Anda di halaman 1dari 7

Umair bin Waham al-Jumahi pulang dari Badar dengan selamat, namun dia meninggalkan anaknya di

belakangnya sebagai tawanan di tangan kaum muslimin.

Umair khawatir kaum muslimin akan melakukan sesuatu yang buruk terhadap anaknya atas dosa-
dosa bapaknya, menyiksanya dengan siksaan terburuk sebagai balasan atas penderitaan yang telah
dia timpakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sebagai hukuman atas siksaan yang
telah dia timpakan kepada para sahabatnya.

Di suatu pagi, Umair menuju masjid untuk thawaf di Ka’bah dan memohon keberkahan kepada
berhala-berhalanya, dia melihat Shafwan bin Umayyah[1] yang sedang duduk di sisi Hijir,[2] dia
berjalan kepadanya dan mengucapkan, “Im habahan.[3] Wahai sayid Quraisy.”

Shafwan berkata, “’Im shabahan wahai Abu Wahab. Duduklah, kita berbicara sebentar, kita
menghabiskan waktu dengan berbicara.”

Umair pun duduk di depan Shafwan bin Umayyah, dua laki-laki ini mulai berbicara mengenang
Badar, mengenang musibahnya yang besar, menghitung tawanan-tawanan yang jatuh di tangan
Muhammad dan para sahabatnya, berduka cita atas kematian para pemuka Quraisy di ujung pedang
kaum muslimin dan dilemparkannya jasad mereka ke dasar sumur di Badar. Maka Shafwan menarik
nafas sedih seraya berkata, “Demi Allah tidak ada kebaikan dalam hidup ini sesudah mereka.”

Umair berkata, “Kamu benar, demi Allah.” Kemudian Umair diam sesaat lalu dia melanjutkan, “Demi
Rabb Ka’bah, kalau aku tidak memikul utang yang saat ini aku tidak memiliki sesuatu yang bisa aku
gunakan untuk melunasinya. Dan keluarga, dimana aku khawatir mereka akan terlunta-lunta
sesudahku, niscaya aku akan pergi kepada Muhammad dan membunuhnya, aku akan menghabisi
perkara dan mengakhiri keburukannya.”

Umair melanjutkan dengan suara pelan, “Keberadaan anakku Wahab di antara mereka membuat
kehadiranku ke Yatsrib tidak menimbulkan kecurigaan pada mereka.”

Shafwan bi Umayyah memanfaatkan ucapan Umair bin Wahab, dia tidak ingin melepaskan peluang
ini begitu saja, maka dia berkata, “Wahai Umair, biarkan aku yang memikul seluruh utang-utangmu,
aku akan melunasinya sebesar apapun. Dan keluargamu, akan aku akan menanggung kehidupan
mereka bersama dengan keluargaku, selama aku dengan mereka masih hidup. Hartaku melimpah,
cukup untuk membiayai mereka dan membuat mereka hidup makmur.”
Umair berkata, “Kalau begitu simpanlah perbicaraan kita ini, jangan katakan kepada siapa pun.”

Maka Shafwan berkata, “Aku menjaminnya untukmu.”

Umair meninggalkan al-Haram sementara api kebencian bergolak di dadanya terhadap Muhammad,
dia langsung menyiapkan segala perlengkapannya untuk melaksanakan tekadnya, dia tidak perlu
khawatir dicurigai oleh seseorang dalam perjalanannya karena dia termasuk orang-orang Quraisy
yang masih mempunyai urusan dengan kaum muslimin terkait dengan tawanan perang Badar,
mereka hilir mudik ke Madinah untuk membebaskan tawanan mereka.

Umair mengasah pedangnya setajam mungkin dan menaburkan racun padanya.

Umair menyiapkan kendaraannya, dan naik ke atas punggungnya.

Dia bergerak menuju Madinah dengan niat buruk dan tekad jahat memenuhi sesuatu di dalam
jubahnya.

