Anda di halaman 1dari 12

Bismillahirrahmanirahim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahi Rabbil’alamin Washolatuwasalamu ‘ala Rasulillahil Karim, Nabiyyina


Muhammadinil Amin, Sayyidina Wamaulana Rahmatallill’alamin, wa ‘ala alihi washohbihi
wadzurriyatihi wa ummatihi ila yaumiddin amma Ba’ad. Fayaa AhbabAllahi wa AhbabaRasulihi
Sallahu’alaihi Wassalam. UshiNafsi Waiyyakum Bittaqwallahi Faqodfazal Muttaqun, Fala
Tamutunna illa Wa Antum Muslimun.

Faaqola Ta’ala : Yaa Ayyuhalladzina Aamanuttaqullaha haqqa tuqotihi wala tamuutunna illa
waantum muslimun

Yang Kami Hormati dan semoga dengan penghormatan kecil ini menghadirkan Anugerah besar
berupa kemuliaan disisi Allah Subhanallahu wa Ta’ala

Pertama Kepada Para Ulama, Masyaaikh, Asatidzah, Dewan Juri, dan Hadirin yang tidak bisa
kami sebutkan satu persatu dan semoga tidak mengurangi derajat antum semua sebagai
Hamba Allah Subhanallahu wa Ta’ala.

Dalam waktu dekat, kita akan memperingati Isra` Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Sebuah
peristiwa yang luar biasa, yang wajib kita yakini sebagai salah satu kisah perjalanan hidup
Rasulullah SAW. Sebagaimana Allah SWT pun mengabadikan peristiwa tersebut dalam Al-
Qur’an surat Al Isra` ayat 1, sebagaimana firman-Nya,

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil
Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS Al Isra` (17) : 1)

Setiap Muslim tentunya telah mengetahui bagaimana peristiwa Isra` Mi’raj tersebut, bagaimana
baginda Nabi diperjalankan oleh Allah SWT dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, kemudian
diangkat menuju Sidratul Muntaha, bertemu para Nabi terdahulu dan berbagai kejadian
lainnya. Peristiwa Isra Mi’raj ini pun bahkan setiap tahunnya diperingati sebagai hari besar
Umat Islam, dimana para Muballig sering menyampaikan peristiwa tersebut di acara peringatan
Isra’ Mi’raj. Namun sejatinya, ada hal yang tak kalah penting dibalik peristiwa tersebut, yakni
peristiwa sebelum terjadinya Isra` Mi’raj. Sebagian besar Muslim mungkin belum mengetahui
bahwasanya dibalik peristiwa Isra’ Mi’raj, terdapat kejadian luar biasa yang menjadi sebab
musabab Nabi kita di-Isra` Mi’rajkan oleh Allah SWT.
Dalam buku Ar-Rahiq Al Makhtum Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyurrahman al
Mubarakfuri, disebutkan bahwa secara historis peristiwa sebelum terjadinya Isra’ Mi’raj ialah
adanya tahun duka cita, atau lebih dikenal ‘?mul-?uzni. Tahun tersebut merupakan tahun yang
berat bagi Rasulullah SAW dalam kehidupannya. Setidaknya ada 3 kejadian yang membuat
Baginda Nabi begitu bersedih. Pertama, ialah meninggalnya Paman Rasulullah SAW, yakni Abdul
Manaf bin Abdul Muthallib, atau lebih dikenal dengan Abu Thalib. Rasulullah SAW begitu sedih
denngan kepergiannya sang Paman, karena dalam riwayatnya beliau-lah yang telah mengasuh
baginda Nabi sejak usia 8 tahun selepas meninggalnya Abdul Muthallib, kakek Rasulullaah SAW.
Beliau juga yang mengajak baginda Nabi berdagang ke Syam, hingga sampai Rasulullaah SAW
menikah dengan Khadijah binti Khuwailid. Bahkan ketika Baginda diangkat menjadi Rasul dan
berdakwah menyebarkan Islam di Mekkah, beliau-lah yang menjadi pembela sekaligus tameng
ketika kaum Musyrikin Mekkah hendak menyakiti Rasulullah SAW. Pembelaan Sang Paman pun
terukir dalam syairnya,

“Demi Allah, mereka dan komplotannya takkan bisa menyentuhmu, sampai aku terbuju kaku
terkubur di tanah. Lanjutkan perjuanganmu, Engkau tak melakukan sesuatu yang hina,
berbahagialah dan tentramkanlah hatimu” (Rahasia Keagungan Isra’ Mi’raj, Habib Noval
Alaydrus).

