzunnuraini (pemilik dua cahaya). Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah lebih dianggap
sebagai penghargaan beliau terhadap Umar, di samping juga karena Hafshah adalah seorang janda
seorang mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah as-Sahami.
Berada di Rumah Rasulullah
Di rumah Rasulullah, Hafshah menempati kamar khusus, sama dengan Saudah binti Zam’ah dan Aisyah
binti Abu Bakar. Secara manusiawi, Aisyah sangat mencemburui Hafshah karena mereka sebaya, lain
halnya Saudah binti Zum’ah yang menganggap Hafshah sebagai wanita mulia putri Umar bin Khaththab,
sahabat Rasulullah yang terhormat.
Umar memahami bagaimana tingginya kedudukan Aisyah di hati Rasulullah. Dia pun mengetahui bahwa
orang yang menyebabkan kemarahan Aisyah sama halnya dengan menyebabkan kemarahan Rasulullah,
dan yang ridha terhadap Aisyah berarti ridha terhadap Rasulullah. Karena itu Umar berpesan kepada
putrinya agar berusaha dekat dengan Aisyah dan mencintainya. Selain itu, Umar meminta agar Hafshah
menjaga tindak-tanduknya sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi perselisihan. Akan tetapi,
memang sangat manusiawi jika di antara mereka masih saja terjadi kesalahpahaman yang bersumber
dari rasa cemburu. Dengan lapang dada Rasulullah mendamaikan mereka tanpa menimbulkan kesedihan
di antara istri – istrinya. Salah satu contoh adalah kejadian ketika Hafshah melihat Mariyah al-Qibtiyah
datang rnenemui Nabi dalam suatu urusan. Mariyah berada jauh dari masjid, dan Rasulullah menyuruhnya
masuk ke dalam rumah Hafshah yang ketika itu sedang pergi ke rumah ayahnya, dia melihat tabir kamar
tidurnya tertutup, sementara Rasulullah dan Mariyah berada di dalamnya. Melihat kejadian itu, amarah
Hafshah meledak. Hafshah menangis penuh amarah. Rasulullah berusaha membujuk dan meredakan
amarah Hafshah, bahkan beliau bersumpah mengharamkan Mariyah baginya kalau Mariyah tidak meminta
maaf pada Hafshah, dan Nabi meminta agar Hafshah merahasiakan kejadian tersebut.
Merupakan hal yang wajar jika istri-istri Rasulullah merasa cemburu terhadap Mariyah, karena dialah
satu-satunya wanita yang melahirkan putra Rasulullah setelah Siti Khadijah Radhiyallahu ‘anha. Kejadian
itu segera menyebar, padahal Rasulullah telah memerintahkan untuk menutupi rahasia tersebut. Berita itu
akhirnya diketahui oleh Rasulullah sehingga beliau sangat marah. Sebagian riwayat mengatakan bahwa
setelah kejadian tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menceraikan Hafshah, namun beberapa
saat kemudian beliau merujuknya kembali karena melihat ayah Hafshah, Umar, sangat resah. Sementara
riwayat lain menyebutkan bahwa Rasulullah bermaksud menceraikan Hafshah, tetapi Jibril mendatangi
beliau dengan maksud memerintahkan beliau untuk mempertahankan Hafshah sebagai istrinya karena dia
adalah wanita yang berpendirian teguh. Rasulullah pun mempertahankan Hafshah sebagai istrinya,
terlebih karena tersebut Hafshah sangat menyesali perbuatannya dengan membuka rahasia dan
memurkakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Umar bin Khaththab mengingatkan putrinya agar tidak lagi membangkitkan amarah Rasulullah dan
senantiasa menaati serta mencari keridhaan beliau. Umar bin Khaththab meletakkan keridhaan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam pada tempat terpenting yang harus dilakukan oleh Hafshah. Pada dasarnya,
Rasulullah menikahi Hafshah karena memandang keberadaan Umar dan merasa kasihan terhadap
Hafshah yang ditinggalkan suaminya. Allah menurunkan ayat berikut ini sebagai antisipasi atas isu-isu
yang tersebar.
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang telah Allah menghalalkannya bagimu,- kamu mencari
kesenangan hati istri -istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang Sesungguhnya Allah
telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dan sumpahmu; dan Allah adalah
pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan
secara rahasia kepada salah seorang dan istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah)
menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan
antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang
diberiitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala
(Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya,
‘Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab, ‘Telah diberitahukan kepadaku
oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka
sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu
membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya (begitu pula) Jibril dan
orang-orang mukmin yang haik; dan selain dan itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. Jika Nabi
menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik
daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang
berpuasa, yang janda, dan yang perawan.” (Qs. At-Tahrim:1-5)

Cobaan Besar
Hafshah senantiasa bertanya kepada Rasulullah dalam berbagai masalah, dan hal itu menyebabkan
marahnya Umar kepada Hafshah, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa
memperlakukan Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Beliau bersabda, “Berwasiatlah
engkau kepada kaum wanita dengan baik.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah marah besar
kepada istri-istrinya ketika mereka meminta tambahan nafkah sehingga secepatnya Umar mendatangi
rumah Rasulullah. Umar melihat istri-istri Rasulullah murung dan sedih, sepertinya telah terjadi
perselisihan antara mereka dengan Rasulullah. Secara khusus Umar memanggil putrinya, Hafshah, dan
mengingatkannya untuk menjauhi perilaku yang dapat membangkitkan amarah beliau dan menyadari
bahwa beliau tidak memiliki banyak harta untuk diberikan kepada mereka. Karena marahnya, Rasulullah
bersumpah untuk tidak berkumpul dengan istri-istri beliau selama sebulan hingga mereka menyadari
kesalahannya, atau menceraikan mereka jika mereka tidak menyadari kesalahan. Kaitannya dengan hal
ini, Allah berfirman,
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala
perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu
secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di
kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian
pahala yang besar. “ (QS. Al-Ahzab)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjauhi istri-istrinya selama sebulan di dalam sebuah kamar yang
disebut khazanah, dan seorang budak bernama Rabah duduk di depan pintu kamar.
Setelah kejadian itu tersebarlah kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
telah menceraikan istri-istri beliau. Yang paling merasakan keresahan adalah Umar bin Khaththab,
sehingga dia segera menemui putrinya yang sedang menangis. Umar berkata, “Sepertinya Rasulullah
telah menceraikanmu.” Dengan terisak Hafshah menjawab, “Aku tidak tahu.” Umar berkata, “Beliau telah
menceraikanmu sekali dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau menceraikanmu sekali lagi, aku tidak
akan berbicara dengan mu selama-lamanya.” Hafshah menangis dan menyesali kelalaiannya terhadap
suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyendiri, belum ada
seorang pun yang dapat memastikan apakah beliau menceraikan istri-istri beliau atau tidak. Karena tidak
sabar, Umar mendatangi khazanah untuk menemui Rasulullah yang sedang menyendiri. Sekarang ini
Umar menemui Rasulullah bukan karena anaknya, melainkan karena cintanya kepada beliau dan merasa
sangat sedih melihat keadaan beliau, di samping memang ingin memastikan isu yang tersebar. Dia
merasa putrinyalah yang menjadi penyebab kesedihan beliau. Umar pun meminta penjelasan dari beliau
walaupun di sisi lain dia sangat yakin bahwa beliau tidak akan menceraikan istri – istri beliau. Dan
memang benar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan menceraikan istri-istri beliau sehingga
Umar meminta izin untuk mengumumkan kabar gembira itu kepada kaum muslimin. Umar pergi ke masjid
dan mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menceraikan istri-istri beliau. Kaum
muslimin menyambut gembira kabar tersebut, dan tentu yang lebih gembira lagi adalah istri-istri beliau.
Setelah genap sebulan Rasulullah menjauhi istri-istrinya, beliau kembali kepada mereka. Beliau melihat
penyesalan tergambar dari wajah mereka. Mereka kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk lebih
meyakinkan lagi, beliau mengumumkan penyesalan mereka kepada kaum muslimin. Hafshah dapat
dikatakan sebagai istri Rasul yang paling menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada Allah dengan
sepenuh hati dan menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah. Hafshah memperbanyak ibadah,
terutama puasa dan shalat malam. Kebiasaan itu berlanjut hingga setelah Rasulullah wafat. Bahkan pada
masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, dia mengikuti perkembangan penaklukan-penaklukan besar, baik
di bagian timur maupun barat.
Hafshah merasa sangat kehilangan ketika ayahnya meninggal di tangan Abu Lu’luah. Dia hidup hingga
masa kekhalifahan Utsman, yang ketika itu terjadi fitnah besar antar muslimin yang menuntut balas atas
kematian Khalifah Utsman hingga masa pembai’atan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu,
Hafshah berada pada kubu Aisyah sebagaimana yang diungkapkannya, “Pendapatku adalah sebagaimana
pendapat Aisyah.” Akan tetapi, dia tidak termasuk ke dalam golongan orang yang menyatakan diri
berba’iat kepada Ali bin Abi Thalib karena saudaranya, Abdullah bin Umar, memintanya agar berdiam di
rumah dan tidak keluar untuk menyatakan ba’iat.
Tentang wafatnya Hafshah, sebagian riwayat mengatakan bahwa Sayyidah Hafshah wafat pada tahun ke
empat puluh tujuh pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dia dikuburkan di Baqi’,
bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang lain.
Pemilik Mushaf yang Pertama
Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya Al-Qur’an di tangannya setelah mengalami
penghapusan karena dialah satu-satunya istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang pandai membaca dan
menulis. Pada masa Rasul, Al-Qur’an terjaga di dalam dada dan dihafal oleh para sahabat untuk kemudian
dituliskan pada pelepah kurma atau lembaran-lembaran yang tidak terkumpul dalam satu kitab khusus.
Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan Riddah
(peperangan melawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khaththab untuk mendesak
Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer. Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau
mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena pada zaman
Rasul hal itu tidak pernah dilakukan. Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu bakar akhirnya memerintah
Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya. Mushaf asli Al-Qur’an
itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal.
Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Hafshah Radhiyallahu ‘anha dan semoga Allah memberinya
tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.

Pernikahan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dengan Zainab binti Jahsy didasarkan pada perintah
Allah sebagai jawaban terhadap tradisi jahiliah. Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah yang berasal dan
kalangan kerabat sendiri. Zainab adalah anak perempuan dari bibi Rasulullah, Umaimah binti Abdul
Muththalib. Beliau sangat mencintai Zainab.
Nasab dan Masa Pertumbuhannya
Nama lengkap Zainab adalah Zainab binti Jahsy bin Ri’ab bin Ya’mar bin Sharah bin Murrah bin Kabir bin
Gham bin Dauran bin Asad bin Khuzaimah. Sebelum menikah dengan Rasulullah, namanya adalah Barrah,
kemudian diganti oleh Rasulullah menjadi Zainab setelah menikah dengan beliau. Ibu dari Zainab
bernama Umaimah binti Abdul-Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushai. Zainab dilahirkan di Mekah
dua puluh tahun sebelum kenabian. Ayahnya adalah Jahsy bin Ri’ab. Dia tergolong pernimpin Quraisy
yang dermawan dan berakhlak baik. Zainab yang cantik dibesarkan di tengah keluarga yang terhormat,
sehingga tidak heran jika orang-orang Quraisy menyebutnya dengan perempuan Quraisy yang cantik.
Zainab termasuk wanita pertama yang memeluk Islam. Allah pun telah menerangi hati ayah dan
keluarganya sehingga memeluk Islam. Dia hijrah ke Madinah bersama keluarganya. Ketika itu dia masih
gadis walaupun usianya sudah layak menikah.

