Anda di halaman 1dari 7

Tugas SKI

‘’Biografi Ummu Aiman’’

Oleh :

M. ‘Anin Nabail ‘Azhiim

X MIPA 8 / 13

MAN 2 Kota Malang

2018
Biografi Ummu Aiman

A. Pendahuluan

Ummu Aiman adalah seorang hamba sahaya yang diwariskan kepada Nabi Muhammad
SAW oleh ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib. Ummu Aiman mengasuh Nabi Muhammad
SAW sampai usia dewasa. Ummu Aiman mengenal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak
beliau kecil sampai diutus menjadi seorang nabi. Ummu Aiman termasuk ke dalam As-Sabiqunal
Awwalun karena ia masuk Islam pada masa awal dakwah secara sembunyi-sembunyi.
Kedekatannya dengan Nabi Muhammad SAW membuatnya dapat menerima Islam dengan
mudah setelah didakwahi oleh Rasulullah SAW.

B. Ummu Aiman sebagai Pengasuh Nabi Muhammad SAW

Ummu Aiman menemani Aminah binti Wahab, ibunda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, berangkat ke Madinah bersama putra kesayangannya untuk mengunjungi Bani Najjar
yang merupakan keluarga Abdul Muthalib. Di dalam perjalanan pulang kembali ke Mekkah,
Aminah menderita sakit di perjalanan. Akhirnya beliau wafat di Abwa (tempat antara Mekkah
dan Madinah). Karena itulah, Ummu Aiman menjadi satu-satunya pendamping Nabi Nabi
Muhammad SAW SAW shallallahu ‘alaihi wa sallam – yang saat itu masih anak-anak – menuju
kota Mekkah.

Sang kakek, Abdul Muthalib, menjadi pengasuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia
mencintai sang cucu sepenuh hati. Adapun Ummu Aiman, ia tetap berada di sisi Rasulullah,
mengurusnya dengan penuh cinta kasih, menjaganya dengan seluruh kemampuan diri, seakan ia
menjadi penganti sang ibu yang telah pergi, sebagaimana Abdul Muthalib hadir sebagai kakek
sekaligus “bapaknya”. Nabi Muhammad SAW shallallahu ‘alaihi wa sallam kecil pun tumbuh di
antara orang-orang yang selalu mencurahkan kehangatan cinta dan kelembutan kasih sayang.

Wujud rasa sayang Abdul Muthalib kepada sang cucu membuatnya sangat banyak
berwasiat kepada Ummu Aiman. Di salah satu wasiatnya ia berkata, “Wahai Barakah, janganlah
engkau melalaikan anakku. Aku mendapatkannya bersama anak-anak kecil dekat dengan pohon
bidara. Ketahuilah bahwa orang-orang dari Ahlul Kitab menyangka bahwa anakku ini akan
menjadi nabi umat ini.”

Ketika Abdul Muthalib meninggal dunia, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan
kesedihan yang sangat. Ummu Aiman menceritakan kejadian itu; ia berkata, “Aku melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hari itu menangis di belakang tempat tidur Abdul
Muthalib.” (Ath-Thabaqatul Kubra, 8:224)

Nabi Muhammad SAW Ssangat menghormati Ummu Aiman. Suatu ketika dia
mengunjunginya dan berkata, ”Wahai Ibu!” Dia juga pernah berkata, ”Wanita ini adalah anggota
keluargaku yang masih tersisa.” Pada kesempatan lain dia juga pernah berkata, ”Ummu Aiman
adalah ibuku setelah ibuku (wafat).”

Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tumbuh dewasa, beliau sangat menghargai
dan menghormati Ummu Aiman; Ummu Aiman yang mengurus perkara dan urusan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menjaganya dengan sebaik-baik penjagaan.

Nabi Muhammad SAW memperlakukan Ummu Aiman layaknya ibu dia sendiri. Suatu
saat Ummu Aiman mendatangi dia dan berkata, ”Wahai Rasulullah, bawalah aku.” Dia berkata,
”Aku akan membawamu di atas anak unta.” Ia berkata lagi, ”Wahai Rasulullah, anak unta tidak
sanggup menahan bebanku. Aku tidak mau.” Dia berkata, ”Aku tidak mau membawamu, kecuali
di atas anak unta." Rasulullah memang ingin mencandai Ummu Aiman, karena setiap unta itu
pastilah anak unta yang lain. Begitulah Rasulullah, bahkan dalam bercanda pun, dia tetap
mengatakan sesuatu yang benar.