Kesedihan Rasulullah SAW semakin besar, tatkala diakhir hayat sang Paman tidak sampai
memeluk agama Islam. Saat sakaratul maut menimpa diri Abu Thalib, Rasulullah SAW berusaha
membimbing sang Paman agar mengucapkan kalimat Tauhid. Namun di saat itu pula para
Pemuka Quraisy hadir menyaksikan detik-detik meninggalnya Abu Thalib dan berusaha
memprovokasi agar tetap memegang teguh agama mereka. Kejadian menegangkan ini
diterangkan dalam sebuah hadits,

Dari Ibnul Musayyib, dari ayahnya, Dia berkata, “Ketika Abu Thalib menjelang pada wafatnya,
Rasulullah SAW menemui beliau. Dan di sisi Abu Thalib terdapat pula Abu Jahl. Baginda Nabi
mengatakan pada pamannya kala itu,

“Wahai pamanku, ucapkanlah ‘laa ilaha illalah’ yaitu kalimat yang aku nanti bisa beralasan di
hadapan Allah (kelak).”

Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah berkata,

“Wahai Abu Tholib, apakah engkau tidak suka pada agamanya Abdul Muththalib?” Mereka
berdua terus mengucapkan seperti itu, namun kalimat terakhir yang diucapkan Abu Thalib
adalah ia berada di atas ajaran Abdul Muththalib.

Rasulullah SAW kemudian mengatakan :


“Sungguh aku akan memohonkan ampun bagimu wahai pamanku, selama aku tidak dilarang
oleh Allah”

Kemudian turunlah ayat,

“Tidak pantas bagi seorang Nabi dan bagi orang-orang yang beriman, mereka memintakan
ampun bagi orang-orang yang musyrik, meskipun mereka memiliki hubungan kekerabatan,
setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.”
(QS. At-Taubah: 113)

Allah Ta’ala pun menurunkan ayat,

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah (ilham dan taufik) kepada
orang-orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qashshash: 56) (HR. Bukhari, no. 3884 dan Muslim,
no. 24)

Begitulah kesedihan Rasulullah ketika ditinggal wafat oleh sang Paman. Dalam riwayatnya, Abu
Thalib meninggal pada tahun kesepuluh dari kenabian, ia meninggal dalam usia 80 tahun lebih
(Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah, 7:116).

Kedua, peristiwa yang menjadi tahun duka cita Baginda Nabi ialah meninggalnya Khadijah binti
Khuwailid R.A., sosok yang selalu menjadi pelipur lara dalam setiap perjalanan dakwah Nabi.
Beliau yang berkorban dengan hartanya untuk perjuangan Nabi dalam menyebarkan Islam.
Beliau pun merupakan sosok pertama dari kalangan perempuan yang bersyahadat, beliau pula
yang menyelimuti Baginda Nabi ketika pulang dari Gua Hira selepas mendapat wahyu pertama.
Beliau adalah istri Rasulullah SAW, wanita mulia yang wafat tidak lama setelah meninggalnya
sang Paman, Abu Tholib. Dalam riwayatnya, ada yang mengatakan beliau wafat dua bulan
setelah Abu Thâlib, ada pula yang berpendapat satu bulan lima hari, dan berbagai pendapat
lainnya. Sedangkan yang masyhur, Khadijah R.A. wafat pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh
dari kenabian. (as-Sîratun Nabawiyatu fi Dhau-il Mashâdiril ash Liyyah, Mahdi Rizqullah Ahmad)

Wafatnya Khadijah, betul-betul membuat Baginda Nabi terpukul. Betapa tidak, beliau adalah
istri yang sangat dicintai oleh Nabi, bahkan disebut-sebut menjadi wanita terbaik kelak di surga
nanti. Sebagaimana Rosulullah SAW bersabda,

“Wanita-wanita yang paling utama sebagai penduduk surga adalah Khadijah binti Khuwailid,
Fathimah binti Muhammad, Asiyah binti Muzahim (istri Fir’aun) dan Maryam binti ‘Imran.” (HR.
Ahmad, 1:293. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih.)
Begitu cintanya Rasulullah SAW pada Khadijah, sampai-sampai Aisyah R.A pernah menceritakan
bahwa dirinya pernah begitu cemburu kepada Khadijah, padahal sepanjang hidupnya belum
pernah bertemu dengannya. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

“Aku tidak cemburu pada seorang wanita pun melebihi kecemburuanku pada Khadijah.
Sungguh dia telah wafat tiga tahun sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku.
Kecemburuanku disebabkan aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebut-nyebut dia (Khadijah). Rabbnya pun menyuruh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk memberikan kabar gembira kepadanya (Khadijah) bahwa ia mendapatkan rumah di surga
yang terbuat dari perhiasan. Ditambah lagi apabila beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyembelih kambing lalu beliau akan menghadiahkan sahabat-sahabat Khadijah.” (HR.
Muslim, no. 2435).

