Anda di halaman 1dari 3

Ummu Umarah (Nusaibah binti Kaab) wafat 13 H.

Nama lengkapnya adalah Nusaibah binti Ka’ab bin Amru bin Auf bin Mabdzul al-
Anshaiyah. Ia adalah seorang wanita dari Bani Mazin an-Najar.

Beliau wanita yang bersegera masul Islam, salah seorang dari dua wanita yang
bersama para utusan Anshar yang datang ke Mekah untuk melakukan bai’at kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disamping memiliki sisi keuatmaan dan
kebaikan, ia juga suka berjihad, pemberani, ksatia, dan tidak takut mati di jalan
Allah.

Nusaibah ikut pegi berperang dalam Perang Uhud besama suaminya (Ghaziyah bin
Amru) dan bersama kedua anaknya dari suami yang prtama (Zaid bin Ashim bin
Amru), kedua anaknya bernama Abdullah dan Hubaib. Di siang harri beliau
membeikan minuman kepada yang terluka, namun tatkala kaum muslimin porang-
poranda beliau segera mendekati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
membawa pedang (untuk menjaga keselamatan Rasulullah) dan menyerang musuh
dengan anak panah. Beliau beperang dengan dahsyat. Beliau menggunakan ikat
pinggang pada peutnya hingga teluka sebanyak tiga belas tempat. Yang paling parah
adalah luka pada pundaknya yang tekena senjara dai musuh Allah yang bernama
Ibnu Qami’ah yang akhirnya luka tersebut diobati selama satu tahun penuh hingga
sembuh.

Nusaimah sempat mengganggap ringan lukanyayang berbahaya ketika penyeu


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru agar kaum muslimin menuju
Hamraul Asad, maka Nusaibah mengikat lukanya dengan bajunya, akan tetapi tidak
mampu untuk menghentikan cucuran daahnya.

Ummu Umarah menutukan kejadian Perang Uhud demikian kisahnya, “Aku melihat
orang-oang sudah menjauhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga tinggal
sekelompok kecil yang tidak sampai bilangan sepuluh orang. Saya, kedua anakku,
dan suamiku berada di depan beliau untuk melindunginya, sementara orang-orang
koca-kacir. Beliau melihatku tidak memiliki perisai, dan beliau melihat pula ada
seorang laki-laki yang mundu sambil membawa perisai. Beliau besabda, ‘Beikanlah
peisaimu kepada yang sedang berperang!’ Lantas ia melempakannya, kemudian saya
mengambil dan saya pegunakan untuk melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Ketika itu yang menyerang kami adalah pasukan bekuda, seandainya mereka
berrjalan kaki sebagaimana kami, maka dengan mudah dapat kami kalahkan insya
Allah. Maka tatkala ada seorang laki-laki yang berkuda mendekat kemudian
memukulku dan aku tangkis dengan pisaiku sehingga dia tidak bisa berbuat apa-apa
degan pedangnya dan akhirnya dia hendak mundu, maka aku pukul urat kaki
kudanya hingga jatuh teguling. Kemudian ketika itu Nabi berseu, ‘Wahai putra
Ummu imarah, bantulah ibumu… bantulah ibumu….’ Selanjutnya putraku
membantuku untuk mengalahkan musuh hingga aku berhasil membunuhnya.”
(Lihat Thabaqat Ibnu Sa’ad VIII/412).
Putra beliau yang bernama Abdullah bin Zaid bekata, “Aku teluka. Pada saat itu
dengan luka yang parah dan darah tidak berhenti mengalir, maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Balutlah lukamu!’ Sementara ketika itu Ummu Imarh
sedang menghadapi musuh, tatkala mendenga seuan Nabi, ibu menghampiriku
dengan membawa pembalut dari ikat pinggangnya. Lantas dibalutlah lukaku
sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, ketika itu ibu bekata kepadaku,
‘Bangkitlah besamaku dan tejanglah musuh!’Hal itu membuat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapakah yang mampu berbuat dengan apa yang engkau
pebuat ini wahai Ummu Imarah?’