C. Kebiasaan Ummu Aiman

Ummu Aiman adalah seseorang yang dihormati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal itu tidak menghalangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegurnya saat ia salah.
Ummu Aiman terkadang salah dalam mengucapkan kata. Oleh karena itu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajarkannya atau memerintahkannya untuk banyak diam.
Ummu Aiman adalah wanita yang cedal (susah berbicara). Suatu ketika Ummu Aiman
datang kepada Nabi Muhammad SAW dan berkata, “Salaamun laa ’alaikum” (Semoga
keselamatan tidak terlimpahkan kepadamu). Nabi Muhammad SAW pun memaklumi ucapan
salamnya itu, karena yang dia maksudkan sebenarnya adalah, ”Assalamu ’alaikum” (Semoga
keselamatan tetap terlimpahkan kepadamu).

Diriwayatkan bahwa Ummu Aiman bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia
berkata,

‫سالم ال عليكم‬

“Keselamatan dan kesejahteraan tidaklah untukmu.”

Karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada beliau untuk
mengucapkan “‫ ”السالم‬saja. (Ath-Thabaqatul Kubra, 8:224)

Serta dari Abu Huwairits, bahwasanya Ummu Aiman berkata pada saat perang Hunain,

‫سبت هللا أقدامكم‬

(yang benar seharusnya : )

‫ثبت هللا أقدامكم‬

[semoga Allah mengokohkan kaki kalian],

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata kepadanya, “Diamlah, karena engkau sulit
mengucapkan makhraj (huruf) dengan benar.” (Ath-Thabaqatul Kubra, 8:225)

D. Keluarga Ummu Aiman

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Khadijah radhiyallahu


‘anha, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakan Ummu Aiman. Kemudian beliau
menikahkannya dengan Ubaid bin Zaid Al-Khazraji. Dari pernikahan tersebut, lahirlah seorang
putra yang diberi nama “Aiman”. Aiman radhiyallahu ‘anhu adalah seorang sahabat yang
berhijrah dan berjihad, serta mati syahid pada perang Hunain.

Khadijah Ummul Mukminin memiliki seorang budak bernama Zaid bin Haritsah. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kepada Khadijah agar Zaid dihadiahkan baginya.
Khadijah memenuhi permintaan sang suami tercinta.
Zaid menjadi anak angkat Rasulullah dan orang yang sangat dicintainya, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakannya dan menikahkannya dengan Ummu Aiman,
setelah suaminya yang pertama meninggal dunia. Seorang anak lelaki terlahir dari pernikahan
itu. Namanya adalah Usamah. Zaid kemudian berkun-yah dengan nama “Abu Usamah”.

Ketika usia Ummu Aiman semakin bertambah, beliau sangat senang untuk turut serta
berjihad bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada perang Uhud, Ummu Aiman
berangkat bersama para wanita. Peran yang ia utamakan adalah mengobati orang-orang yang
terluka dan memperhatikan mereka, serta memberi minum para mujahidin yang kehausan.

Pada perang Khaibar, Ummu Aiman bersama dua puluh orang wanita berangkat menuju
medan perang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukan kaum muslimin.
Adapun anaknya, Aiman, tidak ikut dalam perang ini karena kudanya sakit. Meski memiliki
alasan, ibunya menyifatinya sebagai pengecut.

Pada perang Mu’tah, suaminya (Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu) wafat sebagai
syuhada. Ummu Aiman menerima berita tersebut dengan sabar dan mengharap pahala dari Allah.
Pada perang Hunain, anaknya (Aiman) juga mati sebagai syuhada. Kembali beliau bersabar dan
mengharap pahala dari Allah dengan kematian anaknya. Beliau hanya mengharapkan keridhaan
Allah dan keridhaan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

E. Ummu Aiman Ikut Berhijrah

Karena tiada hentinya siksaan kaum musyrikin terhadap orang-orang yang masuk Islam,
terutama orang-orang yang lemah dan keturunan tak terpandang, Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam meminta para sahabatnya untuk hijrah ke negeri Habasyah demi menyelamatkan
agama mereka, dengan meminta perlindungan kepada Raja Najasy yang ternyata bersedia
memberi jaminan keamanan kepada mereka. Terutama keamanan sebagian besar kaum muslimin
yang mengkhawatirkan diri dan keluarga mereka dari kaum Quraisy. Peristiwa ini terjadi pada
tahun kelima dari masa kenabian. Bersama rombongan kaum muslimin yang berjumlah kurang
lebih 70 orang itulah Ummu Aiman bergabung untuk menyelamatkan diri dan agamanya dari
orang-orang kafir, sampai datang pertolongan dari Allah.