Umair tiba di Madinah, dia menuju masjid hendak menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
setibanya dia di dekat pintu masjid, dia menderumkan onta dan turun dari punggungnya.

Umar bin al-Khattab pada saat itu sedang duduk bersama sebagian sahabat di dekat pintu masjid,
mereka membicarakan Badar dan apa yang dibawa olehnya berupa tawanan perang dari orang-
orang Quraisy dan korban mereka, mereka mengenang kepahlawanan-kepahlawanan kaum
muslimin dari kalangan orang-orang Muhajirin dan Anshar, mereka membicarakan kemenangan
yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada mereka, kekalahan dan kehinaan yang Allah Ta’ala timpakan
kepada musuh mereka.

Tiba-tiba Umar menoleh, dia melihat Umair bin Wahab turun dari punggung kendaraannya dan
berjalan menuju masjid dengan menenteng pedangnya, maka Umar berdiri dengan perasaan cemas,
dia berkata, “Anjing, musuh Allah Umair bin Wahab. Demi Allah, dia tidak datang kecuali bermaksud
jahat. Dia telah mempengaruhi orang-orang musyrikin di Mekah untuk memusuhi kami dan dia
adalah mata-mata mereka atas kami sebelum terjadi perang Badar.”
Kemudian Umar berkata kepada rekan-rekannya, “Pergilah kalian kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, tetaplah kalian di samping beliau, berhati-hatilah terhadap kelicikan orang busuk
itu.”

Kemudian Umar bergegas menuju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia berkata kepada beliau,
“Ya Rasulullah, ini musuh Allah Umair bin Wahab telah datang dengan menghunus pedangnya,
menurutku dia tidak datang kecuali dengan maksud jahat.”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bawa dia masuk kepadaku.”

Maka al-Faruq membawa Umair bin Wahab kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
mencengkeram kerah bajunya dan mengalungkan tali pedangnya di lehernya.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya dalam kondisi demikian, beliau bersabda,
“Lepaskan dia wahai Umar.” Maka Umar melepaskannya. Kemudian beliau bersabda kepada Umar,
“Mundurlah dariku.” Maka Umar mundur. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menghampiri Umair bin Wahab dan beliau bersabda, “Mendekatlah wahai Umair.” Umair berkata,
“An’im shabahan.” Ini adalah ucapan salam jahiliyah.

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Allah telah memulaikan kami dengan sebuah penghormatan yang lebih baik dari ucapanmu itu
wahai Umair. Allah telah memuliakan kami dengan salam, ia adalah penghormatan untuk penduduk
surga.”

Maka Umair berkata, “Demi Allah, engkau sendiri tidak asing dengan penghormatan kami dan
engkau belum lama meninggalkannya.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu datang
wahai Umair?”
Umair menjawab, “Aku datang dengan harapan engkau berkenan melepaskan tawanan yang ada di
tanganmu, berbuat baiklah kepadanya demi aku.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Lalu mengapa pedang itu ada di pundakmu?”

Umair menjawab, “Pedang yang buruk dan tidak berguna apapun bagi kami di perang Badar.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencercanya, “Katakan kepadaku dengan jujur, apa yang
membuatmu datang kepadaku?”

Umair menjawab, “Aku tidak datang kecuali untuk itu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak demikian, akan tetapi kamu duduk bersama
Shafwan bin Umayyah di Hijir, lalu kalian berdua mengenang orang-orang Quraisy yang dilemparkan
ke sumur Badar. Kamu berkata, ‘Kalau bukan karena utang yang aku pikul dan keluarga yang aku
tanggung niscaya aku akan berangkat menemui Muhammad untuk membunuhnya’. Lalu Shafwan
bin Umayyah memikul utangmu dan menjamin kehidupan keluargamu dengan syarat kamu
membunuhku. Allah Ta’ala menghalangimu untuk melakukan hal itu.”