Peristiwa meninggalnya Khadijah tersebut tentunya membuat kesedihan Rasulullah semakin


bertambah semenjak ditinggal wafat oleh sang Paman. Dan ini merupakan salah bagian dari ‘?
mul-?uzni atau tahun duka cita Rasulullah SAW. Dalam riwayatnya, Khadijah R.A. meninggal
karena sakit, pun juga karena usianya yang tak lagi muda mengakibatkan kesehatannya
semakin menurun. Pada detik-detik terakhirnya, beliau hanya berdzikir kepada Allah SWT,
hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di hadapan baginda Nabi SAW (Khadijah,
Ibrahim Muhammad Hasan al-Jamal).

Selepas meninggal sang Paman dan Khadijah, kaum kafir Quraisy memanfaatkan ketiadaan
mereka berdua dengan memberanikan diri untuk menyakiti Rasulullah SAW. Betapa tidak,
tameng yang selama ini menjamin keselamatan baginda telah tiada, ditambah pula orang yang
selalu menjadi penghibur Nabi dikala susah telah meninggal dunia. Dan ini menjadi peristiwa
ketiga yang menjadi bagian dari ‘?mul-?uzni. Sehingga kita mungkin pernah mendengar riwayat
bahwa baginda Nabi dilempari kotoran unta, batu, diludahi, dicaci maki, dihina, dicemoohi,
diancam pembunuhan, pemboikotan, dan lain sebagainya. Semua perlakuan orang-orang
Quraisy tersebut tentunya menambah kesedihan bagi Rasulullah SAW dalam kehidupannya.
Akan tetapi, bagaimanapun Rasulullah SAW adalah sosok yang mulia, ia tetap tegar dalam
menghadapi semua peristiwa tersebut, karena beliau yakin bahwa setiap ujian yang diberikan,
pasti Allah SWT akan memberikan jalan keluar.

Setelah kesedihan yang begitu panjang, Allah SWT pun menganugerahkan kepada baginda Nabi
dengan adanya Isra’ Mi’raj, dimana peristiwa itu terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun ke-10
setelah diutusnya Nabi, tak lama setelah berlangsungnya ‘?mul-?uzni. Allah SWT dengan
kuasaNya memperjalankan Rasulullah SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, kemudian
mengangkat baginda Nabi menuju sidratul Muntaha hanya dalam satu malam, bertemu para
Nabi, hingga singkat cerita Baginda Nabi mendapatkan perintah untuk disampaikan kepada
umatnya, yaitu shalat 5 waktu. Dan inilah solusi yang Allah SWT berikan kepada Baginda Nabi
dari setiap kesedihan yang telah dilalui, bahwasanya shalat adalah kunci dari setiap
permasalahan. Disanalah sarana terbaik untuk langsung meminta pertolongan, petunjuk serta
jalan keluar kepada Allah SWT, sebagaimana Allah SWT berfirman,

“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat. Dan
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk”. (Q.S.
Al Baqarah (2) : 45)

Shalat merupakan media komunikasi terbaik dengan Allah SWT karena saat itulah Rasulullah
SAW begitu dekat dengan Rabb-nya. Dan juga, shalat merupakan kesempatan emas untuk
berdoa dan meminta jalan keluar dikala mendapat permasalahan. Sebagaimana Rasulullah SAW
bersabda,

“Seorang hamba akan menjadi paling dekat dengan Rabb-nya saat ia sedang sujud. Maka,
perbanyaklah doa (di dalamnya)”. [HR Muslim no. 482, dari Abu Hurairah]

Shalat pun menjadi suntikan penguat psikologis bagi baginda Nabi dalam menghadapi
permasalahan, juga tempat menenangkan diri bagi Rasulullaah SAW dalam setiap aktifitas
kesehariannya, sebagai sabda-Nya,

“Wahai, Bilal. Kumandangkan iqamah shalat. Buatlah kami tenang dengannya”. [Hadits hasan,
Shahihu al Jami’ : 7892]

