Anda di halaman 1dari 33

Makalah Usman Bin Affan

KELOMPOK 3 (USMAN BIN AFFAN)


1.ROVIKA DWI PERMATA SARI
2.WIWIK NURROHMAH
3.NOR ZAHRATUN NUFUS
4.MUHAMMAD AMIN
5.OKTAFIMA NURI KHOLISYA
6.FIKRI RAMADHANI
7.KURNIADI
8.MUHAMMAD LUTVY NAURI
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah. Yang


memiliki kesempurnaan segalanya. Kita
memuji dan memohon pertolongan,
Ampunan, Dan berlindung kepada-nya
untuk menuju kebahagian yang amat
dirindukan, dan yang kekal. Dengan
rahmat,Hidayah,Inayah, Dan pertolongan-
nya,Makalah Usman Bin Affan ini bisa di
buat, Dan terimakasih kepada teman teman
yang telah membantu membuat makalah
Usman Bin Affan dan akhirnya makalah ini
dapat tersusun.
DAFTAR ISI
1.Bab I Pendahuluan

2.Bab II Isi Atau Pembahasan

3.Bab III penutup


Bab I
Pendahuluan

A. LATAR BELAKANG
Islam merupakan agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW,
sehingga membawa bangsa Arab dari masa keterbelakangan, bodoh dan lainnya
menjadi bangsa yang maju dan terkenal sampai sekarang ini. Pada masa
perkembangannya, Islam mengalami beberapa kali pergantian khalifah untuk
meneruskan perjuangan menegakkan agama Allah, meskipun ada beberapa tahapan-
tahapan pemerintahan yang ada, Islam mengalami kemajuan dan juga mengalami
kemunduran. Akan tetapi hal ini tidak menyurutkan Islam berkembang dan dianut
oleh banyak manusia di muka bumi ini. Setelah Nabi wafat maka dakwah Islamiyah
diteruskan oleh Khulafaurrasyidin, yaitu sahabat-sahabat Nabi yang di pandang
bijaksana, dapat mempimpin jalannya pemerintahan dan mampu memberikan
pengarahan terhadap dakwah Islam, meneruskan dakwah Rasulullah untuk
menyebarkan agama Allah.
Di antara sahabat-sahabat Rasulullah yang diangkat menjadi khalifah ada 4
orang, yaitu yang pertama Abu Bakar As-Sidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin
Affan, dan yang terakhir adalah Ali bin Abi Thalib. Setelah sebelumnya telah
dibahas mengenahi khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab, maka kali ini akan
dibahas mengenai khalifah Utsman bin Affan.
Pada masa pemerintahan beliau, bangsa Arab berada pada posisi permulaan
zaman perubahan. Hal ini ditandai dengan perputaran dan percepatan pertumbuhan
ekonomi disebabkan aliran kekayaan negeri-negeri Islam ke tanah Arab seiring
dengan semakin meluasnya wilayah yang tersentuh syiar agama.
Pada manajemen pemerintahannya Utsman menempatkan beberapa anggota
keluarga dekatnya menduduki jabatan publik strategis. Hal ini memicu penilaian
untuk menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan
Utsman tersebut. Pada sisi lain Khalifah dituduh sebagai koruptor dan nepotis dalam
kasus pemberian dana khumus (seperlima harta dari rampasan perang) kepada
Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, kepada Mirwan bin Al Hakkam, dan kepada Al
Harits Bin Al Hakam.
Dengan beberapa kebijakan itulah sehingga banyak kalangan yang menilai
kepemimpinan khalifah berbau nepotisme yang kemudian berkembang melakukan
langkah konspirasi untuk menjatuhkan khalifah Utsman bin Affan, hingga akhirnya
sampai pada tahap pembunuhan.
Bab II
Isi/Pembahasan

B. Substansi Kajian
1. Khalifah Utsman bin Affan
Utsman bin Affan (574M – 656M) adalah sahabat Nabi Muhammad SAW, yang
merupakan Khulafa’ur Rasyidin yang ke-3. Nama lengkap beliau adalah Utsman bin Affan
Al-Umawi Al-Quraisyi, berasal dari Bani Umayyah. Lahir pada tahun keenam tahun
Gajah. Kira-kira lima tahun lebih muda dari Rasullulah SAW. Nama panggilannya Abu
Abdullah dan gelarnya Dzun Nurrain (yang punya dua cahaya). Sebab digelari Dzun
Nuraian karena Rasulullah menikahkan dua putrinya untuk Utsman yaitu Roqayyah dan
Ummu Kultsum.

a. Nasab dan Keturunan Utsman bin affan


Utsman bin Affan bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdusy Syams bin Abdu Manaf bin
Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin luwa’I bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-
Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin
Ma’addu bin Adnan.
Abu Amr, Abu Abdullah al Quraisy, al-Umawi Amirul mukminin Dzun Nurain yang
telah berhijrah dua kali dan suami dari dua putri Rasulullah SAW. Ibu beliau bernama
Arwa binti Kuraiz bin Rabi’ah bin Hubaib bin Abdusy Syams dan nenekya bernama Ummu
Hakim Bidha’ binti Abdul Muthalib paman Rasulullah SAW. Beliau salah seorang dari
sepuluh sahabat yang diberitakan masuk surga dan salah seorang anggota dari enam
anggota Syura serta salah seorang dari tiga orang kandidat khalifah dan akhirnya terpilih
menjadi khalifah sesuai denga kesepakatan kaum Muhajirin dan Anshar, juga merupakan
Khulafaurrasyidin yang ketiga, Imam Mahdiyin yang diperintahkan megikuti jejak mereka.

b. Ciri-Ciri dan Akhlak Beliau


Beliau adalah seorang yang rupawan, lembut, mempunyai jenggot yang
lebat, berperawakan sedang, mempunyai tulang persendian yang besar, berbahu
bidang, berambut lebat, bentuk mulut bagus yag berwarna sawo matang. Beliau memiliki
akhlak yang mulia, sangat pemalu, dermawan dan terhormat, mendahulukan kebutuhan
keluarga dan familinya dengan memberikan perhiasan dunia yang fana. Mungkin beliau
bermaksud untuk mendorong mereka agar lebih mendahulukan sesuatu yang kekal dari
pada sesuatu yag fana. Sebagaimana yang telah dilakukan Rasulullah terkadang beliau
memberikan harta kepada suatu kaum dan tidak memberi kaum yang lain karena
khawatir mereka akan dimasukkan oleh Allah ke neraka. Sebagian kaum memprotes
beliau karena perlakuan tersebut sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang
Khawarij terhadap Rasulullah SAW atas pembagian harta rampasan perang Hunain.
Utsman adalah seorang yang saudagar yang kaya tetapi dermawan. Beliau adalah
seorang pedagang kain yang kaya raya. Kekayaan ini beliau belanjakan guna
mendapatkan keridhaan Allah, yaitu untuk pembangunan umat dan kemajuan Islam.
Beliau memiliki kekayaan ternak lebih banyak dari pada orang arab lainya.[1]
Tidak cukup Utsman Radhiyallahu ‘anhu melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam
seperti shalat, puasa, membayar zakat, bahkan beliau menyerahkan segala-galanya
untuk menyebarkan Islam, dan menolong kaum muslimin.
Pada zaman Rasul SAW beliau menginfakkan kebanyakan dari hartanya untuk
menolong Islam dan kaum muslimin. Di antara hal tersebut, ketika kaum Muhajirin datang
ke kota Madinah, tidak ada air tawar (untuk diminum) selain sumur yang dinamakan
Rummah, sedangkan waktu itu kaum muslimin tidak memiliki harta. Maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: ”Barang siapa yang membeli sumur Ruumah,
akan dijadikan timbanya dengan timba kaum muslimin yang lebih baik darinya di Surga.”
Utsman Radhiyallahu‘anhu pun membelinya dari hartanya sendiri.”[2]
Di antaranya juga, pada waktu perang Tabuk, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam bersiap-siap untuk berangkat perang, mereka kekurangan bekal.Maka beliau
bersabda :”Barangsiapa yang memberibekal kepada pasukan (perang Tabuk) yang
kesulitan,maka baginya surga”. Ketika Utsman mendengar hal tersebut, beliaupun
membekali mereka. Beliau datang dengan membawa seribu dinar lalu beliau tuangkan
dipangkuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
membolak-balikkannya dengan tangan beliau, seraya mengatakan :”Tidak akan
memudharatkan Utsman bin Affan apa yang dia lakukan setelah hari ini”. Beliau
mengulang-ngulang berkali-kali.[3]
Di lain itu Utsman memiliki sifat dan perangai yang sangat pemalu. Rasa malunya
bertambah pada waktu ia melihat orang. Sifat malunya tersebut membuat orang lain
menjadi malu padanya. Bersumber dari Aisyah, yaitu ketika Rasulullah sedang duduk-
duduk dan pahanya terbuka, Abu Bakar meminta izin masuk dan diizinkan tanpa
merupah posisi nya, ketika Umar datang meminta izin masuk dan diizinkan pula tanpa
merubah posisi. Namun ketika Utsman yang masuk Rasul langsung menurunkan
pakaiannya. Sesudah mereka semua pergi Aisyah berkata : “Rasulullah, anda
mengizinkan Abu Bakar dan Umar masuk dengan keadaan Anda tetap begitu, tetapi
sesudah Utsman yang meminta izin Anda menurunkan pakaian Anda. “ Kata Rasulullah
kepada Aisyah:
ّ ‫أالنستحي من رجل وهلل‬
‫يا عا ئشة‬, ‫إن المالئكة لتستحي منه‬

“ Aisyah kita malu bukan kepada seseorang yang malaikat sendiripun malu
kepadanya.” Lalu Aisyah berkata: “ Rasulullah, mengapa saya tidak melihat kepedulian
anda terhadap Abu Bakar dan Umar seperti kepada Utsman?” Dijawab oleh Rasulullah :
“ Utsman orang yang sangat pemalu. Saya kawatir kalau saya mengizinkannya dalam
keadaan begitu ia tidak dapat mengutarakan maksudnya.”[4]

c. Proses Utsman memeluk Islam


Utsman bin Affan masuk Islam pada usia 34 tahun. Masuknya utsman
ke dalam Islam berawal dari sebuah suara dalam mimpinya di bawah rindang pohon
antara Maan dan Azzarqa yang menyarankan agar beliau segera kembali ke Mekkah
sebab orang yang bernama Muhammad telah muncul membawa ajaran baru yang kelak
akan merubah dunia sebagai utusan tuhan. Setelah terbangun dari mimpinya beliau
bergegas kembali ke Mekkah dan menanyakan hal ihwal ataupun makna yang tersimpan
dari kejadian yang menimpanya. Kemudian beliau bertemu dengan Abu Bakar dan
mengajaknya untuk mengikuti langkahnya yang lebih dahulu memeluk Islam.
Lalu menghadaplah keduanya kepada Rasulullah untuk menyatakan
keislamannya. Sungguh tak terbilang pengorbanannya terhadap Islam, tak terbatas pada
hartanya saja yang selalu dibelanjakan di jalan Allah nyawanya pun teramat sering
terancam dengan berbagai pengucilan dan penyiksaan dari kerabat dan pemuka Quraisy
ketika mereka tahu keislamannya. Di sisi lain Allah serta rasulnya begitu mencintainya
sehingga pernah satu riwayat disebutkan bahwa beliau adalah salah satu penghuni
syurga yang akan menemani rasul kelak. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim, “Persilahkanlah dia masuk dan beritakan kabar gembira kepadanya,
bahwa dia akan masuk Surga, dengan cobaan yang akan menimpanya”

d. Istri dan Putra- Putri Beliau


Beliau menikahi Ruqoyah binti Rasulullah SAW dan dianugrahi seorang anak yag
bernama Abdullah dan menjadikannya sebagai kuniyah. Pada masa jahiliyah beliau
bernama Abu ‘Amr. Setelah Ruqoyah wafat, beliau menikahi adiknya yang bernama
Ummu Kultsum dan kemudian Ummu Kultsum pun wafat. Ketika Ummu Kultsum wafat,
Rasulullah berkata; “Sekiranya kami punya anak perempuan yang ketiga, niscaya aku
nikahkan denganmu.”[5] Dari pernikahannya dengan Roqayyah lahirlah anak laki-laki.
Tapi tidak sampai besar anaknya meninggal ketika berumur 6 tahun pada tahun 4 Hijriah.
Kemudian beliau menikahi Fakhitah binti Ghazwan bin Jabir dan dianugrahi
seorang anak yang bernama Abdullah al-Ashghar. Lantas beliau menikahi Ummu ‘Amr
binti Jundub bin ‘Amr al-Azdyah dan dianugrahi beberapa orang anak yang bernama
‘Amr, Khalid, Aban, Umar dan Maryam. Lalu beliau meikah dengan Fatimah binti al-Walid
bin Abdusy Syamsy bi al-Mughirah al-Makhzumiyah dan lahirlah al-Walid, Sa’id da Ummu
Utsman. Kemudian menikahi Ummu al-Banin bin ‘Uyainah bin Hish al-Fazariyah dan
dianugrahi seorang anak yag bernama Abdul Malik dan dikatakan ‘Utbah. Lantas beliau
menikahi Ramlah binti Syaiban bin Rabi’ah bin Abdusy Syamsy bin Abdul Manaf bin
Qushay dan lahir beberapa orag anak yang bernama Aisyah, Ummu Aban, Ummu ‘Amr
dan Banat Utsman. Lalu beliau menikah dengan a’ilah binti al-Farafishah bin al-Ahwash
bin ‘amr bin Tsa’labah bin al-Harits bin Hishn bin Dhamdham bin ‘Ady bin Junab bin Kalb
dan dianugrahi seorang anak yang bernama Maryam dan dikatakan juga dengan
‘Anbasah. Ketika terbunuh beliau memiliki empat orang istri : Na’ilah, Ramlah, Ummul
Banin, dan Fakhitah. Dikatakan beliau telah menceraikan Ummul Banin disaat beliau
sedang terkepung.