Pernikahannya dengan Zaid bin Haritsah


Terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang memerintahkan Zainab dan Zaid melangsungkan pernikahan.
Zainab berasal dan golongan terhormat, sedangkan Zaid bin Haritsah adalah budak Rasulullah yang
sangat beliau sayangi, sehingga kaum muslimin menyebutnya sebagai orang kesayangan Rasulullah. Zaid
berasal dari keluarga Arab yang kedua orang tuanya beragama Nasrani. Ketika masih kecil, dia berpisah
dengan kedua orang tuanya karena diculik, kemudian dia dibeli oleh Hakam bin Hizam untuk bibinya,
Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha, lalu dihadiahkannya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam.
Ayah Zaid, Haritsah bin Syarahil, senantiasa mencarinya hingga dia mendengar bahwa Zaid berada di
rumah Rasulullah. Ketika Rasulullah menyuruh Zaid memilih antara tetap bersama beliau atau kembali
pada orang tua dan pamannya, Zaid berkata, “Aku tidak menginginkan mereka berdua, juga tidak
menginginkan orang lain yang engkau pilihkan untukku. Engkau bagiku adalah ayah sekaligus paman.”
Setelah itu, Rasulullah mengumumkan pembebasan Zaid dan pengangkatannya sebagai anak. Ketika
Islam datang, Zaid adalah orang yang pertama kali memeluk Islam dari kalangan budak. Dia senantiasa
berada di dekat Nabi, terutama setelah dia meninggalkan Mekah, sehingga beliau sangat mencintainya,
bahkan beliau pernah bersabda tentang Zaid,
“Orang yang aku cintai adalah orang yang telah Allah dan aku beri nikmat. (HR. Ahmad)
Allah telah memberikan nikmat kepada Zaid dengan keislamannya dan Nabi telah memberinya nikmat
dengan kebebasannya. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau mempersaudarakan Zaid dengan
Hamzah bin Abdul Muththalib. Dalam banyak peperangan, Zaid selalu bersama Rasulullah, dan tidak
jarang pula dia ditunjuk untuk menjadi komandan pasukan. Tentang Zaid, Aisyah pernah berkata,
“Rasulullah tidak mengirimkan Zaid ke medan perang kecuali selalu menjadikannya sebagai komandan
pasukan, Seandainya dia tetap hidup, beliau pasti menjadikannya sebagai pengganti beliau.”
Masih banyak riwayat yang menerangkan kedudukan Zaid di sisi Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Sesampainya di Madinah beliau meminang Zainab binti Jahsy untuk Zaid bin Haritsah. Semula Zainab
membenci Zaid dan menentang menikah dengannya, begitu juga dengan saudara laki-lakinya. Menurut
mereka, bagaimana mungkin seorang gadis cantik dan terhormat menikah dengan seorang budak?
Rasulullah menasihati mereka berdua dan menerangkan kedudukan Zaid di hati beliau, sehingga turunlah
ayat kepada mereka:
“Dan tidaklah patut bagi laki -laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata.“ (Q.S. Al-Ahzab: 36)
Akhirnya Zainab menikah dengan Zaid sebagai pelaksanaan atas perintah Allah, meskipun sebenarnya
Zainab tidak menyukai Zaid. Melalui pernikahan itu Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam ingin menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali dalam ketakwaan dan amal perbuatan mereka yang
baik. Pernikahan itu pun bertujuan untuk menghilangkan tradisi jahiliyah yang senang membanggakan diri
dan keturunan. Akan tetapi, Zainab tetap tidak dapat menerima pernikahan tersebut karena ada
perbedaan yang jauh di antara mereka berdua. Di depan Zaid, Zainab selalu membangga-banggakan
dirinya sehingga menyakiti hati Zaid. Zaid menghadap Rasulullah untuk mengadukan perlakukan Zainab
terhadap dirinya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menyuruhnya untuk bersabar, dan Zaid pun
mengikuti nasihat beliau. Akan tetapi, dia kembali menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa dirinya
tidak mampu lagi hidup bersama Zainab.
Mendengar itu, beliau bersabda, “Pertahankan terus istrimu itu dan bertakwalah kepada Allah.” Kemudian
beliau mengingatkan bahwa pernikahan itu merupakan perintah Allah. Beberapa saat kemudian turunlah
ayat, “Pertahankan terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah.” Zaid berusaha menenangkan diri dan
bersabar, namun tingkah laku Zainab sudah tidak dapat dikendalikan, akhirnya terjadilah talak.
Selanjutnya, Zainab dinikahi Rasulullah.
Prinsip dasar yang melatarbelakangi pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy adalah untuk
menghapuskan tradisi pengangkatan anak yang berlaku pada zaman jahiliah. Artinya, Rasulullah ingin
menjelaskan bahwa anak angkat tidak sama dengan anak kandung, seperti halnya Zaid bin Haritsah yang
sebelum turun ayat Al-Qur’an telah diangkat sebagai anak oleh beliau. Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman,
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka,’ itulah yang
lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka
sebagai) saudara-saudara seagama dan maula-maulamu.” (QS. Al-Ahzab:5)
Karena itu, seseorang tidak berhak mengakui hubungan darah dan meminta hak waris dan orang tua
angkat (bukan kandung). Karena itulah Rasulullah menikahi Zainab setelah bercerai dengan Zaid yang
sudah dianggap oleh orang banyak sebagai anak Muhammad. Allah telah menurunkan wahyu agar Zaid
menceraikan istrinya kemudian dinikahi oleh Rasulullah. Pada mulanya Rasulullab tidak memperhatikan
perintah tersebut, bahkan meminta Zaid mempertahankan istrinya. Allah memberikan peringatan sekali
lagi dalam ayat:
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan
kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, ‘Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,
‘sedang kamu menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut
kepada manusia, sedang Allah- lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah
mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak
ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak- anak angkat mereka, apabila anak-
anak angkat itu telah menyelesaikan keperluan daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti
terjadi.“ (QS. Al-Ahzab:37)
Ayat di atas merupakan perintah Allah agar Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menikahi Zainab dengan
tujuan meluruskan pemahaman keliru tentang kedudukan anak angkat.

Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengutus seseorang untuk mengabari Zainab tentang perintah
Allah tersebut. Betapa gembiranya hati Zainab mendengar berita tersebut, dan pesta pernikahan pun
segera dilaksanakan serta dihadiri warga Madinah.
Zainab mulai memasuki rumah tangga Rasulullah dengan dasar wahyu Allah. Dialah satu-satunya istri
Nabi yang berasal dari kerabat dekatnya. Rasulullah tidak perlu meminta izin jika memasuki rumah Zainab
sedangkan kepada istri-istri lainnya beliau selalu meminta izin. Kebiasaan seperti itu ternyata
menimbulkan kecemburuan di hati istri Rasul lainnya.
Orang-orang munafik yang tidak senang dengan perkembangan Islam membesar-besarkan fitnah bahwa
Rasulullah telah menikahi istri anaknya sendiri. Karena itu, turunlah ayat yang berbunyi,
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah
Rasulullah dan penutup nabi-nabi…. “ (Qs. Al-Ahzab: 40)
Zainab berkata kepada Nabi, “Aku adalah istrimu yang terbesar haknya atasmu, aku utusan yang terbaik
di antara mereka, dan aku pula kerabat paling dekat di antara mereka. Allah menikahkanku denganmu
atas perintah dari langit, dan Jibril yang membawa perintah tersebut. Aku adalah anak bibimu. Engkau
tidak memiliki hubungan kerabat dengan mereka seperti halnya denganku.” Zainab sangat mencintai
Rasulullah dan merasakan hidupnya sangat bahagia. Akan tetapi, dia sangat pencemburu terhadap istri
Rasul lainnya, sehingga Rasulullah pernah tidak tidur bersamanya selama dua atau tiga bulan sebagai
hukuman atas perkataannya yang menyakitkan hati Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab wanita Yahudiyah
itu.
Zainab bertangan terampil, menyamak kulit dan menjualnya, juga mengerjakan kerajinan sulaman, dan
hasilnya diinfakkan di jalan Allah.

Wafatnya
Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah yang pertama kali wafat menyusul beliau, yaitu pada tahun
kedua puluh hijrah, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dalam usianya yang ke-53, dan
dimakamkan di Baqi. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Zainab berkata menjelang ajalnya, “Aku
telah menyiapkan kain kafanku, tetapi Umar akan mengirim untukku kain kafan, maka bersedekahlah
dengan salah satunya. Jika kalian dapat bersedekah dengan semua hak-hakku, kerjakanlah dari sisi yang
lain.” Semasa hidupnya, Zainab banyak mengeluarkan sedekah di jalan Allah.
Tentang Zainab, Aisyah berkata, “Semoga Allah mengasihi Zainab. Dia banyak menyamaiku dalam
kedudukannya di hati Rasulullah. Aku belum pernah melihat wanita yang lebih baik agamanya daripada
Zainab. Dia sangat bertakwa kepada Allah, perkataannya paling jujur, paling suka menyambung tali
silaturahmi, paling banyak bersedekah, banyak mengorbankan diri dalam bekerja untuk dapat
bersedekah, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Selain Saudah, dia yang memiliki tabiat yang
keras.”
Semoga Allah memberikan kemuliaan kepadanya (Sayyidah Zainab Binti Jahsy) di akhirat dan
ditempatkan bersama hamba-hamba yang saleh. Amin.

Khadijah binti Khuwaild adalah sebaik-baik wanita ahli surga. Ini sebagaimana sabda Rasulullah, “Sebaik-baik wanita ahli
surga adalah Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid.” Khadijah adalah wanita pertama yang hatinya tersirami
keimanan dan dikhususkan Allah untuk memberikan keturunan bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam., menjadi
wanita pertama yang menjadi Ummahatul Mukminin, serta turut merasakan berbagai kesusahan pada fase awal jihad
pcnyebaran agama Allah kepada seluruh umat manusia.
Khadijah adalah wanita yang hidup dan besar di lingkungan Suku Quraisy dan lahir dari keluarga terhormat pada lima
belas tahun sebelum Tahun Gajah, sehingga banyak pemuda Quraisv yang ingin mempersuntingnya. Sebelum menikah
dengan Rasulullah, Khadijah pernah dua kali menikah. Suami pertama Khadijah adalah Abu Halah at-Tamimi, yang wafat
dengan meninggalkan kekayaan yang banyak, juga jaringan perniagaan yang luas dan berkembang. Pernikahan kedua
Khadijah adalah dengan Atiq bin Aidz bin Makhzum, yang juga wafat dengan meninggalkan harta dan perniagaan.
Dengan demikian, Khadijah menjadi orang terkaya di kalangan suku Quraisy.

Wanita Suci
Sayyidah Khadijah dikenal dengan julukan wanita suci sejak perkawinannya dengan Abu Halah dan Atiq bin Aidz karena
keutamaan akhlak dan sifat terpujinya. Karena itu, tidak heran jika kalangan Quraisy memberikan penghargaan dan
berupa penghormatan yang tinggi kepadanya.
Kekayaan yang berlimpahlah yang menjadikan Khadijah tetap berdagang. Akan tetapi, Khadijah merasa tidak mungkin
jika semua dilakukan tanpa bantuan orang lain. Tidak mungkin jika dia harus terjun langsung dalam berniaga dan
bepergian membawa barang dagangan ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam pada musim panas. Kondisi itulah yang
menyebabkan Khadijah mulai mempekerjakan beberapa karyawan yang dapat menjaga amanah atas harta dan
dagangannya. Untuk itu, para karyawannya menerima upah dan bagian keuntungan sesuai dengan kesepakatan.
Walaupun pekerjaan itu cukup sulit, bermodalkan kemampuan intelektual dan kecemerlangan pikiran yang didukung
oleh pengetahuan dasar tentang bisnis dan bekerjasama, Khadijah mampu menyeleksi orang-orang yang dapat diajak
berbisnis. Itulah yang mengantarkan Khadilah menuju kesuksesan yang gemilang.

Pemuda yang Jujur


Khadijah memiliki seorang pegawai yang dapat dipercaya dan dikenal dengan nama Maisarah. Dia dikenal sebagai
pemuda yang ikhlas dan berani, sehingga Khadijah pun berani melimpahkan tanggung jawab untuk pengangkatan
pegawai baru yang akan mengiring dan menyiapkan kafilah, menentukan harga, dan memilih barang dagangan.
Sebenarnya itu adalah pekerjaan berat, namun penugasan kepada Maisarah tidaklah sia-sia.

C. Pemuda Pemegang Amanah


Kaum Quraisy tidak mengenal pemuda mana pun yang wara, takwa, dan jujur selain Muhammad bin Abdullah, yang
sejak usia lima belas tahun telah diajak oleh Maisarah untuk menyertainya berdagang.
Seperti biasanya, Maisarah menyertai Muhammad ke Syam untuk membawa dagangan Khadijah, karena memang
keduanya telah sepakat untuk bekerja sama. Perniagaan mereka ketika itu memberikan keuntungan yang sangat banyak
sehingga Maisarah kembali membawa keuntungan yang berlipat ganda. Maisarah mengatakan bahwa keuntungan yang
mereka peroleh itu berkat Muhammad yang berniaga dengan penuh kejujuran. Maisarah menceritakan kejadian aneh
selama melakukan perjalanan ke Syam dengan Muhammad. Selama perjalanan, dia melihat gulungan awan tebal yang
senantiasa mengiringi Muhammad yang seolah-olah melindungi beliau dari sengatan matahari. Dia pun mendengar
seorang rahib yang bernama Buhairah, yang mengatakan bahwa Muhammad adalah laki-laki yang akan menjadi nabi
yang ditunggu-tunggu oleh orang Arab sebagaimana telah tertulis di dalam Taurat dan Injil.
Cerita-cerita tentang Muhammad itu meresap ke dalam jiwa Khadijah, dan pada dasarnya Khadijah pun telah merasakan
adanya kejujuran, amanah, dan cahaya yang senantiasa menerangi wajah Muhammad. Perasaan Khadijah itu
menimbulkan kecenderungan terhadap Muhammad di dalam hati dan pikirannya, sehingga dia menemui anak
pamannya, Waraqah bin Naufal, yang dikenal dengan pengetahuannya tentang orang- orang terdahulu. Waraqah
mengatakan bahwa akan muncul nabi besar yang dinanti-nantikan manusia dan akan mengeluarkan manusia dari
kegelapan menuju cahaya Allah. Penuturan Waraqah itu menjadikan niat dan kecenderungan Khadijah terhadap
Muhammad semakin bertambah, sehingga dia ingin menikah dengan Muhammad. Setelah itu dia mengutus Nafisah,
saudara perempuan Ya’la bin Umayyah untuk meneliti lebih jauh tentang Muhammad, sehingga akhirnya Muhammad
diminta menikahi dirinya.
Ketika itu Khadijah berusia empat puluh tahun, namun dia adalah wanita dari golongan keluarga terhormat dan kaya
raya, sehingga banyak pemuda Quraisy yang ingin menikahinya. Muhammad pun menyetujui permohonan Khadijah
tersebut. Maka, dengan salah seorang pamannya, Muhammad pergi menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin
As’ad untuk meminang Khadijah.

Istri Pertama Rasulullah


Allah menghendaki pernikahan hamba pilihan-Nya itu dengan Khadijah. Ketika itu, usia Muhammad baru menginjak dua
puluh lima tahun, sementara Khadijah empat puluh tahun. Walaupun usia mereka terpaut sangat jauh dan harta
kekayaan mereka pun tidak sepadan, pernikahan mereka bukanlah pernikahan yang aneh, karena Allah Subhanahu wa
ta’ala telah memberikan keberkahan dan kemuliaan kepada mereka.
Khadijah adalah istri Nabi yang pertama dan menjadi istri satu-satunya sebelum dia meninggal. Allah menganugerahi
Nabi Shallallahu alaihi wassalam melalui rahim Khadijah beberapa orang anak ketika dibutuhkan persatuan dan
banyaknya keturunan. Dia telah memberikan cinta dan kasih sayang kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam pada
saat-saat yang sulit dan tindak kekerasan dan kekejaman datang dari kerabat dekat. Bersama Khadijah, Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam memperoleh perlakuan yang baik serta rumah tangga yang tenteram damai, dan penuh cinta
kasih, setelah sekian lama beliau merasakan pahitnya menjadi anak yatirn piatu dan miskin.

