Kehidupan dunia dengan segala penderitaannya seolah tak lagi berarti baginya, manakala dia
telah mendengar janji indah tentang surga. Sepenuh pengorbanan jiwa dan raga dia berikan
untuk Allah dan Rasul-Nya.
Mungkin orang yang belum pernah mendengar namanya akan mengernyitkan dahi sembari
bertanya, siapakah dia? Namun tak mungkin diingkari, dia adalah seorang shahabiyah yang
memiliki untaian kemuliaan besar. Kemuliaannya tertulis dalam sejarah kaum muslimin. Dia
bernama Nusaibah bintu Ka’b bin ‘Amr bin Mabdzul bin ‘Amr bin Ghanam bin Mazin bin
An Najjar radhiallahu ‘anha. Ibunya bernama Ar Rabbab bintu ‘Abdillah bin Habib bin Zaid
bin Tsa’labah bin Zaid Manat bin Habib bin ‘Abdi Haritsah bin ‘Adlab bin Jasym bin Al
Khazraj.
Ummu ‘Umarah dipersunting oleh Zaid bin ‘Ashim bin ‘Amr bin ‘Auf bin Mabdzul bin ‘Amr
bin Ghanam bin Mazin bin An Najjar. Mereka dikaruniai dua orang putra, ‘Abdullah dan
Habib, yang kelak di kemudian hari menjadi shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang menyertai beliau dalam medan peperangan. Sepeninggal suaminya, Ummu
‘Umarah menikah dengan Ghaziyah bin ‘Amr bin ‘Athiyah bin Khansa’ bin Mabdzul bin
‘Amr bin Ghanam bin Mazin bin An Najjar radhiallahu ‘anhu. Dari pernikahan mereka, lahir
Tamim dan Khaulah.
Kisah indah dan mengesankan dalam medan pertempuran Uhud, tatkala Ummu ‘Umarah
radhiallahu ‘anha ikut berperan dalam kancah itu bersama suaminya, Ghaziyah bin ‘Amr
serta kedua putranya, ‘Abdullah dan Habib radhiallahu ‘anhum. Dengan membawa geriba
tempat air minum untuk memberi minum pasukan yang terluka, Ummu ‘Umarah berangkat
bersama pasukan kaum muslimin di awal siang.
Pertempuran berlangsung dahsyat. Ketika pasukan kaum muslimin tercerai berai, tak tersisa
di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya beberapa orang yang tak
sampai sepuluh orang banyaknya. Di saat yang genting itu, Ummu ‘Umarah terjun langsung
dalam peperangan dengan pedangnya. Bersama suami dan dua putranya, Ummu ‘Umarah
mendekati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melindungi di depan beliau dengan
segenap kemampuan.
Di tengah berkecamuknya perang, putra Ummu ‘Umarah, ‘Abdullah bin Zaid terluka di
lengan kirinya, ditebas oleh seseorang yang sangat cepat datangnya dan berlalu begitu saja,
tanpa sempat dia kenali. Darah pun mengucur tak henti. Melihat itu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, “Balut lukamu!” Ummu ‘Umarah pun datang membawa pembalut
yang dipersiapkannya untuk membalut luka-luka, segera mengikat luka putranya, sementara
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri mengawasi. Usai mengikat luka, Ummu
‘Umarah berkata pada putranya, “Bangkitlah! Perangilah orang-orang itu!” Mendengar
ucapannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa yang mampu
melakukan seperti yang kaulakukan, wahai Ummu ‘Umarah?”
Ummu ‘Umarah pun menderita luka-luka dalam peperangan itu. Luka yang paling besar
terdapat di pundaknya, karena tikaman pedang seorang musuh Allah dan Rasul-Nya, Ibnu
Qami’ah. Saat itu, Ibnu Qami’ah datang dan berseru, “Tunjukkan aku pada Muhammad! Aku
tidak akan selamat kalau dia selamat!” Dia pun segera dihadang oleh Mush’ab bin ‘Umair
radhiallahu ‘anhu bersama para sahabat yang lain. Ummu ‘Umarah berada dalam barisan itu.
Maka Ibnu Qami’ah menghunjamkan pedangnya ke pundak Ummu ‘Umarah. Ummu
‘Umarah pun membalas dengan beberapa kali tebasan, namun musuh Allah itu mengenakan
baju perang yang melindunginya.
Ummu ‘Umarah pun meminta, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar kami
menemanimu di dalam surga!” Beliau pun berdoa, “Ya Allah, jadikan mereka orang-orang
yang menemaniku di dalam surga.” Ummu ‘Umarah berkata, “Aku tidak peduli lagi apa yang
menimpaku di dunia.”
Dua belas luka didapatkan oleh Ummu ‘Umarah dalam peperangan itu. Tikaman pedang Ibnu
Qami’ah itulah luka yang paling parah yang diderita oleh Ummu ‘Umarah, hingga dia harus
mengobati luka itu setahun lamanya.
Keadaan luka yang sedemikian hebat tak menyurutkan semangat Ummu ‘Umarah untuk
membela Allah dan Rasul-Nya. Ketika kaum muslimin diseru untuk bersiap menuju
peperangan di Hamra`il Asad, Ummu ‘Umarah pun menyingsingkan bajunya. Namun, dia tak
kuasa menahan kucuran darah dari lukanya. Dalam semalam lukanya terus diseka hingga
pagi.
Kecintaannya pada Allah dan Rasul-Nya terus diwujudkannya, sampai pun setelah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Ketika Abu Bakr Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu
menjabat sebagai khalifah, muncul seorang pendusta bernama Musailamah Al-Kadzdzab,
yang mengaku sebagai nabi. Abu Bakr radhiallahu ‘anhu pun memeranginya bersama
pasukan kaum muslimin dalam perang Yamamah. Ummu ‘Umarah pun turut serta dalam
pasukan itu. Di sanalah Ummu ‘Umarah terpotong tangannya dan menderita sebelas luka
lainnya karena tebasan pedang dan tusukan tombak. Di sanalah pula Ummu ‘Umarah
kehilangan putranya, Habib bin Zaid radhiallahu ‘anhu.
Tak hanya dalam peperangan dia hadir di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pun
Ummu ‘Umarah meriwayatkan ilmu dari beliau, serta menyebarkannya pada manusia.
Perwujudan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya dengan segala pengorbanan jiwa dan raga
sepanjang perjalanan kehidupannya di dunia, mengantarkan dirinya untuk mendapatkan
kemuliaan yang kekal selama-lamanya.
Sumber Bacaan:
*Al-Ishabah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani (8/265-266)
*Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (4/1948-1949)
*Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (8/412-415)
*Siyar A’lamin Nubala`, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (2/278-282)
Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=346