e. Jihad Utsman bin Affan dan peranannya sebelum menjadi khalifah


Ketika kaum kafir Quraisy melakukan penyiksaan terhadap umat Islam, maka
Utsman bin ‘‘Affan diperintahkan untuk berhijrah ke Habsyah (Abyssinia, Ethiopia). Ikut
juga bersama beliau sahabat Abu Khudzaifah, Zubair bin Awwam, Abdurahman bin ‘Auf
dan lain- lain. Setelah itu datang pula perintah Nabi SAW, supaya beliau hijrah ke
Madinah. Maka dengan tidak berfikir panjang lagi beliau tinggalkan harta kekayaan,
usaha dagang dan rumah tangga guna memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya. Beliau
Hijrah bersama-sama dengan kaum Muhajirin lainya.
Beliau tidak dapat ikut serta dalam perang Badar karena sibuk mengurusi putri
Rasulullah SAW (istri beliau ) yang sedang sakit. Jadi beliau hanya tinggal di Madinah.
Rasulullah SAW memberikan bagian dari harta rampasan dan pahala perang
tersebut kepada beliau dan beliau dianggap ikut serta dalam peperangan. Ketika istri
beliau meninggal, Rasulullah SAW menikahkan degan adik istrinya yang bernama Ummu
Kultsum yang pada akhirnya juga meninggal ketika masih menjadi istri beliau. Beliau ikut
serta dalam peperangan Uhud, Khandaq, perjanjian Hudaibiyah yag pada waktu itu
Rasulullah SAW membai’atkan untuk Utsman dengan tangan beliau sendiri.
Pada peristiwa Hudaibiyah, Utsman dikirim oleh Rasullah untuk menemui Abu
Sofyan di Mekkah. Utsman diperintahkan Nabi untuk menegaskan bahwa rombongan
dari Madinah hanya akan beribadah di Ka’bah, lalu segera kembali ke Madinah, bukan
untuk memerangi penduduk Mekkah.

Suasana sempat tegang ketika Utsman tak kenjung kembali. Kaum Muslimin
sampai membuat Bait Ridhwan, bersiap untuk mati bersama untuk menyelamatkan
Utsman. Namun pertumpahan darah akhirnya tidak terjadi. Abu Sofyan lalu mengutus
Suhail bin Amir untuk berunding dengan Nabi Muhammad SAW. Hasil perundingan
dikenal dengan nama Perjanjian Hudaibiyah.[6]
Semasa Nabi SAW masih hidup, Utsman pernah dipercaya oleh Nabi untuk menjadi
walikota Madinah, semasa dua kali masa jabatan. Pertama pada perang Dzatir Riqa’ dan
yang kedua kalinya, saat Nabi SAW sedang melancarkan perang Ghathafahan. Utsman
bin Affan adalah seorang ahli ekonomi yang terkenal, tetapi jiwa sosial beliau tinggi.
Beliau tidak segan-segan mengeluarkan kekayaanya untuk kepentingan Agama dan
Masyarakat umum. Sebagai Contoh:
a. Utsman bin Affan membeli sumur yang jernih airnya dari seorang Yahudi seharga
200.000 dirham yang kira-kira sama dengan dua setengah kg emas pada waktu itu.
Sumur itu beliau wakafkan untuk kepentingan rakyat umum.
b. Memperluas Masjid Madinah dan membeli tanah disekitarnya.
c. Beliau mendermakan 1000 ekor unta dan 70 ekor kuda, ditambah 1000 dirham
sumbangan pribadi untuk perang Tabuk, nilainya sama dengan sepertiga biaya ekspedisi
tersebut.[7]
d. Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Utsman juga pernah memberikan gandum yang
diangkut dengan 1000 unta untuk membantu kaum miskin yang menderita di musim
kering.[8]
Karena Utsman termasuk salah seorang sahabat Nabi yang pandai tulis baca serta
memiliki kecerdasan dan kuat hafalannya, ia ditunjuk oleh Nabi menjadi salah seorang
penulis wahyu. Selama pemerintahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab,
Utsman merupakan sahabat senior yang dimintai pendapatnya dan pertimbangan-
pertimbangannya. Utsman menjadi pejabat yang amat dipercaya yaitu sebagai anggota
dewan inti yang selalu diminta pendapatnya tentang masalah-masalah kenegaraan,
misalnya masalah pengangkatan Umar. Dalam pemerintahan Umar, Utsman diangkat
sebagai sekertaris khalifah.[9] Dengan demikian Utsman mengetahui benar langkah-
langkah yang ditempuh Umar bin Khattab dalam memajukan Islam.
Rasulullah SAW pergi menunaikan haji wada’ bersama beliau. Rasulullah SAW
wafat dalam keadaan ridho terhadap Utsman bin Affan. Kemudian beliau menemani Abu
Bakar dengan baik dan Abu Bakar wafat dalam keadaan ridho terhadap Utsman bin
Affan. Beliau menemani Umar dengan baik dan Umar wafat dalam keadaan ridho
terhadap Utsman bin Affan, serta menetapkan bahwa beliau adalah salah seorang dari
enam orang anggota Syura dan beliau sendiri adalah orang yang paling istimewa di
antara anggota lainnya.

2. Proses Pengangkatan Utsman bin Affan sebagai Khalifah


Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab yang berlangsung selama 10
tahun, tepatnya ketika beliau sakit dibentuklah dewan musyawarah untuk menentukan
pengganti kekhalifahannya yang terdiri dari 6 orang yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin
Affan, Sa’ad bin Abi Waqas, Thalha bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Abdur Rahman
bin Auf. Salah seorang putra Umar, Abdullah ditambahkan pada komisi di atas tetapi
hanya punya hak pilih dan tidak berhak dipilih.
Dewan tersebut dikenal dengan sebutan Ahlul Halli wal Aqdi dengan tugas pokok
menentukan siapa yang layak menjadi penerus Khalifah Umar bin Khattab dalam
memerintah umat Islam. Suksesi pemilihan Khalifah ini dimaksudkan untuk menyatukan
kembali kesatuan umat Islam yang pada saat itu menunjukkan adanya indikasi
disintegrasi.
Sahabat-sahabat yang tergabung dalam dewan, posisinya seimbang tidak ada yang
lebih menonjol sehingga cukup sulit untuk menetapkan salah seorang dari mereka
sebagai pengganti Umar. Tidaklah heran bila dalam sidang terjadi tarik ulur pendapat
yang sangat alot, walau pada akhirnya, mereka memutuskan Utsman bin Affan sebagai
khalifah setelah Umar bin Khattab. Di antara kelima calon hanya Tholhah yang sedang
tidak berada di Madinah ketika terjadi pemilihan. Abdurahman Ibn Auf mengambil inisiatif
untuk menyelenggarakan musyawarah pemilihan Khalifah pengganti Umar. Ia meminta
pendapat masing-masing nominasi. Saat itu, Zubair dan Ali mendukung Utsman.
Sedangkan Utsman sendiri mendukung Ali, tetapi Ali menyatakan dukungannya terhadap
Utsman. berkata kepada Utsman ibn ‘Affan disuatu tempat sebagai berikut:
Jika saya tidak memba’yarmu (Utsman) maka siapa yang kau usulkan?Ia (Utsman)
berkata “Ali”. Kemudian ia (Abd al-Rahman bin Auf) berkata kepada Ali, jika saya tidak
memba’iatmu, maka siapa yang kau usulkan untuk dibai’at? Ali berkata, “Utsman”.
Kemudian Abd al-Rahman bin Auf bermusyawarah dengan tokoh-tokoh lainnya, ternyata
mayoritas memilih Utsman sebagai khalifah. Memperhatikan percakapan dari dua
sahabat tersebut, maka tampaklah bahwa sesungguhnya Utsman dan Ali tidak ambisius
menjadi khalifah, justru keduanya saling mempersilahkan untuk menentukan khalifah
secara musyawarah.[10]
Kemudian Abdurahman bin Auf mengumpulkan pendapat-pendapat sahabat besar
lainnya. Akhirnya suara mayoritas menghendaki dan mendukung Utsman. Lalu ia
dinyatakan resmi sebagai khalifah melalui sumpah, dan bai’at seluruh umat Islam. Dalam
riwayat lain disebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf berkata kepada Ali sambil
memegang tangannya,”Engkau punya hubungan kerabat dengan Rasulullah dan
sebagaimana diketahui, engkau lebih dulu masuk Islam. Demi Allah jika aku memilihmu,
engkau mesti berbuat adil. Dan jika aku memilih Utsman, engkau mesti patuh dan taat.”
Kemudian Ibn Auf menyampaikan hal yang sama kepada lima sahabat lainnya. Setelah
itu ia berkata kepada Utsman, “Aku membaiatmu atas nama sunnah Allah dan Rasul-
Nya, juga dua khalifah sesudahnya.” Utsman berkata, ”baiklah.”
Abdurrahman langsung membaiatnya saat itu juga diikuti oleh para sahabat dan
kaum muslim. Orang kedua yang membaiat Utsman adalah Ali bin Abi Thalib. Dengan
demikian kaum muslim bersepakat menerima Utsman sebagai khalifah setelah Umar bin
Khattab. Haris bin Mudhrab berkata,”Aku berjanji pada masa Umar, kaum Muslim itu tidak
merasa ragu bahwa khalifah berikutnya adalah Utsman.”[11]
Pemilihan itu berlangsung pada bulan Dzul Hijjah tahun 23 H atau 644 M dan dilantik
pada awal Muharram 24 H atau 644 M. Ketika Thalhah kembali ke Madinah Utsman
memintanya menduduki jabatannya, tetapi Thalhah menolaknya seraya menyampaikan
baiatnya. Demikian proses pemilihan Khalifah Utsman bin Affan berdasarkan suara
mayoritas.
Saif bin Umar meriwayatkan dari Umar bin Syubbah dari ‘Amir asy-Sya’bi bahwa ia
berkata, “Dewan Syura bersepakat untuk memilih Utsman bin Affan pada tanggal tiga
Muharram tahun dua puluh empat Hijriyah. Ketika itu telah masuk waktu shalat Ashar
dan adzan dikumandangkan oleh Shuhaib. Berkumpullah manusia antara adzan dan
iqamat, kemudian beliau keluar dan mengimami mereka shalat. Kemudian beliau
menambahkan hadiah yang diberikan kepada masyarakat sebanyak seratus, lalu
mengutus delegasi keseluruh pelosok. Beliau adalah orang pertama yang melakukan hal
tersebut.”
Ibnu Katsir berkata, “Dari konteks yang telah kita sebutkan bahwa bai’at tersebut
dilakukan sebelum tergelincirnya matahari dan pembai’atan belum selesai kecuali
setelah Zhuhur. Pada waktu itu Shuhaib bertindak sebagai imam shalat Zhuhur di masjid
Nabawi. Shalat pertama yang diimami oleh khalifah Utsman bin Affan adalah shalat
Ashar, sebagaimana yang telah disebutkan oleh asy-Syabi’I dan lain-lain.
Khutbah pertama beliau dihadapan kaum muslimin, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Saif bin Umar dari Badr bin Utsman dari pamanya berkata, “Ketika
dewan syura membai’at Utsman bin Affan, dengan keadaan orang yang paling sedih di
antara mereka, beliau keluar dan menaiki mimbar Rasulullah SAW dan memberikan
khutbahnya kepada orang banyak. Beliau memulai dengan memuji Allah dan bershalawat
kepada Nabi SAW dan berkata, “Sesungguhnya kalian berada di kampung persinggahan
dan sedang berada pada sisa-sisa usia maka segeralah melalukan kebaikan yang
mampu kalian lakukan. Kalian telah diberi waktu pagi dan sore. Ketahuilah bahwa dunia
dilapisi dengan tipu daya oleh karena itu maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia
memperdayakan kalian, dan jangan (pula) penipu(setan)memperdayakan kamu dalam
(mentaati) Allah. Ambillah pelajaran dari kejadian masa lalu kemudian bersungguh-
sungguhlah dan jangan lalai, karena setan tidak pernah lalai terhadap kalian. Mana anak-
anak dunia dan temannya yang terpengaruh dengan dunia akan menghabiskan usianya
untuk bersenang-senang. Tidaklah mereka jauhi semua itu.
Pada sejarahnya kemudian, tarik ulur perbedaan pendapat tersebut mengandung
banyak interpretasi. Misalnya, dikatakan bahwa dalam pemilihan Khalifah Utsman
ditemui beberapa kecurangan, dan sebenarnya yang pantas menduduki kursi Khalifah
setelah umar adalah Ali bin Abi Thalib. Keberhasilan Utsman bin Affan menjadi Khalifah
ditentukan oleh peran lima tokoh yaitu Umar bin Khattab, Abdur Rahman bin Auf, Sa’ad
bin Abi Waqas, Thalhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam. Mereka ini masuk Islam
secara kolektif atas pengaruh Abu Bakar as-Shiddiq.
Dengan demikian, bila dewan itu dipetakan dapat ditemukan dua kekuatan yang
bersaing, yaitu poros Abu Bakar dan Umar yang pro Utsman dengan poros Ali. Kini
penganut Syi’ah berpendapat bahwa terbentuknya dewan musyawarah dengan 6
anggota tersebut merupakan “taktik politik” pro Utsman yang ingin agar Utsman menjadi
Khalifah. Wacana ini sangat ditentang oleh Abdul Hamid kisyik dengan dasar kesalehan
dan kerendahan hati Utsman, juga latar belakang sejarah Utsman yang berjuang demi
Islam.
Terpilihnya Utsman sebagai Khalifah ternyata melahirkan perpecahan dikalangan
pemerintahan Islam. Pangkal masalahnya sebenarnya berasal dari persaingan kesukuan
antara bani Umayyah dengan bani Hasyim atau Alawiyah yang memang bersaing sejak
zaman pra Islam. Oleh karena itu, ketika Utsman terpilih masyarakat menjadi dua
golongan, yaitu golongan pengikut Bani Ummayah, pendukung Utsman dan golongan
Bani Hasyim pendukung Ali. Perpecahan itu semakin memuncak dipenghujung
pemerintahan Utsman, yang menjadi simbol perpecahan kelompok elite yang
menyebabkan disintegrasi masyarakat Islam pada masa berikutnya.