Allah SWT pun memerintahkan baginda Nabi untuk melaksanakan shalat, dikala dadanya terasa
sempit disebabkan perkataan kaum kafir Quraisy,

“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang
mereka ucapkan. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara
orang-orang yang bersujud (salat)”. (Q.S. Al Hijr (15) : 97-98)

Dan inilah yang menjadi penguat Rasulullah SAW dalam menghadapi setiap permasalahan
dalam kehidupannya. Dakwah yang begitu berat, rintangan dan hambatan yang tiada henti,
berbagai ujian dan cobaan yang kian menerpa, semua permasalahan tersebut selalu diadukan
kepada Allah SWT melalui shalat. Hingga semuanya terasa ringan, karena setiap kesulitan
tersebut selalu ada kemudahan, setiap masalah selalu ada solusi, hingga Baginda Nabi
mendapatkan kebahagiaan yang hakiki.

Melihat konteks dari perjalanan Rasulullah SAW diatas, terdapat kesamaan dengan apa yang
sedang kita alami saat ini. Dimana seluruh dunia tengah diterpa ujian dan cobaan berupa
pandemi virus corona, atau dikenal dengan Covid-19. Pandemi ini bahkan sudah berlangsung
satu tahun, dimana telah banyak saudara kita yang wafat akibat covid-19 ini. Di Indonesia
sendiri, yang terjangkit pun sudah lebih dari 1 juta orang. Tak hanya itu, beberapa sektor bidang
di negara kita mengalami kemunduran, seperti ekonomi, pendidikan, sosial, pariwisata, bisnis
dan lain sebagainya. Tentu ini bisa dikatakan sebagai ‘?mul-?uzni -nya era saat ini, dimana kita
betul-betul mendapatkan kesulitan dalam berbagai hal dalam setahun ini. Psikologis kita betul-
betul diperas untuk menangani pandemi covid-19, belum lagi masalah peribadatan kita yang
selalu dihantui berbagai aturan demi mencegah penyebaran virus ini. Sehingga tak sedikit dari
kita yang beranggapan bahwa covid-19 ini merupakan suatu kebohongan dikarenakan
keputusasaan mereka dalam menjalani kehidupan di masa pandemi.

Berkaca dari ‘?mul-?uzni -nya baginda Nabi, hingga berujung pada peristiwa Isra’ Mi’raj, maka
solusi dari ‘?mul-?uzni -nya pandemi saat ini pun sama yakni ialah sama-sama melaksanakan
hasil dari isra’ mi’raj-nya Rasulullah SAW yang tak lain ialah melaksanakan shalat dengan
sebaik-baiknya. Shalat menjadi jalan keluar terbaik agar kita terbebas dari pandemi covid-19 ini.
Shalat menjadi perbaikan psikologis kita dalam menjalani kehidupan di masa pandemi. Shalat
menjadi refresh ketauhidan kita agar betul-betul bergantung pada sang Pencipta. Shalat pun
menjadi upaya spiritual dalam mencegah dan menghindari penularan wabah. Shalat juga
bahkan menjadi perbaikan mental dan moral kita dalam melaksanakan setiap pencegahan
penularan covid-19, sebagaimana Allah SWT berfirman,

“…. dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al ‘Ankabut
(29) : 45)

Hendaknya pandemi ini menjadi momentum untuk kita agar memperbaiki kualitas shalat, yang
pada akhirnya akan menjadi perbaikan pada seluruh aspek kehidupan kita. Dimulai dari
perbaikan jiwa dan psikologis kita dalam menghadapi pandemi dengan ketenangan namun
tetap dengan kehati-hatian, tidak panik namun tetap disiplin menjalankan protokol kesehatan,
paham bahwa setiap madarat harus dihindari dengan berbagai usaha dan ikhtiar. Tak hanya itu,
shalat pun menjadi perbaikan pada raga, diawali dengan berwudhu yang merupakan salah satu
perilaku hidup bersih, termasuk didalamnya gerakan mencuci tangan. Kemudian gerakan-
gerakan Shalat yang sempurna hakikatnya adalah olahraga untuk membugarkan tubuh,
terutama pada gerakan sujud. Sehingga badan kita akan sehat, dan antibodi kita siap melawan
berbagai penyakit.