Putra-putri Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam


Khadijah melahirkan dua orang anak laki-laki, yaitu Qasim dan Abdullah serta empat orang anak perempuan, yaitu
Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum dan Fatimah. Seluruh putra dan putrinya lahir sebelum masa kenabian, kecuali
Abdullah. Karena itulah, Abdullah kemudian dijuluki ath-Thayyib (yang baik) dan ath-Thahir (yang suci).
Zainab banyak menyerupai ibunya. Setelah besar, Zainab dinikahkan dengan anak bibinya, Abul Ash ibnur Rabi’.
Pernikahan Zainab ini merupakan peristiwa pertama Rasulullah menikahkan putrinya, dan yang terakhir beliau
menikahkan Ummu Kultsum dan Ruqayah dengan dua putra Abu Lahab, yaitu Atabah dan Utaibah. Ketika Nabi
Shallallahu alaihi wassalam. diutus menjadi Rasul, Fathimah az-Zahra, putri bungsu beliau masih kecil.
Selain mereka ada juga Zaid bin Haritsah yang sering disebut putra Muhammad. Semula, Zaid dibeli oleh Khadijah dari
pasar Mekah yang kemudian dijadikan budaknya. Ketika Khadijah menikah dengan Muhammad, Khadijah memberikan
Zaid kepada Muhammad sebagai hadiah. Rasulullah sangat mencintai Zaid karena dia memiliki sifat-sifat yang terpuji.
Zaid pun sangat mencintai Rasulullah. Akan tetapi di tempat lain, ayah kandung Zaid selalu mencari anaknya dan akhirnya
dia mendapat kabar bahwa Zaid berada di tempat Muhammad dan Khadijah. Dia mendatangi Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam untuk memohon agar beliau mengembalikan Zaid kepadanya walaupun dia harus membayar mahal.
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam memberikan kebebasan penuh kepada Zaid untuk memilih antara tetap tinggal
bersamanya atau ikut bersama ayahnya. Zaid tetap memilih hidup bersama Rasulullah, sehingga dari sinilah kita dapat
mengetahui sifat mulia Zaid.
Agar pada kemudian hari nanti tidak menjadi masalah yang akan memberatkan ayahnya, Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam dan Zaid bin Haritsah menuju halaman Ka’bah untuk mengummkan kebebasan Zaid dan pengangkatan Zaid
sebagai anak. Setelah itu, ayahnya merelakan anaknya dan merasa tenang. Dari situlah mengapa banyak yang menjuluki
Zaid dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Akan tetapi, hukum pengangkatan anak itu gugur setelah turun ayat yang
membatalkannya, karena hal itu merupakan adat jahiliah, sebagaimana firman Allah berikut ini:
” … jika kamu mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah merela sebagai) saudara-saudaramu seagama dan
maula-maulamu … ” (QS. At-Taubah:5)

Pada Masa Kenabian Muhammad Shallallahu alaihi wassalam.


Muhammad bin Abdullah hidup berumah tangga dengan Khadijah binti Khuwailid dengan tenteram di bawah naungan
akhlak mulia dan jiwa suci sang suami. Ketika itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. menjadi tempat mengadu
orang-orang Quraisy dalam menyelesaikan perselisihan dan pertentangan yang terjadi di antara mereka. Hal itu
menunjukkan betapa tinggi kedudukan Rasulullah di hadapan mereka pada masa pra kenabian. Beliau menyendiri di Gua
Hira, menghambakan diri kepada Allah yang Maha Esa, sesuai dengan ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihissalam
Khadijah sangat ikhlas dengan segala sesuatu yang dilakukan suaminya dan tidak khawatir selama ditinggal suaminya.
Bahkan dia menjenguk serta menyiapkan makanan dan minuman selama beliau di dalam gua, karena dia yakin bahwa
apa pun yang dilakukan suaminya merupakan masalah penting yang akan mengubah dunia. Ketika itu, Nabi Muhammad
berusia empat puluh tahun.
Suatu ketika, seperti biasanya beliau menyendiri di Gua Hira –waktu itu bulan Ramadhan–. Beliau sangat gemetar ketika
mendengar suara gaib Malaikat Jibril memanggil beliau. Malaikat Jibril menyuruh beliau membaca, namun beliau hanya
menjawab, “Aku tidak dapat membaca.” Akhirnya, Malaikat Jibril mendekati dan mendekap beliau ke dadanya, seraya
berkata, “Bacalah, wahai Muhammad!” Ketika itu Muhammad sangat bingung dan ketakutan, seraya menjawab, “Aku
tidak dapat membaca.” Mendengar itu, Malaikat Jibril mempererat dekapannya, dan berkata, “Bacalah dengan
menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha
Mulia. Dia mengajari manusia dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan segala sesuatu yang belum mereka
ketahui.”Rasulullah Muhammad mengikuti bacaan tersebut. Keringat deras mengucur dari seluruh tubuhnya sehingga
beliau kepayahan dan tidak menemukan jalan menuju rumah. Khadijah melihat beliau dalam keadaan terguncang seperti
itu, kemudian memapahnya ke rumah, serta berusaha menghilangkan ketakutan dan kekhawatiran yang memenuhi
dadanya. “Berilah aku selimut, Khadijah!” Beberapa kali beliau meminta istrinya menyelimuti tubuhnya. Khadijah
memberikan ketenteraman kepada Rasulullah dengan segala kelembutan dan kasih sayang sehingga beliau merasa
tenteram dan aman. Beliau ridak langsung menceritakan kejadian yang menimpa dirinya kepada Khadijah karena
khawatir Khadijah menganggapnya sebagai ilusi atau khayalan beliau belaka.

Pribadi yang Agung


Setelah rasa takut beliau hilang, Khadilah berupaya agar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. mengutarakan apa yang
telah dialaminya, dan akhirnya beliau pun menceritakan peristiwa yang baru dialaminya. Khadijah mendengarkan cerita
suaminya dengan penuh minat dan mempercayai semuanya, sehingga Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam merasa
bahwa istrinya pun menduga akan terjadinya hal-hal seperti itu.
Sejak semula Khadijah telah yakin bahwa suaminya akan menerima amanat Allah Yang Maha Besar untuk seluruh alam
semesta. Kejadian tersebut merupakan awal kenabian dan tugas Muhammad menyampaikan amanat Allah kepada
manusia. Hal itu pun merupakan babak baru dalam kehidupan Khadijah yang dengannya dia harus mempercayai dan
meyakini ajaran Rasulullah Muhammad, sehingga Rasulullah mengatakan, “Aku mengharapkannya menjadi benteng yang
kuat bagi diriku.”
Di sinilah tampak kebesaran pribadi serta kematangan dan kebijaksanaan pemikiran Khadijah. Khadijah telah mencapai
derajat yang tinggi dan sempurna, yang belum pernah dicapai oleh wanita mana pun. Dia telah berkata kepada
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, “Demi Allah, Allah tidak akan menyia nyiakanmu engkau selalu menghubungkan
silaturrahim, berbicara benar, memikul beban orang lain, menolong orang papa, menghorrnati tamu, dan membantu
meringankan derita dan musibah orang lain.”
Setelah Rasulullah merasa tenteram dan dapat tidur dengan tenang, Khadijah mendatangi anak pamannya, Waraqah bin
Naufal, yang tidak terpengaruhi tradisi jahiliah. Khadijah menceritakan kejadian yang dialami suaminya. Mendengar
cerita mengenai Rasulullah, Waraqah berseru, “Maha Mulia…Maha Mulia…. Demi yang jiwa Waraqah dalam genggaman-
Nya, kalau kau percaya pada ucapanku, maka apa yang dilihat Muhammad di Gua Hira itu merupakan suratan yang turun
kepada Musa dan Isa sebelumnya, dan Muhammad adalah nabi akhir zaman, dan namanya tertulis dalam Taurat dan
Injil.” Mendengar kabar itu, Khadijah segera menemui suaminya (Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam) dan
menyampaikan apa yang dikatakan oleh Waraqah.

Awal Masa Jihad di Jalan Allah


Khadijah meyakini seruan suaminya dan menganut agama yang dibawanya sebelum diumumkan kepada masyarakat.
Itulah langkah awal Khadijah dalam menyertai suaminya berjihad di jalan Allah dan turut menanggung pahit getirnya
gangguan dalam menyebarkan agama Allah.
Beberapa waktu kemudian Jibril kembali mendatangi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam untuk membawa wahyu
kedua dari Allah:
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan dan Tuhanmu agungkanlah dan pakaianmu
bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlab kamu memberi (dengan maksud)
memperoleb (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah” (QS. Al-Muddatstir:1-
7)
Ayat di atas merupakan perintah bagi Rasulullah untuk mulai berdakwah kepada kalangan kerabat dekat dan ahlul-bait
beliau. Khadijah adalah orang pertama yang menyatakan beriman pada risalah Rasulullah Muhammad dan menyatakan
kesediaannya menjadi pembela setia Nabi. Kemudian menyusul Ali bin Abi Thalib, anak paman Rasulullah yang sejak kecil
diasuh dalam rumah tangga beliau. Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak,
kemudian Zaid bin Haritsah, hamba sahaya Rasulullah yang ketika itu dijuluki Zaid bin Muhammad. Dari kalangan laki-laki
dewasa, mulailah Abu Bakar masuk Islam, diikuti Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, az-
Zubair ibnu Awam, Thalhah bin Ubaidilah, dan sahabat-sahat lainnya. Mereka masuk menyatakan Islam secara sembunyi-
sembunyi sehingga harus melaksanakan shalat di pinggiran kota Mekah.

Masa Berdakwah Terang-terangan


Setelah berdakwah secara sembunyi- sembunyi, turunlah perintah Allah kepada Rasulullah untuk memulai dakwah
secara terang-terangan. Karena itu, datanglah beliau ke tengah-tengah umat seraya berseru lantang, “Allahu Akbar,
Allahu Akbar… Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, Dia tidak melahirkan, juga tidak dilahirkan.” Seruan
beliau sangat aneh terdengar di telinga orang-orang Quraisy. Rasulullah Muhammad memanggil manusia untuk
beribadah kepada Tuhan yang satu, bukan Laata, Uzza, Hubal, Manat, serta tuhan-tuhan lain yang memenuhi pelataran
Ka’bah. Tentu saja mereka menolak, mencaci maki, bahkan tidak segan-segan menyiksa Rasulullah. Setiap jalan yang
beliau lalui ditaburi kotoran hewan dan duri.
Khadijah tampil mendampingi Rasulullah dengan penuh kasih sayang, cinta, dan kelembutan. Wajahnya senantiasa
membiaskan keceriaan, dan bibirnya meluncur kata-kata jujur. Setiap kegundahan yang Rasulullah lontarkan atas
perlakuan orang-orang Quraisy selalu didengarkan oleh Khadijah dengan penuh perhatian untuk kemudian dia
memotivasi dan menguatkan hati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam. Bersama Rasulullah, Khadijah turut
menanggung kesulitan dan kesedihan, sehingga tidak jarang dia harus mengendapkan perasaan agar tidak terekspresikan
pada muka dan mengganggu perasaan suaminya. Yang keluar adalah tutur kata yang lemah lembut sebagai penyejuk dan
penawar hati.
Orang yang paling keras menyakiti Rasulullah adalah paman beliau sendiri, Abdul Uzza bin Abdul Muthalib, yang lebih
dikenal dengan sebutan Abu Lahab, beserta istrinya, Ummu Jamil. Mereka memerintah anak-anaknya untuk
memutuskan pertunangan dengan kedua putri Rasulullah, Ruqayah dan Ummu Kultsum. Walaupun begitu, Allah telah
menyediakan pengganti yang lebih mulia, yaitu Utsman bin Affan bagi Ruqayah. Allah mengutuk Abu Lahab lewat firman-
Nya :
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya
dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa
kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut. “ (QS. Al-Lahab:1-5)
Khadijah adalah tempat berlindung bagi Rasulullah. Dari Khadijah, beliau memperoleh keteduhan hati dan keceriaan
wajah istrinya yang senantiasa menambah semangat dan kesabaran untuk terus berjuang menyebarluaskan agama Allah
ke seluruh penjuru. Khadijah pun tidak memperhitungkan harta bendanya yang habis digunakan dalam perjuangan ini.
Sementara itu, Abu Thalib, paman Rasulullah, menjadi benteng pertahanan beliau dan menjaga beliau dari siksaan
orang-orang Quraisy, sebab Abu Thalib adalah figur yang sangat disegani dan diperhitungkan oleh kaum Quraisy.

Pemboikotan Kaum Quraisy terhadap Kaum Muslimin


Setelah berbagai upaya gagal dilakukan untuk menghentikan dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, baik itu
berupa rayuan, intimidasi, dan penyiksaan, kaum Quraisy memutuskan untuk memboikot dan mengepung kaum
muslimin dan menulis deklarasi yang kemudian digantung di pintu Ka’bah agar orang-orang Quraisy memboikot kaum
muslimin, termasuk Rasulullah, istrinya, dan juga pamannya. Mereka terisolasi di pinggiran kota Mekah dan diboikot oleh
kaum Quraisy dalam bentuk embargo atas transportasi, komunikasi, dan keperluan sehari-hari lainnya.
Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah dan istrinya dapat bertahan, walaupun kondisi fisiknya sudah tua dan lemah. Ketika
itu kehidupan Khadijah sangat jauh dan kehidupan sebelumnya yang bergelimang dengan kekayaan, kemakmuran, dan
ketinggian derajat. Khadijah rela didera rasa haus dan lapar dalam mendampingi Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam
dan kaum muslimin. Dia sangat yakin bahwa tidak lama lagi pertolongan Allah akan datang. Keluarga mereka yang lain,
sekali-kali dan secara sembunyi-sembunyi, mengirimkan makanan dan minuman untuk mempertahankan hidup.
Pemboikotan itu berlangsung selama tiga tahun, tetapi tidak sedikit pun menggoyahkan akidah mereka, bahkan yang
mereka rasakan adalah bertambah kokohnya keimanan dalam hati. Dengan demikian, usaha kaum Quraisy telah gagal,
sehingga mereka mengakhiri pemboikotan dan membiarkan kaum muslimin kembali ke Mekah. Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam pun kembali menyeru nama Allah Yang Mulia dan melanjutkan jihad beliau.