3. Kontribusi Utsman bin Affan sebagai Khalifah


a. Perluasan wilayah
Setelah Khalifah Umar bin Khattab berpulang ke rahmatullah terdapat daerah-
daerah yang membelot terhadap pemerintah Islam. Pembelotan tersebut ditimbulkan
oleh pendukung-pendukung pemerintahan yang lama(pemerintahan sebelum daerah itu
masuk ke daerah kekuasaan Islam) ingin hendak mengembalikan kekuasaannya.
Sebagaimana yang dilakukan oleh kaisar Yazdigard yang berusaha menghasut kembali
masyarakat Persia agar melakukan perlawanan terhadap penguasa Islam. Akan tetapi
dengan kekuatannya, pemerintahan Islam berhasil memusnahkan gerakan
pemberontakan sekaligus melanjutkan perluasan ke negeri-negeri Persia lainnya,
sehingga beberapa kota besar seperti Hisrof, Kabul, Gasna, Balkh dan Turkistan jatuh
menjadi wilayah kekuasaan Islam.
Adapun daerah-daerah lain yang melakukan pembelotan terhadap pemerintahan
Islam adalah Khurasan dan Iskandariyah. Khalifah Utsman mengutus Sa’ad bin al-Ash
bersama Khuzaifah Ibnu al-Yamaan serta beberapa sahabat Nabi lainnya pergi ke negeri
Khurosan dan sampai di Thabristan dan terjadi peperangan hebat, sehingga penduduk
mengaku kalah dan meminta damai. Danpada tahun 30 H/ 650 M pasukan Muslim
berhasil menguasai Khurazan.[12]
Adapun tentang Iskandariyah, bermula dari kedatangan kaisar Konstan II dari Roma
Timur atau Bizantium yang menyerang Iskandariyah dengan mendadak, sehingga
pasukan Islam tidak dapat menguasai serangan. Panglima Abdullah bin Abi Sarroh yang
menjadi wali di daerah tersebut meminta pada Khalifah Utsman untuk mengangkat
kembali panglima Amru bin ‘Ash yang telah diberhentikan untuk menangani masalah di
Iskandariyah. Abdullah bin Abi Sarroh memandang panglima Amru bin ‘Ash lebih cakap
dalam memimpin perang dan namanya sangat disegani oleh pikak lawan. Permohonan
tersebut dikabulkan, setelah itu terjadilah perpecahan dan menyebabkan tewasnya
panglima di pihak lawan.[13]
Selain itu, Khalifah Utsman bin Affan juga mengutus Salman Robiah Al-Baini untuk
berdakwah ke Armenia. Ia berhasil mengajak kerjasama penduduk Armenia, bagi yang
menentang dan memerangi terpaksa dipatahkan dan kaum muslimin dapat menguasai
Armenia. Perluasan Islam memasuki Tunisia (Afrika Utara) dipimpin oleh Abdullah bin
Sa‘ad bin Abi Zarrah. Tunisia sebelum kedatangan pasukan Islam sudah lama dikuasai
Romawi. Tidak hanya itu saja pada saat Syiria bergubernurkan Muawiyah, ia berhasil
menguasai Asia kecil dan Cyprus.
Di masa pemerintahan Utsman, negeri-negeri yang telah masuk ke dalam
kekuasaan Islam antara lain: Barqoh, Tripoli Barat, sebagian Selatan negeri Nubah,
Armenia dan beberapa bagian Thabaristan bahkan tentara Islam telah melampaui sungai
Jihun (Amu Daria), negeri Balkh (Baktria), Hara, Kabul dan Gzaznah di Turkistan. Jadi 6
tahun pertama pemerintahan Utsman bin Affan ditandai dengan perluasan kekuasaan
Islam. Perluasan dan perkembangan Islam pada masa pemerintahannya telah sampai
pada seluruh daerah Persia, Tebristan, Azerbizan dan Armenia selanjutnya meluas pada
Asia kecil dan negeri Cyprus, serta Rhodes dan Trasoxania. Atas perlindungan pasukan
Islam, masyarakat Asia kecil dan Cyprus dan lainnya bersedia menyerahkan upeti
sebagaimana yang mereka lakukan sebelumnya pada masa kekuasaan Romawi atas
wilayah tersebut.[14]
b. Pembangunan Angkatan Laut
Pembangunan angkatan laut bermula dari adanya rencana Khalifah Utsman untuk
mengirim pasukan ke Afrika, Mesir, Cyprus dan Konstatinopel Cyprus. Untuk sampai ke
daerah tersebut harus melalui lautan. Oleh karena itu atas dasar usul Gubernur di daerah,
Utsman pun menyetujui pembentukan armada laut yang dilengkapi dengan personil dan
sarana yang memadai.
Pada saat itu, Mu’awiyah, Gubernur di Syiria harus menghadapi serangan-serangan
Angkatan Laut Romawi di daerah-daerah pesisir provinsinya. Untuk itu, ia mengajukan
permohonan kepada Khalifah Utsman untuk membangun angkatan laut dan dikabulkan
oleh Khalifah. Sejak itu Muawiyah berhasil menyerbu Romawi.[15]
Selain itu, Keberangkatan pasukan ke Cyprus yang melalui lautan, juga mendesak
ummat Islam agar membangun armada angkatan laut. Pada saat itu, pasukan dipimpin
oleh Abdullah bin Qusay Al-Harisy yang ditunjuk sebagai Amirul Bahr atau panglima
Angkatan Laut. Istilah ini kemudian diganti menjadi Admiral atau Laksamana.[16] Ketika
sampai di Amuria dan Cyprus pasukan Islam mendapat perlawanan yang sengit, tetapi
semuanya dapat diatasi hingga sampai di kota Konstatinopel dapat dikuasai pula.
Di samping itu, serangan yang dilakukan oleh bangsa Romawi ke Mesir melalui laut
juga memaksa ummat Islam agar segara mendirikan angkatan laut. Bahkan pada tahun
646 M, bangsa Romawi telah menduduki Alexandria dengan penyerangan dari laut.
Penyerangan itu mengakibatkan jatuhya Mesir ke tangan kekuasan bangsa Romawi.
Atas perintah Khalifah Utsman, Amr bin Ash dapat mengalahkan bala tentara bangsa
Romawi dengan armada laut yang besar pada tahun 651 M di Mesir.
Berawal dari sinilah Khalifah Utsman bin Affan perlu diingat sebagai Khalifah
pertama kali yang mempunyai angkatan laut yang cukup tangguh dan dapat
membahayakan kekuatan lawan.
c. Kodifikasi Al-qur’an
Penyebaran Islam bertambah luas dan para Qori‘ pun tersebar di berbagai daerah,
sehingga perbedaan bacaan pun terjadi yang diakibatkan berbedanya qira‘at dari qari‘
yang sampai pada mereka. Sebagian orang Muslim merasa puas karena perbedaan
tersebut disandarkan pada Rasullullah SAW. Tetapi keadaan demikian bukan berarti
tidak menimbulkan keraguan kepada generasi berikutnya yang tidak secara langsung
bertemu Rasullullah.
Ketika terjadi perang di Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Irak, di antara
orang yang ikut menyerbu kedua tempat tersebut adalah Hudzaifah bin Aliaman. Ia
melihat banyak perbedaan dalam cara membaca Al-Qur‘an. Sebagian bacaan itu
tercampur dengan kesalahan tetapi masing-masing berbekal dan mempertahankan
bacaannya. Bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat hal tersebut beliau
melaporkannya kepada Khalifah Utsman. Para sahabat amat khawatir kalau perbedaan
tersebut akan membawa perpecahan dan penyimpangan pada kaum muslimin. Mereka
sepakat menyalin lembaran pertama yang telah di lakukan oleh Khalifah Abu Bakar yang
disimpan oleh istri Rasulullah, Siti Hafsah dan menyatukan umat Islam dengan satu
bacaan yang tetap pada satu huruf.[17]
Selanjutnya Utsman mengirim surat pada Hafsah yang isinya kirimkanlah pada kami
lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur‘an, kami akan menyalinnya dalam bentuk
mushhaf dan setelah selesai akan kami kembalikan kepada anda. Kemudian Hafsah
mengirimkannya kepada Utsman. Utsman memerintahkan para sahabat yang antara lain:
Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Zubair, Sa‘ad Ibn Al-‘Ash dan Abdurahman Ibnu Harist Ibn
Hisyam, untuk menyalin mushhaf yang telah dipinjam. Khalifah Utsman berpesan kepada
kaum Quraisy bila anda berbeda pendapat tentang hal Al-Qur‘an maka tulislah dengan
ucapan lisan Quraisy karena Al-Qur‘an diturunkan di kaum Quraisy. Setelah mereka
menyalin ke dalam beberapa mushhaf Khalifah Utsman mengembalikan lembaran
mushhaf asli kepada Hafsah. Selanjutnya ia menyebarkan mushhaf yang yang telah
disalinnya ke seluruh daerah dan memerintahkan agar semua bentuk lembaran mushhaf
yang lain dibakar.[18]
Al-Mushhaf ditulis lima buah, empat buah dikirimkan ke daerah-daerah Islam
supaya disalin kembali dan supaya menjadi pedoman, satu buah disimpan di Madinah
untuk Khalifah Utsman sendiri dan mushhaf ini disebut mushhaf Al-Imam dan dikenal
dengan mushhaf Utsmani.[19]
Jadi langkah pengumpulan mushhaf ini merupakan salah satu langkah strategis
yang dilakukan Khalifah Utsman bin Affan yakni dengan meneruskan jejak Khalifah
pendahulunya untuk menyusun dan mengkodifikasikan ayat-ayat al-Qur an dalam
sebuah mushhaf. Karena selama pemerintahan Utsman, banyak sekali bacaan dan versi
al-Qur’an diberbagai wilayah kekuasaan Islam yang disesuaikan dengan bahasa daerah
masing-masing. Dengan dibantu oleh Zaid bin Tsabit dan sahabat-sahabat yang lain,
Khalifah berusaha menghimpun kembali ayat-ayat al-Qur an yang outentik berdasarkan
salinan Kitab Suci yang terdapat pada Siti Hafsah, salah seorang isteri Nabi yang telah
dicek kembali oleh para ahli dan huffadz dari berbagai kabilah yang sebelumnya telah
dikumpulkan.
Keinginan Khalifah Utsman agar kitab al-Qur’an tidak mempunyai banyak versi
bacaan dan bentuknya tercapai setelah kitab yang berdasarkan pada dialek masing-
masing kabilah semua dibakar, dan yang tersisa hanyalah mushhaf yang telah
disesuaikan dengan naskah al-Qur’an aslinya. Hal tersebut sesuai dengan keinginan
Nabi Muhammad SAW yang menghendaki adanya penyusunan al-Qur’an secara
standar.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa motif pengumpulan mushhaf oleh
Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Utsman berbeda. Pengumpulam mushhaf yang
dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar dikarenakan adanya kekhawatiran akan hilangnya Al-
Qur‘an karena banyak huffadz yang meninggal karena peperangan, sedangkan motif
Khalifah Utsman karena banyaknya perbedaan bacaan yang dikhawatirkan timbul
perbedaan.
d. Perluasan Masjid di Tanah Suci
Sebuah jasa besar lainnya dari khalifah Utsman bin Affan adalah pemikiran dan
pelaksanaan perluasan masjid Nabawi di Madinah al-Munawwarah dan Masjidil-Haram
di Makkah al-Mukarromah.
1) Perluasan Masjid Nabawi
Dinding masjid Nabawi pada masa Nabi Muhammad berukuran setinggi tegak dan
terbuat dari susunan bingkah-bingkah tanah liat yang dikeringkan. Arah kiblat pada masa-
masa permulaan menghadap bait-Allah di Yerusslem hingga pintu masuk berada pada
penjuru dinding bagian selatan, berjumlah tiga buah pintu. Belakangan arah kiblat dirubah
menghadap bait Allah di Makkah hingga pintu-pintu masuk pada dinding selatan itu
ditutup.
Pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). timbullah
perbandingan dengan rumah-rumah ibadat kepunyaan agama-agama lainnya, yang
berada di luar Arabia. Terbanding kepada bangunan-bangunan gereja pihak Nasrani dan
bangunan-bangunan pihak Keniset pihak Yahudi dan bangunan-bangunan kuil-api pihak
Majusi, yang demikian agung dan megah dan mengesankan, maka bangunan masjid
Nabawi itu dirasakan amat sederhana sekali, sedangkan tempatnya berada di ibu kota
kekuasaan Islam.
Suara-suara perbandingan yang diperdengarkan itu dapat dirasakan oleh khalifah
Utsman bin Affan. Ia pun membicarakannya dengan tokoh-tokoh terkemuka dari
kalangan al Shahabi di Madinah al-Munawwarah dan beroleh persetujuan untuk
perombakannya.
Pekerjaan besar itu dimulai pada bulan Rabiul-awal tahun 29 H/650 M. Dan barulah
selesai pada masa sepuluh bulan kemudian, yaitu pada bulan Muharram tahun 30
H/651M.
Dindingnya terbuat dari batu berukir dengan bertatahkan perak. Tiang-tiangnya
terbuat dari batu pualam. Kasau-kasau atap yang berbentuk cembung terbuat dari kayu
pinus yang didatangkan dari Lebanon. Gerbang masuk tetap berjumlah enam buah
seperti masa khalifah Umar.
Tetapi luasnya kini berukuran 160 hasta x 150 hasta. Rumah-rumah penduduk
sekitar masjid yang termasuk daerah perluasan itu, dibeli satu persatunya dengan harga
yang layak. Pembiayaannya dikeluarkan dari pendaharaan Bait-al-Mal.
2) Perluasan Masjidil-Haram
Lapangan thawaf beralaskan jubin sekitar bait-Allah (ka’bah) pada masa sekarang
ini maka itulah yang disebut dengan lapangan Masjidil Haram. Pada masa Nabi
Muhammad dan masa khlifah Abu Bakar bersifat lapangan terbuka, berbataskan dinding-
dinding rumah kubus bertingkat kepunyaan penduduk, dengan lorong-lorong sempit pada
berbagai penjuru menuju arah lapangan ka’bah. Lorong sempit yang berhadapan dengan
hijar al-aswad maka itulah yang disebut dengan bab bani Syaibah, yakni gerbang bani
Syaibah, tempat bagi memulai thawaf. Bangunan yang menghadap Hijr-Ismail pada arah
utara maka itulah yang disebut dengan Dar al-Nadwa yakni balai sidang para pembesar
Quraisy di kota Makkah. Bekas bangunan Dar al-Nadwa itu pada masa sekarang ini
ditandai dengan garisan jubin hitam berbentuk seperempat pada arah utara.
Khalifah Utsman membeli rumah-rumah yang berada sekitar lapangan Masjidil
Haram guna perluasannya. Tetapi lapangannya kini bukan sekedar dibatasi dinding,
tetapi sekitar lapangan itu dibangun ruangan-ruangan berceruk pada empat penjurunya,
dan antara ruangan berceruk dengan ka’bah terletak lapangan terbuka dan itu dikerjakan
oleh para ahli bangunan dari Syiria.[20]

