Anda di halaman 1dari 3

Kisah Teladan Fatimah Az-Zahra, Anak Perempuan Nabi Muhammad

Keturunan Nabi Muhammad SAW hanya lahir melalui anak perempuannya,


Fatimah. Seluruh anak-anak Rasulullah yang lain meninggal dan tidak memberi
beliau cucu, kecuali anak perempuannya itu.
Kendati merupakan anak kesayangan Nabi Muhammad, Fatimah tidak pernah
mengecap kemewahan hidup. Dari keluarganya yang bersahaja, umat Islam
belajar dan meneladani sikap wara, tawaduk, serta bersabar dalam keadaan
berkekurangan.
Fatimah Az-Zahra binti Muhammad lahir pada tahun ke-5 setelah kenabian atau
pada 606 M. Sejak kecil, ia menyaksikan dakwah Islam periode Makkah yang
berdarah-darah. Karena tumbuh dalam keadaan sulit, Fatimah menjadi
perempuan tegar, kuat, dan penuh kesabaran.
Fatimah adalah anak kesayangan Rasulullah SAW. Hal ini tergambar dalam
sabdanya: “Fatimah adalah sebagian daripadaku, barangsiapa ragu terhadapnya,
berarti ragu terhadapku, dan siapa yang membohonginya berarti sudah
membohongiku,” (H.R. Bukhari).
Karena perangai dan akhlaknya yang mulia, Fatimah memperoleh banyak
julukan. Julukannya yang utama adalah Az-Zahra (yang cemerlang), Kaniz
(terpelihara), At-Thahirah (perempuan suci), Ummul Aimmah (ibu para imam),
Sayyidah (pemuka yang mulia, penghulu), Nisa’ Al-Alamin (perempuan paling
utama sejagat) dan banyak lagi julukan lainnya,
Kesederhanaan Fatimah Az-Zahra
Setelah beranjak remaja, ketika Fatimah berusia 15 tahun lebih 5 bulan, ia
menikah dengan sepupunya Ali bin Abi Thalib yang berusia 21 tahun.
Perkawinannya pun dilakukan dengan sederhana. Saat itu, Ali bukanlah pemuda
berkecukupan. Untuk membayar mahar Fatimah, Ali harus menjual perisainya
untuk biaya pernikahan.
Pernikahan itu diselenggarakan beberapa waktu setelah hijrah dari Makkah ke
Madinah pada 622 M. Dari pernikahannya, Fatimah dikaruniawi enam anak, tiga
putra yaitu Hassan, Husain, dan Muhassin (meninggal saat kecil), sedangkan
putrinya adalah Zaynab, Ummi Kultsum, dan Ruqayyah.
Setelah berumah tangga pun, kehidupan ekonomi Fatimah tidak juga membaik.
Bahkan, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Fatimah pernah
menggadaikan kerudungnya kepada orang Yahudi untuk memperoleh sejumlah
kecil uang.
Karena terbebani dalam hidup kekurangannya, suatu waktu, Fatimah pernah
mengeluh pada Ali mengenai kesulitan yang harus mereka jalani.
Ali menyarankan agar Fatimah mendatangi ayahnya untuk meminta bantuan.
Barang kali Nabi Muhammad SAW berkenan memberi salah seorang budak yang
diperoleh dari rampasan perang sebagai hadiah bagi Ali dan Fatimah.
Fatimah pun mendatangi Nabi Muhammad, namun ia tidak sanggup
menyampaikan keluhannya karena hormatnya yang begitu dalam pada ayahnya
tersebut.
Ketika Fatimah pulang dengan tangan kosong, Ali memberanikan diri ke rumah
Nabi Muhammad bersama istrinya itu. Mendengar keluhan menantu dan putri
terkasihnya, Nabi Muhammad pun tidak bisa berbuat banyak kecuali menasihati
keduanya agar bersabar.
Sebagai gantinya, Nabi Muhammad SAW mengajarkan doa pada Ali dan Fatimah
agar memperoleh kelapangan hidup. “Ini adalah perkataan yang diajarkan Jibril
kepadaku. Kalian harus mengulangnya sepuluh kali setelah sembahyang: ‘Mahasuci
Tuhan’ [Subhan Allah], lalu ‘Segala puji bagi Allah’ [Alhamd lillah], dan ‘Tuhan
Mahabesar’ [Allahu Akbar]. Sebelum tidur, kalian harus mengulangnya sebanyak tiga
puluh kali,” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Kehidupan yang keras membuat tangan lembut Fatimah menjadi kasar.
Dikisahkan juga Fatimah kerap menggendong anak dengan satu tangan,
sementara tangannya yang lain menggiling gandum.
Akhir Hayat Fatimah
Ketika Nabi Muhammad sakit keras menjelang wafatnya, Fatimah tak henti-henti
menitikkan air mata. Melihat hal itu, Rasulullah memanggilnya, kemudian
berbisik. Saat mendengar kata-kata Rasulullah, tangisan Fatimah kian keras.
Kemudian, Rasulullah berbisik lagi dan Fatimah pun tersenyum.
Ketika ditanyakan kepada Fatimah mengenai yang dibisikkan Rasulullah, ia
menjawab bahwa Nabi Muhammad menyampaikan bahwa beliau akan segera
meninggal. Hal itu membuatnya kian bersedih dan bertambah tangisannya.
Beberapa waktu kemudian, Nabi Muhammad berbisik lagi ke Fatimah bahwa dia
adalah keluarga Rasulullah yang pertama menyusul dan menjumpainya di surga
nanti, maka Fatimah pun tersenyum.
Enam bulan selepas Nabi Muhammad SAW wafat, Fatimah Az-Zahra sakit keras
dan merasa bahwa ajalnya sudah dekat. Ia berpesan bahwa hanya suaminya, Ali
bin Abi Thalib yang boleh menyentuh tubuhnya.
Beberapa waktu kemudian, Fatimah pun meninggal, menyusul ayahnya,
dalam usia yang sangat muda, yaitu 27 tahun di Madinah, 3 Ramadan 11 H
atau 5 Agustus 532 M.
Ali bin Abi Thalib kemudian memandikan jenazah Fatimah, sesuai dengan wasiat
istrinya itu. Bersama Hasan dan Husain, Ali bin Abi Thalib menguburkan jenazah
Fatimah di pemakaman Baqi yang berseberangan dengan Masjid Nabawi
tempat Nabi Muhammad SAW dikebumikan.

Anda mungkin juga menyukai