Wafatnya Khadijah
Beberapa hari setelah pemboikotan, Abu Thalib jatuh sakit, dan semua orang meyakini bahwa sakit kali ini merupakan
akhir dari hidupnya. Dalam keadaan seperti itu, Abu Sufjan dan Abu Jahal membujuk Abu Thalib untuk menasehati
Muhammad agar menghentikan dakwahnya, dan sebagai gantinya adalah harta dan pangkat. Akan tetapi, Abu Thalib
tidak bersedia, dan dia mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam tidak akan bersedia menukar
dakwahnya dengan pangkat dan harta sepenuh dunia.
Abu Thalib meninggal pada tahun itu pula, maka tahun itu disebut sebagai ‘Aamul Huzni (tahun kesedihan) dalam
kehidupan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Sebaliknya, orang-orang Quraisy sangat gembira atas kematian Abu
Thalib itu, karena mereka akan lebih leluasa mengintimidasi Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam dan pengikutnya.
Pada saat kritis menjelang kematian pamannya, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam membisikkan sesuatu, Secepat ini
aku kehilangan engkau?
Pada tahun yang sama, Sayyidah Khadijah sakit keras akibat beberapa tahun menderita kelaparan dan kehausan karena
pemboikotan itu. Semakin hari, kondisi badannya semakin menurun, sehingga Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
semakin sedih. Bersama Khadijahlah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam membangun kehidupan rumah tangga yang
bahagia. Dalam sakit yang tidak terlalu lama, dalam usia enam puluh lima tahun, Khadijah meninggal, menyusul Abu
Thalib. Khadijah dikuburkan di dataran tinggi Mekah, yang dikenal dengan sebutan al-Hajun. Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam sendiri yang mengurus jenazah istrinya, dan kalimat terakhir yang beliau ucapkan ketika melepas kepergiannya
adalah: “Sebaik-baik wanita penghuni surga adalab Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid.”
Khadijah meninggal setelah mendapatkan kemuliaan yang tidak pernah dimiliki oleh wanita lain, Dia adalah Ummul
Mukminin istri Rasulullah yang pertama, wanita pertama yang mempercayai risalah Rasulullah, dan wanita pertama yang
melahirkan putra-putri Rasulullah. Dia merelakan harta benda yang dimilikinya untuk kepentingan jihad di jalan Allah.
Dialah orang pertama yang mendapat kabar gembira bahwa dirinya adalah ahli surga. Kenangan terhadap Khadijah
senantiasa lekat dalam hati Rasulullah sampai beliau wafat. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah
Khadijah binti Khuwailid dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam membuka lembaran kehidupan rumah tangganya dengan Aisyah yang telah
banyak dikenal. Aisyah laksana lautan luas dalam kedalaman ilmu dan takwa. Di kalangan wanita, dialah sosok yang
banyak menghafal hadits-hadits Nabi, dan di antara istri-istri Nabi, dia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki istri Nabi
yang lain. Ayahnya adalah sahabat dekat Rasulullah yang menemani beliau hijrah. Berbeda dengan istri Nabi yang lain,
kedua orang tua Aisyah melakukan hijrah bersama Rasulullah.
Ketika wahyu datang kepada Rasulullah, Jibril membawa kabar bahwa Aisyah adalah istrinya di dunia dan akhirat,
sebagaimana diterangkan di dalam hadits riwayat Tirmidzi dari Aisyah :
‘Jibril datang membawa gambarnya pada sepotong sutera hijau kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam., lalu berkata, ini
adalah istrimu di dunia dan akhirat.”
Dialah yang menjadi sebab atas turunnya firman Allah yang menerangkan kesuciannya dan membebaskannya dari fitnah
orang-orang munafik.

Nasab dan Masa Kecil Aisyah


Aisyah adalah putri Abdullah bin Quhafah bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tamim bin Marrah bin Ka’ab bin Luay,
yang lebih dikenal dengan nama Abu Bakar ash-Shiddiq dan berasal dari suku Quraisy at-Taimiyah al-Makkiyah. Ayahnya
adalah ash-Shiddiq dan orang pertama yang mempercayai Rasulullah ketika terjadi Isra’ Mi’raj, saat orang-orang tidak
mempercayainya.
Menurut riwayat, ibunya bernama Ummu Ruman. Akan tetapi, riwayat-riwayat lain mengatakan bahwa ibunya adalah
Zainab atau Wa’id binti Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams. Aisyah pun digolongkan sebagai wanita pertama yang masuk
Islam, sebagaimana perkataannya, “Sebelum aku berakal, kedua orang tuaku sudah menganut Islam.”
Ummu Ruman memberikan dua orang anak kepada Abu Bakar, yaitu Abdurrahman dan Aisyah. Anak Iainnya, yaitu
Abdullah dan Asma, berasal dan Qatlah binti Abdul Uzza, istri pertama yang dia nikahi pada masa jahiliyah. Ketika masuk
Islam, Abu Bakar menikahi Asma binti Umais yang kemudian melahirkan Muhammad, juga menikahi Habibah binti
Kharijah yang melahirkan Ummu Kultsum. Aisyah dilahirkan empat tahun sesudah Nabi diutus menjadi Rasulullah. Ketika
dakwah Islam dihambat oleh orang-orang musyrik, Aisyah melihat bahwa ayahnya menanggung beban yang sangat besar.
Semasa kecil dia bermain- main dengan lincah, dan ketika dinikahi Rasulullah usianya belum genap sepuluh tahun. Dalam
sebagian besar riwayat disebutkan bahwa Rasulullah membiarkannya bermain-main dengan teman-temannya.

Pernikahan yang Penuh Berkah


Dua tahun setelah wafatnya Khadijah Radhiyallahu ‘anha, datang wahyu kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam untuk
menikahi Aisyah . Setelah itu Rasulullah berkata kepada Aisyah, “Aku melihatmu dalam tidurku tiga malam berturut-
turut. Malaikat mendatangiku dengan membawa gambarmu pada selembar sutera seraya berkata, ‘Ini adalah istrimu.’
Ketika aku membuka tabirnya, tampaklah wajahmu. Kemudian aku berkata kepadanya, ‘Jika ini benar dari Allah, niscaya
akan terlaksana.” Mendengar kabar itu, Abu Bakar dan istrinya sangat senang, terlebih lagi ketika Rasulullah setuju
menikahi putri mereka, Aisyah. Beliau mendatangi rumah mereka dan berlangsunglah pertunangan yang penuh berkah
itu. Setelah pertunangan itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. hijrah ke Madinah bersama para sahabat, sementara
istri-istri beliau ditinggalkan di Mekah. Setelah beliau menetap di Madinah, beliau mengutus orang untuk menjemput
mereka, termasuk di dalamnya Aisyah . Karena cuaca buruk yang melanda Madinah, Aisyah sakit keras dan badannya
menyusut seperti juga dialami orang-orang Muhajirin. Menyaksikan hal itu, Rasulullah berdoa, “Ya Allah, jadikanlah kami
sebagai orang yang mencintai Madinah sebagaimana cinta kami kepada Mekah, atau bahkan lebih lagi. Sembuhkanlah
penghuninya dan penyakit. Berikanlah keberkahan kepada kami dalam timbangan dan takarannya. Lindungilah kami dan
penyakit, dan alihkanlah penyakit itu ke Juhfah.” Allah mengabulkan doa Rasulullah, dan cuaca berangsur membaik,
sehingga hilanglah penyakit yang melanda kaum muhajirin. Aisyah pun sembuh dan bersiap-siap menghadapi hari
pernikahan dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
Dengan izin Allah menikahlah Aisyah dengan maskawin lima ratus dirham. Ketika ditanya oleh Abu Salamah bin
Abdurrahman tentang jumlah mahar yang diberikan Rasulullah:
Aisyab menjawab, “Mahar Rasulullah kepada istri-irstrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu satu
nasy itu? Dijawab, Tidak. Kemudian lanjut Aisyah. Satu nasy itu sama dengan setengah uqiyah, yaitu lima ratus dirham.
Maka inilah mahar Rasulullah terhadap istri-istri beliau.“ (HR. Muslim)

Istri Kecintaan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam


Aisyah tinggal di kamar yang berdampingan dengan Masjid Nabawi. Di kamar itulah wahyu banyak turun, sehingga kamar
itu disebut juga sebagai tempat turunnya wahyu. Di hati Rasulullah, kedudukan Aisyah sangat istimewa, dan itu tidak
dialami oleh istri-istri beliau yang lain. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dikatakan, “Cinta pertama
yang terjadi di dalam Islam adalah cintanya Rasulullah kepada Aisyah .”
Di dalam riwayat Tirmidzi dikisahkan, “Bahwa ada seseorang yang menghina Aisyah di hadapan Ammar bin Yasir sehingga
Ammar berseru kepadanya, ‘Sungguh celaka kamu. Kamu telab menyakiti istri kecintaan Rasulullah’.”
Selain itu ada juga kisah lain yang menunjukkan besarnya cinta Nabi kepada Aisyah, dan itu sudah diketahui oleh kaum
muslimin saat itu. Oleh karena itu, kaum muslimin senantiasa menanti-nanti datangnya hari giliran Rasulullah pada
Aisyah sebagai hari untuk menghadiahkan sesuatu kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Keadaan seperti itu
menimbulkan kecemburuan di kalangan istri Rasulullah lainnya. Tentang hal itu Aisyah pernah berkata:
“Orang-orang berbondong-bondong memberi hadiah pada hari giliran Rasulullah padaku. Karena itu, teman-temanku
(istri Nabi yang lainnya) berkumpul di tempat Ummu Salamah. Mereka berkata, ‘Hai Ummu Salamah, demi Allah, orang-
orang berbondong-bondong memberikan hadiah pada hari giliranRasulullah di rumah Aisyah, sedangkan kita juga ingin
memperoleh kebaikan sebagaimana yang diinginkan oleh Aisyah.’ Melihat reaksi seperti itu, Rasulullah meminta kaum
muslimin untuk memberikan hadiah kepada beliau pada hari giliran istri Rasulullah yang mana saja. Ummu Salamah pun
telah menyatakan keberatan kepada Rasulullah. Dia berkata, “Rasulullah berpaling dariku. Ketika beliau mendatangi aku,
akupun kembali memperingatkan hal itu, tetapi beliau berbuat hal yang serupa. Ketika aku mengingatkan beliau untuk
yang ketiga kalinya, beliau tetap berpaling dariku, sehingga akhirnya beliau bersabda, ‘Demi Allah, wahyu tidak turun
kepadaku selama aku berada di dekat kalian, kecuali ketika aku dalam satu selimut bersama Aisyah.” (HR. Muslim)
Sekalipun perasaan cemburu istri-istri Rasulullah terhadap Aisyah sangat besar, mereka tetap menghargai kedudukan
Aisyah yang sangat terhormat. Bahkan ketika Aisyah wafat, Ummu Salamah berkata, ”Demi Allah, dia adalah manusia
yang paling beliau cintai setelah ayahnya (Abu Bakar).”
Suatu waktu, Rasulullah ditanya oleh Amru bin ‘Aash, “Siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Beliau
menjawab, “Aisyah!” Amru bertanya lagi, “Dan dari kalangan laki-laki?” Beliau menjawab, “Ayahnya!”(Hadits muttafaqirn
‘alaihi)
Di antara istri-istri Rasulullah, Saudah binti Zam’ah sangat memahami keutamaan- keutamaan Aisyah, sehingga dia
merelakan seluruh malam bagiannya untuk Aisyah.
Suatu hari Shafiyah bin Huyay meminta kerelaan Rasulullah melalui Aisyah, yaitu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu
Majah dari Aisyah.
“Suatu ketika Rasulullah enggan mendekati Shafiyah binti Huyay bin Ahthab. Karena itu Shafyyah berkata kepada Aisyah,
‘Hai Aisyah, apakah engkau dapat merelakan Rasulullah kepadaku? Dan engkau akan mendapatkan hari bagianku. ‘Aisyah
menjawab, ‘Ya!’ Kemudian Aisyah mengambil kerudung yang ditetesi za’faran dan disiram dengan air agar lebih harum.
Setelah itu dia duduk di sebelah Rasulullah, namun beliau bersabda, ‘Ya Aisyah, menjauhlah engkau dariku. Hari ini
bukan hari bagianmu. ‘Aisyab berkata, ‘Ini adalah keutamaan yang diberikan Allah kepada siapa yang dikehendaki-Nya.’
Aisyah kemudian menceritakan duduk permasalahannya dan Rasulullah pun rela kepada Shafyyah.”
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Aisyah sangat memperhatikan sesuatu yang menjadikan Rasulullah rela. Dia
menjaga agar jangan sampai beliau menemukan sesuatu yang tidak menyenangkan darinya. Karena itu, salah satunya,
dia senantiasa mengenakan pakaian yang bagus dan selalu berhias untuk Rasulullah. Menjelang wafat, Rasulullah
meminta izin kepada istri-istrinya untuk beristirahat di rumah Aisyah selama sakitnya hingga wafatnya. Dalam hal ini
Aisyah berkata, “Merupakan kenikmatan bagiku karena Rasulullah wafat di pangkuanku.”