4. Masa Pemerintahan
Kasus hukum pertama yang beliau hadapi adalah kasus Ubaidillah bin Umar bin Al-
Khaththab. Kasusnya Abu Lu’lu’ah, pembunuh Umar, lantas membunuhnya, kemudian ia
juga membunuh seorang Nasrani yang bernama Jufainah dengan pedang. Ia juga
membunuh Al-Hurmudzan yang berasal dari Tustar. Dikatakan bahwa mereka berdua
adalah penghasut Abu Lu’lu’ah untuk membunuh Umar.
Para pencatat sejarah membagi masa pemerintahan Utsman menjadi dua periode,
yaitu pada periode kemajuan dan periode kemunduran sampai ia terbunuh. Periode I,
pemerintahan Utsman membawa kemajuan luar biasa berkait jasa panglima yang ahli
dan berkualitas dimana peta Islam sangat luas dan bendera islam berkibar dari
perbatasan Aljazair (Barqah Tripoli, Syprus di front al-Maghrib bahkan ada sumber
menyatakan sampai ke Tunisia). Di al-Maghrib, diutara sampai ke Aleppo dan sebagian
Asia kecil, di Timur laut sampai ke Ma wara al-Nahar –Transoxiana, dan di Timur seluruh
Persia bahkan sampai diperbatasan Balucistan (sekarang wilayah Pakistan), serta Kabul
dan Ghazni. Selain itu ia juga berhasil membetuk armada laut dengan kapalnya yang
kokoh dan menghalau serangan-serangan di laut tengah yang dilancarkan oleh tentara
Bizantium dengan kemenangan pertama kali di laut dalam sejarah Islam.
Pada periode ke-II, kekuasaannya identik dengan kemunduran dengan
kemunduran dengan huruhara dan kekacauan yang luar biasa sampai ia wafat. Sebagian
ahli sejarah menilai bahwa Utsman melakukan nepotisme.Ia mengangkat sanak
saudaranya dalam jabatan-jabatan strategis yang paling besar dan paling banyak
menyebabkan suku-suku dan kabila-kabila lainnya merasakan pahitnya tindakan Utsman
tersebut. Para pejabat dan para panglima era Umar hampir semuanya dipecat oleh
Utsman, kemudian mengangkat dari keluarga sendiri yang tidak mampu dan tidak cakap
sebagai pengganti mereka. Adapun para pejabat Utsman yang berasal dari famili dan
keluarga dekat, diantaranya Muawiyah bin Abi sofyan, Gubernur Syam, satu suku dan
keluarga dekat Utsman. Oleh karena itu, Utsman diklaim bahwa ia telah melakukan
KKN.[21]
Kemajuan Islam yang begitu cepat ternyata membawa benih krisis. Utsman yang
mengantikan Khalifah Umar, dapat dikatakan sebagai korban dari benih krisis tersebut.
Selama 12 tahun pemerintahannya, 6 tahun di awal pemerintahannya dipenuhi dengan
kemajuan dan keberhasilan. Sedangkan pada masa 6 tahun terakhir pemerintahan
Khalifah Utsman bin Affan merupakan masa penuh dengan pertikaian di antara kaum
muslimin, yang merupakan akibat dari ketidak senangan sebagian mereka terhadap
kebijaksanaan-kebijaksanaan Utsman soal pemerintahan. Ia menemui kesulitan dalam
menghadapi perubahan dan luasnya wilayah Islam. Walaupun demikian, tidak dapat
dipungkiri bahwa usaha-usaha yang dilakukan Utsman selama masa pemerintahannya
telah memberi kemajuan Islam cukup banyak dan berarti.
Pada masa 6 tahun terakhir tersebut, situasi itu benar-benar semakin mencekam,
bahkan usaha-usaha yang bertujuan baik dan mempunyai alasan kuat untuk
kemaslahatan ummat disalah fahami dan melahirkan perlawanan dari masyarakat.
Penulisan Al-Qur’an yang diperkirakan sebagai langkah yang efektif malah menjadi
menambah permasalahan dan bahkan mengundang kecaman, dan juga Utsman malah
dituduh tidak punya otoritas untuk menetapkan edisi Al-Qur’an yang dibakukan itu. Rasa
tidak puas terhadap Khalifah Utsman semakin besar dan menyeluruh. Ada beberapa hal
yang mendasari kenapa hal itu terjadi, yaitu pada saat pemerintahan Abu Bakar dan
Umar para pejabat senior tidak diperbolehkan keluar dari Madinah. Karena mereka
adalah sebagai percontohan bagi pejabat junior, namun aturan itu tidak diterapkan lagi
oleh Utsman. Utsman lebih cenderung dan lebih sering berdiskusi dengan pejabat junior
yang nota benenya adalah kaum kirabatnya sendiri yang haus akan kekuasaan dan
jabatan.[22]
Pada mulanya pemerintahan Khalifah Utsman berjalan lancar. Hanya saja seorang
Gubernur Kufah, yang bernama Mughirah bin Syu’bah dipecat oleh Khalifah Utsman dan
diganti oleh Sa’ad bin Abi Waqqas, atas dasar wasiat khalifah Umar bin Khattab.
Kemudian beliau memecat pula sebagian pejabat tinggi dan pembesar yang kurang
baik, untuk mempermudah pengaturan, lowongan kursi para pejabat dan pembesar itu
diisi dan diganti dengan famili-famili beliau yang kredibel (mempunyai kemampuan)
dalam bidang tersebut.
Utsman bin Affan dianggap melakukan nepotisme karena beliau mengangkat
beberapa orang kerabatnya untuk menduduki jabatan pemerintahan. Utsman bin Affan
telah dituduh melakukan politik nepotisme. Istilah “nepotisme” biasa dipakai untuk
menerangkan praktik dalam kekuasaan umum yang mendahulukan kepentingan
keluarga dekat untuk mendapatkan suatu kesempatan. Dalam bahasa arabnya biasa
dipakai istilah “al-Muhabah” yang berasal dari akar kata habba yang menunjukkan
beberapa makna antara lain: mantap dan kokoh, biji-bijian dan sifat pendek.[23] Makna
yang sepadan dengan nepotisme adalah makna yang ketiga yakni sifat pendek karena
hanya membatasi sesuatu hanya kepada keluarga atau rekan-rekannya semata. Dalam
kegiatan politik, nepotisme merupakan tindakan yang tidak boleh dilakukan, karena
nepotisme tidak sejalan dengan perintah Allah untuk berlaku amanah sebagai pemimpin.
Dalam sabda Rasulullah ini beliau menekankan bagaimana memberikan tugas kepada
orang yang kompeten dan tidak memberikannya kepada orang yang meminta jabatan
tersebut, sekaligus informasi dari Nabi bahwa suatu saat nanti, akan muncul kelompok
yang suka melakukan nepotisme, maka pada saat itulah, setiap orang membutuhkan
kesabaran agar tetap selamat dunia dan akhirat.

