Anda di halaman 1dari 5

AKIDAH AKHLAK

[Kelompok 6]

XI 6
(Kisah teladan Fatimah Az-Zahra dan Uwais Al-Qarni)

➢ Nama:
• Siti Nur Syifa
• Nayla Faiza Az-Zahra
• Siti Fadila Nur Zihan
• Kaylila Adia Zahrani
• Ikrimainur Wahidah
• FATIMAH AZ-ZAHRA
➢ Fatimah Az-Zahra binti Muhammad lahir pada tahun ke-5 setelah
kenabian atau pada 606 M. Sejak kecil, ia menyaksikan dakwah Islam
periode Makkah yang berdarah-darah. Karena tumbuh dalam
keadaan sulit, Fatimah menjadi perempuan tegar, kuat, dan penuh
kesabaran. Fatimah adalah anak kesayangan Rasulullah SAW. Hal ini
tergambar dalam sabdanya: “Fatimah adalah sebagian daripadaku,
barangsiapa ragu terhadapnya, berarti ragu terhadapku, dan siapa
yang membohonginya berarti sudah membohongiku,” (H.R. Bukhari).
Karena perangai dan akhlaknya yang mulia, Fatimah memperoleh
banyak julukan. Julukannya yang utama adalah Az-Zahra (yang
cemerlang), Kaniz (terpelihara), At-Thahirah (perempuan suci), Ummul
Aimmah (ibu para imam), Sayyidah (pemuka yang mulia, penghulu),
Nisa’ Al-Alamin (perempuan paling utama sejagat) dan banyak lagi
julukan lainnya, sebagaimana dikutip dari buku Akidah Akhlak (2020)
yang ditulis Sihabul Milahudin

➢ Kesederhanaan Fatimah Az-Zahra

Setelah beranjak remaja, ketika Fatimah berusia 15 tahun lebih 5


bulan, ia menikah dengan sepupunya Ali bin Abi Thalib yang berusia
21 tahun. Perkawinannya pun dilakukan dengan sederhana. Saat itu,
Ali bukanlah pemuda berkecukupan. Untuk membayar mahar
Fatimah, Ali harus menjual perisainya untuk biaya pernikahan.
Pernikahan itu diselenggarakan beberapa waktu setelah hijrah dari
Makkah ke Madinah pada 622 M. Dari pernikahannya, Fatimah
dikaruniawi enam anak, tiga putra yaitu Hassan, Husain, dan
Muhassin (meninggal saat kecil), sedangkan putrinya adalah Zaynab,
Ummi Kultsum, dan Ruqayyah. Setelah berumah tangga pun,
kehidupan ekonomi Fatimah tidak juga membaik. Bahkan, untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari, Fatimah pernah menggadaikan
kerudungnya kepada orang Yahudi untuk memperoleh sejumlah kecil
uang. Karena terbebani dalam hidup kekurangannya, suatu waktu,
Fatimah pernah mengeluh pada Ali mengenai kesulitan yang harus
mereka jalani. Ali menyarankan agar Fatimah mendatangi ayahnya
untuk meminta bantuan. Barang kali Nabi Muhammad SAW berkenan
memberi salah seorang budak yang diperoleh dari rampasan perang
sebagai hadiah bagi Ali dan Fatimah. Fatimah pun mendatangi Nabi
Muhammad, namun ia tidak sanggup menyampaikan keluhannya
karena hormatnya yang begitu dalam pada ayahnya tersebut. Ketika
Fatimah pulang dengan tangan kosong, Ali memberanikan diri ke
rumah Nabi Muhammad bersama istrinya itu. Mendengar keluhan
menantu dan putri terkasihnya, Nabi Muhammad pun tidak bisa
berbuat banyak kecuali menasihati keduanya agar bersabar. Sebagai
gantinya, Nabi Muhammad SAW mengajarkan doa pada Ali dan
Fatimah agar memperoleh kelapangan hidup. “Ini adalah perkataan
yang diajarkan Jibril kepadaku. Kalian harus mengulangnya sepuluh
kali setelah sembahyang: ‘Mahasuci Tuhan’ [Subhan Allah], lalu
‘Segala puji bagi Allah’ [Alhamd lillah], dan ‘Tuhan Mahabesar’ [Allahu
Akbar]. Sebelum tidur, kalian harus mengulangnya sebanyak tiga
puluh kali,” (H.R. Bukhari dan Muslim). Kehidupan yang keras
membuat tangan lembut Fatimah menjadi kasar. Dikisahkan juga
Fatimah kerap menggendong anak dengan satu tangan, sementara
tangannya yang lain menggiling gandum. Akhir Hayat Fatimah Ketika
Nabi Muhammad sakit keras menjelang wafatnya, Fatimah tak henti-
henti menitikkan air mata. Melihat hal itu, Rasulullah memanggilnya,
kemudian berbisik. Saat mendengar kata-kata Rasulullah, tangisan
Fatimah kian keras. Kemudian, Rasulullah berbisik lagi dan Fatimah
pun tersenyum. Ketika ditanyakan kepada Fatimah mengenai yang
dibisikkan Rasulullah, ia menjawab bahwa Nabi Muhammad
menyampaikan bahwa beliau akan segera meninggal. Hal itu
membuatnya kian bersedih dan bertambah tangisannya. Beberapa
waktu kemudian, Nabi Muhammad berbisik lagi ke Fatimah bahwa
dia adalah keluarga Rasulullah yang pertama menyusul dan
menjumpainya di surga nanti, maka Fatimah pun tersenyum. Enam
bulan selepas Nabi Muhammad SAW wafat, Fatimah Az-Zahra sakit
keras dan merasa bahwa ajalnya sudah dekat. Ia berpesan bahwa
hanya suaminya, Ali bin Abi Thalib yang boleh menyentuh tubuhnya.
Beberapa waktu kemudian, Fatimah pun meninggal, menyusul
ayahnya, dalam usia yang sangat muda, yaitu 27 tahun di Madinah, 3
Ramadan 11 H atau 5 Agustus 532 M. Ali bin Abi Thalib kemudian
memandikan jenazah Fatimah, sesuai dengan wasiat istrinya itu.
Bersama Hasan dan Husain, Ali bin Abi Thalib menguburkan jenazah
Fatimah di pemakaman Baqi yang berseberangan dengan Masjid
Nabawi tempat Nabi Muhammad SAW dikebumikan.