Fitnah Terhadapnya
Aisyah pernah mengalami fitnah yang mengotori lembaran sejarah kehidupan sucinya, hingga turun ayat Al-Q ur’an yang
menerangkan kesucian dirinya. Kisahnya bermula dari sini. Seperti biasanya, sebelum berangkat perang, Rasulullah
mengundi istrinya yang akan menyertainya berperang. Ternyata undian jatuh kepada Aisyah, sehingga Aisyah yang
menyertai beliau dalam Perang Bani al-Musthaliq. Saat itu bertepatan dengan turunnya perintah memakai hijab. Setelah
perang selesai dan kaum muslimin memetik kemenangan, Rasulullah kembali ke Madinah. Ketika tentara Islam tengah
beristirahat di sebuah pelataran, Aisyah masih berada di dalam sekedup untanya. Pada malam harinya, Rasulullah
mengizinkan rombongan berangkat pulang. Ketika itu Aisyah pergi untuk hajatnya, dan kembali. Ternyata, kalung di
lehernya jatuh dan hilang, sehingga dia keluar dari sekedup dan mencari-cari kalungnya yang hilang. Ketika pasukan siap
berangkat, sekedup yang mereka angkat ternyata kosong. Mereka mengira Aisyah berada di dalam sekedup. Setelah
kalungnya ditemukan, Aisyah kembali ke pasukan, namun alangkah kagetnya karena tidak ada seorang pun yang dia
temukan. Aisyah tidak meninggalkan tempat itu, dan mengira bahwa penuntun unta akan tahu bahwa dirinya tidak
berada di dalamnya, sehingga mereka pun akan kembali ke tempat semula. Ketika Aisyah tertidur, lewatlah Shafwan bin
Mu’thil yang terheran-heran melihat Aisyah tidur. Dia pun mempersilakan Aisyah menunggangi untanya dan dia
menuntun di depannya. Berawal dari kejadian itulah fitnah tersebar, yang disulut oleh Abdullah bin Ubay bin Salul.
Ketika tuduhan itu sampai ke telinga Nabi, beliau mengumpulkan para sahabat dan meminta pendapat mereka. Usamah
bin Zaid berkata, “Ya Rasulullah, dia adalah keluargamu … yang kau ketahui hanyalah kebaikan semata.“ Ali juga
berpendapat, “Ya Rasulullah, Allah tidak pernah mempersulit engkau. Banyak wanita selain dia.” Dari perkataan Ali, ada
pihak yang memperuncing masalah sehingga terjadilah pertentangan berkelanjutan antara Aisyah dan Ali. Mendengar
pendapat-pendapat dari para sahabat Nabi, bertambah sedihlah Aisyah, terlebih setelah dia melihat adanya perubahan
sikap pada diri Nabi.
Ketika Aisyah sedang duduk-duduk bersama orang tuanya, Rasulullah menghampirinya dan bersabda:
“Wahai Aisyah aku mendengar berita bahwa kau telah begini dan begitu. Jika engkau benar-benar suci, niscaya Allah
akan menyucikanmu. Akan tetapi, jika engkau telah berbuat dosa, bertobatlah dengan penuh penyesalan, niscaya Allah
akan mengampuni dosamu.” Aisyah menjawab, “Demi Allah, aku tahu bahwa engkau telah mendengar kabar ini, dan
ternyata engkau mempercayainya. Seandainya aku katakan bahwa aku tetap suci pun, niscaya hanya Allahlah yang
mengetahui kesucianku, dan tentunya engkau tak akan mempercayaiku. Akan tetapi, jika aku mengakui perbuatan itu,
sedangkan Allah mengetahui bahwa aku tetap suci, maka kau akan mempercayai perkataanku. Aku hanya dapat
mengatakan apa yang dikatakan Nabi Yusuf, ‘Maka bersabar itu lebih baik’. Dan Allah pula yang akan menolong atas apa
yang engkau gambarkan.”
Aisyah sangat mengharapkan Allah menurunkan wahyu berkaitan dengan masalahnya, namun wahyu itu tidak kunjung
turun. Baru setelah beberapa saat, sebelum seorang pun meninggalkan rumah Rasulullah, wahyu yang menerangkan
kesucian Aisyah pun turun kepada beliau. Rasulullah segera menemui Aisyah dan berkata, “Hai Aisyah, Allah telah
menyucikanmu dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira
bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat
Balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam
penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.”(QS. An-Nuur:11)
Demikianlah kemulian yang disandang Aisyah, sehingga bertambahlah kemuliaan dan keagungannya di hati Rasulullah.

Perjalanan Hidup yang Mulia


Pada hakikatnya, setiap manusia memiliki kelemahan, begitu juga halnya dengan Aisyah, yang selain memiliki
kehormatan dan martabat juga memiliki kekurangan. Dalam hal ini dia pernah berkata,
“Aku tidak pernah melihat pembuat makanan seperti Shafiyyah. Dia selalu menghadiahi makanan kepada Rasulullah.
Tanpa sadar aku pernah memecahkan tempat makanan yang dibawa Shafiyyah. Aku bertanya kepada Rasulullah apa
yang dapat dijadikan sebagai tempat yang pecah itu. Rasulullab menjawab, ‘Tempat diganti dengan tempat dan makanan
diganti dengan makanan.“ (HR. Bukhari)
Aisyah pernah berkata:
“Halah binti Khuwailid, saudara perempuan Khadijah, meminta izin kepada Rasulullah. Ketika itu Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam merasa bahwa cara Halah meminta izin sama dengan cara Khadijah meminta izin, dan beliau merasa
senang atas semua itu. Lalu beliau berkata, ‘Ya Allah, inilah Halah binti Khuwailid.’Aku berkata, ‘Apa yang engkau sebut
itu adalah seorang nenek dari nenek-nenek kaum Quraisy, yang kedua sudut mulutnya merah. Dia telah tua renta ditelan
masa. Semoga Allah memberi untukmu pengganti yang lebih baik daripada dia.‘ Mendengar itu Rasulullah
menjawab, ‘Allah tidak akan memberikan pengganti yang lebih baik daripada Khadijah. Dia telah beriman kepadaku
ketika orang lain mengingkariku. Dia telah mempercayaiku ketika orang lain mendustakanku. Dia telah mendermakan
harta bendanya untuk perjuanganku ketika orang lain menolak memberikan harta mereka. Allah telah memberkahiku
dengan putra-putri lewat Khadijah ketika yang lain tidak memberiku anak.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Terdapat beberapa pendirian yang tegas dan pemecahan problema hukum yang penting, baik khusus yang berkaitan
dengan wanita maupun secara umum yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin secara umum. Diriwayatkan
bahwa pada zaman dahulu seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya dengan sekehendak hati. Wanita itu akan kembali
menjadi istrinya jika suaminya membujuk kembali dalam keadaan iddah, sekalipun dia telah menceraikannya seratus kali.
Bahkan suami itu berkata kepada istrinya, “Demi Allah, aku akan menceraikanmu sehingga engkau menjadi jelas, dan aku
tidak akan memberimu nafkah selamanya”. Istrinya menemui Aisyah dan menceritakan. Dia menjawab, Aku
menceraikanmu jika iddahmu hampir berakhir, dan jika engkau telah suci kembali, aku akan merujukmu kembali. Istrinya
menemui Aisyah dan menceritakan masalah yang dihadapinya. Aisyah terdiam hingga Rasulullah datang. Beliau pun diam
tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut hingga turunlah ayat:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma‘ruf atau menceraikannya dengan
cara yang baik….” (al-Baqarah: 229)
Dalam penetapan hukum pun, Aisyah kerap langsung menemui wanita-wanita yang melanggar syariat Islam. Suatu ketika
dia mendengar bahwa kaum wanita dari Hamash di Syam mandi di tempat pemandian umum. Aisyah mendatangi
mereka dan berkata,
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda, ‘Perempuan yang menanggalkan pakaiannya di
rumah selain rumah suaminya maka dia telah membuka tabir penutup antara dia dengan Tuhannya.“ (HR. Ahmad, Abu
Daud, dan Ibnu Majah)
Aisyah pun pernah menyaksikan adanya perubahan pada pakaian yang dikenakan wanita-wanita Islam setelah Rasulullah
wafat. Aisyah menentang perubahan tersebut seraya berkata, “Seandainya Rasulullah melihat apa yang terjadi pada
wanita (masa kini), niscaya beliau akan melarang mereka memasuki masjid sebagaimana wanita Israel dilarang memasuki
tempat ibadah mereka.”
Di dalam Thabaqat Ibnu Saad mengatakan bahwa Hafshah binti Abdirrahman menemui Ummul-Mukminin Aisyah . Ketika
itu Hafsyah mengenakan kerudung tipis. Secepat kilat Aisyah menarik kerudung tersebut dan menggantinya dengan
kerudung yang tebal.

Hadist yang Diriwayatkan Aisyah


Aisyah memiliki wawasan ilmu yang luas serta menguasai masalah-masalah keagamaan, baik yang dikaji dari Al-Qur’an,
hadits-hadits Nabi, maupun ilmu fikih. Tentang masalah ilmu-ilmu yang dimiliki Aisyah ini, di dalam Al-Mustadrak, al-
Hakim mengatakan bahwa sepertiga dari hukum-hukum syariat dinukil dan Aisyah. Abu Musa al-Asya’ari berkata, “Setiap
kali kami menemukan kesulitan, kami temukan kemudahannya pada Aisyah.” Para sahabat sering meminta pendapat jika
menemukan masalah yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri. Aisyah pun sering mengoreksi ayat, hadits, dan hukum
yang keliru diberlakukan untuk kemudian dijelaskan kembali maksud yang sebenarnya. Salah satu contoh adalah
perkataan yang diungkapkan oleh Abu Hurairah. Ketika itu Abu Hurairah merujuk hadits yang diriwayatkan oleh Fadhi
ibnu Abbas bahwa barang siapa yang masih dalam keadaan junub pada terbit fajar, maka dia dilarang berpuasa. Ketika
Abu Hurairah bertanya kepada Aisyah, Aisyah menjawab, “Rasulullah pernah junub (pada waktu fajar) bukan karena
mimpi, kemudian beliau meneruskan puasanya.” Setelah mengetahui hal itu, Abu Hurairah berkata, “Dia lebih
mengetahui tentang keluarnya hadits tersebut.” Kamar Aisyah lebih banyak berfungsi sebagai sekolah, yang murid-
muridnya berdatangan dari segala penjuru untuk menuntut ilmu. Bagi murid yang bukan mahramnya, Aisyah senantiasa
membentangkan kain hijab di antara mereka. Aisyah tidak pernah mempermudah hukum kecuali jika sudah jelas dalilnya
dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Aisyah adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah sehingga banyak menyaksikan turunnya wahyu kepada beliau,
sebagaimana perkataannya ini:
“Aku pernah melihat wahyu turun kepada Rasulullah pada suatu hari yang sangat dingin sehingga beliau tidak sadarkan
diri, sementara keringat bercucuran dari dahi beliau.“ (HR. Bukhari)
Aisyah pun memiliki kesempatan untuk bertanya langsung kepada Rasulullah jika menemukan sesuatu yang belum dia
pahami tentang suatu ayat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dia memperoleh ilmu langsung dan Rasulullah
sebagaimana ungkapannya ini:
“Aku bertanya kepada Rasulullah tentang ayat ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan
dengan hati yang takut….’ (QS. Al-Mu’minun: 60). Apakah yang dimaksud dengan ayat di atas adalah para peminum
khamar dan pencuri?” Beliau menjawab, ‘Bukan, putri ash-Shiddiq! Mereka adalah orang yang berpuasa, shalat, dan
bersedekah, tetapi takut (amal mereka tidak diterima). Mereka menyegerakan diri dalam kebaikan, tetapi mendahului
(menentukan sendiri) kebaikan tersebut.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi).
Aisyah berkata lagi: “Aku bertanya kepada Rasulullah tentang firman Allah: ‘Yauma tabdalul-ardhu ghairal-ardha was-
samawati. Di manakah manusia berada, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Manusia berada di atas shirath.“ (HR.
Muslim)
Aisyah termasuk wanita yang banyak menghafalkan hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wassalam, sehingga para ahli
hadits menempatkan dia pada urutan kelima dari para penghafal hadits setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik,
dan Ibnu Abbas. Aisyah memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki siapa pun, yaitu meriwayatkan hadits yang langsung
dia peroleh dan Rasulullah dan menghafalkannya di rumah. Karena itu, sering dia meriwayatkan hadits yang tidak pernah
diriwayatkan oleh perawi hadits lain. Para sahabat penghafal hadits sering mengunjungi rumah Aisyah untuk langsung
memperoleh hadits Rasulullah karena kualitas kebenarannya sangat terjamin. Jika berselisih pendapat tentang suatu
masalah, tidak segan-segan mereka meminta penyelesaian dari Aisyah. Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, anak
saudara laki-laki Aisyah, mengatakan bahwa pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, Aisyah menjadi
penasihat pemerintah hingga wafat.
Aisyah dikenal sebagai perawi hadits yang mengistinbath hukum sendiri ketika kejelasan hukumnya tidak ditemukan
dalam Al-Qur’an dan hadits lain. Dalam hal ini, Abu Salamah berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang yang lebih
mengetahui Sunnah Rasulullah, lebih benar pendapatnya jika dia berpendapat, lebih mengetahui bagaimana Al-Qur’an
turun, serta lebih mengenal kewajibannya selain Aisyah.”
Suatu ketika Saad bin Hisyam menemui Aisyah, dan berkata, “Aku ingin bertanya tentang bagaimana pendapatmu jika
aku tetap membujang selamanya.” Aisyah menjawab, “Janganlah kau lakukan hal itu, karena aku mendengar Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam bersabda tentang firman Allah: ‘Telah kami utus rasul-rasul sebelummu, dan Kami telah
ciptakan bagi mereka istri-istri dan keturunan.’ Oleh karena itu, janganlah kamu membujang.” Urwah bin Zubeir, salah
seorang murid Aisyah, sangat mengagumi keluarbiasaan penguasaan ilmu Aisyah. Dia berkata, “Aku berpikir tentang
urusanmu. Sungguh aku mengagumimu. Menurutku engkau adalah manusia yang paling banyak mengetahui sesuatu.”
Aisyah berkata, “Apa yang menyebabkanmu berpendapat seperti itu?” Dia menjawab, “Engkau adalah istri Nabi
Shallallahu alaihi wassalam dan putri Abu Bakar. Engkau mengetahui hari-hari, nasab, dan syair orang-orang Arab.” Dia
berkata lagi, “Apa yang menyebabkan engkau dan ayahmu menjadi orang yang paling pandai daripada seluruh orang
Quraisy? Aku sangat mengagumi kepandaianmu tentang ilmu medis. Dari manakah engkau mendapatkan ilmu itu?”
Aisyah menjawab, “Wahai Urwah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam sering sakit, sehingga dokter-
dokter Arab dan bukan Arab datang mengobati beliau. Dari merekalah aku belajar.”
Tentang penguasaan bahasa dan sastranya, kembali Urwah berkomentar, “Demi Allah, aku belum pernah melihat
seorang pun yang lebih fasih daripada Aisyah selain Rasulullah sendiri.” Al-Ahnaf bin Qais berkata, “Aku telah mendengar
khutbah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Alii bin Abi Thalib. Hingga saat ini aku belum pernah
mendengar satu perkataan pun dari makhluk Tuhan yang lebih berisi dan baik daripada perkataan Aisyah.” Salah satu
contoh kefasihannya dapat kita lihat dari kata-katanya pada kuburan ayahnya, Abu Bakar:
“Allah telah mengilaukan wajahmu, dan bersyukur atas kebaikan yang telah engkau perbuat. Engkau merendahkan dunia
karena engkau berpaling darinya. Akan tetapi, untuk engkau adalah mulia, karena engkau selalu menghadap untuknya.
Kalau peristiwa terbesar setelah Rasulullah wafat dan musibah terbesar adalah kematianmu, Kitab Allah menghibur
dengan kesabaran dan menggantikan yang baik selainmu. Aku merasakan janji Allah yang telah ditetapkan bagimu dan
ikhlas atas kepergianmu. Dengan memohon dari-Nya gantimu dan aku berdoa untukmu. Kami hanyalah milik Allah dan
kepada-Nyalah kami kembali. Bagimu salam sejahtera dan rahmat Allah.”
Dari Aisyah pun sering keluar kata-kata hikmah yang terkenal, seperti:
“Bagi Allah mutiara takwa. Takkan ada kesembuhan bagi orang yang di dalam hatinya terbersit kemarahan. Pernikahan
adalah perbudakan, maka seseorang hendaklah melihat kepada siapa dia mengabdikan putri kemuliaannya.”