‫حدثنا محمد بن سنان قال حدثنا فليح ح و حدثني إبراهيم بن المنذر قال حدثنا محمد بن فليح قال حدثني‬
‫أبي قال حدثني هالل بن علي عن عطاء بن يسار عن أبي هريرة قال بينما النبي صلى هللا عليه وسلم في مجلس‬
‫يحدث القوم جاءه أعرابي فقال متى الساعة فمضى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يحدث فقال بعض القوم سمع‬
‫ما قال فكره ما قال وقال بعضهم بل لم يسمع حتى إذا قضى حديثه قال أين أراه السائل عن الساعة قال ها أنا يا‬
‫رسول هللا قال فإذا ضيعت األمانة فانتظر الساعة قال كيف إضاعتها قال إذا وسد األمر إلى غير أهله فانتظر‬
‫الساعة‬
“…Dari Abu Hurairah, ketika Rasulullah sedang memberikan pengajian
dalam suatu majlis, datanglah seorang pedalaman seraya bertanya “Kapan
hari kiamat?” akan tetapi Rasulullah tetap melanjutkan pengajiannya,
sebagian hadirin berkata bahwa Rasulullah mendengar pertanyaannya akan
tetapi tidak suka. Sebagian yang lain berkata bahwa Rasulullah tidak
mendengarnya. Setelah Rasulullah selesai pengajian, beliau bertanya
“Mana orang yang bertanya tentang hari kiamat?” Saya wahai Rasulullah,
lalu beliau menjawab “Jika amanah sudah disia-siakan, maka tunggulah hari
kiamat”, orang tersebut bertanya lagi “Bagaimana menyia-nyiakan amanah”
Rasulullah menjawab “Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang
bukan ahlinya, maka tunggulah Kiamat.”[24]
Pada manajemen pemerintahannya, Utsman menempatkan beberapa anggota
keluarga dekatnya menduduki jabatan publik strategis. Hal ini memicu penilaian ahli
sejarah untuk menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan
Utsman tersebut. Adapun daftar keluarga Utsman dalam pemerintahan yang dimaksud
sebagai alasan motif nepotisme tersebut adalah sebagai berikut:
1) Muawiyah bin Abu Sufyan yang menjabat sebagi gubernur Syam. Ia termasuk Shahabat
Nabi, keluarga dekat dan satu suku dengan Utsman.
2) Pimpinan Bashrah, Abu Musa Al Asy’ari, diganti oleh Utsman dengan Abdullah bin Amir,
sepupu Utsman.
3) Pimpinan Kuffah, Sa’ad bin Abu Waqqash, diganti dengan Walid bin ‘Uqbah, saudara
tiri Utsman. Lantas Walid ternyata kurang mampu menjalankan syariat Islam dengan baik
akibat minum-minuman keras, maka diganti oleh Sa’id Bin ‘Ash. Sa’id sendiri merupakan
saudara sepupu Utsman.
4) Pemimpin Mesir, Amr bin ‘Ash, diganti dengan Abdullah Bin Sa’ad bin Abu Sarah, yang
masih merupakan saudara seangkat (dalam sumber lain saudara sepersusuan, atau
bahkan saudara sepupu) Utsman.
5) Marwan bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, diangkat menjadi sekretaris
Negara.[25]
Selain itu khalifah Utsman juga mengeluarkan kebijakan yang berbeda dengan
khalifah sebelumnya. Salah satu kebijakan Utsman pada masa pemerintahannya, yaitu
membebaskan para sahabat ke manapun mereka suka. Tindakan ini wajar sesuai
dengan watak Utsman yang lemah lembut, tak sampai hati, pemurah, dan toleran.
Utsman mungkin juga sedang memikat hati mereka karena kebijakan-kebijakannya tak
jarang bertentangan yang para sahabat dipikirkan. Ia mungkin sudah merasa bahwa ia
telah mengambil berbagai kebijakan yang tidak mesti diterima oleh para sahabat. Karena
itu, adalah penting baginya untuk mengangkat harkat dan martabat mereka. Dengan
begitu mereka diharapan untuk tidak melakukan revolusi atau sekedar marah.
Utsman juga telah memberikan kepada orang dekatnya dari Bani Umayyah
wewenang untuk mengelolah beberapa kawasan tertentu, sesuatu yang tidak
diperkirakan para sahabat sebelumnya. Saat itulah para sahabat mulai terpikat untuk
berbondong-bondong keluar ke berbagai kawasan baru Islam. Kontan, mereka
terperangah manyaksikan bahwa dunia sangat menyambut kedatangan mereka dan
mereka pun bersiap untuk menyambut indahnya dunia.
5. Gelombang Fitnah
Ketika Utsman bin Affan mengganti kedudukan Umar, beliau dianggap mulai
menyimpang dari kebijakan-kebijakan khalifah sebelumnya. Sedikit demi sedikit ia mulai
menunjuk sanak kerabatnya untuk menduduki jabatan-jabatan penting dan memberikan
kepada mereka keistimewaan lain yang menimbulkan protes-protes dan kritikan-kritikan
rakyat secara umum.”
Ketika Utsman meninggalkan prinsip keadilan para sahabat yang shaleh
menyampaikan protes dengan berbagai cara. Ketika Sa’ad bin Waqqash, sahabat yang
termasuk ashbiqun al-Awwlun diganti dengan Walid ibn Uqbah, Abdullah bin Mas’ud
keberatan ia tahu Walid sama sekali tidak layak jadi Gubernur, Ibn Mas’ud mengundurkan
diri sebagai bendahara ia menyerahkan kunci Baitulmal kepada Walid: “siapa yang
mengubah, Allah akan mengubah apa yang ada pada dirinya. Siapa yang mengganti,
Allah akan murka kepadanya. Aku melihat sahabatmu (Utsman) telah mengubah dan
mengganti, mengapa ia memakzulkan orang yang seperti Sa’ad bin Waqqash dan
mengangkat Walid?”[26]
Di tengah kemewahan yang berlimpah seorang sahabat Rasulullah SAW tidak suka
melihat itu semua, Abu Dzar al Ghifari adalah orang yang selalu memberi peringatan
beliau melihat itu semua sebagai bentuk kelalaian khalifah Utsman bin Affan maka ia
memberi peringatan kepada khalifah namun akibat dari itu Abu Dzar al-Ghifari di kirim ke
Syam. Beliau tidak ragu-ragu untuk berangkat ke Syam ketika mendengar berita tentang
kemewahan yang luar biasa, pendirian istana-istana, gedung-gedung, rumah-rumah, dan
kebun-kebun yang dimiliki serta dinikmati oleh para amir di bawah pimpinan Mu’awiyah
dan beberapa sahabat lain yang menurut pendapat Abu Dzar tidak diciptakan untuk
kesenangan dan kenikmatan dunia yang fana. Di Syam ia mengibarkan panji oposisi
yang hampir merobohkan kedudukan Mu’awiyah.
Muawiyah berusaha memenangkan kemarahannya. Sebenarnya, meskipun ia
merasakan adanya bahaya dalam kritikan Abu Dzar al-Ghifari terhadapnya, namun
sikapnya terhadap Abu Dzar tetap mengagungkan dan menghomatinya.
Ia cukup menulis kepada khalifah sepucuk surat yang berbunyi, “Abu Dzar telah
merusak orang-orang di Syam,” maka datang balasan khalifah dengan segera
kepadanya, “kirimkanlah dia kepadaku.”
Abu Dzar kembali ke Madinah dan berlangsung percakapan antara dia dan khalifah
di mana masing-masing tidak bisa menerima pandangan yang berbeda. Di sini ada dua
riwayat sejarah. Yang satu berkata bahwa khalifah memutuskan untuk mengasingkannya
ke Rabdzah, sebuah tempat yang jauh dari Madinah. Yang lain berkata bahwa Abu Dzar
sendiri yang meminta kepada khalifah agar mengizinkannya keluar menuju Rabdazah, di
mana ia menghabiskan sisa hari-hari di situ.[27] Walaupun berbeda pendapat dengan
khalifah namun Abu Dzar tetap sangat menghormati khalifah tanpa ada niat mau
melakukan pemberontakan segala keputusan khalifah beliau taati.
Sahabat lain yang melakukan kritik terhadap kebijakan beliau adalah Ammar bin
Yasir. Ia adalah seorang sahabat besar, kedua orang tuanya mati syahid di kayu siksaan,
di mana Quraisy ingin memadamkan cahaya Allah swt dan Ammar ikut merasakan
siksaan yang mengerikan itu. Bersama kedua orang tuanya pula Ammar diberitahu Rasul
SAW, tentang kabar gembira yang cemerlang ketika mereka sedang mengalami siksaan
yaitu. “Bersabarlah keluarga Yasir, karena tempat kalian kelak adalah surga.”
Ammar telah berselisih dengan khalifah mengenai beberapa masalah. Barangkali
ia menangani perselisihan itu dengan cara yang mengejutkan khalifah, terutama di akhir
pemerintahan Utsman, di mana sebagian gubernur-gubernur Bani Umayyah telah
berlebihan dalam kekerasan terhadap para penentang mereka, tanpa membedakan
antara sahabat besar yang menyatakan kebenaran dengan orang yang tendensius dan
pura-pura. Mungkin perselisihan antara khalifah dan Ammar diputuskan dengan hak-hak
persahabatan yang mahal, yang menggabungkan keduanya dari hari-hari kesulitan dan
kemenangan. Bahkan tetap begitu kenyataannya kendati makin hari makin meningkat
dengan bergejolaknya jiwa-jiwa yang semakin dipanasi oleh peristiwa-peristiwa dan
persekongkolan-persekongkolan.
Telah kita lihat khalifah tidak melupakan Ammar ketika ia memilih di antara sahabat-
sahabat utama untuk membentuk panitia pencari fakta. Bahwa ia memilih Ammar, kendati
oposisi terhadap khalifah dan mengizinkannnya ke Mesir. Tatkala utusan-utusan khalifah
datang kecuali Ammar yang tinggal lama di Mesir, dan kebetulan pada waktu itu di sana
ada Abdullah bin Saba, maka para pengadu domba mendapat kesempatan untuk
menimbulkan kemarahan khalifah terhadap Ammar dengan menganggap bahwa ia
bertemu dengan Abdullah bin Saba dan mengikuti omongannya.
Namun perselisihan yang banyak dicampuri kebencian di luar kebiasaanya di mana
khalifah mengandalkan tindakan keras adalah perselisihan yang terjadi antara khalifah
dan Abdullah bin Mas’ud, sedangkan Abdullah bin Mas’ud adalah seorang sahabat yang
cemerlang pengorbanannya, keberaniaan, serta persahabatannya dengan Rasulullah
SAW. Perselisihan antara khalifah dan Ibnu Mas’ud menghebat sehingga khalifah
menghentikan tunjangannya dari Baitul Maal.[28]
Berbagai cara, bentuk protes yang dilakukan sahabat-sahabat Rasulullah terhadap
khalifah, namun tidak ada yang melakukan perlawanan apalagi ingin merusak sistem
kekhalifahan semua itu dilakukan agar mereka tidak terlena dalam kemewahan dunia.
Tindakan beliau yang terkesan nepotisme tersebut, sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas mengundang protes dari orang-orang yang dipecat, di sinilah Abdulah
bin Saba’ mengambil peran, maka Abdulah bin
Saba’ bersama gerombolannya datang menuntut agar pejabat-pejabat dan para
pembesar yang diangkat oleh Khalifah Utsman ini dipecat pula. Usulan-usulan Abdullah
bin Saba’ ini ditolak oleh khalifah Utsman.
Pada masa kekhalifan Utsman bin Affan-lah aliran Syiah lahir dan Abdullah Bin
Saba’ disebut sebagai pencetus aliran Syi’ah tersebut. Abdullah ibn Saba’ adalah
seorang Yahudi dari Yaman yang masuk Islam. Ia merupakan provokator yang berada di
balik pemberontakan terhadap Khalifah Utsman bin Affan. Ibnu Saba’ melakukan
semuanya itu didasarkan motivasi dirinya untuk meruntuhkan dasar-dasar Islam yang
telah dipegang teguh oleh umat Islam. Niatnya masuk Islam hanyalah sebagai kedok
belaka untuk merongrong kewibawaan pemerintahan Khalifah Utsman, sehingga
muncullah kerusuhan yang terjadi di berbagai wilayah kekuasaan Islam di antaranya
adalah Fustat (Kairo), Kufah, Basrah, dan Madinah.
Ia memotori para sahabat untuk membuat gerakan-gerakan pembrontakan, sahabat
yang terpancing oleh tipu daya muslihat Abdullah ibn Saba’ adalah: Abu Zar al-Ghiffari,
Ammar ibn Yasir`dan Abdullah ibn Mas’ud. Sebenarnya Abdullah ibn Saba’ telah cukup
lama menantikan moument ini, dimana situasi ini dapat menghancurkan Islam, yang
pertama-tama ia mempropaganda barisan pengikut Ali ibn Thalib.
Waktu itu barisan pengikut Ali selalu dimarjinalkan oleh pejabat-pejabat dari pihak
Utsman, isu-isu yang dilancarkan oleh Abdullah ibn Saba’ bagaikan gayung bersambut,
dan saat itu lahirlah golongan yang disebut denagn “Mazhab Whisayah”, Mazhab ini
mempunyai ideologi bahwa Alilah yang berhak menjadi Khalifah dan dia adalah orang
yang mendapat wasiat dari NAbi Muhammad SWA. Dan para penganut mazhab ini
sangat memuliakan Ali sebagaimana rasul menjulukinya sebagai “Pintu Ilmu”. Paham
tersebut sesuai dengan doktrin dan ideologi yang dibawa oleh Abdullah ibn Saba’ dan ia
menambahi paham itu dengan paham-paham yang dibawanya dari Persi yaitu paham
“Hak Ilahi”, aliran ini berasal dari Persi yang dibawa ke Yaman tempat kelahiran Abdullah
ibn Saba’ fase sebelum datangnya Islam. Menurut paham ini Ali-lah yang berhak sebagai
Khalifah tetapi Utsman mengambilnya dengan jalan pemaksaan.[29]
Abdullah bin Saba’ kemudian membuat propoganda yang hebat dalam bentuk
semboyan anti Bani Umayah, termasuk Utsman bin Affan. Seterusnya penduduk
setempat banyak yang termakan hasutan Abdullah bin Saba’. Sebagai akibatnya,
datanglah sejumlah besar (ribuan) penduduk daerah ke Madinah yang menuntut kepada
Khalifah, tuntutan dari banyak daerah ini tidak dikabulkan oleh khalifah, kecuali tuntutan
dari Mesir, yaitu agar Utsman memecat Gubernur Mesir, Abdullah bin Abi Sarah, dan
menggantinya dengan Muhammad bin Abi Bakar.
Karena tuntutan orang mesir itu telah dikabulkan oleh khalifah, maka mereka
kembali ke Mesir, tetapi sebelum mereka kembali ke Mesir, mereka bertemu dengan
seseorang yang ternyata diketahui membawa surat yang mengatasnamakan Utsman bin
Affan. Isinya adalah perintah agar Gubernur Mesir yang lama yaitu Abdulah bin Abi sarah
membunuh Gubernur Muhammad Abi Bakar (Gubernur baru) Karena itu, mereka kembali
lagi ke Madinah untuk meminta tekad akan membunuh Khalifah karena merasa
dipermainkan.
Setelah surat diperiksa, terungkap bahwa yang membuat surat itu adalah Marwan
bin Hakam. Tetapi mereka melakukan pengepungan terhadap khalifah dan menuntut dua
hal :
1) Supaya Marwan bin Hakam diqishas (hukuman bunuh karena membunuh orang).
2) Supaya Khalifah Utsman meletakan jabatan sebagai Khalifah.
Kedua tuntutan yang pertama, karena Marwan baru berencana membunuh dan
belum benar-benar membunuh. Sedangkan tuntutan kedua, beliau berpegang pada
pesan Rasullulah SAW; “Bahwasanya engkau Utsman akan mengenakan baju
kebesaran. Apabila engkau telah mengenakan baju itu, janganlah engkau lepaskan”
Setelah mengetahui bahwa khalifah Utsman tidak mau mengabulkan tuntutan
mereka, maka mereka lanjutkan pengepungan atas beliau sampai empat puluh hari.
Situasi dari hari kehari semakin memburuk. Rumah beliau dijaga ketat oleh sahabat-
sahabat beliau, Ali bin Thalib, Zubair bin Awwam, Muhammad bin Thalhah, Hasan dan
Husein bin Ali bin Abu Thalib. Karena kelembutan dan kasih sayangnya, beliau
menanggapi pengepung-pengepung itu dengan sabar dan tutur kata yang santun.
Selain faktor dari luar tersebut (provokasi dari Ibnu Saba’), dalam internal
kekhalifahan Utsman bin Affan terdapat konfrontasi lama yang mencuat kembali.
Permasalahan tersebut semata-mata berupa persaingan yang di antara Bani Hasyim dan
Bani Umayyah. Sedangkan Utsman sendiri merupakan salah satu anggota dari keluarga
besar Bani Umayyah. Pada konteks sejarahnya, Bani Hasyim sejak dahulu berada di atas
Bani Umayyah terutama pada masalah-masalah perpolitikan orang-orang Quraisy.
Lemahnya karakter kepemimpinan Utsman menjadikan kekuatan dan kekuasaanya
semakin terancam. Artinya, pribadi Utsman bin Affan yang sederhana dan berhati lembut
membuat para pemberontak lebih leluasa dalam melakukan provokasi dan kerusuhan di
wilayah kekuasaan Islam. Sikap sederhana dan lemah lembut dalam ilmu politik
sebenarnya kurang relevan diterapkan, apalagi pada saat itu kondisi pemerintahan dalam
saat-saat kritis. Dan lagi-lagi pada beberapa kasus, Utsman bin Affan begitu mudah
memaafkan orang lain, meskipun pada kenyataannya orang tersebut adalah termasuk
kelompok yang memerangi dan sangat tidak suka dengan beliau, demikianlah karakter
kepemimpinan beliau.
Sebenarnya Rasulullah ketika beliau masih hidup telah mengabarkan akan adanya
fitnah tersebut. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengabarkan kepada beliau
dan para sahabat berulang-ulang bahwa akan terjadi fitnah yang akan menimpa Utsman
dan para sahabat beliau yang berada diatas kebenaran. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam mengisyaratkan untuk mengikuti beliau (Utsman) ketika terjadi fitnah.
Diantara yang shohih dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang hal ini adalah
apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umari Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata
Rasulullah SAW menyebutkan adanya fitnah. Lalu ada seseorang yang lewat dan Nabi
berkata :”Orang yang memakai penutup muka ini akan terbunuh pada saat itu.” Abdullah
bin Umar mengatakan :”Aku melihat (orang tersebut) adalah Utsman bin Affan.”[30]
Ka’ab bin Murrah al-Bahziz meriwayatkan kisah yang serupa dengan yang diatas.
Beliau telah mendengar Rasulullah SAW menyebutkan tentang fitnah, lalu tiba-tiba
Utsman datang dalam keadaan memakai penutup muka dan beliau mengisyaratkan
kepada Utsman, seraya berkata :”Orang ini dan para sahabatnya di atas kebenaran dan
petunjuk.”
Baik kedua riwayat ini untuk satu kisah atau dua, semuanya mengabarkan bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjelaskan akan terbunuhnya Utsman Radhiyallahu
‘anhu dalam fitnah. Dan riwayat Ka’ab menambahkan bahwa beliau dan parasahabatnya
diatas kebenaran ketika terjadinya fitnah ini.
Diantara yang menunjukkkan bahwa Ka’ab ingin mengetahui lebih jelas siapa orang
yang dimaksud oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka dia pun mendatangi orang
tersebut dan memegangi kedua pundaknya ternyata dia adalah Utsman bin Affan. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyambutnya. Ka’ab mengatakan: Apakah ini orangnya ?
Nabi Shallallahu‘alaihi wa Sallam berkata kepadanya : ya.[31]
Diantaranya pula apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairahz, yang demikian itu
ketika beliau meminta izin kepada Utsman pada waktu pengepungan (terhadap rumah
beliau) untuk berbicara kepada beliau. Ketika beliau mengizinkannya, beliau (Abu
Hurairah) berdiri dan memuji Allah kemudian berkata :”Sesungguhnya aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda :”Sesungguhnya kalian akan menemui sepeninggalku fitnah
dan perselisihan. Salah seorang mengatakan :Apa yang kita lakukan, ya Rasulullah ?
Beliau menjawab, ”Wajib bagi kalian bersama al-Amin dan para sahabat-sahabat beliau”.
Dan beliau menunjuk kepada Utsman.[32]
Dan apa yang telah ditentukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang waktu
terjadinya fitnah tersebut, seperti yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud dari Nabi
Shallallahu ‘alaihiwa Sallam, beliau bersabda :”Poros Islam berputarpada 35 atau 36 atau
37 ......”[33]
Dan Allah berkehendak hal itu terjadi padatahun 35 H dengan dinyalakannya fitnah
hingga terbunuhnya Utsman Radhiyallahu ‘anhu .
Telah diketahui, bahwa khalifah yang terbunuh dalam keadaan bersabar diatas
kebenaran dan pasrah untuk dibunuh adalah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu.
Semua tanda-tanda menunjukkan bahwa khalifah yang dimaksud oleh hadits diatas
adalah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu .
Dalam hadits ini ada isyarat besar tentang pentingnya menyelamatkan diri dari
fitnah ini, baik secara fisik maupun maknawi. Adapun secara fisik ada pada waktu
terjadinya fitnah, dari menggerakkan, mengumpulkan (massa) dan membunuh serta
yang lainnya. Adapun secara maknawi, maka terjadi setelah fitnah dengan tenggelam
dalam kebatilan serta berbicara tanpa haq. Maka hadits ini umum untuk umat ini, dan
bukan khusus bagi yang hidup di zaman fitnah tersebut. Wallahu a’lam.
Diantara hadits-hadits yang telah dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
tentang terjadinya pembunuhan terhadap Utsman bin Affan adalah apa yang
diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu bahwasannya Nabi
Shallallahu‘alaihi wa Sallam memerintahkan beliau untuk memberi kabar gembira kepada
Utsman dengan surga karena musibah yang akan menimpanya.[34]
Dan apa yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah suatu hari berada diatas gunung Uhud dan
bersama beliau Abu Bakar, Umar, Utsman. Maka gunung tersebut bergetar, lalu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :”Tenanglah(engkau) wahai Uhud, tidaklah yang
di atasmu melainkan seorang Nabi, shiddiq dan dua orang syahid.”[35]
Nabi dan Shiddiq sudah diketahui, dan tidak tersisa bagi Umar dan Utsman
melainkan sifat ketiga yaitu syahid. Inilah persaksian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
yang amat jelas kepada Utsman Radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau akan terbunuh (syahid)
di jalan Allah. Dan persaksian ini terulang kembali dalam waktu yang lain dan di gunung
yang lain yaitu Hira’.