Dari sanalah kita akan meyakini bahwa sholat merupakan solusi dari pandemi yang seakan-akan
tiada akhir ini. Insya allah, ‘amul-huzni yang telah kita lewati, duka cita yang telah setahun
berlalu akan tergantikan dengan kebahagiaan. Pandemi yang telah lama menjangkiti negeri ini
akan sirna. Dan kita semua bisa kembali berakfititas seperti sedia kala. Sebagaimana pasca
Aamul huzni baginda nabi, Allah SWT menganugerahkan Aisyah dan istri-istri lainnya untuk
baginda Nabi selepas kehilangan Khadijah, Allah hadirkan para sahabat Muhajirin dan Anshar
yang solid untuk menjadi pembela Nabi, dan mewujudkan fathu Makkah untuk kemenangan
Islam, semua berawal dari perintah shalat dalam isra mi’raj. Wallahu a’lam.

Dalam waktu dekat, kita akan memperingati Isra` Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Sebuah
peristiwa yang luar biasa, yang wajib kita yakini sebagai salah satu kisah perjalanan hidup
Rasulullah SAW. Sebagaimana Allah SWT pun mengabadikan peristiwa tersebut dalam Al-
Qur’an surat Al Isra` ayat 1, sebagaimana firman-Nya,

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil
Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS Al Isra` (17) : 1)

Setiap Muslim tentunya telah mengetahui bagaimana peristiwa Isra` Mi’raj tersebut, bagaimana
baginda Nabi diperjalankan oleh Allah SWT dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, kemudian
diangkat menuju Sidratul Muntaha, bertemu para Nabi terdahulu dan berbagai kejadian
lainnya. Peristiwa Isra Mi’raj ini pun bahkan setiap tahunnya diperingati sebagai hari besar
Umat Islam, dimana para Muballig sering menyampaikan peristiwa tersebut di acara peringatan
Isra’ Mi’raj. Namun sejatinya, ada hal yang tak kalah penting dibalik peristiwa tersebut, yakni
peristiwa sebelum terjadinya Isra` Mi’raj. Sebagian besar Muslim mungkin belum mengetahui
bahwasanya dibalik peristiwa Isra’ Mi’raj, terdapat kejadian luar biasa yang menjadi sebab
musabab Nabi kita di-Isra` Mi’rajkan oleh Allah SWT.

Dalam buku Ar-Rahiq Al Makhtum Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyurrahman al


Mubarakfuri, disebutkan bahwa secara historis peristiwa sebelum terjadinya Isra’ Mi’raj ialah
adanya tahun duka cita, atau lebih dikenal ‘?mul-?uzni. Tahun tersebut merupakan tahun yang
berat bagi Rasulullah SAW dalam kehidupannya. Setidaknya ada 3 kejadian yang membuat
Baginda Nabi begitu bersedih. Pertama, ialah meninggalnya Paman Rasulullah SAW, yakni Abdul
Manaf bin Abdul Muthallib, atau lebih dikenal dengan Abu Thalib. Rasulullah SAW begitu sedih
denngan kepergiannya sang Paman, karena dalam riwayatnya beliau-lah yang telah mengasuh
baginda Nabi sejak usia 8 tahun selepas meninggalnya Abdul Muthallib, kakek Rasulullaah SAW.
Beliau juga yang mengajak baginda Nabi berdagang ke Syam, hingga sampai Rasulullaah SAW
menikah dengan Khadijah binti Khuwailid. Bahkan ketika Baginda diangkat menjadi Rasul dan
berdakwah menyebarkan Islam di Mekkah, beliau-lah yang menjadi pembela sekaligus tameng
ketika kaum Musyrikin Mekkah hendak menyakiti Rasulullah SAW. Pembelaan Sang Paman pun
terukir dalam syairnya,

“Demi Allah, mereka dan komplotannya takkan bisa menyentuhmu, sampai aku terbuju kaku
terkubur di tanah. Lanjutkan perjuanganmu, Engkau tak melakukan sesuatu yang hina,
berbahagialah dan tentramkanlah hatimu” (Rahasia Keagungan Isra’ Mi’raj, Habib Noval
Alaydrus).

Kesedihan Rasulullah SAW semakin besar, tatkala diakhir hayat sang Paman tidak sampai
memeluk agama Islam. Saat sakaratul maut menimpa diri Abu Thalib, Rasulullah SAW berusaha
membimbing sang Paman agar mengucapkan kalimat Tauhid. Namun di saat itu pula para
Pemuka Quraisy hadir menyaksikan detik-detik meninggalnya Abu Thalib dan berusaha
memprovokasi agar tetap memegang teguh agama mereka. Kejadian menegangkan ini
diterangkan dalam sebuah hadits,

Dari Ibnul Musayyib, dari ayahnya, Dia berkata, “Ketika Abu Thalib menjelang pada wafatnya,
Rasulullah SAW menemui beliau. Dan di sisi Abu Thalib terdapat pula Abu Jahl. Baginda Nabi
mengatakan pada pamannya kala itu,

“Wahai pamanku, ucapkanlah ‘laa ilaha illalah’ yaitu kalimat yang aku nanti bisa beralasan di
hadapan Allah (kelak).”

Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah berkata,

“Wahai Abu Tholib, apakah engkau tidak suka pada agamanya Abdul Muththalib?” Mereka
berdua terus mengucapkan seperti itu, namun kalimat terakhir yang diucapkan Abu Thalib
adalah ia berada di atas ajaran Abdul Muththalib.

Rasulullah SAW kemudian mengatakan :

“Sungguh aku akan memohonkan ampun bagimu wahai pamanku, selama aku tidak dilarang
oleh Allah”

Kemudian turunlah ayat,

“Tidak pantas bagi seorang Nabi dan bagi orang-orang yang beriman, mereka memintakan
ampun bagi orang-orang yang musyrik, meskipun mereka memiliki hubungan kekerabatan,
setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.”
(QS. At-Taubah: 113)

Allah Ta’ala pun menurunkan ayat,

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah (ilham dan taufik) kepada
orang-orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qashshash: 56) (HR. Bukhari, no. 3884 dan Muslim,
no. 24)
Begitulah kesedihan Rasulullah ketika ditinggal wafat oleh sang Paman. Dalam riwayatnya, Abu
Thalib meninggal pada tahun kesepuluh dari kenabian, ia meninggal dalam usia 80 tahun lebih
(Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah, 7:116).

Kedua, peristiwa yang menjadi tahun duka cita Baginda Nabi ialah meninggalnya Khadijah binti
Khuwailid R.A., sosok yang selalu menjadi pelipur lara dalam setiap perjalanan dakwah Nabi.
Beliau yang berkorban dengan hartanya untuk perjuangan Nabi dalam menyebarkan Islam.
Beliau pun merupakan sosok pertama dari kalangan perempuan yang bersyahadat, beliau pula
yang menyelimuti Baginda Nabi ketika pulang dari Gua Hira selepas mendapat wahyu pertama.
Beliau adalah istri Rasulullah SAW, wanita mulia yang wafat tidak lama setelah meninggalnya
sang Paman, Abu Tholib. Dalam riwayatnya, ada yang mengatakan beliau wafat dua bulan
setelah Abu Thâlib, ada pula yang berpendapat satu bulan lima hari, dan berbagai pendapat
lainnya. Sedangkan yang masyhur, Khadijah R.A. wafat pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh
dari kenabian. (as-Sîratun Nabawiyatu fi Dhau-il Mashâdiril ash Liyyah, Mahdi Rizqullah Ahmad)

Wafatnya Khadijah, betul-betul membuat Baginda Nabi terpukul. Betapa tidak, beliau adalah
istri yang sangat dicintai oleh Nabi, bahkan disebut-sebut menjadi wanita terbaik kelak di surga
nanti. Sebagaimana Rosulullah SAW bersabda,

“Wanita-wanita yang paling utama sebagai penduduk surga adalah Khadijah binti Khuwailid,
Fathimah binti Muhammad, Asiyah binti Muzahim (istri Fir’aun) dan Maryam binti ‘Imran.” (HR.
Ahmad, 1:293. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih.)

Begitu cintanya Rasulullah SAW pada Khadijah, sampai-sampai Aisyah R.A pernah menceritakan
bahwa dirinya pernah begitu cemburu kepada Khadijah, padahal sepanjang hidupnya belum
pernah bertemu dengannya. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

“Aku tidak cemburu pada seorang wanita pun melebihi kecemburuanku pada Khadijah.
Sungguh dia telah wafat tiga tahun sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku.
Kecemburuanku disebabkan aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebut-nyebut dia (Khadijah). Rabbnya pun menyuruh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk memberikan kabar gembira kepadanya (Khadijah) bahwa ia mendapatkan rumah di surga
yang terbuat dari perhiasan. Ditambah lagi apabila beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyembelih kambing lalu beliau akan menghadiahkan sahabat-sahabat Khadijah.” (HR.
Muslim, no. 2435).