Kemudian datanglah orang yang tadi melukaiku, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Inilah yang memukul anamu whai Ummu Imarah!” Ummu
Imarah becerita, “Kemudian aku datangi orang tersebut kemudian aku pukul
betisnya hingga roboh.” Ummu Imarah melihat ketika itu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tersenyum karena apa yang telah diperbuat olehnya hingga kelihata
gigi geraham beliau, beliau bersabda, “Engkau telah menghukumnya wahai Ummu
Imarah.”
Kemudian mereka pukul lagi dengan senjata hingga dia mati. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memenangkanmu dan
meyejukkan pandanganmu dengan kelelahan musuh-musuhmu dan dapat membalas
musuhmu di depan matamu.” (Lihat Thabaqat Ibnu Sa’ad VIII/413 — 414).

Selain pada Perang Uhud, Ummu Imarah juga ikut pada dalam bai’atur ridwan
bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Perang Hudaibiyah, dengan
demikian beliau ikut serta dalam Perang Hunain.

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, ada bebeapa kabilah yang
mutad dari Islam di bawah pimpinan Musailamah al-Kadzab, selanjutnya khalifah
Abu Bakar ash-Shidiq mengambil keputusan untuk memerangi orang-orang yang
murtad tesebut. Maka, bersegeralah Ummu Imarah mendatangi Abu Bakar dan
meminta ijin kepada beliau untuk begabung bersama pasukan yang akan memerangi
orang-orang yang mutad dai Islam. Abu Bakar ash-Shidiq bekata kepadanya,
“Sungguh aku telah mengakui pranmu di dalam perang Islam, maka berangkatlah
dengan nama Allah.” Maka, beliau berangkat bersama putranya yang bernama
Hubaib bin Zaid bin Ashim.

Di dalam perang ini, Ummu Imarah mendapatkan ujian yang berat. Pada perang
tesebut putranya tertawan oleh Musailamah al-Kadzab dan ia disiksa dengan bebagai
macam siksaan agarr mau mengakui kenabian Musailamah al-Kadzab. Akan tetapi,
bagi putra Ummu imarah yang telah tebiasa dididik untuk besabar tatkala beperang
dan telah dididik agar cinta kepada kematian syahid, ia tidak kenal kompomi
sekalipun diancam. Tejadilah dialog antaraya dengan Musailamah:

Musailamah: Engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah?


Hubaib: Ya
Musailamah: Engkau besaksi bahwa aku adalah Rasulullah?
Hubaib: Aku tidak mendengar apa yang kamu katakan itu.
Kemudian Musailamah al-Kadzab memotong-motong tubuh Hubaib hingga tewas.
Suatu ketika Ummu Imarah ikut serta dalam perang Yamamah besama putranya
yang lain, yaitu Abdullah. Beliau bertekad untuk dapat membunuh Musailamah
dengan tangannya sebagai balasan bagi Musailamah yang telah membunuh Hubaib,
akan tetapi takdir Allah menghendaki lain, yaitu bahwa yang mampu membunuh
adalah putra beliau yang satunya, yaitu Abdullah. Ia membalas Musailamah yang
telah membunuh saudara kandungnya.

Tatkala membunuh Musailamah, Abdullah bekeja sama dengan Wahsyi bin Harb,
tatkala ummu imarah mengetahui kematian si Thaghut al-Kadzab, maka beliau
bersujud syukur kepada Allah.
Ummu Imarah pulang dari peperangan dengan membawa dua belas luka pada
tubuhnya setelah kehilangan satu tangannya dan kehilangan anaknya yang terakhir,
yaitu Abdullah.

Sungguh, kaum muslimin pada masanya mengetahui kedudukan beliau. Abu Bakar
ash-Shidiq penah mendatangi beliau untuk menanyakan kondisinya dan
menenangkan beliau. Khalid si pedang Islam membantu atas penghomatannya, dan
seharusnyalah kaum muslimin di zaman kita juga mengetahui haknya pula. Beliau
sungguh telah mengukir sejarahnya dengan tinta emas.

Anda mungkin juga menyukai