6. Peristiwa wafatnya Khalifah Utsman bin Affan


Tatkala syubhat-syubhat yang hakikatnya lemah tersebut tidak dapat terbendung
maka api kebencian telah menyulut pada hati-hati para pemberontak. Akhirnya, mereka
datang ke Madinah dan mengepung rumah Utsman. Mereka meminta agar Utsman
meninggalkan kekhalifahannya atau mereka akan membunuhnya.
Namun, Ibnu Umar segera masuk menemui Utsman dan mendorongnya agar ia
jangan sampai menanggalkan kekhalifahannya karena berarti itu telah membuat sunah
yang jelek, sehingga setiap kali manusia tidak menyenangi pemimpinnya, maka mereka
akan mencopot paksa kepemimpinan tersebut. Utsman pun menyadari bahwa inilah
fitnah yang sejak jauh-jauh hari telah diberitakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam. Karena itu, Utsman hanya bisa bersabar dan menyerahkan urusannya kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Akhirnya, orang-orang Khawarij tersebut memanjat rumah Utsman, lalu pedang-
pedang mereka mengalirkan darah Utsman yang suci sedang beliau tengah berpuasa
dan membaca Kitabullah, hingga tetesan darah pertama tatkala membaca,
‫س َي ْكفِي َك ُه ُم هللاُ َوه َُو السَّمِ ي ُع ْال َعلِي ُم‬
َ َ‫ف‬

“Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah yang
Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 137)
Di malam hari sebelum Utsman meninggal dunia, ia bermimpi bertemu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mengatakan, “Wahai Utsman,
berbukalah bersama kami.” Ia lalu berkata, "Benar, wahai Rasulullah". Rasulullah berkata
lagi, "Mereka telah membuatmu lapar, wahai Utsman." Ia menjawab, "Benar, wahai
Rasulullah". Rasulullah kembali berkata,"Mereka mengepungmu, wahai Utsman". Ia
menjawab, "Benar, wahai Rasulullah". Rasulullah berkata, "Sukakah bila besok kamu
berpuasa, lalu berbuka di sisi kami?" Ia menjawab, "Mau, wahai Rasulullah". Ia kemudian
bangun dari tidurnya sambil tertawa.
Detik-detik akhir telah datang. Para pengacau mulai menyalakan api di pintu rumah
Utsman bin Affan. Para sahabat dan para pemuda kaum muslimin kemudian berdatangan
ke rumah Utsman bin Affan, sementara Utsman berteriak dan memanggil mereka, "Aku
bersumpah kepada kalian agar kalian kembali ke rumah kalian masing-masing dan tidak
menetap kecuali dua orang, yaitu Hasan bin Ali dan Abdullah bin Umar bin Khattab".
Para pengacau mulai mengerahkan daya dan upaya mereka untuk mencoba
memasuki rumah Utsman bin Affan. Istri Utsman kemudian mencoba untuk
menampakkan rambutnya kepada mereka, dengan harapan jika melihat rambutnya yang
terbuka, mereka pun tidak akan masuk. Akan tetapi Utsman bin Affan melarangnya.
Para pengacau kemudian masuk menemui Utsman yang sedang membaca Al-
Qur'an dan ketika itu sedang berpuasa. Ia membaca firman Allah SWT dari Surah Al-
Baqarah,

"Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka.Dan Dialah Yang


Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [QS Al-Baqarah : 137]
Salah seorang pengacau tersebut kemudian masuk dan memukul Utsman bin Affan
dengan pedangnya. Pukulan tersebut mengenai tangannya hingga putus. Utsman bin
Affan kemudian berkata. "Allahu Akbar! Sesungguhnya, kamu tahu bahwa tangan ini
telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah SAW".
Kemudian datanglah Sayyidah Nailah, istrinya, bermaksud untuk membelanya.
Tetapi mereka malah memotong jari-jarinya. Kemudian datanglah seorang laki-laki dan
memukul Utsman bin Affan dengan potongan besi tepat mengenai bagian atas bahunya.
Utsman lantas berkata, "Ya, Allah segala puji bagi-Mu". Utsman kemudian
menutup Mushaf Al-Quran yang terlumuri dengan darahnya.Utsman kemudian berkata
lagi, "Ya Allah. Wahai Zat yang memiliki kemuliaan, Aku bersaksi kepada-Mu bahwa aku
telah bersikap sabar sebagaimana Nabi-Mu telah berwasiat kepadaku".
Utsman bin Affan kemudian terbunuh pada hari Jumat tanggal 18 Dzulhijjah. Ia
dikubur di Pekuburan Baqi'.
7. Bantahan atas Dugaan Nepotisme dalam kepemimpinan
Utsman bin Affan
Beberapa penulis Muslim mencoba melakukan rasionalisasi bahwa tindakan
Utsman tersebut bukan tanpa alasan. Hal ini merupakan sebuah upaya pembelaan
terhadap tindakan Utsman, tidak atau bahkan sama sekali jauh dari motif nepotisme.
Sebagai contoh salah satu bentuk rasionalisasi menyebutkan bahwa Utsman
mengangkat wali-wali negeri dari pihak keluarga beralasan untuk memperkuat wilayah
kekuasaannya melalui personal yang telah jelas dikenal baik karakteristiknya.[36] Hal ini
mengingat wilayah kekhilafahan pada masa Utsman semakin meluas. Demikian juga
tanggungjawab dakwah di masing-masing wilayah tersebut.
Selain tentang dugaan nepotisme dalam pengangkatan beberapa kerabatnya,
Khalifah Utsman juga dituduh sebagai koruptor dan nepotis dalam kasus pemberian dana
khumus (seperlima harta dari rampasan perang) kepada Abdullah bin Sa’ad bin Abu
Sarah, kepada Mirwan bin Al Hakam, dan kepada Al Harits bin Al Hakam.
Situasi politik diakhir masa pemerintahan Utsman benar-benar semakin
mengkhawatirkan, bahkan usaha-usaha yang bertujuan baik untuk kamaslahatan umat
disalahfahami dan melahirkan perlawanan dari masyarakat. Misalnya kodifikasi al-
Qur’an dengan tujuan supaya tidak terjadi kesimpangsiuran telah mengundang kecaman
melebihi dari apa yang tidak diduga.
Oleh sebab itu lawan-lawan politiknya menuduh Utsman sama sekali tidak punya
otoritas untuk menetapkan edisi al-Qur’an yang ia bukukan. Mereka mendakwa Utsman
secara tidak benar telah menggunakan kekuasaan keagamaan yang tidak dimilikinya.
Mereka tidak sadar bahwa kepentingan umat lebih besar ketimbang politik kekuasaan
yang didambakannya. Hal ini tidak cukup hanya kepentingan pribadi dan kelompok, lebih
dari itu mereka lakukan dengan suatu konspirasi yang rapi dan terencana.
Untuk memperjelas tuduhan-tuduhan tersebut tidaklah mudah. Terutama apabila
dikaitkan dengan ketersediaan data dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Upaya
memojokkan pemerintahan Utsman sebagai rezim nepotis sendiri hanya berangkat dari
satu sudut pandang dengan argumentasi mengungkap motif social-politik belaka. Lebih
dari itu lebih banyak berkutat dalam dugaan dan produk kreatif imajinatif.
Dakwah Islam pada masa awal kekhilafahan Utsman Bin Affan menunjukkan
kemajuan dan perkembangan signifikan melanjutkan estafet dakwah pada masa khalifah
sebelumnya. Wilayah dakwah Islam menjangkau perbatasan Aljazair (Barqah dan Tripoli
sampai Tunisia), di sebelah utara meliputi Allepo dan sebagian Asia Kecil. Di timur laut
sampai Transoxiana dan seluruh Persia serta Balucistan (Pakistan sekarang), serta
Kabul dan Ghazni. Utsman juga berhasil membentuk armada dan angkatan laut yang
kuat sehingga berhasil menghalau serangan tentara Byzantium di Laut Tengah. Peristiwa
ini merupakan kemenangan pertama tentara Islam dalam pertempuran di lautan.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa di atas, Utsman mengangkat anggota
keluarganya sebagi pejabat public. Di antaranya adalah Muawiyah Bin Abu Sufyan.
Sosok Muawiyah dikenal sebagai politisi piawai dan tokoh berpengaruh bagi bangsa
Arab.[37] yang telah diangkat sebagai kepala daerah (Gubernur) Syam sejak masa
khalifah Umar Bin Khaththab. Muawiyyah tercatat menunjukkan prestasi dan
keberhasilan dalam berbagi pertempuran menghadapi tentara Byzantium di front utara.
Muawiyah adalah sosok negarawan ulung sekaligus pahlawan Islam pilih tanding pada
masa khalifah Umar maupun Utsman. Dengan demikian tuduhan nepotisme Utsman jelas
tidak bisa masuk melalui celah Muawiyah tersebut. Sebab beliau telah diangkat sebagai
gubernur sejak masa Umar. Belum lagi prestasinya bukannya mudah dianggap ringan.
Oleh karenanya tuduhan nepotisme terhadap kepemimpinan Utsman bin Affan
hanyalah entrik politik oleh para pesaingnya yang juga memiliki kepentingan kekuasaan,
hal tersebut telihat dari adanya reaksi-reaksi mereka yang sengaja mengeruhkan
suasana agar pemerintahan dalam keadaan goyang, sembari mencari titik kelemahan
yang dimiliki oleh khalifah Utsman bin Affan.
Selanjutnya penggantian Gubernur Basyrah Abu Musa al Asyari dengan Abdullah
Bin Amir, sepupu Utsman juga sulit dibuktikan sebagi tindakan nepotisme. Proses
pergantian pimpinan tersebut didasarkan atas aspirasi dan kehendak rakyat Basyrah
yang menuntut Abu Musa al Asyari meletakkan jabatan. Oleh rakyat Basyrah, Abu Musa
dianggap terlalu hemat dalam membelanjakan keuangan Negara bagi kepentingan
rakyat dan bersikap mengutamakan orang Quraisy dibandingkan penduduk pribumi.
Pasca menurunkan jabatan Abu Musa, khalifah Utsman menyerahkan sepenuhnya
urusan pemilihan pimpinan baru kepada rakyat Basyrah. Namun pilihan rakyat tersebut
justru dianggap gagal menjalankan roda pemerintahan dan dinilai tidak cakap oleh rakyat
Basyrah yang memilihnya sendiri. Maka kemudian secara aklamasi rakyat menyerahkan
urusan pemerintahan kepada khalifah dan meminta beliau menunjuk pimpinan baru bagi
wilayah Basyrah. Maka kemudian khalifah Utsman menunjuk Abdullah Bin Amir sebagai
pimpinan Basyrah dan rakyat setempat menerima pimpinan dari khalifah tersebut.
Abdullah Bin Amir sendiri telah menunjukkan reputasi cukup baik dalam penaklukan
beberapa daerah Persia. Dengan demikian nepotisme kembali belum terbukti
melalui penunjukan Abdullah Bin Amir.
Sementara itu di Kuffah, terjadi pemecatan atas Mughirah Bin Syu’bah karena
beberapa kasus yang dilakukannya. Pemecatan ini sebenarnya atas perintah khalifah
Umar Bin Khaththab namun baru terealisasi pada masa khalifah Utsman. Penggantinya,
Sa’ad Bin Abu Waqqash, juga diberhentikan oleh khalifah Utsman akibat penyalah
gunaan jabatan dan kurang transparansinya urusan keuangan daerah. Salah satu
kasusnya, Sa’ad meminjam uang dari kas propinsi tanpa melaporkannya kepada
pemerintah pusat.
Pada masa pemerintahan khulafaurrasyidin, setiap daerah menikmati otonomi
penuh, kecuali dalam permasalah keuangan tetap terkait dan berada dibawah
koordinasi bendahara pemerintah Pusat. ‘Amil (pengepul zakat, semacam bendahara)
Kuffah saat itu, Abdullah Bin Mas’ud, dipanggil sebagai saksi dalam pengadilan atas
peristiwa tersebut. Abdullah Bin Mas’ud sendiri akhirnya juga dipecat akibat peristiwa
tersebut. Perlu diketahui, Abdullah Bin mas’ud termasuk keluarga dekat dan sesuku
dengan Khalifah Utsman. Pengganti Sa’ad Bin Abu Waqqash adalah Walid Bin Uqbah,
saudara sepersusuan atau dalam sumber lain saudara tiri khalifah Utsman. Namun
karena Walid memiliki tabiat buruk (suka minum khamr dan berkelakuan kasar), maka
khalifah Utsman memecatnya dan menyerahkan pemilihan pimpinan baru kepada
kehendak rakyat Kuffah. Sebagaimana kasus di Basyrah, gubernur pilihan rakyat Kuffah
tersebut terbukti kurang cakap menjalankan pemerintahan dan hanya bertahan selama
beberapa bulan. Atas permintaan rakyat, pemilihan gubernur kembali diserahkan kepada
khalifah. Utsman Bin Affan kemudian mengangkat Sa’id Bin ‘Ash, kemenakan Khalid Bin
Walid dan saudara sepupu Utsman, sebagai gubernur Kuffah, karena dianggap cakap
dan berprestasi dalam penaklukan front utara, Azarbaijan.[38] Namun terjadi konflik
antara Sa’id dengan masyarakat setempat sehingga khalifah Utsman berfikir ulang
terhadap penempatan sepupunya tersebut. Maka kemudian Sa’ad digantikan
kedudukannya oleh Abu Musa Al Asy’ari, mantan gubernur Basyrah. Namun stabilitas
Kuffah sukar dikembalikan seperti semula sampai peristiwa tewasnya sang khalifah.
Meskipun demikian nepotisme dalam frame makna negative kembali sukar dibuktikan.
Sedangkan di Mesir, Utsman meminta laporan keuangan daerah kepada Amr Bin
Ash selaku gubernur dan Abdullah Bin Sa’ah Bin Abu Sarah selaku ‘Amil. Laporan Amil
dinilai timpang sedangkan Amr dianggap telah gagal melakukan pemungutan pajak.
Padahal negara sedang membutuhkan pendanaan bagi pembangunan armada laut guna
menghadapi serangan Byzantium. Khalifah Utsman tetap menghendaki Amr Bin Ash
menjadi gubernur Mesir sekaligus diberi jabatan baru sebagai panglima perang. Namun
Amr menolak perintah khalifah tersebut dengan kata-kata yang kurang berkenan di hati
sang khalifah (perkataan kasar). Maka kemudian Amr Bin Ash dipecat dari jabatannya.
Sedangkan Abdullah Bin Sa’ah Bin abu sarah diangkat menggantikannya sebagai
gubernur. Namun kebijakan gubernur baru tersebut dalam bidang agraria kurang disukai
rakyat sehingga menuai protes terhadap khalifah Utsman. Dari peristiwa inilah akhirnya
muncul isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman. Isu yang beredar dari Mesir ini pada
akhirnya menyebabkan khalifah terbunuh.[39]
Salah satu bukti penguat isu nepotisme yang digulirkan adalah diangkatnya Marwan
Bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, sebagai sekretaris Negara. Namun tuduhan
ini pada dasarnya hanya sekedar luapan gejolak emosional dan alasan yang dicari-cari.
Marwan Bin Hakam sendiri adalah tokoh yang memiliki integritas sebagai pejabat Negara
disamping dia sendiri adalah ahli tata negara yang cukup disegani, bijaksana, ahli bacaan
Al Quran, periwayat hadits, dan diakui kepiawaiannya dalam banyak hal serta berjasa
menetapkan alat takaran.[40]
Utsman dan Marwan dikenal sebagai sosok yang hidup bersahaja dan jauh dari
kemewahan serta tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Dengan
demikian pemilihan Marwan Bin Hakam adalah keharusan dan kebutuhan negara yang
memang harus terjadi serta bukan semata-mata atas motif nepotisme dalam kerangka
makna negative.
Selain itu tuduhan penggelapan uang negara dan nepotisme dalam pemberian
dana al Khumus yang diperleh dari kemenangan perang di Laut Tengah kepada Abdullah
Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, saudara sepersusuan Utsman (sumber lain saudara angkat),
dapat dibuktikan telah sesuai dengan koridor yang seharusnya dan diindikasikan tidak
ditemukan penyelewengan apa pun. Al Khumus yang dimaksud berasal dari rampasan
perang di Afrika Utara. Isu yang berkembang terkait al khumus tersebut adalah Khalifah
Utsman telah menjualnya kepada Marwan Bin Al Hakkam dengan harga yang tidak layak.
Duduk persoalan sebenarnya adalah khalifah Utsman tidak pernah memberikan al
kumus kepada Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah. Sebagaimana telah
diketahui ghanimah (rampasan perang) dalam Islam 4/5-nya akan menjadi bagian dari
tentara perang sedangkan 1/5-nya atau yang dikenal sebagi al-khumus akan masuk ke
Baitul Mal.[41] Perlu diketahui jumlah ghanimah dari Afrika Utara yang terdiri dari
berbagai benda yang terbuat dari emas, perak, serta mata uang senilai dengan 500.000
dinar. Abdullah Bin sa’ad kemudian mengambil alkhumus dari harta tersebut yaitu senilai
100.000 dinar dan langsung dikirimkan kepada khalifah Utsman di ibu kota. Namun masih
ada benda ghanimah lain yang berupa peralatan, perkakas, dan hewan ternak yang
cukup banyak. Al khumus (20 % dari ghanimah) dari ghanimah yang terakhir tersebut
itulah yang kemudian dijual kepada Mirwan Bin Hakkam dengan harga 100.000 dirham.
Penjualan ganimah dengan wujud barang dan hewan ternak tersbut dengan
mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi. Al khumus berupa barang dan ternak
tersebut sulit diangkut ke ibu kota yang cukup jauh jaraknyabelum lagi jika harus
mempertimbangkan faktor keamanan dan kenyamanan proses pengangkutannya.
Kemudian hasil penjualan al kamus berupa barang dan ternak tersebut juga dikirimkan
ke Baitulmal di ibu kota. Di sisi lain Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah mendapatkan
sebagian dari pembagian 4/5 hasil rampasan perang sebab dia telah memimpin
penakhlukan afrika Utara tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa 4/5 (atau
80 %) dari ghanimah adalah hak bagi tentara yang mengikuti perang, termasuk
di antaranya adalah Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah. Dengan demikian sebenarnya
tidak ada masalah karena telah sesuai dengan koridor aturan yang berlaku.
Kemudian khalifah Utsman juga diisukan telah menyerahkan masing-masing
100.000 dirham dari Baitul Mal kepada Al Harits Bin Al Hakkam dan Marwan Bin Al
Hakkam. Desas-desus tersebut pada dasarnya merupakan fitnah belaka. Duduk
persoalan sebenarnya adalah khalifah Utsman mengawinkan seorang puteranya dengan
puteri Al Harits Bin Al Hakkam dengan menyerahkan 100.000 dirham yang berasal dari
harta pribadinya sebagai bantuan. Demikian juga khalifah Utsman telah menikahkan
puterinya yang bernama Ummu Ibban dengan putera Marwan Bin al Hakkam disertai
bantuan dari harta miliknya sejumlah 100.000 dirham.[42]
Dengan demikian terbukti bahwa Khalifah Utsman Bin Affan tidak melalukan
nepotisme dan praktek korupsi selama masa kepemimpinannya. Hal ini sesuai dengan
pengakuan khalifah Utsman sendiri dalam salah satu khotbahnya, beliau menyatakan
sebuah bukti kuat tentang kekayaan yang masih dimilikinya guna membantah isu korupsi
sebagai berikut, “ Sewaktu aku diangkat menjabat khilafah, aku terpandang seorang yang
paling kaya di Arabia, memiliki ribuan domba dan ribuan onta. Dan sekarang ini (setelah
12 tahun menjabat khilafah), manakah kekayaanku itu ? Hanya tinggal ratusan domba
dan dua ekor unta yang aku pergunakan untuk kendaraan pada setiap musim haji”.[43]
Yang perlu kita tegaskan disini bahwa betapapun keras kritik yang dilontarkan
kepada Utsman bin ‘Affan karena kebijakannya dalam memilih para gubemur dan
pembantunya dari kaum kerabatnya (bani Umayyah), kita harus menyadari bahwa
kebijakan tersebut merupakan ijtihad pribadinya.
Dan bersamaan dengan munculnya benih-benih fitnah pada akhir-akhir
pemerintahan Utsman bin ‘Affan, muncul pula nama Abdullah bin Saba'. Peranan Ibnu
Saba' sangat menonjol dalam mengobarkan api fitnah ini. Abdullah bin Saba' adalah
seorang Yahudi berasal dari Yaman. Ia datang ke Mesir pada masa pemerintahan
Utsman bin ‘Affan. Ia menghasut orang untuk membangkang pada Utsman bin ‘Affan
dengan dalih mencintai Ali bin Abu Thalib dan keluarga (ahlul bait) Nabi SAW. Dari sini,
kita mengetahui bahwa kelahiran perpecahan umat Islam menjadi dua kubu: Sunni dan
Syi'ai, dimulai pada periode ini. Perpecahan ini sepenuhnya merupakan buah tangan
Abdullah bin Saba'. Belum lagi penyiksaan dan kekejaman yang dialami oleh Ahlul Bait
atau Syi'ah di tangan pemerintahan Umawiyah dan lainnya.Yang penting, bagaimanapun
kedua peristiwa ini telah masuk ke dalam sejarah, tetapi kita tidak boleh melupakan
realitas lainnya.
Jika dikatakan bahwa terdapat perselisiahan antara Utsman bin Affan dengan Ali
bin Abi Thalib, hal ini tidaklah benar adanya. Seperti telah kita ketahui bahwa Ali bin Abu
Thalib segera membaiat Utsman bin ‘Affan sebagai khalifah, bahkan menurut
kebanyakan ahli sejarah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir,[44] bahwa Ali bin Abu
Thalib adalah orang yang pertama membaiat Utsman bin ‘Affan. Kemudian Ali juga
membantu Utsman untuk membubarkan orang-orang yang akan melakukan
pemberontakan di Madinah[45]. Kita telah mengetahui bagaimana Ali bin Abu Thalib
dengan penuh keikhlasan, kecintaan, dan kemauan yang jujur memberikan nasihat
kepadanya.
Dengan demikian, Ali bin Abu Thalib merupakan pendukung Utsman bin ‘Affan yang
terbaik selama khilafahnya, di samping merupakan pembela terbaiknya tatkala
menghadapi cobaan berat. Ia bersikap tegas dan keras dalam memberikan nasihat
kepadanya di belakang hari, tidak lain dan tidak bukan, hanyalah karena cinta dan ghirah
kepadanya.
Bab III
Penutup