Rasulullah Wafat dan Dikuburkan di Kamarnya


Bagi Aisyah, menetapnya Rasulullah selama sakit di kamarnya merupakan kehormatan yang sangat besar karena dia
dapat merawat beliau hingga akhir hayat. Di bawah ini dia melukiskan detik-detik terakhir beliau menjelang wafat:
“Sungguh merupakan nikmat Allah bagiku, Rasulullab wafat di rumahku pada hariku dan dalam dekapanku. Allah telah
menyatukan ludahku dan ludah beliau menjelang wafat. Abdurrahman menemuiku, di tangannya tergenggam siwak,
sementara aku menyandarkan beliau. Aku melihat beliau menoleh ke arah Abdurrahman, aku segera memahami bahwa
beliau menyukai siwak. Aku berbisik kepada beliau, ‘Bolehkah aku haluskan siwak untukmu?’ beliau memberi isyarat
dengan kepala, sepertinya mengisyaratkan ‘ya’. Kemudian beliau menyuruhku menghentikan menghaluskan siwak,
sementara di tangan beliau ada bejana berisi air. Beliau memasukkan kedua belah tangan dan mengusapkannya ke wajah
seraya berkata, ‘Laa ilaaha illa allahu… setiap kematian mengalami sekarat (beliau mengangkat tangannya)… pada Allah
Yang Maha Tinggi. ‘Beliau menggenggam tangan dan perlahan-lahan tangan beliau jatuh ke bawah.“ (HR. Muttafaq Alaih)
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam dikuburkan di kamar Aisyah, tepat di tempat beliau meninggal. Sementara itu,
dalam tidurnya, Aisyah melihat tiga buah bulan jatuh ke kamarnya. Ketika dia memberitahukan hal itu kepada ayahnya,
Abu Bakar berkata, “Jika yang engkau lihat itu benar, maka di rumahmu akan dikuburkan tiga orang yang paling mulia di
muka bumi.” Ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar berkata, “Beliau adalah orang yang paling mulia di antara ketiga
bulanmu.” Ternyata Abu Bakar dan Umar dikubur di rumah Aisyah.

Setelah Rasulullah Wafat


Setelah Rasulullah wafat, Aisyah senantiasa dihadapkan pada cobaan yang sangat berat, namun dia menghadapinya
dengan hati yang sabar, penuh kerelaan terhadap takdir Allah, dan selalu berdiam diri di dalam rumah semata-mata
untuk taat kepada Allah. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah
yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud
hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul-bait, dan membersihkan kamu sebersih- bersihnya.” (QS. Al-Ahzab:33)
Rumah Aisyah senantiasa dikunjungi orang-orang dari segala penjuru untuk menimba ilmu atau untuk berziarah ke
makam Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Ketika istri-istri Nabi hendak mengutus Utsman menghadap Khalifàh Abu Bakar
untuk menanyakan harta warisan Nabi yang merupakan bagian mereka, Aisyah justru berkata, “Bukankah Rasulullah
telah berkata, ‘Kami para nabi tidak meninggalkan harta warisan. Apa yang kami tinggalkan itu adalah sedekah.”
Semasa kekhalifahan Abu Bakar, kadar keilmuan Aisyah tidak begitu tampak di kalangan kaum muslimin, karena dengan
jarak waktu wafatnya Rasulullah sangat dekat, juga karena kaum muslimin sedang disibukkan oleh perang Riddah (perang
melawan kaum murtad). Setelah dua tahun tiga bulan dan sepuluh malam, khalifah pertama, Abu Bakar, meninggal
dunia. Sebelum meninggal, Abu Bakar berwasiat kepada putrinya agar menguburkannya di sisi Rasulullah. Aisyah
melaksanakan perintah ayahnya, dan ketika Abu Bakar meninggal, Aisyah menguburkan jenazahnya di sisi Nabi,
kepalanya diletakkan pada sisi pundak Nabi.
Ilmu Aisyah mulai tampak pada masa kekhalifahan Umar, sehingga para sahabat besar senantiasa merujuk pendapat
Aisyah jika mereka dihadapkan pada permasalahan- permasalahan yang berkenaan dengan kaum muslimin. Di dalam
Thabaqat, dari Mahmud bin Luhaid, lbnu Saad berkata, “Para istri Nabi banyak menghafal hadits Nabi, namun hafalan
Aisyah dan Ummu Salamah tidak ada yang dapat menandingi. Aisyah adalah penasihat kekhalifahan Umar dan Utsman
hingga dia meninggal. Pada waktu itu, Umar sangat memperhatikan keadaan istri-istri Nabi. Tentang hal itu Aisyah
berkata, ‘Umar bin Khaththab selalu memperhatikan keadaan kami dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia memiliki
tempat kurma besar yang selalu diisi buah-buahan dan kemudian dikirimkan kepada istri-istri Nabi Shallallahu alaihi
wassalam.’ Begitu juga dengan Utsman bin Affan. Aisyah sangat menghormati Utsman karena kedudukannya sangat
terhormat di hati Rasulullah. Utsman bin Affan memiliki kedermawanan dan rasa malu yang besar, sehingga Aisyah
pernah berkata, ‘Nabi Shallallahu alaihi wassalam sangat malu jika bertemu dengan Utsman. Jika Nabi bertemu
dengannya, beliau akan duduk di sampingnya dan merapikan bajunya.’ Ketika Aisyah menanyakan hal itu, beliau
menjawab, ‘Aku merasa malu kepada seseorang yang kepadanya malaikat sangat malu.”
Di dalam hadits Nabi, Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah berwasiat kepada Utsman agar jangan turun dari
kekhalifahan jika belum terlaksana dengan sempurna. Beliau bersabda, “Wahai Utsman, sesungguhnya pada suatu hari
nanti Allah akan mengangkatmu dalam urusan ini. Jika orang-orang munafik menginginkan agar engkau meninggalkan
baju kebesaran yang Allah pakaikan kepadamu, janganlah engkau melepaskannya.” Beliau mengulang perkataan
tersebut tiga kali. Ketika Utsman meninggal di tangan pemberontak, Aisyahlah yang pertama menuntut balas atas
kematiannya.
Berkaitan dengan masalah permusuhan Aisyah dan Ali, terdapat hadits dari Aisyah sendiri yang menetralkan isu tersebut.
Aisyah dan Ali memiliki kedudukan yang mulia dan terhormat, dan tentunya Aisyah tidak akan melupakan bahwa Ali
adalah anak paman Rasulullah sekaligus sebagai suami dari putri Rasulullah. Aisyah pun tentu tidak akan melupakan
kegigihan Ali dalam berjihad di jalan Allah dan menjadi orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak. Isu
pertentangan Ali dan Aisyah tentu saja tidak beralasan karena Aisyah sangat meyakini kualitas ilmu dan sifat amanah Ali.
Ketika Suraih bin Hani menanyakan kepada Aisyah tentang mengusap khuffain (penutup kepala) ketika berwudhu, maka
Aisyah menjawab, “Datanglah kepada Ali, karena dia selalu bepergian (safar) bersama Rasulullah.”
Setelah Ali wafat, Aisyah senantiasa berada di rumah dan memberikan pelajaran hadits dan tafsir ayat Al-Qur’an. Aisyah
tidak pernah rela membiarkan sepak terjang Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang banyak bertentangan dengan syariat Islam
walaupun Mu’awiyah senantiasa berusaha menarik simpatik dan kerelaan Aisyah. Suatu saat, Mu’awiyah mengutus
seseorang untuk meminta fatwa kepada Aisyah yang isinya, “Tuliskan untukku, dan jangan terlalu banyak!” Aisyah
menjawab, “Salam sejahtera buatmu. Aku mendengar Rasululiah Shallallahu alaihi wassalam bersabda, ‘Barang siapa
yang mencari keridhaan Allah sementara manusia marah, niscaya Allah cukupkan baginya pemaafan manusia. Dan
barang siapa yang mencari keridhaan manusia dengan kemurkaan Allah, niscaya Allah wakilkan masalah tersebut kepada
manusia. Salam sejahtera untukmu.”

Wafatnya Aisyah
Dalam hidupnya yang penuh dengan jihad, Sayyidah Aisyah wafat pada usia 66 tahun, bertepatan dengan bulan
Ramadhan, tahun ke-58 hijriah, dan dikuburkan di Baqi’. Kehidupan Aisyah penuh kernuliaan, kezuhudan, ketawadhuan,
pengabdian sepenuhnya kepada Rasulullah, selalu beribadah, serta senantiasa melaksanakan shalat malam. Bahkan dia
sering memberikan anjuran untuk shalat malam kepada kaum muslimin. Dari Abdullah bin Qais, Imam Ahmad
menceritakan, “Aisyah berkata, ‘Janganlah engkau tinggalkan shalat malam, karena sesungguhnya Rasulullah tidak
pernah meninggalkannya. Jika beliau sakit atau sedang malas, beliau melakukannya sambil duduk.” Aisyah memiliki
kebiasaan untuk memperpanjang shalat, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Abdullah bin Abu Musa, “Mudrik
atau Ibnu Mudrik mengutusku kepada Aisyah untuk menanyakan segala urusan. Aku tiba ketika dia sedang shalat dhuha,
lalu aku duduk sampai dia selesai melaksanakan shalat. Mereka berkata, ‘Sabar-sabarlah kau menunggunya.” Aisyah pun
senantiasa memperbanyak doa, sangat takut kepada Allah, dan banyak berpuasa sekalipun cuaca sedang sangat panas.
Di dalam Musnad-nya, Ahmad berkata, “Abdurrahman bin Abu Bakar menemui Aisyah pada hari Arafah yang ketika itu
sedang berpuasa sehingga air yang dia bawa disiramkan kepada Aisyah. Abdurrahman berkata, ‘Berbukalah.’ Aisyah
menjawab, ‘Bagaimana aku akan berbuka sementara aku mendengar Rasulullah telah bersabda, ‘Sesungguhnya puasa
pada hari Arafah akan menebus dosa-dosa tahun sebelumnya.”
Selain itu, Aisyah banyak mengeluarkan sedekah sehingga di dalam rumahnya tidak akan ditemukan uang satu dirham
atau satu dinar pun. Nabi Shallallahu alaihi wassalam. pernah bersabda, “Berjaga dirilah engkau dari api neraka
walaupun hanya dengan sebiji kurma.”
Di dalam riwayat lain dikatakan, “Aku didatangi oleh seorang ibu yang membawa dua orang putrinya. Dia meminta
sesuatu dariku sedangkan aku tidak memiliki apa pun untuk diberikan kepada mereka selain satu biji kurma. Aku
memberikan kurma itu kepadanya, dan ibu itu membaginya kepada kedua anaknya. Dia berdiri kemudian pergi. Setelah
itu Rasulullah masuk dan bersabda, ‘Barang siapa mengasuh anak-anak itu dan berbuat baik kepada mereka, maka
mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.“ (HR. Muttafaq Alaihi).
Ada juga riwayat lain yang membuktikan kedermawanan Aisyah. Urwah berkata, “Mu’awiyah memberikan uang sebanyak
seratus ribu dirham kepada Aisyah. Demi Allah, sebelum matahari terbenam, Aisyah sudah membagi-bagikan semuanya.
Budaknya berkata, ‘Seandainya engkau belikan daging untuk kami dengan uang satu dirham.’ Aisyah menjawab,
‘Seandainya engkau katakan hal itu sebelum aku membagikan seluruh uang itu, niscaya akan aku lakukan hal itu
untukmu.”
Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Aisyah dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-
Nya. Amin.