Umair terhenyak sesaat, kemudian dia berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”

Kemudian dia buru-buru menambahkan, “Ya Rasulullah, dulu kami mendustakanmu dengan tidak
mempercayai berita langit yang engkau bawa dan wahyu yang turun kepadamu, akan tetapi ceritaku
dengan Shafwan bin Umayyah hanya diketahui oleh kami berdua. Demi Allah, sungguh aku yakin
bahwa yang menyampaikannya kepadamu hanyalah Allah. Segala puji bagi Allah yang telah
menggiringku kepadamu sehingga Dia membimbingku kepada Islam.”

Kemudian Umair bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah
utusan Allah, dia masuk Islam.

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat, “Jadikanlah saudara
kalian ini paham (dengan) agamanya dan ajarilah dia Alquran serta bebaskanlah tawanannya.”
Kaum muslimin berbahagia dengan masuknya Umair bin Wahab ke dalam Islam, sampai-sampai
Umar bin al-Khatthab berkata, “Seekor babi lebih aku cintai daripada Umair bin Wahab ketika dia
datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun sekarang dia lebih aku cintai daripada
sebagian anakku sendiri.”

Umair terus menyucikan dirinya dengan ajaran-ajaran Islam, mengisi hatinya dengan cahaya
Alquran, menghidupkan hari-hari kehidupannya yang paling mengagumkan dan paling sarat
kebaikan, hal ini membuatnya melupakan Mekah dan siapa yang tinggal di sana.

Shafwan bin Umayyah menggantungkan harapan kepada Umair, dia melewati sekumpulan orang-
orang Quraisy sambil berkata, “Bergembiralah kalian, sebuah berita besar akan datang kepada kalian
dalam waktu dekat, berita yang membuat kalian melupakan kekalahan di Badar.”

Shafwan bin Umayyah menunggu dan menunggu, penantiannya berjalan lama, akhirnya kecemasan
mulai menggelayuti benaknya sedikit demi sedikit, sampai dia seperti berguling-guling di atas bara
api yang paling panas, dia mulai bertanya-tanya kepada para rombongan musafir yang lewat tentang
Umair bin Wahab, namun dia tidak menemukan jawaban yang memuaskan.

Sampai datanglah seorang musafir yang berkata kepadanya, “Umair telah masuk Islam.”

Berita yang terdengar di telinga Shafwan bak halilintar yang menyambar di siang hari karena
sebelumnya dia yakin bahwa Umair tidak akan masuk Islam sekalipun seluruh penduduk bumi masuk
Islam.

Umair bin Wahab terus mendalami agamanya, menghafal kalam Allah yang bisa dia hafal, sehingga
dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Ya Rasulullah aku telah melewati
suatu zaman, selama itu aku selalu berusaha untuk memadamkan cahaya Allah, kerap menimpakan
gangguan kerasa terhadap orang-orang yang masuk ke dalam agama Allah, aku ingin engkau
berkenan memberi izin kepadaku untuk pergi ke Mekah untuk mengajak orang Quraisy kepada Allah
dan Rasul-Nya, jika mereka menerimanya dariku maka apa yang mereka lakukan adalah sebaik-baik
perbuatan, namun jika mereka berpaling maka aku akan melakukan terhadap mereka seperti dulu
aku melakukan terhadap orang-orang yang masuk Islam.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan, maka Umair datang ke Mekah, dia datang ke
rumah Shafwan dan berkata, “Wahai Shafwan, sesungguhnya kamu adalah salah seorang pembesar
Mekah, salah seorang Quraisy yang berakal, apakah menurutmu apa yang kalian yakini selama ini,
yaitu menyembah batu dan menyembelih untuknya benar dalam akal sehingga ia patut dijadikan
sebagai agama? Aku telah bersaksi bahwa tiada Ilah yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad
adalah utusan Allah.”

Kemuian Umair terus berdakwah kepada Allah di Mekah sehingga banyak orang Mekah masuk Islam
atas ajakannya.

Semoga Allah memberikan pahala yang besar kepada Umair bin Wahab dan meliputi kuburnya
dengan cahaya.[4]

Anda mungkin juga menyukai