C. Penutup
Khulafa ar-Rasyidin yang ketiga Utsman bin Affan memiliki ciri khusus mulai dari
kepribadian yang dikenal orang sebagai seorang yang pemalu tapi bukan berarti lemah
namun tetap semangat terbukti dengan beberapa prestasi yang dikhususkan dari khalifah
sebelumnya maupun sesudahnya, antara lain telihat dari keberanian dalam menjadikan
standarisasi bacaan Al Qur`an. Dan tetap melanjutkan perluasan daerah keberbagai tempat
yang sebelumnya dikuasai oleh kekuasaan besar yaitu Romawi dan Persia.
Namun semua kebaikan yang dilakukan terkadang masih disalah artikan oleh
beberapa kalangan, hal ini tak terlepas dari perseteruan politik dari pihak yang sejak awal
pengangkatan khalifah Utsman menginginkan Ali yang seharusnya layak menggantikan
Umar. Masih menjadi tanda tanya siapa gerangan dibalik semua makar besar yang berakhir
dengan pembunuhan Utsman, banyak kalangan ahli sejarah mengatakan seorang yang
dahulunya beragama Yahudi bernama Abdullah bin Saba` yang berada dibalik semua ini.
Dalam pemerintahan khalifah Utsman bin Affan terdapat Isu nepotisme. Namun isu
nepotisme Utsman tersebut terbukti tidak benar. Sebab secara kuantitas jumlah pejabat
negara keluarga Utsman dibandingkan dengan yang bukan familinya jelas bukan
mayoritas. Tuduhan nepotisme tersebut setidaknya hanya didasarkan kepada 6 perkara di
atas. Sementara jumlah pejabat publik diluar anggota keluarga tersebut adalah mayoritas,
masing-masing tindakan Utsman telah memiliki rasionalisasi berdasarkan kebutuhan
zaman yang terjadi serta mewakili kebijakan yang seharusnya diambil. Sementara itu
kegagalan pemerintahan Utsman lebih banyak disebabkan faktor stamina dan kondisi
kesehatan beliau. Pada saat diangkat Utsman telah berusia 70 tahun sehingga kurang
leluasa memerintah mengingat kondisi tubuhnya tersebut sehingga pada masa akhir
pemerintahannya beberapa hal kurang dapat diatasi secara memuaskan.
Fitnah besar yang menimpa khalifah Utsman bin Affan ini sebenarnya pernah
dikabarkan oleh Rasulullah SAW semasa beliau masih hidup kepada para sabahat, dan
memang terbukti terjadi. Fitnah tersebut berdampak besar,
menyebabkan perpecahan dikalangan umat Muslim hingga menyebabkan terbunuhnya
Utsman bin Affan. Dibalik itu cobaan besar yang menimpanya Allah telah menjanjikan
kepada Utsman bin Affan surga sebagaimana yang kabarkan Rasulullah SAW.
Sejarah Utsman bin Affan sangat banyak meninggalkan tanda tanya, yang
dikemudian hari pada pemerintahan khalifah setelahnya menjadi sumber dari fitnah
diantara sahabat-sahabat senior. Pelajaran ini sangat berharga mengingat perpecaahan
dalam tubuh umat Islam generasi awal tidak lepas dari propaganda-propaganda yang tidak
menginginkan uamt Islam tetap dalam kejayaan. Wallahu `Alam bishawab
Daftar Pustaka
Buku SKI kelas 10

Al-Bukhari. Muhammad bin Ismail, Shahih Al-Bukhari, kitab al-manaqib


,manaqib Utsman bin Affan. Via Al-Maktabah As-Syamilah, Jild.12
Al-Khani. Ahmad. 2008. Ringkasan Bidayah wan-nihayah. Jakarta: Pustaka Azzam

Al Kibii. Zahiru. 1992. At-Tamaamu Al-Wafaai. Beirut: Ad-Darul Fikru al-‘Arabi.

As-sayuthi. Jalaluddin, Tarikh al-khulafa’, via Al-Maktabah As-Syamilah Jil.1

Djamidin.Taufiq.2009. Tragedi Pembunuhan 3 Khalifah. Yogyakarta: Pinus

Anda mungkin juga menyukai