Asma binti Abu Bakar adalah anak kepada Khalifah Islam pertama, Abi Bakar as-Siddiq dan Qatilah binti Abdul Uzza.
Adiknya, Siti Aishah adalah isteri kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau dilahirkan pada 27 tahun sebelum hijrah dan
adalah antara golongan pertama memeluk agama Islam.
Asma' juga diberi gelaran sebagai wanita yang mempunyai dua tali pengikat atau zat al-Nithaqain. Beliau diberi gelaran
itu kerana membelah selendangnya kepada dua bahagian bagi dijadikan tali pinggang. Peristiwa ini berlaku ketika Nabi
Muhammad dan Abu Bakar keluar dari kota Mekah. Mereka bersembunyi di gua di puncak Gunung Thur kerana ancaman
Quraisy yang mahu membunuh nabi.
Selama beberapa malam, Asma' meredah kegelapan malam dan menghadapi risiko bagi menghantar makanan kepada
nabi dan ayahnya. "Pada malam ini, ayah dan Rasulullah akan berangkat ke kota Madinah," jelas Abu Bakar kepada
anaknya pada malam ketiga makanan dibawa kepadanya. "Semoga perjalanan ayah dan Rasulullah dilindungi oleh Allah.
Saya akan meletakkan makanan dan bekas air di atas kuda," balas Asma' sambil memandang wajah ayahnya dan
Rasulullah yang akan memulakan perjalanan ke kota Madinah.
"Berapa lama lagi kamu akan hidup di atas dunia ini? Mati kerana mempertahankan kebenaran adalah lebih baik
daripada segala-galanya. "Demi Allah, mati di mata pedang adalah lebih terhormat daripada mati dipukul dengan tali
cemeti dalam keadaan hina," Asma' menyambung lagi kata-katanya kerana tidak mahu anaknya terpedaya dengan janji
kosong yang ditawarkan oleh Hajaj itu.
"Saya bimbang Hajaj akan menyeksa dan menyalib tubuh saya sekiranya berjaya membunuh diri saya nanti," Abdullah
tidak mahu mayatnya diperlakukan kejam oleh pihak musuh sebagai membalas dendam. "Seekor kambing yang sudah
disembelih tidak akan berasa sakit apabila dibuang kulitnya. Pergilah berjuang atas nama kebenaran dan mohon bantuan
daripada Allah," Asma' memberi kata-kata semangat kepada Abdullah. "Saya akan berjuang sehingga ke titisan darah
terakhir," ucap Abdullah sambil mencium tangan ibunya. Dia beredar bagi menghadapi pasukan tentera Hajaj yang sudah
mengepung kota Mekah. "Sekiranya begitu, nahaslah kamu Abdullah !" balas Hajaj. Dia mengarahkan pasukan tentera
menyerang Abdullah dan pengawalnya.
Akhirnya Abdullah terbunuh akibat serangan pasukan tentera Hajaj yang terlalu ramai. Hajaj mengarahkan salah seorang
tentera menyalib mayat Abdullah pada sebatang tiang. Asma' menulis surat kepada Malik bin Marwan meminta supaya
mayat anaknya yang disalib itu diturunkan supaya dapat dikebumikan. Seminggu selepas pengebumian Abdullah, Asma'
binti Abu Bakar menghembuskan nafas terakhirnya. "Saya hanya ada sehelai kain selendang. Bagaimana saya boleh
mengikat makanan dan bekas air pada pelana kuda? Oh, ya! Saya koyakkan kain selendang ini kepada dua bagi mengikat
makanan dan bekas air," bisik hati kecil Asma'. "Allah mengganti tali pengikat kamu dengan tali pengikat syurga," kata
Nabi Muhammad sambil memberi isyarat kepada Asma' semasa mereka mahu berangkat. Asma' pulang ke rumahnya
selepas melihat ayahnya dan nabi hilang daripada pandangan menuju ke kota Madinah. Walaupun beliau selamat pulang
dari gua itu, tetapi beliau masih menghadapi ancaman daripada golongan bangsawan Quraisy yang mahu mendapatkan
maklumat tentang lokasi ayahnya dan Nabi Muhammad.
Pada suatu malam, Abu Jahal dan beberapa orang bangsawan Quraisy datang ke rumahnya bagi mencungkil rahsia
daripada Asma' tentang lokasi ayahnya. Mereka menyangka Asma' akan memberitahu lokasi Abu Bakar dan Nabi. "Di
mana ayah kamu, Asma'?" tanya Abu Jahal dengan suara yang lembut kerana percaya Asma' akan memberitahunya.
"Saya tidak tahu di mana ayah saya sekarang," jawab Asma' yang tidak mahu menceritakan perkara sebenar kepada Abu
Jahal dan sekutunya. "Kamu jangan berpura-pura tidak tahu di mana ayah kamu berada!" Abu Jahal mula meninggikan
suaranya. Dia menggertak Asma'. "Kenapa saya perlu berbohong? Saya memang tidak tahu di mana ayah saya berada
sekarang!" Asma' mempertahankan kata-katanya di hadapan Abu Jahal dan pembesar Quraisy lain. Mereka mula
berpandangan antara satu sama lain. "Jangan cuba menipu saya. Buruk padahnya sekiranya kamu masih mahu
merahsiakan lokasi ayah kamu daripada saya," ugut Abu Jahal yang mula menggenggam erat tangannya kerana berasa
geram dengan sikap berani Asma'. "Berapa kali saya perlu nyatakan, saya tidak tahu di mana ayah saya berada sekarang.
Tuan-tuan pulang sahaja dan jangan ganggu saya lagi," mohon Asma' yang berdiri di pintu rumahnya.

Abu Jahal berang


"Berani kamu menghalau kami!" Abu Jahal berang. Dia mengangkat tangannya lalu menampar Asma' yang sedikitpun
tidak berganjak dari tempatnya. "Pang!" Abu Jahal menampar wajah Asma' dengan kuat sehingga anting-anting yang
dipakainya tercampak ke tanah. "Tiada gunanya bercakap dengan kamu yang degil ini. Lebih baik kita pulang sahaja dan
mencari maklumat Abu Bakar daripada orang lain," Abu Jahal gagal mendapatkan maklumat daripada Asma' walaupun
dia menampar wajahnya.
Asma' mengambil semula anting-anting dari tanah dan masuk ke dalam rumahnya dengan hati yang lapang apabila Abu
Jahal dan bangsawan Quraisy beredar meninggalkan kawasan rumahnya.
Pada zaman pemerintahan Bani Umaiyah, anak Abdullah bin Zubir datang meminta nasihat daripada Asma' yang pada
ketika itu berusia 100 tahun. Ini kerana Khalifah Malik bin Marwan memerintahkan Hajaj bin Yusuf memerangi Abdullah
supaya dia dapat menguasai Iraq, Hijaz dan Yaman.
Hajaj berjaya mengepung Abdullah di dalam kota Mekah. Dia mengirimkan sepucuk surat meminta Abdullah menyerah
kalah dan mengaku Malik bin Marwan sebagai khalifah. "Ibu, saya mahu minta pandangan ibu, sama ada mahu
menerima tawaran Hajaj atau tidak. "Saya akan dijamin jawatan dalam pemerintahan Bani Umaiyah sekiranya mengaku
Malik bin Marwan sebagai khalifah dan menyerah kalah. Bolehkah saya mempercayai kata-kata mereka?" tanya Abdullah
yang berlutut di hadapan ibunya. "Teruskanlah perjuangan kamu sekiranya kamu berada di pihak yang benar. Jangan
percaya dengan kata-kata Bani Umaiyah kerana mereka pasti menipu kamu. "Jangan terpedaya dengan kesenangan dunia
sehingga kamu hancur bersama-samanya," kata Asma'.

”Fatimah adalah bagian dariku, siapa yang menyakitinya berarti menyakitiku, siapa yang membuatnya gembira maka ia
telah membahagiakanku.” (Al Hadis) Di kalangan suku Quraisy, Fatimah dikenal fasih dan pintar. Ia meriwayatkan hadis
dari ayahnya kepada kedua putranya Hasan dan Husein, suaminya Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Ummu Salamah, Salma
Ummu Rafi’, dan Anas bin Malik.
Kata ‘Fatimah’ berasal dari suku kata ‘Fathama’ yang berarti menyapih atau menghentikan atau menjauhkan. Sebuah
riwayat marfu’ menyebutkan, dinamakan ‘Fatimah’ karena Allah Ta’ala menjamin menjauhkan putri bungsu Nabi SAW
berikut seluruh keturunannya dari neraka. Riwayat ini diketengahkan oleh al Hafidz ad-Dimasyqi. Sementara riwayat versi
an-Nasa-i menyebutkan bahwa Allah Ta’ala akan membebaskan Fatimah beserta orang-orang yang mencintainya dari
neraka.
Fatimah juga disebut al-Battul yang berarti memisahkan, karena kenyataannya ia memang terpisah atau berbeda dari
wanita-wanita lain sesamanya, baik dari segi keutamaan, agama dan kecantikannya. Ada yang mengatakan, karena ia
memisahkan diri dari keduniaan untuk mendekat kepada Allah Ta’ala.
Fatimah Az-Zahra sangat terkenal di dunia Islam, karena hidup paling dekat dan paling lama bersama Nabi Muhammad
SAW. Dari dialah keturunan Nabi Muhammad berkembang yang tersebar di hampir semua negeri Islam. Di kalangan
penganut syiah, dia dan Ali bin Abi Thalib dianggap sebagai ahlulbait (pewaris kepemimpinan) Nabi Muhammad SAW.
Fatimah dilahirkan di Makkah pada 20 Jumadil Akhir, 18 tahun sebelum Nabi Muhammad hijrah atau di tahun kelima dari
kerasulannya. Dia adalah putri bungsu Nabi Muhammad SAW setelah Zainab, Ruqayah dan Ummu Kaltsum. Saudara laki-
lakinya yang tertua Qasim dan Abdullah, meninggal dunia pada usia muda.
Setahun setelah hijrah, Fatimah dinikahkan dengan Ali bin bi Thalib. Banyak yang ingin menikahinya kala itu. Maklum
saja, selain rupawan, ia adalah perempuan terhormat, anak Rasulullah SAW. Dia pernah hendak dilamar oleh Abu Bakar
dan Umar, keduanya sahabat Nabi Muhammad SAW, namun ditolak secara halus oleh Rasulullah SAW.
Sementara itu, Ali tidak berani melamar Fatimah karena kemiskinannya. Namun Nabi Muhammad SAW mendorongnya
dengan memberi bantuan sekadarnya untuk persiapan rumah tangga mereka. Maskawinnya sebesar 500 dirham (10
gram emas), sebagian diperolehnya dengan menjual baju besinya. Nabi Muhammad SAW memilih Ali sebagai suami
Fatimah karena ia adalah anggota keluarga yang sangat arif dan terpelajar, di samping merupakan orang pertama yang
memeluk Islam.
Dari perkawinan Fatimah dan Ali, lahirlah Hasan dan Husein. Keduanya terkenal sebagai tokoh yang meninggal terbunuh
di Karbala. Tak lama kemudian lahir berturut-turut: Muhsin serta tiga orang putri, Zaenab, Ummu Kaltsum, dan
Ruqoyyah.
Kehidupan rumah tangga Fatimah sangatlah sederhana, bahkan sering juga kekurangan. Beberapa kali ia harus
menggadaikan barang-barang keperluan rumah tangga mereka untuk membeli makanan, sampai-sampai kerudung
Fatimah pernah digadaikan kepada seorang Yahudi Madinah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Namun
demikian, mereka tetap bahagia, lestari sebagai suami istri sampai akhir hayat.
Fatimah adalah putri kesayangan Rasulullah SAW. Suatu waktu Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan kepada Ali,
”Fatimah adalah bagian dariku, siapa yang menyakitinya berarti menyakitiku, siapa yang membuatnya gembira, maka ia
telah membahagiakanku.” Ini dikatakan oleh Rasulullah SAW sehubungan dengan keinginan seorang tokoh Quraisy untuk
menikahkan anak perempuannya kepada Ali. Ali tidak menolak tetapi segera dicegah oleh Rasulullah SAW.
Sikap Nabi Muhammad SAW semakin keras ketika Abu Jahal manawarkan anak perempuannya kepada Ali. Nabi
Muhammad SAW mengatakan, ”Ceraikan dulu Fatimah jika Ali berniat untuk menikahkannya.” Ini merupakan bukti kuat
akan kecintaan Rasulullah SAW kepada putri bungsunya ini. Memang Nabi Muhammad SAW sangat sayang kepada
Fatimah. Sewaktu Nabi Muhammad SAW sakit keras menjelang wafatnya, Fatimah tiada hentinya menagis.
Nabi Muhammad SAW memanggilnya dan berbisik kepadanya, tangisannya semakin bertambah, lalu Rasulullah SAW
berbisik lagi dan dia pun tersenyum. Kemudian hal tersebut ditanyakan orang kepada Fatimah, dan dia menjawab bahwa
dia menagis karena ayahnya memberitahukan kepadanya bahwa tak lama lagi sang ayah akan meninggal, tapi dia
tersenyum karena seperti kata ayahnya, dialah yang pertama akan menjumpainya di akhirat nanti.
Fatimah meninggal tak sampai selang setahun dari ayahnya. Diriwayatkan dari Aisyah RA, ”Fatimah wafat setelah enam
bulan ayahnya, Rasulullah SAW, tepatnya pada hari Selasa bulan Ramadlan tahun 11 Hijriyah. Fatimah RA wafat dalam
usia 28 tahun. Merasa ajal seudah dekat, dia membersihkan dirinya, memakai pakaian yang terbaik, memakai wewangian
dibantu oleh iparnya, Asma bin Abi Thalib. Dia meninggal dengan satu pesan; hanya Ali, suaminya, yang boleh
menyentuh tubuhnya.” Fatimah adalah seorang wanita yang agung, seorang ahli hukum Islam. Dia adalah tokoh wanita
dalam bidang kemasyarakatan, orangnya sangat sabar dan bersahaja, dan akhlaknya sangat mulia.