Hijrahnya yang kedua adalah ke Madinah Nabawiyyah, kota yang menjadi pusat
perkembangan Islam dan tanah haram yang kedua, negeri yang dicintai oleh Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam doa beliau: “Ya Allah, jadikanlah kami
mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Mekah, atau lebih.” Di sanalah Ummu Aiman
menetap hingga akhir hayatnya.
Ketika Allah memerintahkan kaum muslim untuk hijrah ke Madinah, Ummu Aiman
termasuk angkatan pertama yang turut hijrah ke Madinah. Dia melakukan hijrah dengan berjalan
kaki, tanpa bekal, dan dalam keadaan puasa walaupun cuaca saat itu sangat panas, sehingga ia
mengalami kehausan yang sangat. Selanjutnya, Allah memberikan kemurahan kepadanya dengan
menurunkan dari langit satu timba air dengan tali timba yang berwarna putih. Dia pun
meminumnya sampai puas.

Dalam sebuah riwayat, Ummu Aiman berkata, “Sesudah minum air itu, aku tidak
merasakan haus lagi. Meskipun aku berpuasa di tengah hari yang biasanya aku merasa haus, kini
aku tidak merasakan haus setelah minum air itu. Sejak saat itu, jika aku berpuasa pada hari yang
sangat panas, aku tidak pernah merasakan haus."

F. Tangisan Ummu Aiman

Sekitar dua setengah bulan sekembalinya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari
menunaikan ibadah haji, beliau menderita sakit. Hari demi hari sakitnya makin bertambah parah.
Setelah merasa tidak mampu menjadi imam shalat, beliau meminta Abu Bakr untuk
menggantikan beliau. Akhirnya, tepat pada hari Senin tanggal 12 Robi’ul Awwal, beliau kembali
menghadap Allah Ta’ala.

Berita kematian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sampai kepada para sahabat.
Hampir saja mereka tak sadar dan tidak mempercayai berita tersebut, hingga akhirnya Abu Bakar
Ash-Shiddiq radhiallahu’anhu, bangkit untuk menenangkan mereka, dan menjelaskan bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam hanya manusia biasa yang juga mati seperti manusia
lain. Mereka akhirnya pun sadar.

Sebagaimana sahabat yang lain Ummu Aiman juga menangisi kematian Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam, menangis karena ditinggal orang yang paling dicintainya setelah
Allah, dan dahulu pernah ia rawat dan asuh dengan penuh kasih sayang, dan yang
menyayanginya dan keturunannya.

Setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Bakar berkata kepada Umar:
“Mari kita mengunjungi Ummu Aiman seperti yang biasa dilakukan oleh Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam semasa hidup.” Ketika mereka datang ia pun menangis, mereka berdua
bertanya, “Apa yang membuatmu menangis? Apa yang ada di sisi Allah, lebih baik bagi
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.” Ia menjawab sembari terus menangis, “Saya menangis
bukan karena tidak tahu bahwa apa yang disediakan Allah untuk Rasul-Nya jauh lebih baik tetapi
aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit.” Sehingga Abu Bakar dan Umar pun ikut
menangis.

Itulah sebuah makna dari tangisan Ummu Aiman, tetasan air mata yang sangat berharga,
meleleh jatuh membasahi pipinya karena terputusnya wahyu seiring kematian Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak akan ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad shalallahu
‘alaihi wa sallam.

Ketika Khalifah Umar bin Khaththab terbunuh di tangan Abu Lu’lu’ah, Ummu Aiman
juga menangisi kematiannya sembari berkata, “Hari ini Islam melemah (dengan terpecahnya
pintu fitnah).” Wanita agung lagi mulia ini menangis karena kekuatan kaum muslimin mulai
terpecah-belah seiring syahidnya Khalifah Umar bin Khaththab.

G. Wafatnya Ummu Aiman

Ummu Aiman wafat pada masa khalifah Utsman bin Affan, bertepatan 20 hari setelah
wafatnya Umar. Semoga Allah mencurahkan rahmat-nya kepada Ummu Aiman, wanita yang
berhijrah dengan berjalan kaki dalam keadaan puasa, inang pengasuh Muhammad.

Anda mungkin juga menyukai