➢ Fatimah Az-Zahra sebagai Sosok Teladan Para Istri

Sebagai seorang istri dan ibu, sifat dan perilaku Fatimah Az-Zahra
patut menjadi teladan para istri. Ibnu Marzuqi Al-Gharani dalam
bukunya The Great Mothers menyebutkan, Fatimah merupakan
wanita yang sederhana dan bersahaja.
Fatimah tidak pernah mementingkan kecantikan maupun
kemegahan, melainkan lebih mementingkan keridhaan Allah SWT.
Kehidupan rumah tangga yang sederhana membuatnya merasa
cukup dan bahagia.
Sikap qana'ah dalam diri Fatimah juga menjadi suatu hal istimewa
bagi anak-anaknya. Ia telah mendidik putranya, Hasan dan
Husein, untuk tumbuh menjadi generasi utama yang tidak terlena
dengan kemewahan harta.

• UWAIS AL-QARNI
Rasulullah SAW menyebut Uwais Al-Qarni sebagai penghuni langit
yang doanya tak pernah tertolak.
Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan, Umar berkata, "Aku
mendengar Rasulullah bersabda: Sesungguhnya sebaik-baik
tabi'in itu adalah orang yang bernama Uwais, ia memiliki orang
tua, dan padanya terdapat kusta. Suruhlah dia untuk memohonkan
ampun untuk kalian."

➢ Hidup Yatim bersama Sang Ibu

Uwais Al-Qarni merupakan seorang pemuda dari Yaman yang


hidup yatim sejak lama. Ia tinggal bersama ibunya yang sudah tua
renta. Menurut Aminudin dan Harjan Syuhada dalam buku Al-
Qur'an Hadis, untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya, Uwais
bekerja sebagai penggembala kambing.

Upah yang ia dapatkan juga tidak seberapa. Sekadar cukup untuk


makan sehari-hari dengan ibunya. Setiap kali ada sisa, uang
tersebut ia gunakan untuk membantu tetangganya yang hidup
miskin dan serba kekurangan seperti dirinya.

Menjadi penggembala kambing tak membuat Uwais melupakan


kewajibannya dalam beribadah. Bahkan, ia dikenal sebagai
pemuda yang amat patuh kepada Allah SWT. Pada siang hari, ia
berpuasa dan pada malam harinya ia bermunajat kepada Allah
SWT.

➢ Gendong Ibu dari Yaman ke Mekkah untuk Haji

Pada suatu ketika, sang ibu yang sudah tua renta sangat ingin
pergi haji. Padahal, kondisi mereka tidak memiliki uang.
Kondisi tersebut membuat Uwais merasa berat untuk memenuhi
keinginan sang ibu. Ia lantas mencari cara agar ibunya bisa
berangkat ke Tanah Suci.

Uwais kemudian memutuskan untuk membeli seekor anak lembu


dan membuatkan kandang di puncak bukit. Setiap pagi, ia
menggendong anak lembu tersebut naik turun bukit. Banyak orang
menganggap tindakannya itu sebagai sesuatu yang aneh.

Setelah 8 bulan berlalu, berat anak lembu tersebut sudah


mencapai 100 kg. Uwais Al-Qarni merasa ototnya sudah kuat
untuk mengangkat beban berat begitu musim haji tiba. Ia
kemudian menggendong ibunya dari Yaman ke Mekkah untuk
menunaikan ibadah di Tanah Suci tersebut.

Anda mungkin juga menyukai