Peristiwa meninggalnya Khadijah tersebut tentunya membuat kesedihan Rasulullah semakin


bertambah semenjak ditinggal wafat oleh sang Paman. Dan ini merupakan salah bagian dari ‘?
mul-?uzni atau tahun duka cita Rasulullah SAW. Dalam riwayatnya, Khadijah R.A. meninggal
karena sakit, pun juga karena usianya yang tak lagi muda mengakibatkan kesehatannya
semakin menurun. Pada detik-detik terakhirnya, beliau hanya berdzikir kepada Allah SWT,
hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di hadapan baginda Nabi SAW (Khadijah,
Ibrahim Muhammad Hasan al-Jamal).

Selepas meninggal sang Paman dan Khadijah, kaum kafir Quraisy memanfaatkan ketiadaan
mereka berdua dengan memberanikan diri untuk menyakiti Rasulullah SAW. Betapa tidak,
tameng yang selama ini menjamin keselamatan baginda telah tiada, ditambah pula orang yang
selalu menjadi penghibur Nabi dikala susah telah meninggal dunia. Dan ini menjadi peristiwa
ketiga yang menjadi bagian dari ‘?mul-?uzni. Sehingga kita mungkin pernah mendengar riwayat
bahwa baginda Nabi dilempari kotoran unta, batu, diludahi, dicaci maki, dihina, dicemoohi,
diancam pembunuhan, pemboikotan, dan lain sebagainya. Semua perlakuan orang-orang
Quraisy tersebut tentunya menambah kesedihan bagi Rasulullah SAW dalam kehidupannya.
Akan tetapi, bagaimanapun Rasulullah SAW adalah sosok yang mulia, ia tetap tegar dalam
menghadapi semua peristiwa tersebut, karena beliau yakin bahwa setiap ujian yang diberikan,
pasti Allah SWT akan memberikan jalan keluar.

Setelah kesedihan yang begitu panjang, Allah SWT pun menganugerahkan kepada baginda Nabi
dengan adanya Isra’ Mi’raj, dimana peristiwa itu terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun ke-10
setelah diutusnya Nabi, tak lama setelah berlangsungnya ‘?mul-?uzni. Allah SWT dengan
kuasaNya memperjalankan Rasulullah SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, kemudian
mengangkat baginda Nabi menuju sidratul Muntaha hanya dalam satu malam, bertemu para
Nabi, hingga singkat cerita Baginda Nabi mendapatkan perintah untuk disampaikan kepada
umatnya, yaitu shalat 5 waktu. Dan inilah solusi yang Allah SWT berikan kepada Baginda Nabi
dari setiap kesedihan yang telah dilalui, bahwasanya shalat adalah kunci dari setiap
permasalahan. Disanalah sarana terbaik untuk langsung meminta pertolongan, petunjuk serta
jalan keluar kepada Allah SWT, sebagaimana Allah SWT berfirman,

“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat. Dan
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk”. (Q.S.
Al Baqarah (2) : 45)

Shalat merupakan media komunikasi terbaik dengan Allah SWT karena saat itulah Rasulullah
SAW begitu dekat dengan Rabb-nya. Dan juga, shalat merupakan kesempatan emas untuk
berdoa dan meminta jalan keluar dikala mendapat permasalahan. Sebagaimana Rasulullah SAW
bersabda,

“Seorang hamba akan menjadi paling dekat dengan Rabb-nya saat ia sedang sujud. Maka,
perbanyaklah doa (di dalamnya)”. [HR Muslim no. 482, dari Abu Hurairah]
Shalat pun menjadi suntikan penguat psikologis bagi baginda Nabi dalam menghadapi
permasalahan, juga tempat menenangkan diri bagi Rasulullaah SAW dalam setiap aktifitas
kesehariannya, sebagai sabda-Nya,

“Wahai, Bilal. Kumandangkan iqamah shalat. Buatlah kami tenang dengannya”. [Hadits hasan,
Shahihu al Jami’ : 7892]

Allah SWT pun memerintahkan baginda Nabi untuk melaksanakan shalat, dikala dadanya terasa
sempit disebabkan perkataan kaum kafir Quraisy,

“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang
mereka ucapkan. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara
orang-orang yang bersujud (salat)”. (Q.S. Al Hijr (15) : 97-98)

Dan inilah yang menjadi penguat Rasulullah SAW dalam menghadapi setiap permasalahan
dalam kehidupannya. Dakwah yang begitu berat, rintangan dan hambatan yang tiada henti,
berbagai ujian dan cobaan yang kian menerpa, semua permasalahan tersebut selalu diadukan
kepada Allah SWT melalui shalat. Hingga semuanya terasa ringan, karena setiap kesulitan
tersebut selalu ada kemudahan, setiap masalah selalu ada solusi, hingga Baginda Nabi
mendapatkan kebahagiaan yang hakiki.