Sumayyah binti Khabath adalah hamba Abu Huzaifah bin Mughirah. Tuannya mengahwinkan Sumayyah dengan Yasir bin
Amir, perantau dari Yaman ke Mekah. Apabila Allah mengurniakan mereka seorang anak yang diberi nama Amar, Abu
Huzaifah pun membebaskan Sumayyah daripada menjadi hambanya.
Apabila Islam mula tersebar, keluarga Yasir antara golongan pertama memeluk agama suci itu. Sumayyah tidak gentar
dengan amaran musyrikin Quraisy yang menyeksa dan membunuh sesiapa yang memeluk Islam.
Apabila bangsawan Quraisy mengetahui Sumayyah sudah memeluk Islam, mereka menyerbu rumahnya. Keluarga Amar
ditangkap dan dibawa ke khalayak untuk diseksa.
“Mereka sudah menyahut ajaran Muhammad walaupun ditegah oleh pihak atasan Quraisy. Kamu akan menerima
balasan kerana ingkar perintah kami,” kata Abu Jahal kepada pengikutnya sambil menarik keluarga Yasir yang terikat ke
kawasan padang pasir di luar kota Mekah.
“Mereka tidak serik dengan hukuman kita walaupun pengikut agama yang dibawa Muhammad telah diseksa oleh kita,”
kata seorang bangsawan Quraisy yang berjalan di sebelah Abu Jahal.
“Kali ini saya tidak akan bebaskan mereka bertiga sehingga mereka mengaku berhala-berhala kita sebagai tuhan mereka,”
tegas Abu Jahal yang mengacah tombaknya ke arah keluarga Yasir yang diseret secara kasar oleh pengikut Abu Jahal.
Mereka berhenti di kawasan lapang yang dipenuhi bongkah batu besar. Yasir, Amar dan Sumayyah ditanggalkan pakaian
mereka lalu diikat pada bongkah batu yang panas mendidih dipanah matahari padang pasir.
Kaki dan tangan mereka diikat ketat sehingga tidak dapat bergerak seinci pun. Abu Jahal, pembesar Quraisy dan pengikut
setianya ketawa melihat penderitaan ketiga beranak itu.
“Kamu akan diseksa dengan lebih teruk seandainya kamu tidak mahu meninggalkan agama yang dibawa oleh
Muhammad. Kamu akan dibebaskan jika kamu sanggup mengaku berhala-berhala di kota Mekah ini sebagai tuhan
kamu,” Abu Jahal mula mengambil tali sebat bagi menakutkan Yasir, Sumayyah dan Amar.
“Kami tidak akan mengaku berhala-berhala itu sebagai tuhan kami. Hanya Allah Tuhan kami,” balas Yasir dengan tenang.
“Saya beriman dengan Allah sahaja,” kata Sumayyah pula.
“Berani kamu melawan kata-kata saya,” api kemarahan Abu Jahal semakin membara mendengarkan kata-kata Sumayyah
itu tadi.
“Ini balasan kepada kamu kerana enggan menerima berhala-berhala sebagai tuhan kamu,” Abu Jahal dan pengikutnya
mula menyebat tubuh Yasir, Sumayyah dan Amar dengan kejam. Hinggakan darah mengalir daripada tubuh mereka yang
terikat pada bongkah batu yang panas dipanah matahari tengah hari.
Berita penyeksaan keluarga Yasir sampai ke pengetahuan Nabi SAW sehingga baginda dan Abu Bakar keluar bagi
menyelamatkan keluarga tersebut daripada seksaan kejam Abu Jahal dan pengikutnya. Namun, mereka dihalang oleh
orang-orang Quraisy yang menyaksikan seksaan terhadap keluarga Yasir.
Hati Abu Jahal semakin sakit melihat reaksi Yasir, Sumayyah dan Amar yang masih enggan menerima berhala sebagai
tuhan mereka. Dia mengarahkan pengikutnya memakaikan baju besi kepada ketiga-tiga ahli keluarga tersebut agar
bahang matahari semakin menyeksa mereka.
“Kita lihat berapa lama kamu boleh menahan seksa di tengah-tengah kepanasan matahari ini,” sindir Abu Jahal sambil
memandang wajah Yasir dan Sumayyah dengan bengis.
“Tiada tuhan melainkan Allah,” kata Yasir, Sumayyah dan Amar merintih dalam kesakitan memakai baju panas.
“Letakkan batu besar ke atas badan Yasir,” arah Abu Jahal lagi kerana geram mendengar kata-kata Yasir sekeluarga.
Seksaan demi seksaan ke atas Yasir menyebabkan fizikalnya menjadi lemah kerana usianya yang sudah lanjut. Akhirnya,
Yasir menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan menyebut nama Allah tanpa menerima agama berhala Abu Jahal.
Walaupun hati Sumayyah hancur melihat suaminya mati akibat seksaan Abu Jahal yang kejam, dia gembira kepada
suaminya mati dalam menegakkan agama Allah.
“Kamu pun mahu mati seperti suami kamu. Lebih baik kamu terima tawaran saya sebelum ajal kamu tiba!” Abu Jahal
mahu menunjukkan yang seksaannya mampu mengubah pendirian pengikut Nabi Muhammad kepada ajaran berhala.
“Jangan kamu berharap saya akan menurut kata-kata kamu itu. Tiada tuhan melainkan Allah,”. Hati Sumayyah keras
seperti batu teguh pada keimanannya pada Allah.
“Kamu sudah semakin degil dan melawan kata-kata saya!” Abu Jahal mengambil tombak dari tangan kanannya lalu
dicucuk ke dalam alat sulit Sumayyah.
“Allahu Akbar”. Begitulah kata terakhir Sumayyah sebelum menghembuskan nafasnya akibat tikaman tombak Abu Jahal
itu.
Kematian Sumayyah dengan nama Allah di mulutnya demi mempertahankan keimanan pada Allah adalah peristiwa
penting dalam sejarah pengembangan agama Islam. Sumayyah adalah wanita pertama mati syahid dalam sejarah Islam.

Khaulah Al-Azwar merupakan seorang wanita yang hidup di zaman Sahabat RA. Khaulah memiliki kekuatan jiwa dan
fizikal yang kuat. Susuk tubuhnya tinggi lampai dan tegap. Sejak kecil beliau sudah pandai bermain pedang dan tombak.
Rasulullah s.a.w. telah membenarkan Khaulah menyertai angkatan peperangan muslimin bersama-sama mujahidah yang
lain.

Beliau adik kepada Zirar Al-Azwar yang kehandalannya di medan perang sememangnya tidak asing bagi bagi pencinta
sirah Islam. Skil dan teknik bertempur ini turut diwariskan kepada Khaulah oleh ayahnya Al-Azwar. Khaulah lantas menjadi
seorang wanita yang mahir berpedang dan berkuda. Jika diteliti sirah mujahidah ini, boleh dikatakan beliau ialah
pahlawan muslimat paling handal dalam sejarah Islam.

Dalam perang Yarmuk, beliau menjadi salah seorang yang menonjol atau memimpin kaum wanita yang turut serta
terlibat. Bahkan, beliau turut mengalami kecederaan di kepala dalam peperangan yang sangat bersejarah itu.
Namun, kisah kehandalannya bertempur yang paling masyhur adalah dalam satu operasi tentera Muslimin untuk
menyelamatkan saudaranya Zirar yang telah ditawan tentera Rom sewaktu satu penggempuran di sekitar Damascus.
Khaulah telah turut serta dalam operasi tersebut. Dengan berpakaian hitam, serban hijau dan menggunakan skarfnya
sebagai topeng, beliau yang menyertai pasukan Khalid bin Al-Waleed meluncur laju ke arah musuh, bertempur dengan
handal dan cermat; membantu tentera Muslimin yang ketika itu sudah keletihan berlawan. Raafe bin Umaira, panglima
skuad sebelum ketibaan Khalid mengungkapkan ketakjubannya, “Beliau berlawan seperti Khalid, namun jelas beliau
bukan Khalid”.

Khaulah mempamerkan kehandalannya berkuda dan bertempur dengan tombak. Beliau meluncur laju ke arah barisan
Rom, membunuh seorang dengan tombaknya, lalu meluncur ke arah barisan Rom di bahagian lain dan mencederakan
atau membunuh tentera Rom yang lain. Pertempurannya secara solo itu ibarat menjadi satu pertunjukan kepada tentera
Muslimin yang lain di samping membangkitkan semangat mereka untuk terus berjuang. Beliau akhirnya mendedahkan
identitinya yang pasti mengejutkan sesiapa yang mengetahui (dicatatkan Khalid hampir-hampir terjatuh dari kudanya).
Akhirnya, tentera Muslimin, bersama Khaulah berjaya membebaskan panglima Zirar dalam satu operasi serangan
berikutnya di Beit Lahiya, Gaza, Palestin.

Sewaktu menyertai perang Sahura, Khaulah dan beberapa orang wanita telah ditawan oleh musuh. Mereka telah
dikurung dan dikawal rapi beberapa hari lamanya tanpa senjata untuk melepaskan diri.

Nampaknya tidak ada cara lain yang paling berkesan melainkan membakar semangat sahabat-sahabatnya yang lain, agar
dapat bertindak pantas sebelum musuh mengapa apa-apakan mereka. Khaulah sedar Allah sendiri memberi jaminan
bahawa kekuatan jiwa boleh mengalahkan kekuatan senjata. Maka Khaulah pun berkata:

"Wahai sahabat-sahabatku yg sedang berjuang di jalan Allah, apakah saudari-saudari sanggup menjadi tukang-tukang
picit orang Rom? Apakah juga saudari semua sanggup menjadi hamba-hamba orang kafir yang dilaknati itu. Relakah
saudarai dihina dan dicaci maki oleh orang Rom durjana itu? Dimanakah letaknya harga diri saudari sebagai seorang
pejuang yang rindukan syurga Allah. Dimanakah letak kehormatan saudari sebagai seorang Islam yang bertaqwa?
Sesungguhnya mati itu adalah lebih baik bagi kita semua daripada menjadi hamba-hamba orang Rom".

Seorang daripada mereka menjawab, "Sesungguhnya apa yang engkau katakan itu adalah benar. Demi Allah, kami semua
mempunyai harga diri. Pedang lebih berguna dalam keadaan begini. Kalau kita lalai umpama kambing yang tidak
bertanduk tifak (mempunyai senjata)". Masing-masing mengemukakan berbagai pendapat dan semuanya menunjukkan
ingin mati syahid. Tidak seorangpun yang mahu menjadi tukang picit orang Rom. Tetapi malangnya mereka tidak
mempunyai senjata hatta sebilah pisau pun tidak ada. Tetapi Khaulah tidak mati akal dia terus menjawab:

“Wahai wanita-wanita muslimin sekalian, tiang-tiang dan tali khemah ini sangat berguna bagi kita dan cukuplah ini saja
senjata kita. Syahid lebih baik bagi kita dan inilah saja cara yang terbaik untuk kita melepaskan diri dari kehinaan ini,
sebelum mereka dapat menyentuh kita atau menyentuh salah seorg dari kita. Mari kita bersumpah untuk bersatu dalam
hal ini untuk menyerah diri kepada Allah. Sesungguhnya Allah akan menolong orang-orang yang menolongNYA”.

Masing-masing menjawab, “Demi Allah segala-segalanya katamu itu adalah benar. Kami tidak rela hidup dihina, syahid
lebih baik bagi kami daripada hidup menanggung malu”.

Tekad para tawanan ini sudah bulat. Setelah menetapkan harinya maka mereka pun melaksanakan keputusan yang
dibuat. Sebelum itu mereka berdoa sungguh-sungguh pada Allah dan bertaubat dengan segala dosa yang lalu. Menangis
dan merayu memohon campakkan dalam hati mereka kekuatan jiwa yang kuat dan semoga Allah memudahkan
pekerjaan dan berharap semoga datanglah bantuan-bantuan ghaib untuk menolong mereka. Khaulah telah memimpin
segala urusan dalam pekerjaan berat itu, dia menyandang tiang kayu siap untuk berjuang. Sebelum itu dia memberi
taklimat kepada anak-anak buahnya:
"Wahai saudari, jangan sekali-kali gentar dan takut. Kita semua harus bersatu dalam perjuangan ini dan jangan ada yang
terkecuali, patahkan tombak mereka, hancurkan pedang mereka, perbanyakkan bacaan takbir dan yang penting ialah
saudari mesti kuatkan hati saudari semua. Insya Allah pertolongan Allah sudah dekat".
Begitulah keyakinan Khaulah, berkat keberaniannya mereka semua terselamat dari segala bentuk bencana itu. Setelah
mengikat segala yang perlu, dia diikuti oleh Ifra Bt Ghaffar, Ummi Bt Utbah, Salamah Bt Zari’, Ran’ah Bt Amalun, Salmah
Binti Hu’man dan seluruh wanita lainnya. Khaulah mendahului memukul pengawal dengan tiang yang dibawanya lalu
menamatkan riwayat tersebut. Wanita-wanita lain bila melihat itu, maka masing-masing bersedia menyerang pengawal-
pengawal lain dan bertempurlah mereka dengan gagah berani.

Orang-orang Rom ketakutan kerana serangan yang datang secara tiba-tiba. Khaulah berjaya merampas sebuah tombak
lalu digunakan untuk bertempur sedangkan tiang di tangan kanannya digunakan sebagai melindungi dirinya dari tusukan
tombak dan tebasan pedang.

Akhirnya Khaulah dan semua wanita berjaya mencerai beraikan pasukan Rom dapat melepaskan diri dari kafir durjana
dan kembali ke pasukan Islam dengan selamatnya.
 sy fatimah az zahrah
 ummu aiman
 Ruqaiyyah
 Sumaiyyah
 khansaa'
 khaulah
 nusaybah
 umi kalthum
 asiah isteri firaun

Anda mungkin juga menyukai