Melihat konteks dari perjalanan Rasulullah SAW diatas, terdapat kesamaan dengan apa yang
sedang kita alami saat ini. Dimana seluruh dunia tengah diterpa ujian dan cobaan berupa
pandemi virus corona, atau dikenal dengan Covid-19. Pandemi ini bahkan sudah berlangsung
satu tahun, dimana telah banyak saudara kita yang wafat akibat covid-19 ini. Di Indonesia
sendiri, yang terjangkit pun sudah lebih dari 1 juta orang. Tak hanya itu, beberapa sektor bidang
di negara kita mengalami kemunduran, seperti ekonomi, pendidikan, sosial, pariwisata, bisnis
dan lain sebagainya. Tentu ini bisa dikatakan sebagai ‘?mul-?uzni -nya era saat ini, dimana kita
betul-betul mendapatkan kesulitan dalam berbagai hal dalam setahun ini. Psikologis kita betul-
betul diperas untuk menangani pandemi covid-19, belum lagi masalah peribadatan kita yang
selalu dihantui berbagai aturan demi mencegah penyebaran virus ini. Sehingga tak sedikit dari
kita yang beranggapan bahwa covid-19 ini merupakan suatu kebohongan dikarenakan
keputusasaan mereka dalam menjalani kehidupan di masa pandemi.

Berkaca dari ‘?mul-?uzni -nya baginda Nabi, hingga berujung pada peristiwa Isra’ Mi’raj, maka
solusi dari ‘?mul-?uzni -nya pandemi saat ini pun sama yakni ialah sama-sama melaksanakan
hasil dari isra’ mi’raj-nya Rasulullah SAW yang tak lain ialah melaksanakan shalat dengan
sebaik-baiknya. Shalat menjadi jalan keluar terbaik agar kita terbebas dari pandemi covid-19 ini.
Shalat menjadi perbaikan psikologis kita dalam menjalani kehidupan di masa pandemi. Shalat
menjadi refresh ketauhidan kita agar betul-betul bergantung pada sang Pencipta. Shalat pun
menjadi upaya spiritual dalam mencegah dan menghindari penularan wabah. Shalat juga
bahkan menjadi perbaikan mental dan moral kita dalam melaksanakan setiap pencegahan
penularan covid-19, sebagaimana Allah SWT berfirman,

“…. dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al ‘Ankabut
(29) : 45)

Hendaknya pandemi ini menjadi momentum untuk kita agar memperbaiki kualitas shalat, yang
pada akhirnya akan menjadi perbaikan pada seluruh aspek kehidupan kita. Dimulai dari
perbaikan jiwa dan psikologis kita dalam menghadapi pandemi dengan ketenangan namun
tetap dengan kehati-hatian, tidak panik namun tetap disiplin menjalankan protokol kesehatan,
paham bahwa setiap madarat harus dihindari dengan berbagai usaha dan ikhtiar. Tak hanya itu,
shalat pun menjadi perbaikan pada raga, diawali dengan berwudhu yang merupakan salah satu
perilaku hidup bersih, termasuk didalamnya gerakan mencuci tangan. Kemudian gerakan-
gerakan Shalat yang sempurna hakikatnya adalah olahraga untuk membugarkan tubuh,
terutama pada gerakan sujud. Sehingga badan kita akan sehat, dan antibodi kita siap melawan
berbagai penyakit.

Dari sanalah kita akan meyakini bahwa sholat merupakan solusi dari pandemi yang seakan-akan
tiada akhir ini. Insya allah, ‘amul-huzni yang telah kita lewati, duka cita yang telah setahun
berlalu akan tergantikan dengan kebahagiaan. Pandemi yang telah lama menjangkiti negeri ini
akan sirna. Dan kita semua bisa kembali berakfititas seperti sedia kala. Sebagaimana pasca
Aamul huzni baginda nabi, Allah SWT menganugerahkan Aisyah dan istri-istri lainnya untuk
baginda Nabi selepas kehilangan Khadijah, Allah hadirkan para sahabat Muhajirin dan Anshar
yang solid untuk menjadi pembela Nabi, dan mewujudkan fathu Makkah untuk kemenangan
Islam, semua berawal dari perintah shalat dalam isra mi’raj. Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai