Kelahiran Beliau :
Beliau dilahirkan di kota Baghdad pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 Hijriyah. Beliau tumbuh
besar di bawah asuhan kasih sayang ibunya, karena bapaknya meninggal dunia saat beliau masih
berumur belia, tiga tahun. Meski beliau anak yatim, namun ibunya dengan sabar dan ulet
memperhatian pendidikannya hingga beliau menjadi anak yang sangat cinta kepada ilmu dan
ulama karena itulah beliau kerap menghadiri majlis ilmu di kota kelahirannya.
Keluarga beliau :
Beliau menikah pada umur 40 tahun dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Beliau
melahirkan dari istri-istrinya anak-anak yang shalih, yang mewarisi ilmunya, seperti Abdullah
dan Shalih. Bahkan keduanya sangat banyak meriwayatkan ilmu dari bapaknya.
Kecerdasan beliau :
Putranya yang bernama Shalih mengatakan, Ayahku pernah bercerita, "Husyaim meninggal dunia
saat saya berusia dua puluh tahun, kala itu saya telah hafal apa yang kudengar darinya".
Abdullah, putranya yang lain mengatakan, Ayahku pernah menyuruhku, "Ambillah kitab
mushannaf Waki’ mana saja yang kamu kehendaki, lalu tanyakanlah yang kamu mau tentang
matan nanti kuberitahu sanadnya, atau sebaliknya, kamu tanya tentang sanadnya nanti kuberitahu
matannya".
Abu Zur’ah pernah ditanya, "Wahai Abu Zur’ah, siapakah yang lebih kuat hafalannya? Anda atau
Imam Ahmad bin Hambal?" Beliau menjawab, "Ahmad". Beliau masih ditanya, "Bagaimana
Anda tahu?" beliau menjawab, "Saya mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum nama-
nama perawi, karena beliau hafal nama-nama perawi tersebut, sedangkan saya tidak mampu
melakukannya". Abu Zur’ah mengatakan, "Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits".
Imam Asy-Syafi’i berkata, "Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits,
Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam
dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam dalam Sunnah".
Ibrahim Al Harbi memujinya, "Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin Hambal seolah Allah
gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan dari berbagai
disiplin ilmu".
Kezuhudannya :
Beliau memakai peci yang dijahit sendiri. Dan kadang beliau keluar ke tempat kerja membawa
kampak untuk bekerja dengan tangannya. Kadang juga beliau pergi ke warung membeli seikat
kayu bakar dan barang lainnya lalu membawa dengan tangannya sendiri. Al Maimuni pernah
berujar, "Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil".
Beliau (Imam Ahmad) mengatakan, "Saya ingin bersembunyi di lembah Makkah hingga saya
tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas".
Al Marrudzi berkata, "Saya belum pernah melihat orang fakir di suatu majlis yang lebih mulia
kecuali di majlis Imam Ahmad, beliau perhatian terhadap orang fakir dan agak kurang
perhatiannya terhadap ahli dunia (orang kaya), beliau bijak dan tidak tergesa-gesa terhadap orang
fakir. Beliau sangat rendah hati, begitu tinggi ketenangannya dan sangat memuka kharismanya".
Beliau pernah bermuka masam karena ada seseorang yang memujinya dengan mengatakan,
"Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas jasamu kepada Islam?" beliau mengatakan,
"Jangan begitu tetapi katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan terhadap Islam atas jasanya
kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!"
Masa Fitnah :
Pemahaman Jahmiyyah belum berani terang-terangan pada masa khilafah Al Mahdi, Ar-Rasyid
dan Al Amin, bahkan Ar-Rasyid pernah mengancam akan membunuh Bisyr bin Ghiyats Al
Marisi yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq. Namun dia terus bersembunyi di
masa khilafah Ar-Rasyid, baru setelah beliau wafat, dia menampakkan kebid’ahannya dan
menyeru manusia kepada kesesatan ini.
Barangsiapa mau menuruti dan tunduk kepada ajaran ini, maka dia selamat dari siksaan dan
penderitaan. Bagi yang menolak dan bersikukuh dengan mengatakan bahwa Al Qur’an
Kalamullah bukan makhluk maka dia akan mencicipi cambukan dan pukulan serta kurungan
penjara.
Karena beratnya siksaan dan parahnya penderitaan banyak ulama yang tidak kuat menahannya
yang akhirnya mengucapkan apa yang dituntut oleh penguasa zhalim meski cuma dalam lisan
saja. Banyak yang membisiki Imam Ahmad bin Hambal untuk menyembunyikan keyakinannya
agar selamat dari segala siksaan dan penderitaan, namun beliau menjawab, "Bagaimana kalian
menyikapi hadits "Sesungguhnya orang-orang sebelum Khabbab, yaitu sabda Nabi Muhammad
ada kalian namun tidak membuatnya berpaling dariyang digergaji kepalanya agamanya". HR.
Bukhari 12/281. lalu beliau menegaskan, "Saya tidak peduli dengan kurungan penjara, penjara
dan rumahku sama saja".
Ketegaran dan ketabahan beliau dalam menghadapi cobaan yang menderanya digambarkan oleh
Ishaq bin Ibrahim, "Saya belum pernah melihat seorang yang masuk ke penguasa lebih tegar dari
Imam Ahmad bin Hambal, kami saat itu di mata penguasa hanya seperti lalat".
Di saat menghadapi terpaan fitnah yang sangat dahsyat dan deraan siksaan yang luar biasa, beliau
masih berpikir jernih dan tidak emosi, tetap mengambil pelajaran meski datang dari orang yang
lebih rendah ilmunya. Beliau mengatakan, "Semenjak terjadinya fitnah saya belum pernah
mendengar suatu kalimat yang lebih mengesankan dari kalimat yang diucapkan oleh seorang
Arab Badui kepadaku, "Wahai Ahmad, jika anda terbunuh karena kebenaran maka anda mati
syahid, dan jika anda selamat maka anda hidup mulia". Maka hatiku bertambah kuat".
Bahkan Imam Adz-Dzahabi berkata, "Demi Allah, beliau dalam fiqih sampai derajat Laits, Malik
dan Asy-Syafi’i serta Abu Yusuf. Dalam zuhud dan wara’ beliau menyamai Fudhail dan Ibrahim
bin Adham, dalam hafalan beliau setara dengan Syu’bah, Yahya Al Qaththan dan Ibnul Madini.
Tetapi orang bodoh tidak mengetahui kadar dirinya, bagaimana mungkin dia mengetahui kadar
orang lain!!
Guru-guru Beliau
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan
puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan
negeri lainnya. Di antara mereka adalah:
1. Ismail bin Ja’far
2. Abbad bin Abbad Al-Ataky
3. Umari bin Abdillah bin Khalid
4. Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami
5. Imam Asy-Syafi’i.
6. Waki’ bin Jarrah.
7. Ismail bin Ulayyah.
8. Sufyan bin ‘Uyainah
9. Abdurrazaq
10. Ibrahim bin Ma’qil.
Murid-murid Beliau :
Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya
juga ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah :
1. Imam Bukhari.
2. Muslim
3. Abu Daud
4. Nasai
5. Tirmidzi
6. Ibnu Majah
7. Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad juga pernah berguru kepadanya.
8. Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal
9. Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal
10. Keponakannya, Hambal bin Ishaq
11. dan lain-lainnya.
Wafat beliau :
Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah menghembuskan nafas terakhirnya di pagi hari
Jum’at bertepatan dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah
beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.
Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun di
antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang
berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada
tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama
Imam Abu Hanifah.
Imam Syafi'i merupakan keturunan dari [[Muththalib bin 'Abd al-Manaf|al-Muththalib]], jadi dia
termasuk ke dalam [[Bani Muththalib]]. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas
bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin
[[Abdulmanaf bin Qushay|Abdulmanaf]] bin [[Qushay bin Kilab|Qushay]] bin Kilab bin Murrah
bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin
Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan
[[Rasulullah]] di [[Abdulmanaf bin Qushay|Abdul-Manaf]].
Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie,
adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa
alihi wasallam .
Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad
shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid,
sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib
radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan
nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat
dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah
saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka
Rasulullah bersabda:
{{cquote|Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal
dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau.|4=HR. Abu
Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 - 66}}
== Masa belajar ==
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke
Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil
Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i
berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut
Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji
sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan
manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih
setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para
Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu
berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari
pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin
Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim,
Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam
bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih
sebagaimana tersebut di atas.
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji
kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i
meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin
Syafi’ dan lain-lain.
Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab
karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat
mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam
Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal
berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah
ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila
datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga
sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak
ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga
menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah
pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi
adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini
juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti
Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak
pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang
disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang
sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai
kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai
Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim
bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
=== Di Yaman ===
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet
Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf
Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota
Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan,
seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan
Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin
Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun
195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya,
penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya
(madzhab qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru
(madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji
sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan
manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih
setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para
Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu
berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari
pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin
Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim,
Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam
bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih
sebagaimana tersebut di atas.
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji
kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i
meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin
Syafi’ dan lain-lain.
Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab
karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat
mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam
Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal
berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah
ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila
datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga
sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak
ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga
menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah
pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi
adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini
juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti
Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak
pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang
disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang
sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai
kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai
Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim
bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
Di Yaman
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet
Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf
Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota
Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan,
seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan
Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin
Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.
[sunting] Di Mesir
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun
195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya,
penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya
(madzhab qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru
(madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.
[sunting] Ar-Risalah
Salah satu karangannya adalah “Ar risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al
Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak,
imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam
Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran
dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan
Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli
fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat
amanah (dipercaya), ‘adaalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan,
tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan
hidupnya saja masih kurang lengkap,”
Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga tidak mengambil Istihsan
(menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah,
perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan
maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah
nashirussunnah (pembela sunnah),”
[sunting] Al-Hujjah
Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad
bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.
[sunting] Al-Umm
Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh
pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i
mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku,
maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”
Mazhab Syafi'i (bahasa Arab: شافعية, Syaf'iyah) adalah mazhab fiqih yang dicetuskan oleh
Muhammad bin Idris asy-Syafi'i atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i.[1][2]
Mazhab ini kebanyakan dianut para penduduk Mesir bawah, Arab Saudi bagian barat, Suriah,
Indonesia, Malaysia, Brunei, pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, dan Bahrain.
== Sejarah ==
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Syafi'i, yang hidup di zaman pertentangan antara
aliran ''Ahlul Hadits'' (cenderung berpegang pada teks hadist) dan ''Ahlur Ra'yi'' (cenderung
berpegang pada akal pikiran atau ''ijtihad''). Imam Syafi'i belajar kepada [[Imam Malik]] sebagai
tokoh Ahlul Hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlur Ra'yi
yang juga murid [[Imam Abu Hanifah]].
Imam Syafi'i kemudian merumuskan aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada
di antara kedua kelompok tersebut. Imam Syafi'i menolak ''Istihsan'' dari Imam Abu Hanifah
maupun ''Mashalih Mursalah'' dari Imam Malik. Namun demikian Mazhab Syafi'i menerima
penggunaan qiyas secara lebih luas ketimbang Imam Malik. Meskipun berbeda dari kedua aliran
utama tersebut, keunggulan Imam Syafi'i sebagai ulama [[fiqh]], [[ushul fiqh]], dan [[hadits]] di
zamannya membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut; dan kealimannya diakui oleh
berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya.
Dasar-dasar
Dasar-dasar Mazhab Syafi'i dapat dilihat dalam kitab ushul fiqh Ar-Risalah dan kitab fiqh al-
Umm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi'i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya
serta beberapa contoh merumuskan hukum far'iyyah (yang bersifat cabang). Dasar-dasar mazhab
yang pokok ialah berpegang pada hal-hal berikut.
1. Al-Quran, tafsir secara lahiriah, selama tidak ada yang menegaskan bahwa yang
dimaksud bukan arti lahiriahnya. Imam Syafi'i pertama sekali selalu mencari alasannya
dari Al-Qur'an dalam menetapkan hukum Islam.
2. Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan rujukan dari Al-
Quran. Imam Syafi'i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki Nashir
As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).
3. Ijma' atau kesepakatan para Sahabat Nabi, yang tidak terdapat perbedaan pendapat dalam
suatu masalah. Ijma' yang diterima Imam Syafi'i sebagai landasan hukum adalah ijma'
para sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu
hukum; karena menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.
4. Qiyas yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga
ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi'i menolak dasar istihsan dan istislah
sebagai salah satu cara menetapkan hukum Islam.
Imam Syafi'i pada awalnya pernah tinggal menetap di Baghdad. Selama tinggal di sana ia
mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Qadim ("pendapat yang
lama").
Ketika kemudian pindah ke Mesir karena munculnya aliran Mu’tazilah yang telah berhasil
memengaruhi kekhalifahan, ia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan yang
sebelumnya ditemui di Baghdad. Ia kemudian mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru yang berbeda,
yang biasa disebut dengan istilah Qaul Jadid ("pendapat yang baru").
Imam Syafi'i berpendapat bahwa tidak semua qaul jadid menghapus qaul qadim. Jika tidak
ditegaskan penggantiannya dan terdapat kondisi yang cocok, baik dengan qaul qadim ataupun
dengan qaul jadid, maka dapat digunakan salah satunya. Dengan demikian terdapat beberapa
keadaan yang memungkinkan kedua qaul tersebut dapat digunakan, dan keduanya tetap dianggap
berlaku oleh para pemegang Mazhab Syafi'i.
[sunting] Penyebaran
Mazhab Syafi'i (warna Biru tua) dominan di Afrika Timur, dan di sebagian Jazirah Arab dan Asia
Tenggara.
Penyebar-luasan pemikiran Mazhab Syafi'i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Mazhab
Maliki[3], yang banyak dipengaruhi oleh kekuasaan kekhalifahan. Pokok pikiran dan prinsip dasar
Mazhab Syafi'i terutama disebar-luaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Murid-murid
utama Imam Syafi'i di Mesir, yang menyebar-luaskan dan mengembangkan Mazhab Syafi'i pada
awalnya adalah:
[sunting] Peninggalan
Imam Syafi'i terkenal sebagai perumus pertama metodologi hukum Islam. Ushul fiqh (atau
metodologi hukum Islam), yang tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat, baru lahir setelah
Imam Syafi'i menulis Ar-Risalah. Mazhab Syafi'i umumnya dianggap sebagai mazhab yang
paling konservatif di antara mazhab-mazhab fiqh Sunni lainnya. Dari mazhab ini berbagai ilmu
keislaman telah bersemi berkat dorongan metodologi hukum Islam yang dikembangkan para
pendukungnya.
Karena metodologinya yang sistematis dan tingginya tingkat ketelitian yang dituntut oleh
Mazhab Syafi'i, terdapat banyak sekali ulama dan penguasa di dunia Islam yang menjadi
pendukung setia mazhab ini. Di antara mereka bahkan ada pula yang menjadi pakar terhadap
keseluruhan mazhab-mazhab Sunni di bidang mereka masing-masing. Saat ini, Mazhab Syafi'i
diperkirakan diikuti oleh 28% umat Islam sedunia, dan merupakan mazhab terbesar kedua dalam
hal jumlah pengikut setelah Mazhab Hanafi.
1. ^ Hamid, Mohd. Liki, (2006), Pengajian Tamadun Islam, ed. ke-2, Malaysia: PTS
Professional, ISBN 978-983-3585-65-6
2. ^ Yilmaz, Ihsan, (2005), Muslim laws, politics and society in modern nation states:
dynamic legal pluralisms in England, Turkey, and Pakistan, Ashgate Publishing
Ltd.,ISBN 0-7546-4389-1.
3. ^ Bearman, Peri J., Bearman, Peri, Peters, Rudolph, Vogel, Frank E., (2005), The Islamic
school of law: evolution, devolution, and progress, Islamic Legal Studies Program,
Harvard Law School, ISBN 978-0-674-01784-9.
4. ^ Al-Salam, Ibn 'Abd, Kabbani, Shaykh Muhammad Hisham, Haddad, Gibril Fouad,
(1999), The Belief of the People of Truth, ISCA, ISBN 1-930409-02-8.
[sunting] Referensi
1. Abu Zahrah, Muhammad, Imam Syafi'i: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah
Akidah, Politik & Fiqih, Penerjamah: Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman,
Penyunting: Ahmad Hamid Alatas, Cet.2 (Jakarta: Lentera, 2005).
2. Al-Qaththan, Syaikh Manna', Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, Penerjemah: H. Aunur
Rafiq El-Mazni, Lc., MA., Penyunting: Abduh Zulfidar Akaha, Lc., Cet.1 (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2006).
3. Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Ed.1, Cet.12 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001).
4. Imam Muslim, Terjemah Hadits Shahih Muslim, Penerjemah: Ahmad Sunarto (Bandung:
Penerbit "Husaini" Bandung, 2002).
5. Al Imam Al Bukhari, Terjemah Hadits Shahih Bukhari, Penerjemah: Umairul Ahbab
Baiquni dan Ahmad Sunarto (Bandung: Penerbit "Husaini" Bandung, tanpa tahun).
Imam Syafi'i
Mazhab Hanafi
Mazhab Maliki
Mazhab Hambali
[sunting]
Mazhab Hanafi ialah salah satu mazhab fiqh dalam Islam Sunni. Mazhab ini didirikan oleh
Imam Abu Hanifah yang bernama lengkap Abu Hanifah bin Nu'man bin Tsabit Al-Taimi Al-
Kufi, dan terkenal sebagai mazhab yang paling terbuka kepada ide modern. Mazhab ini
diamalkan terutama sekali di kalangan orang Islam Sunni Mesir, Turki, anak-benua India,
Tiongkok dan sebagian Afrika Barat, walaupun pelajar Islam seluruh dunia belajar dan melihat
pendapatnya mengenai amalan Islam. Mazhab Hanafi merupakan mazhab terbesar dengan 30%
pengikut.
Dasar-dasar Abu Hanifah dalam Menetapkan suatu hukum fiqh bisa dilihat dari urutan berikut:
1. Al-Qur'an
2. Sunnah, dimana beliau selalu mengambil sunnah yang mutawatir/masyhur. Beliau
mengambil sunnah yang diriwayatkan secara ahad hanya bila rawi darinya tsiqah.
3. Pendapat para Sahabat Nabi (Atsar)
4. Qiyas
5. Istihsan
6. Ijma' para ulama
7. Urf masyarakat muslim
Abu Hanifah mempunyai murid-murid yang meneruskan mazhab beliau. Di antara murid-murid
tersebut adalah:
Begitu pun fuqaha'-fuqaha' (Ulama ahli Fiqh) yang mengikuti mazhab Imam Hanafi. Di antara
mereka adalah:
Kehadiran mazhab-mazhab ini mungkin tidak bisa dilihat sebagai perbedaan mutlak seperti
dalam agama Kristen (Protestan dan Katolik) dan beberapa agama lain. Sebaliknya ini merupakan
perbedaan melalui pendapat logika dan ide dalam memahami Islam. Perkara pokok seperti akidah
atau tauhid masih sama dan tidak berubah.
Mazhab (bahasa Arab: مذهب, madzhab) adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang
dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu
dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para
ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk
setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya
sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-
prinsip dan kaidah-kaidah.[1]
Daftar isi
[sembunyikan]
Mazhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang
ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih
sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'. Ini adalah pengertian mazhab secara umum, bukan
suatu mazhab khusus.[1]
Mazhab yang digunakan secara luas saat ini antara lain mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab
Syafi'i dan mazhab Hambali dari kalangan Sunni. Sementara kalangan Syi'ah memiliki mazhab
Ja'fari, Ismailiyah dan Zaidiyah.
[sunting] Sunni
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunni
Sunni atau lebih dikenal dengan Ahlus-Sunnah wal Jama'ah pada awal mula perkembangannya
banyak memiliki aliran, ada beberapa sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in yang dikenal memiliki
aliran masing-masing. Sampai kemudian terdapat empat mazhab yang paling banyak diikuti oleh
Muslim Sunni. Di dalam keyakinan Sunni, empat mazhab yang mereka miliki valid untuk diikuti,
perbedaan yang ada pada setiap mazhab tidak bersifat fundamental.
[sunting] Hanafi
Didirikan oleh Imam Abu Hanifah, Mazhab Hanafi adalah yang paling dominan di dunia Islam
(sekitar 45%), penganutnya banyak terdapat di Asia Selatan (Pakistan, India, Bangladesh, Sri
Lanka, dan Maladewa), Mesir bagian Utara, separuh Irak, Syria, Libanon dan Palestina
(campuran Syafi'i dan Hanafi), Kaukasia (Chechnya, Dagestan).
[sunting] Maliki
Didirikan oleh Imam Malik, diikuti oleh sekitar 25% muslim di seluruh dunia. Mazhab ini
dominan di negara-negara Afrika Barat dan Utara. Mazhab ini memiliki keunikan dengan
menyodorkan tatacara hidup penduduk Madinah sebagai sumber hukum karena Nabi Muhammad
hijrah, hidup, dan meninggal di sana; dan kadang-kadang kedudukannya dianggap lebih tinggi
dari hadits.
[sunting] Syafi'i
Dinisbatkan kepada Imam Syafi'i memiliki penganut sekitar 28% muslim di dunia. Pengikutnya
tersebar terutama di Indonesia, Turki, Irak, Syria, Iran, Mesir, Somalia, Yaman, Thailand,
Singapura, Filipina, Sri Lanka dan menjadi mazhab resmi negara Malaysia dan Brunei.
[sunting] Hambali
Dimulai oleh para murid Imam Ahmad bin Hambal. Mazhab ini diikuti oleh sekitar 5% muslim
di dunia dan dominan di daerah semenanjung Arab. Mazhab ini merupakan mazhab yang saat ini
dianut di Arab Saudi.
[sunting] Syi'ah
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Syi'ah
Syi'ah atau lebih dikenal lengkapnya dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali pada awal mula
perkembangannya juga banyak memiliki aliran. Namun demikian hanya tiga aliran yang masih
ada sampai sekarang, yaitu Itsna 'Asyariah (paling banyak diikuti), Ismailiyah dan Zaidiyah. Di
dalam keyakinan utama Syi'ah, Ali bin Abu Thalib dan anak-cucunya dianggap lebih berhak
untuk memegang tampuk kepemimpinan sebagai khalifah dan imam bagi kaum muslimin. Di
antara ketiga mazhab Syi'ah terdapat perbedaan dalam hal siapa saja yang menjadi imam dan
pengganti para imam tersebut pada saat ini.
[sunting] Ja'fari
Mazhab Ja'fari atau Mazhab Dua Belas Imam (Itsna 'Asyariah) adalah mazhab dengan penganut
yang terbesar dalam Muslim Syi'ah. Dinisbatkan kepada Imam ke-6, yaitu Ja'far ash-Shadiq bin
Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Keimaman kemudian berlanjut yaitu
sampai Muhammad al-Mahdi bin Hasan al-Asykari bin Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawad bin
Ali ar-Ridha bin Musa al-Kadzim bin Ja'far ash-Shadiq. Mazhab ini menjadi mazhab resmi dari
Negara Republik Islam Iran.
[sunting] Ismailiyah
Mazhab Ismaili atau Mazhab Tujuh Imam berpendapat bahwa Ismail bin Ja'far adalah Imam
pengganti ayahnya Jafar as-Sadiq, bukan saudaranya Musa al-Kadzim. Dinisbatkan kepada
Ismail bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Garis
Imam Ismailiyah sampai ke Imam-imam Aga Khan, yang mengklaim sebagai keturunannya.
[sunting] Zaidiyah
Mazhab Zaidi atau Mazhab Lima Imam berpendapat bahwa Zaid bin Ali merupakan pengganti
yang berhak atas keimaman dari ayahnya Ali Zainal Abidin, ketimbang saudara tirinya,
Muhammad al-Baqir. Dinisbatkan kepada Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Setelah
kematian imam ke-4, Ali Zainal Abidin, yang ditunjuk sebagai imam selanjutnya adalah anak
sulung beliau yang bernama Muhammad al-Baqir, yang kemudian diteruskan oleh Ja'far ash-
Shadiq. Zaid bin Ali menyatakan bahwa imam itu harus melawan penguasa yang zalim dengan
pedang. Setelah Zaid bin Ali syahid pada masa Bani Umayyah, ia digantikan anaknya Yahya bin
Zaid.
[sunting] Khawarij
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Khawarij
Mazhab Khawārij mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali
bin Abi Thalib, lalu menolaknya karena melakukan takhrif (perdamaian} dengan Muawiyah bin
Abu Sufyan yang mereka anggap zalim. Awalnya mazhab ini berpusat di daerah Irak bagian
selatan. Kaum Khawārij umumnya fanatik dan keras dalam membela mazhabnya, serta memiliki
pemahaman tekstual Al-Quran yang berbeda dari Sunni dan Syi'ah.
[sunting] Lain-lain
Mazhab agama Islam yang paling banyak dianut di Indonesia adalah Mazhab Syafi'i
Pengertian Mazhab dalam Islam tidak serupa dengan denominasi dalam Kristen,
melainkan satu tingkat di bawahnya. Denominasi Katolik-Protestan-Ortodoks lebih setara
dengan denominasi (firqah) Sunni-Syi'ah dalam Islam.
Istilah Mazhab secara umum dalam bahasa Indonesia juga digunakan untuk merujuk
kepada suatu aliran tertentu dalam suatu disiplin ilmu atau filsafat, misalnya Mazhab
Frankfurt dengan tokoh-tokoh pemikirnya Theodor Adorno, Max Horkheimer, Walter
Benjamin, Herbert Marcuse, Jürgen Habermas, dll.
[sunting] Referensi
[sunting]
Mazhab Maliki (bahasa Arab: )مالكيةadalah satu dari empat mazhab fiqih atau hukum Islam
dalam Sunni. Dianut oleh sekitar 15% umat Muslim, kebanyakan di Afrika Utara dan Afrika
Barat. Mazhab ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas atau bernama lengkap Malik bin Anas bin
Malik bin Abi Amirul Ashbani.
Mazhab ini kebanyakan dianut oleh penduduk Tunisia, Maroko, al-Jazair, Mesir Atas dan
beberapa daerah taslim Afrika.
1. al-Qur-an
2. Hadits marfu'
3. Fatwa sahabat dan mereka yang lebih dekat pada al-Qur-an dan hadits, di antara fatwa
yang berlawanan
4. Hadits mursal
5. Qiyas
Mazhab ini dianut kebanyakan penduduk Hejaz, di pedalaman Oman dan beberapa tempat
sepanjang Teluk Persia dan di beberapa kota Asia Tengah
Jul 10, '07 2:04 AM
Biografi Imam Syafi'i
untuk semuanya
Kategori: Lainnya
Imam Asy-Syafi`i Imam Ahlus Sunnah
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus
tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta
terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang
pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah
menakdirkan Imam Asy-Syafi`i”.
NASAB BELIAU
Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin
Syaafi’ bin As-Saai’b bin ‘Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al- Muththalib bin Abdu
Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Nasab beliau bertemu dengan
nasab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pada Abdu Manaf, sedangkan Al-Muththalib adalah
saudaranya Hasyim (bapaknya Abdul Muththalib).
Beliau dilahirkan di desa Gaza, masuk kota ‘Asqolan pada tahun 150 H. Saat beliau dilahirkan ke
dunia oleh ibunya yang tercinta, bapaknya tidak sempat membuainya, karena ajal Allah telah
mendahuluinya dalam usia yang masih muda. Lalu setelah berumur dua tahun, paman dan ibunya
membawa pindah ke kota kelahiran nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, Makkah Al
Mukaramah.
PERTUMBUHANNYA
Beliau tumbuh dan berkembang di kota Makkah, di kota tersebut beliau ikut bergabung bersama
teman-teman sebaya belajar memanah dengan tekun dan penuh semangat, sehingga
kemampuannya mengungguli teman-teman lainnya. Beliau mempunyai kemampuan yang luar
biasa dalam bidang ini, hingga sepuluh anak panah yang dilemparkan, sembilan di antaranya
tepat mengenai sasaran dan hanya satu yang meleset.
Setelah itu beliau mempelajari tata bahasa arab dan sya’ir sampai beliau memiliki kemampuan
yang sangat menakjubkan dan menjadi orang yang terdepan dalam cabang ilmu tersebut.
Kemudian tumbuhlah di dalam hatinya rasa cinta terhadap ilmu agama, maka beliaupun
mempelajari dan menekuni serta mendalami ilmu yang agung tersebut, sehingga beliau menjadi
pemimpin dan Imam atas orang-orang
KECERDASANNYA
Kecerdasan adalah anugerah dan karunia Allah yang diberikan kepada hambanya sebagai nikmat
yang sangat besar. Di antara hal-hal yang menunjukkan kecerdasannya:
1. Kemampuannya menghafal Al-Qur’an di luar kepala pada usianya yang masih belia, tujuh
tahun.
2. Cepatnya menghafal kitab Hadits Al Muwathta’ karya Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin
Anas pada usia sepuluh tahun.
3. Rekomendasi para ulama sezamannya atas kecerdasannya, hingga ada yang mengatakan bahwa
ia belum pernah melihat manusia yang lebih cerdas dari Imam Asy-Syafi`i.
4. Beliau diberi wewenang berfatwa pada umur 15 tahun.
Muslim bin Khalid Az-Zanji berkata kepada Imam Asy-Syafi`i: “Berfatwalah wahai Abu
Abdillah, sungguh demi Allah sekarang engkau telah berhak untuk berfatwa.”
MENUTUT ILMU
Beliau mengatakan tentang menuntut ilmu, “Menuntut ilmu lebih afdhal dari shalat sunnah.” Dan
yang beliau dahulukan dalam belajar setelah hafal Al-Qur’an adalah membaca hadits. Beliau
mengatakan, “Membaca hadits lebih baik dari pada shalat sunnah.” Karena itu, setelah hafal Al-
Qur’an beliau belajar kitab hadits karya Imam Malik bin Anas kepada pengarangnya langsung
pada usia yang masih belia.
GURU-GURU BELIAU
Beliau mengawali mengambil ilmu dari ulama-ulama yang berada di negerinya, di antara mereka
adalah:
Demikian juga beliau mengambil ilmu dari ulama-ulama Madinah di antara mereka adalah:
1.Muhammad bin Al Hasan, ulamanya bangsa Irak, beliau bermulazamah bersama ulama
tersebut, dan mengambil darinya ilmu yang banyak.
2.Ismail bin Ulayah.
3.Abdulwahab Ats-Tsaqafy, serta yang lainnya.
MURID-MURID BELIAU
Beliau mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam
umat islam, yang paling menonjol adalah:
1. Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan
kesepakatan kaum muslimin.
2. Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani
3. Ishaq bin Rahawaih,
4. Harmalah bin Yahya
5. Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi
6. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali.
KARYA BELIAU
Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi,
yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu beliau banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan
tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang
ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, beliau
menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga beliau
menulis kitab Jima’ul Ilmi.
“Barangsiapa yang mencari ridha Allah meski dengan dibenci manusia, maka Allah akan ridha
dan akhirnya manusia juga akan ridha kepadanya.” (HR. At-Tirmidzi 2419 dan dishashihkan oleh
Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ 6097).
Begitulah keadaan para Imam Ahlus Sunnah, mereka menapaki kehidupan ini dengan
menempatkan ridha Allah di hadapan mata mereka, meski harus dibenci oleh manusia. Namun
keridhaan Allah akan mendatangkan berkah dan manfaat yang banyak. Imam Asy-Syafi`i yang
berjalan dengan lurus di jalan-Nya, menuai pujian dan sanjungan dari orang-orang yang utama.
Karena keutamaan hanyalah diketahui oleh orang-orang yang punya keutamaan pula.
Qutaibah bin Sa`id berkata: “Asy-Syafi`i adalah seorang Imam.” Beliau juga berkata, “Imam Ats-
Tsauri wafat maka hilanglah wara’, Imam Asy-Syafi`i wafat maka matilah Sunnah dan apa bila
Imam Ahmad bin Hambal wafat maka nampaklah kebid`ahan.”
Imam Asy-Syafi`i berkata, “Aku di Baghdad dijuluki sebagai Nashirus Sunnah (pembela Sunnah
Rasulullah).”
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Asy-Syafi`i adalah manusia yang paling fasih di zamannya.”
Ishaq bin Rahawaih berkata, “Tidak ada seorangpun yang berbicara dengan pendapatnya -
kemudian beliau menyebutkan Ats-Tsauri, Al-Auzai, Malik, dan Abu Hanifah,- melainkan Imam
Asy-Syafi`i adalah yang paling besar ittiba`nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, dan
paling sedikit kesalahannya.”
Abu Daud As-Sijistani berkata, “Aku tidak mengetahui pada Asy-Syafi`i satu ucapanpun yang
salah.”
Ibrahim bin Abdul Thalib Al-Hafidz berkata, “Aku bertanya kepada Abu Qudamah As-Sarkhasi
tentang Asy-Syafi`i, Ahmad, Abu Ubaid, dan Ibnu Ruhawaih. Maka ia berkata, “Asy-Syafi`i
adalah yang paling faqih di antara mereka.”
Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman
Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah
aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala.
Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, juga tidak
menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan
dalam masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al-
Qur’an dan sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada
umatnya. Tidak boleh bagi seorang pun untuk menolaknya, karena Al-Qur’an telah turun
dengannya (nama dan sifat Allah) dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu. Jika ada
yang menyelisihi demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka dia kafir. Adapun jika belum
tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya. Karena ilmu tentang Asma dan Sifat Allah
tidak dapat digapai dengan akal, teori dan pikiran. “Kami menetapkan sifat-sifat Allah dan kami
meniadakan penyerupaan darinya sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya. Allah berfirman,
“Tidak ada yang menyerupaiNya sesuatu pun, dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Dalam masalah Al-Qur’an, beliau Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Al-Qur’an adalah kalamulah,
barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir.”
Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits
yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.”
Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi shalallahu a’laihi wassalam maka itu adalah
pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku.”
Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan
ucapanku.”
Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i, tidak pernah terdengar sedikitpun
beliau bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan
beliau benci kepada Ahlil Kalam dan Ahlil Bid’ah.”
Beliau bicara tentang Ahlil Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin ‘Ulayyah,
“Sesungguhnya Ibrahim bin ‘Ulayyah sesat.”
Imam Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam dipukul dengan pelepah
pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung seraya diteriaki, “Ini balasan
orang yang meninggalkan kitab dan sunnah, dan beralih kepada ilmu kalam.”
“Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.”
WAFAT BELIAU
Beliau wafat pada hari Kamis di awal bulan Sya’ban tahun 204 H dan umur beliau sekita 54
tahun (Siyar 10/76). Meski Allah memberi masa hidup beliau di dunia 54 tahun, menurut
anggapan manusia, umur yang demikian termasuk masih muda. Walau demikian, keberkahan dan
manfaatnya dirasakan kaum muslimin di seantero belahan dunia, hingga para ulama mengatakan,
“Imam Asy-Syafi`i diberi umur pendek, namun Allah menggabungkan kecerdasannya dengan
umurnya yang pendek.”
“Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki
halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai,
tidak ada jalan untuk selamat dari (omongan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-
hal yang bermanfaat bagimu”.
Kategori: Lainnya
Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri Irak,
salah satu imam dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah seorang yang mulia dari
kalangan ulama dan salah satu imam dari empat imam yang memiliki madzhab.
Nasab dan Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi
Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan
bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama
berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad
bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam.
Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya
lagi mengatakan dari Babilonia.
Perkembangannya
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah
pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada
dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah
subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa
ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain
yang berada di rumah Amr bin Harits.
Abu Hanifah itu tinggi badannya sedang, memiliki postur tubuh yang bagus, jelas dalam
berbicara, suaranya bagus dan enak didengar, bagus wajahnya, bagus pakaiannya dan selalu
memakai minyak wangi, bagus dalam bermajelis, sangat kasih sayang, bagus dalam pergaulan
bersama rekan-rekannya, disegani dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak berguna.
Beliau disibukkan dengan mencari atsar/hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari hal itu.
Dan beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan dalam
permasalahan-permasalahan yang samar/sulit maka kepada beliau akhir penyelesaiannya.
Beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya,
beliau juga belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan
syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin
Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim,
Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab
Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan
bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat.
Beliau pernah bercerita, tatkala pergi ke kota Bashrah, saya optimis kalau ada orang yang
bertanya kepadaku tentang sesuatu apapun saya akan menjawabnya, maka tatkala diantara
mereka ada yang bertanya kepadaku tentang suatu masalah lantas saya tidak mempunyai
jawabannya, maka aku memutuskan untuk tidak berpisah dengan Hamad sampai dia meninggal,
maka saya bersamanya selama 10 tahun.
Pada masa pemerintahan Marwan salah seorang raja dari Bani Umayyah di Kufah, beliau
didatangi Hubairoh salah satu anak buah raja Marwan meminta Abu Hanifah agar menjadi Qodhi
(hakim) di Kufah akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut, maka beliau dihukum cambuk
sebanyak 110 kali (setiap harinya dicambuk 10 kali), tatkala dia mengetahui keteguhan Abu
Hanifah maka dia melepaskannya.
Adapun orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah
sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad
diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-
Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin
Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh binn Abdurrahman al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah,
Hamzah temannya penjual minyak wangi, Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai,
Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin
Muhammad al-Jurjani, Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim,
Isa bin Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan
Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin
Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun,
Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu Yusuf, dan lain-lain.
Penilaian para ulama terhadap Abu Hanifah
Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
1. Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan
hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dan dalam
waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dan dia
juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh
dengan berdusta, …”.
2. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak menolong saya
melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”. Dan
beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih”. Dan beliau juga pernah
berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh
dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah
meskipun kepada musuhnya’ kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang
paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau juga
berkata, “Aku dating ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling wara’ di kota
Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “Apabila
atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian imam Malik berpendapat,
Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah
Abu Hanifah … dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya”.
3. Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang
berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”. Beliau
juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-
tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”.
4. Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam
masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”
5. Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara’-
nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara,
menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari harta penguasa”. Qois bin
Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.
6. Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah swt, tidaklah kami
mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak
mengambil pendapatnya”.
7. Hafsh bin Ghiyats berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam
dari pada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil tentangnya”.
8. Al-Khuroibi berkata, “Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang
pendengki atau orang yang jahil”.
9. Sufyan bin Uyainah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah
termasuk orang yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.
Syaikh Al-Albani berkata, “Maka apabila demikian perkataan para imam terhadap orang yang
tidak mengetahui dalil mereka. maka ketahuilah! Apakah perkataan mereka terhadap orang yang
mengetahui dalil yang menyelisihi pendapat mereka, kemudian dia berfatwa dengan pendapat
yang menyelisishi dalil tersebut? maka camkanlah kalimat ini! Dan perkataan ini saja cukup
untuk memusnahkan taqlid buta, untuk itulah sebaigan orang dari para masyayikh yang diikuti
mengingkari penisbahan kepada Abu Hanifah tatkala mereka mengingkari fatwanya dengan
berkata “Abu Hanifah tidak tahu dalil”!.
Berkata Asy-sya’roni dalam kitabnya Al-Mizan 1/62 yang ringkasnya sebagai berikut,
“Keyakinan kami dan keyakinan setiap orang yang pertengahan (tidak memihak) terhadap Abu
Hanifah, bahwa seandainya dia hidup sampai dengan dituliskannya ilmu Syariat, setelah para
penghafal hadits mengumpulkan hadits-haditsnya dari seluruh pelosok penjuru dunia maka Abu
Hanifah akan mengambil hadits-hadits tersebut dan meninggalkan semua pendapatnya dengan
cara qiyas, itupun hanya sedikit dalam madzhabnya sebagaimana hal itu juga sedikit pada
madzhab-madzhab lainnya dengan penisbahan kepadanya. Akan tetapi dalil-dalil syari terpisah-
pesah pada zamannya dan juga pada zaman tabi’in dan atbaut tabiin masih terpencar-pencar
disana-sini. Maka banyak terjadi qiyas pada madzhabnya secara darurat kalaudibanding dengan
para ulama lainnya, karena tidak ada nash dalam permasalahan-permasalahan yang diqiyaskan
tersebut. berbeda dengan para imam yang lainnya, …”. Kemudia syaikh Al-Albani mengomentari
pernyataan tersebut dengan perkataannya, “Maka apabila demikian halnya, hal itu merupakan
udzur bagi Abu Hanifah tatkala dia menyelisihi hadits-hadits yang shahih tanpa dia sengaja – dan
ini merupaka udzur yang diterima, karena Allah tidak membebani manusia yang tidak
dimampuinya -, maka tidak boleh mencela padanya sebagaimana yang dilakukan sebagian orang
jahil, bahkan wajib beradab dengannya karena dia merupakan salah satu imam dari imam-imam
kaum muslimin yang dengan mereka terjaga agama ini. …”.
c. Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah
yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.
Wafatnya
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur
yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim),
akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjahui harta
dan kedudukan dari sulthan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan
wafat dalam penjara.
Dan beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan
banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.
(diambil dari majalah Fatawa)
Daftar Pustaka:
1. Tarikhul Baghdad karya Abu Bakar Ahmad Al-Khatib Al-Baghdadi cetakan Dar al-Kutub
Ilmiyah Beirut
2. Siyarul A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-
Dzahabi cetakan ke - 7 terbitan Dar ar-Risalah Beirut
3. Tadzkiratul Hufazh karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-
Dzahabi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
4. Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir cetakan Maktabah Darul Baz Beirut
5. Kitabul Jarhi wat Ta’dil karya Abu Mumahhan Abdurrahman bin Abi Hatim bin Muhammad
Ar-Razi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
6. Shifatu Shalatin Nabi karya Syaikh Nashirudin Al-Albani cetakan Maktabah Al-Ma’arif
Riyadh
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Anas bin Al Harits bin
Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin Al Harits Al Ashbahiy Al Humairiy. Nasabnya berakhir pada
Ya'rib bin Yasyjub bin Qaththan.
Datuknya yg juga bernama Malik bin Anas termasuk seorang tabi'in besar dan salah satu yg ikut
memikul Khalifah Utsman ke kuburnya.
Datuk kepada datuknya, Anas, adalah seorang sahabat agung, yg selalu mengikuti Rasulullah
SAW dalam semua peperangan kecuali perang Badar.
Ibunya bernama Al Aliyah binti Syariek Al Asadiyah. Namun, ada juga yg mengatakan ibunya
adalah Thulaihah, bekas budak Ubaidullah bin Ma'mar.
Imam Malik ra. lahir di Madinah Al Munawaroh pada tahun 95 H. Disana beliau menulis
kitabnya Al-Muwaththo'. Beliau menimba ilmu dari 100 orang guru lebih. Beliau hidup selama
84 tahun, wafat pada tahun 179 H dan dimakamkan di Baqie.
Beliau meriwayatkan hadis dari sejumlah besar Tabi'ien dan Tabi'ut Tabi'ien, diantaranya : Nafi'
bekas budak Ibn Umar, Ibn Syihab Az Zuhri, Abu Az Zanad, Abdurrahman bin Al Qasim, Ayyub
As Sakhtiyani, Yahya bin Sa'id Al Anshari, Aisyah binti Sa'ad bin Abi Waqqash, Zaid bin Aslam,
Humaid Ath Thawiel, dan Hisyam bin Urwah.
Sebaliknya, tidak sedikit guru2nya yg meriwayatkan hadis dari beliau sesudah itu, seperti Az
Zuhri dan Yahya bin Sa'id Al Anshari. Cukup banyak perawi yg meriwayatkan hadis dari beliau.
Al Hafidh Abu Bakar Al Khatib Al Baghdadi menulis sebuah kitab tentang para perawi yg
meriwayatkan dari Imam Malik. Dalam kitab tersebut, Al Baghdadi menyebutkan hampir 1000
orang perawi. Diantara tokoh2 yg meriwayatkan hadis dari beliau : Sufyan Ats Tsauri, Abdullah
bin AL Mubarak, Abdurrahman Al Auza'i, Abu Hanifah, Asy Syafi'i, dll.
3. Kedudukannya
4. Al-Muwwaththo'
Imam Malik menulis kitabnya Al-Muwwaththo' selama 40 tahun. Selama kurun waktu tersebut,
kitab itu ditunjukkan ke sekitar 75 orang ulama fiqh Madinah.
Al Muwwaththo' memuat 6000 hadis musnad (sanad bersambung sampai ke Nabi SAW/ Marfu'),
222 hadis mursal (sanad hanya sampai sahabat), 613 hadis mauquf (sanad hanya sampai tabi'ien),
dan 285 makalah Tabi'ien.
Fatwa dan nasihatbesar dari beliau agar berpegang teguh pada Sunnah Nabi antara lain :
" Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah
pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah maka ambillah, dan bila tidak sesuai
dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah."
" Siapapun boleh diambil dan ditolak perkataannya, kecuali Nabi shallalhu'alaihi wasallam
sendiri."
- Beliau termasuk bahagian dari sanad-sanad emas hadits-hadits Al-Imam Bukhary selain Imam
Nafi'.
- Al-Imam Syafi'i murid besar beliau sebagai perhargaan yang tinggi kepada Imam Malik , beliau
mengatakan "
Imam Malik adalah bahagian dari hujjah Allah di muka bumi"
- Kemudian mengenai Kitab Al-Muwatha' telah banyak disyarahkan oleh para 'ulama generasi
berikutnya.
Dan yang paling mu'tabar adalah Tanwirul Hawalik karya Al-Hafidz As-Suyuthi . Yang di
dalamnya hadits-haditsnya
ditakhrij kembali oleh Al-Hafidz Ibnu Abdil Bar.
Imam Malik bin Anas lahir di Madinah pada tahun 93H/711M. Beliau dilahirkan di dalam sebuah
kota yang merupakan tempat tumbuhnya Islam dan berkumpulnya generasi yang dididik oleh
para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, radhiallahu ‘anhum. Sejarah keluarganya
juga ada hubung-kait dengan ilmu Islam dengan datuknya sendiri seorang perawi dan penghafal
hadis yang terkemuka. Pakciknya juga, Abu Suhail Nafi’ adalah seorang tokoh hadis kota
Madinah pada ketika itu dan dengan beliaulah Malik bin Anas mula mendalami ilmu-ilmu
agama, khususnya hadis. Abu Suhail Nafi’ ialah seorang tabi‘in yang sempat menghafal hadis
daripada ‘Abd Allah ibn ‘Umar, ‘A'isyah binti Abu Bakar, Umm Salamah, Abu Hurairah dan
Abu Sa‘id al-Khudri radhiallahu ‘anhum.
Selain Nafi’, Malik bin Anas juga duduk berguru dengan Ja'afar al-Siddiq, cucu kepada al-Hasan,
cucu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Malik juga duduk belajar di Masjid Nabawi
berguru dengan Muhammad Yahya al-Ansari, Abu Hazim Salmah al-Dinar, Yahya bin Sa'ad dan
Hisham bin ‘Urwah. Mereka ini semua ialah anak murid kepada sahabat-sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Suasana kehidupan Malik bin Anas di Madinah yang ketika itu
dipenuhi dengan para tabi‘in amatlah menguntungkannya. Para tabi‘in ini adalah mereka yang
sempat hidup bersama sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka sempat
belajar, mendengar hadis dan mengamalkan perbuatan para sahabat secara terus. Inilah antara
sebab kenapa Malik bin Anas tidak pernah meninggalkan Madinah kecuali apabila pergi
menunaikan ibadat hajinya.
Suasana kehidupan Malik bin Anas di Madinah yang ketika itu dipenuhi den-gan para tabi‘in
amatlah menguntung-kannya. Para tabi‘in ini adalah mereka yang sempat hidup bersama sahabat-
sahabat Rasulullah s.a.w. Mereka sempat belajar, mendengar hadis dan mengamalkan perbuatan
para sahabat secara terus.
Malik bin Anas kemudiannya mengambil alih sebagai tokoh agama di Masjid Nabawi. Ajarannya
menarik sejumlah orang ramai daripada pelbagai daerah dunia Islam. Beliau juga bertindak
sebagai mufti Madinah pada ketika itu. Malik juga ialah antara tokoh yang terawal dalam
mengumpul dan membukukan hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam
kitabnya Al Muwattha'.[1] Kitabnya ini menjadi hafalan dan rujukan orang ramai sehinggakan ia
pernah dikatakan oleh al-Syafi‘e sebagai:
Tidak wujud sebuah buku di bumi yang paling hampir kepada al-Q
Lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang terletak antara sungai Dajalah
(Tigris) dengan Efrat, pada hari Senin 10 Rabiu’ul Awal tahun 661H. Beliau berhijrah ke
Damasyq (Damsyik) bersama orang tua dan keluarganya ketika umurnya masih kecil, disebabkan
serbuan tentara Tartar atas negerinyaa. Mereka menempuh perjalanan hijrah pada malam hari
dengan menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-kitab ilmu, bukan barang-
barang perhiasan atau harta benda, tanpa ada seekor binatang tunggangan-pun pada mereka.
Suatu saat gerobak mereka mengalami kerusakan di tengah jalan, hingga hampir saja pasukan
musuh memergokinya. Dalam keadaan seperti ini, mereka ber-istighatsah (mengadukan
permasalahan) kepada Allah Ta’ala. Akhirnya mereka bersama kitab-kitabnya dapat selamat.
Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau. Begitu tiba di Damsyik
beliau segera menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama,
huffazh dan ahli-ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh
ulama tersebut tercengang.
Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai ilmu Ushuluddin dan
sudah mengalami bidang-bidang tafsir, hadits dan bahasa Arab.
Pada unsur-unsur itu, beliau telah mengkaji musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali,
kemudian kitabu-Sittah dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir.
Suatu kali, ketika beliau masih kanak-kanak pernah ada seorang ulama besar dari Halab (suatu
kota lain di Syria sekarang, pen.) yang sengaja datang ke Damasyiq, khusus untuk melihat si
bocah bernama Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia
memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu
Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan
kepadanya beberapa sanad, beliaupun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan
menghafalnya. Hingga ulama tersebut berkata: “Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai
kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah seperti dia.
Sejak kecil beliau hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama, mempunyai kesempatan
untuk mereguk sepuas-puasnya taman bacaan berupa kitab-kitab yang bermanfaat. Beliau
infakkan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar, menggali ilmu terutama kitabullah dan
sunah Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam.
Lebih dari semua itu, beliau adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-
garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-
Nya. Beliau pernah berkata: ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu
merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau
kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di
pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan
beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.”
Begitulah seterusnya Ibnu Taimiyah, selalu sungguh-sungguh dan tiada putus-putusnya mencari
ilmu, sekalipun beliau sudah menjadi tokoh fuqaha’ dan ilmu serta dinnya telah mencapai tataran
tertinggi.
PUJIAN ULAMA
Al-Hafizh Al-Mizzy mengatakan: “Aku belum pernah melihat orang seperti Ibnu Taimiyah …..
dan belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap kitabullah dan sunnah
Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam serta lebih ittiba’ dibandingkan beliau.”
Al-Qadhi Abu Al-Fath bin Daqiq Al-Ied mengatakan: “Setelah aku berkumpul dengannya,
kulihat beliau adalah seseorang yang semua ilmu ada di depan matanya, kapan saja beliau
menginginkannya, beliau tinggal mengambilnya, terserah beliau. Dan aku pernah berkata
kepadanya: “Aku tidak pernah menyangka akan tercipta manasia seperti anda.”
Al-Qadli Ibnu Al-Hariry mengatakan: “Kalau Ibnu Taimiyah bukah Syaikhul Islam, lalu siapa dia
ini ?”
Syaikh Ahli nahwu, Abu Hayyan An-Nahwi, setelah beliau berkumpul dengan Ibnu Taimiyah
berkata: “Belum pernah sepasang mataku melihat orang seperti dia …..” Kemudian melalui bait-
bait syairnya, beliau banyak memberikan pujian kepadanya.
Penguasaan Ibnu Taimiyah dalam beberapa ilmu sangat sempurna, yakni dalam tafsir, aqidah,
hadits, fiqh, bahasa arab dan berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam lainnya, hingga beliau
melampaui kemampuan para ulama zamannya. Al-‘Allamah Kamaluddin bin Az-Zamlakany
(wafat th. 727 H) pernah berkata: “Apakah ia ditanya tentang suatu bidang ilmu, maka siapa pun
yang mendengar atau melihat (jawabannya) akan menyangka bahwa dia seolah-olah hanya
membidangi ilmu itu, orang pun akan yakin bahwa tidak ada seorangpun yang bisa
menandinginya”. Para Fuqaha dari berbagai kalangan, jika duduk bersamanya pasti mereka akan
mengambil pelajaran bermanfaat bagi kelengkapan madzhab-madzhab mereka yang sebelumnya
belum pernah diketahui. Belum pernah terjadi, ia bisa dipatahkan hujahnya. Beliau tidak pernah
berkata tentang suatu cabang ilmu, baik ilmu syariat atau ilmu lain, melainkan dari masing-
masing ahli ilmu itu pasti terhenyak. Beliau mempunyai goresan tinta indah, ungkapan-ungkapan,
susunan, pembagian kata dan penjelasannya sangat bagus dalam penyusunan buku-buku.”
Imam Adz-Dzahabi rahimahullah (wafat th. 748 H) juga berkata: “Dia adalah lambang
kecerdasan dan kecepatan memahami, paling hebat pemahamannya terhadap Al-Kitab was-
Sunnah serta perbedaan pendapat, dan lautan dalil naqli. Pada zamannya, beliau adalah satu-
satunya baik dalam hal ilmu, zuhud, keberanian, kemurahan, amar ma’ruf, nahi mungkar, dan
banyaknya buku-buku yang disusun dan amat menguasai hadits dan fiqh.
Pada umurnya yang ke tujuh belas beliau sudah siap mengajar dan berfatwa, amat menonjol
dalam bidang tafsir, ilmu ushul dan semua ilmu-ilmu lain, baik pokok-pokoknya maupun cabang-
cabangnya, detailnya dan ketelitiannya. Pada sisi lain Adz-Dzahabi mengatakan: “Dia
mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai rijal (mata rantai sanad), Al-Jarhu wat Ta’dil,
Thabaqah-Thabaqah sanad, pengetahuan ilmu-ilmu hadits antara shahih dan dhaif, hafal matan-
matan hadits yang menyendiri padanya ….. Maka tidak seorangpun pada waktu itu yang bisa
menyamai atau mendekati tingkatannya ….. Adz-Dzahabi berkata lagi, bahwa: “Setiap hadits
yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah, maka itu bukanlah hadist.
Dengan berani Ibnu Taimiyah berteriak memberikan komando kepada umat Islam untuk bangkit
melawan serbuan tentara Tartar ketika menyerang Syam dan sekitarnya. Beliau sendiri bergabung
dengan mereka dalam kancah pertempuran. Sampai ada salah seorang amir yang mempunyai diin
yang baik dan benar, memberikan kesaksiannya: “…… tiba-tiba (ditengah kancah pertempuran)
terlihat dia bersama saudaranya berteriak keras memberikan komando untuk menyerbu dan
memberikan peringatan keras supaya tidak lari …” Akhirnya dengan izin Allah Ta’ala, pasukan
Tartar berhasil dihancurkan, maka selamatlah negeri Syam, Palestina, Mesir dan Hijaz.
Tetapi karena ketegaran, keberanian dan kelantangan beliau dalam mengajak kepada al-haq,
akhirnya justru membakar kedengkian serta kebencian para penguasa, para ulama dan orang-
orang yang tidak senang kepada beliau. Kaum munafiqun dan kaum lacut kemudian meniupkan
racun-racun fitnah hingga karenanya beliau harus mengalami berbagai tekanan di pejara,
dibuang, diasingkan dan disiksa
Kategori: Lainnya
Ibnu Katsir
Penafsir Terkemuka Abad Ketujuh Hijriah
Di antara ulama Islam terkemuka yang hidup di abad ketujuh hijriah adalah Abu al-Fida' Ismail
bin Umar bin Katsir bin Zara' bin Katsir ad-Dimasyqi, atau yang lebih terkenal dengan nama Ibnu
Katsir saja. Dia lahir di suatu kampung di wilayah Bashrah pada tahun tujuh ratus satu hijriah.
Ketika usianya menginjak tiga tahun, ayahnya yang menjadi seorang khatib di kampungnya,
diwafatkan oleh Allah SWT. Dia kemudian diasuh dan dididik oleh kakaknya yang bernama
Abdul Wahhab. Dan ketika berusia lima tahun, dia dikirim oleh kakaknya itu ke Damaskus untuk
menuntut ilmu-ilmu Islam. Dan dari Damaskus itulah, dia kemudian memulai pengembaraannya
untuk menuntut ilmu ke berbagai kota yang ditinggali oleh kaum Muslimin.
Meskipun pada saat itu dunia Islam tengah diliputi tragedi yang sangat memilukan, yaitu dengan
dihadapkannya mereka pada sifat biadab dari Bangsa Tartar, di mana banyak ulama dan kaum
Muslimin yang dibantai, buku-buku penting dimusnahkan, dan pusat-pusat peradaban lslam
dihancurkan, semua itu tidak pernah mematikan semangatnya untuk menuntut ilmu. Di antara
ketakutan demi ketakutan yang terus meneror, dia mengayuhkan langkahnya untuk menuntut
ilmu kepada para ulama yang masih tersisa.
Di Damaskus, dia mulai mempersiapkan dan membuka batinnya untuk diisi dengan cahaya ilmu.
Dia mendatangi majlis ulama ahli fiqh, ahli hadits, ahli sejarah, dan ulama-ulama yang lain. Di
majlis mereka itu, dia tampak demikian suntuk dan sibuk mendengarkan, mencatat, memahami,
dan menghafal semua ilmu yang didapatnya. Di majlis mereka itu pula, dia dikenal orang sebagai
seorang penuntut ilmu yang cerdas, tekun, dan tidak banyak lupa dengan hal-hal yang telah
dipelajarinya.
Di antara nama para ulama yang majlisnya selalu didatanginya adalah lbnu Farkah, Isa bin al-
Muth'im, lbnu Syahnah, al-Hijar, lbnu Asakir, Ibnu asy-Syirazi, Ishaq bin Yahya al-Amidi,
Muhammad bin Zarrad, Yusuf bin Zaki al-Mizzi, lbnu Taimiyah, adz-Dzahabi, al-Ashbahani, dll.
Secara khusus, dia sempat berkonsentrasi untuk mempelajari hadits. Karena itu, tidak
mengherankan bila dia kemudian hafal kumpulan hadits sekaligus telaahnya yang panjang, yang
ditulis oleh Ibnu Hajib, ketika dia masih berusia lima belas tahun. Karena kecintaannya kepada
hadits itu pula dia lalu belajar, bahkan menikah dengan putri Yusuf bin Zaki al-Mizzi. Hal itu dia
lakukan agar bisa lebih leluasa belajar hadits kepada mertuanya yang ahli hadits tersebut.
lbnu Katsir adalah figur seorang penuntut ilmu yang konsisten dengan ilmunya. Dia ingin
ilmunya berfungsi sebagai suluh yang menerangi langkahnya, sekaligus sebagai pembentuk sikap
hidupnya dan bukannya sebagai sarana untuk gagah-gagahan dan mencari popularitas. Hal ini
pernah dibuktikan ketika dia harus menanggung siksaan yang sangat berat dari pihak pemerintah
karena mengeluarkan fatwa tentang thalaq, yang diadopsinya dari pendapat lbnu Taimiyah --guru
yang sangat dihormati dan dicintainya serta fatwa-fatwanya banyak yang dianutnya-- yang
berseberangan dengan peraturan tentang thalaq yang ditetapkan oleh pemerintah.
Di samping itu, dia juga menghiasi hidupnya dengan sifat-sifat yang mulia seperti yang
umumnya dimiliki oleh para ulama waratsatul anbiya. Semisal banyak berdzikir, taqwa, sabar,
zuhud, tawadlu', dan wara'. Dia ingin ada kesesuaian antara ilmu dan amalnya, sehingga ilmunya
itu di hari kiamat kelak bisa menjadi pembelanya dan bukannya malah menjadi penghujatnya di
hadapan mahkamah Allah SwT.
lbnu Habib pernah menulis tentang dirinya, "lbnu Katsir adalah seorang pemimpin keagamaan
yang banyak mewiridkan tasbih dan tahlil. Dia juga seorang pemuka para penafsir..."
Semasa hidupnya, dia dikenal secara luas sebagai seorang ulama yang ahli di bidang hadits,
tafsir, fiqh, sejarah, bahasa, dan sastra. Keahliannya dalam berbagai bidang ilmu itu, selain dia
pergunakan untuk menyuluhi kehidupan dan membentuk sikap hidupnya, juga dia ajarkan kepada
masyarakat luas, para murid yang secara khusus datang untuk belajar kepadanya, dan dia tuliskan
ke dalam berbagai buku.
Hingga kini, di antara warisannya yang masih bisa ditemukan adalah buku-bukunya yang
berjudul Tafsir al-Qur'an al-Karim (terdiri dari sepuluh jilid), al-Bidayat wa an-Nihayah (terdiri
dari sepuluh jilid), Jami' al-Masanid al-Asyrah (terdiri dari delapan jilid), al-Ijtihad fi Thalabi al-
Jihad, Risalah fi al-Jihad, lkhtishar as-Sirah an-Nabawiyah, lkhtishar al-Ulum al-Hadits,
Thabaqat al-Fuqaha asy-Syafi'iyin, at-Takmil fi Ma'rifati ats-Tsiqa wa adl-Dlu'afa wa al-Majahil,
dll.
Buku tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Qur'an al-Karim itu adalah buku tafsir yang tidak terkira
nilainya. Pada mulanya, buku ini dia tulis menjadi sepuluh jilid, tapi kemudian dicetak menjadi
empat jilid dengan jilidan yang sangat tebal, Adapun metode penulisan tafsirnya adalah
menafsirkan ayat al-Qur'an dengan ayat al-Qur'an itu sendiri, hadits, dan atsar yang sanadnya dia
nukilkan dari sumber-sumber yang bisa dipertanggungjawabkan otentisitasnya, dan uraian-uraian
seperlunya.
Kini, buku tafsirnya itu seolah menjadi buku wajib bagi para pecinta tafsir bi ar-riwayah yang
ingin mendapatkan tafsiran ayat al-Qur'an yang tetap mengacu pada pemahaman para salaf ash-
shalih yang ditulis secara tajam dan mengena. Maka tidak ayal buku tafsirnya itu merupakan
warisan yang sangat berharga bagi kaum Muslimin yang hadir lebih kemudian dari para
pendahulu mereka yang hidup di abad ketujuh hijriah. Animo kaum Muslimin yang besar
terhadap buku ini bisa dilihat dari banyaknya buku ini diringkas oleh orang dan seringnya dia
dicetak ulang.
Selain buku tafsirnya itu, sebenarnya masih banyak lagi bukunya yang lain yang tidak kalah
penting dan berbobot. Seperti al-Bidayah wa an-Nihayah, yang merupakan buku sejarah yang
dituliskan di dalamnya kejadian-kejadian bersejarah yang terjadi pada manusia pertama, Nabi
Adam, hingga kejadian-kejadian bersejarah di tahun tujuh ratus enam puluh tujuh hijriah. Juga
bukunya yang berjudul lkhtishar Ulum al-Hadits, dll.
Di usia, tuanya, dia ditakdirkan oleh Allah SwT kehilangan penglihatannya. Dan pada bulan
Sya'ban tahun tujuh ratus tujuh puluh empat hijriah, di usianya yang ketujuh puluh tiga tahun, dia
pun berpulang ke hadirat Allah SwT dengan tenang. Selanjutnya dia dimakamkan di pemakaman
ash-Shufiah, Damaskus, di sisi makam guru yang sangat dihormati dan dicintainya, Ibnu
Taimiyah.
Imam Muslim
Nama lengkap beliau ialah Imam Abdul Husain bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-
Qusyairi an-Naisaburi. Dia dilahirkan di Naisabur tahun 206 H. Sebagaimana dikatakan oleh al-
Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya "Ulama'ul Amsar. Imam Muslim adalah penulis kitab
syahih dan kitab ilmu hadits. Dia adalah ulama terkemuka yang namanya tetap dikenal sampai
kini.
Kehidupan Imam Muslim penuh dengan kegiatan mulia. Beliau meran-tau ke berbagai negeri
untuk mencari hadits. Dia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dia
belajar hadits sejak masih kecil, yakni mulai tahun 218 H. Dalam perjalanannya, Muslim bertemu
dan berguru pada ulama hadis.
Di Khurasan, dia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih. Di Ray, dia berguru
kepada Muhammad bin Mahran dan Abu Ansan. Di Irak, dia belajar kepada Ahmad bin Hanbal
dan Abdullah bin Maslamah. Di Hijaz, berguru kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas'ab. Di
Mesir, belajar kepada 'Amar bin Sawad dan Harmalah bin Yahya dan berguru kepada ulama
hadits lainnya.
Imam Muslim berulangkali pergi ke Bagdad untuk belajar hadits, dan kunjungannya yang
terakhir tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Muslim sering berguru
kepadanya. Sebab dia mengetahui kelebihan ilmu Imam Bukhari. Ketika terjadi ketegangan
antara Bukhari dengan az--Zuhali, dia memihak Bukhari. Sehingga hubungannya dengan az-
Zuhali menjadi putus. Dalam kitab syahihnya maupun kitab lainnya, Muslim tidak memasukkan
hadits yang diterima dari az-Zuhali, meskipun dia adalah guru Muslim. Dan dia pun tidak
memasukkan hadits yang diterima dari Bukhari, padahal dia juga sebagai gurunya. Bagi Muslim,
lebih baik tidak memasukkan hadits yang diterimanya dari dua gurunya itu. Tetapi dia tetap
mengakui mereka sebagai gurunya.
Wafatnya
Setelah mengarungi kehidupan yang penuh berkah, Muslim wafat pada hari Ahad sore, dan di
makamkan di kampong Nasr Abad daerah Naisabur pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia
55 tahun. Selama hidupnya, Muslim menulis beberapa kitab yang sangat bermanfaat.
Para Gurunya
Imam Muslim mempunyai guru hadits sangat banyak sekali, diantaranya adalah: Usman bin Abi
Syaibah, Abu Bakar bin Syaibah, Syaiban bin Farukh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harab,
'Amar an-Naqid, Muhammad bin Musanna, Muhammad bin Yasar, Harun bin Sa'id al-Aili,
Qutaibah bin sa'id dan lain sebagainya.
Banyak para ulama yang meriwayatkan hadits dari Imam Muslim, bahkan di antaranya terdapat
ulama besar yang sebaya dengan dia. Di antaranya, Abu Hatim ar-Razi, Musa bin Harun, Ahmad
bin Salamah, Abu Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Awanah al-Isfarayini, Abi isa at-
Tirmidzi, Abu Amar Ahmad bin al-Mubarak al-Mustamli, Abul Abbas Muhammad bin Ishaq bin
as-Sarraj, Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan al-Faqih az-Zahid. Nama terakhir ini adalah
perawi utama bagi Syahih Muslim. Dan masih banyak lagi muridnya yang lain.
Pujian para Ulama
Apabila Imam Bukhari sebagai ahli hadits nomor satu, ahli tentang ilat--ilat (cacat) hadits dan
seluk beluk hadits, dan daya kritiknya sangat tajam, maka Muslim adalah orang kedua setelah
Bukhari, baik dalam ilmu, keistimewaan dan kedudukannya. Hal ini tidak mengherankan, karena
Muslim adalah salah satu dari muridnya. Al-Khatib al-Bagdadi berkata: "Muslim telah mengikuti
jejak Bukhari, mengembangkan ilmunya dan mengikuti jalannya." Pernyataan ini bukanlah
menunjukkan bahwa Muslim hanya seorang pengikut saja. Sebab ia mempunyai ciri khas
tersendiri dalam menyusun kitab, serta memperkenalkan metode baru yang belum ada
sebelumnya.
Imam Muslim mendapat pujian dari ulama hadis dan ulama lainnya. Al--Khatib al-Bagdadi
meriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, katanya "Saya me-lihat Abu Zur'ah dan Abu Hatim
selalu mengutamakan Muslim bin al-Hajjaj dari pada guru- guru hadits lainnya. Ishak bin Mansur
al-Kausaj berkata kepada Muslim: "Kami tidak akan kehilangan kebaikan selama Allah
menetapkan engkau bagi kaum muslimin."
Ishak bin Rahawaih pernah mengatakan: "Adakah orang lain seperti Muslim?". Ibnu Abi Hatim
mengatakan: "Muslim adalah penghafal hadits. Saya menulis hadits dari dia di Ray." Abu
Quraisy berkata: "Di dunia ini, orang yang benar- benar ahli hadits hanya empat orang. Di
antaranya adalah Muslim." Mak-sudnya, ahli hadits terkemuka di masa Abu Quraisy. Sebab ahli
hadits itu cukup banyak jumlahnya.
Imam muslim mempunyai kitab hasil tulisannya yang jumlahnya cukup banyak. Di antaranya:
1. Al-Jamius Syahih
2. Al-Musnadul Kabir Alar Rijal
3. Kitab al-Asma' wal Kuna
4. Kitab al-Ilal
5. Kitab al-Aqran
6. Kitab Sualatihi Ahmad bin Hanbal
7. Kitab al-Intifa' bi Uhubis Siba'
8. Kitab al-Muhadramain
9. Kitab Man Laisa Lahu illa Rawin Wahidin
10. Kitab Auladus Sahabah
11. Kitab Auhamul Muhadisin.
Kitabnya yang paling terkenal sampai kini ialah Al-Jamius Syahih atau Syahih Muslim.
Di antara kitab-kitab di atas yang paling agung dan sangat bermanfat luas, serta masih tetap
beredar hingga kini ialah Al Jami’ as-Sahih, terkenal dengan Sahih Muslim. Kitab ini merupakan
salah satu dari dua kitab yang paling sahih dan murni sesudah Kitabullah. Kedua kitab Sahih ini
diterima baik oleh segenap umat Islam.
Imam Muslim telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari
keadaan para perawi, menyaring hadits-hadits yang diriwayatkan, membandingkan riwayat
riwayat itu satu sama lain. Muslim sangat teliti dan hati-hati dalam menggunakan lafaz-lafaz, dan
selalu memberikan isyarat akan adanya perbedaan antara lafaz-lafaz itu. Dengan usaha yang
sedeemikian rupa, maka lahirlah kitab Sahihnya.
Bukti kongkrit mengenai keagungan kitab itu ialah suatu kenyataan, di mana Muslim menyaring
isi kitabnya dari ribuan riwayat yang pernah didengarnya. Diceritakan, bahwa ia pernah berkata:
"Aku susun kitab Sahih ini yang disaring dari 300.000 hadits."
Diriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, yang berkata : "Aku menulis bersama Muslim untuk
menyusun kitab Sahihnya itu selama 15 tahun. Kitab itu berisi 12.000 buah hadits.
Dalam pada itu, Ibn Salah menyebutkan dari Abi Quraisy al-Hafiz, bahwa jumlah hadits Sahih
Muslim itu sebanyak 4.000 buah hadits. Kedua pendapat tersebut dapat kita kompromikan, yaitu
bahwa perhitungan pertama memasukkan hadits-hadits yang berulang-ulang penyebutannya,
sedangkan perhitungan kedua hanya menghitung hadits-hadits yang tidak disebutkan berulang.
Imam Muslim berkata di dalam Sahihnya: "Tidak setiap hadits yang sahih menurutku, aku
cantumkan di sini, yakni dalam Sahihnya. Aku hanya mencantumkan hadits-hadits yang telah
disepakati oleh para ulama hadits."
Imam Muslim pernah berkata, sebagai ungkapan gembira atas karunia Tuhan yang diterimanya:
"Apabila penduduk bumi ini menulis hadits selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan
berputar-putar di sekitar kitab musnad ini."
Ketelitian dan kehati-hatian Muslim terhadap hadits yang diriwayatkan dalam Sahihnya dapat
dilihat dari perkataannya sebagai berikut : "Tidaklah aku mencantumkan sesuatu hadits dalam
kitabku ini, melainkan dengan alasan; juga tiada aku menggugurkan sesuatu hadits daripadanya
melainkan dengan alasan pula."
Imam Muslim di dalam penulisan Sahihnya tidak membuat judul setiap bab secara terperinci.
Adapun judul-judul kitab dan bab yang kita dapati pada sebagian naskah Sahih Muslim yang
sudah dicetak, sebenarnya dibuat oleh para pengulas yang datang kemudian. Di antara pengulas
yang paling baik membuatkan judul-judul bab dan sistematika babnya adalah Imam Nawawi
dalam Syarahnya.
Sumber: Kitab Hadis Sahih yang Enam, Muhammad Muhammad Abu Syuhbah
Kategori: Lainnya
Imam Bukhari : KEAJAIBAN DARI BUKHARA
Lahir di Bukhara pada bulan Syawal tahun 194 H. Dipanggil dengan Abu Abdillah. Nama
lengkap beliau Muhammmad bin Islmail bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari Al Ju’fi.
Beliau digelari Al Imam Al Hafizh, dan lebih dikenal dengan sebutan Al Imam Al Bukhari.
Buyut beliau, Al Mughirah, semula beragama Majusi (Zoroaster), kemudian masuk Islam lewat
perantaraan gubernur Bukhara yang bernama Al Yaman Al Ju’fi. Sedang ayah beliau, Ismail bin
Al Mughirah, seorang tokoh yang tekun dan ulet dalam menuntut ilmu, sempat mendengar
ketenaran Al Imam Malik bin Anas dalam bidang keilmuan, pernah berjumpa dengan Hammad
bin Zaid, dan pernah berjabatan tangan dengan Abdullah bin Al Mubarak.
Sewaktu kecil Al Imam Al Bukhari buta kedua matanya. Pada suatu malam ibu beliau bermimpi
melihat Nabi Ibrahim Al Khalil ‘Alaihissalaam yang mengatakan, “Hai Fulanah (yang beliau
maksud adalah ibu Al Imam Al Bukhari, pent), sesungguhnya Allah telah mengembalikan
penglihatan kedua mata putramu karena seringnya engkau berdoa”. Ternyata pada pagi harinya
sang ibu menyaksikan bahwa Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putranya.
Ketika berusia sepuluh tahun, Al Imam Al Bukhari mulai menuntut ilmu, beliau melakukan
pengembaraan ke Balkh, Naisabur, Rayy, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Mesir, dan Syam.
Guru-guru beliau banyak sekali jumlahnya. Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Abu
‘Ashim An-Nabiil, Al Anshari, Makki bin Ibrahim, Ubaidaillah bin Musa, Abu Al Mughirah,
‘Abdan bin ‘Utsman, ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, Shadaqah bin Al Fadhl, Abdurrahman bin
Hammad Asy-Syu’aisi, Muhammad bin ‘Ar’arah, Hajjaj bin Minhaal, Badal bin Al Muhabbir,
Abdullah bin Raja’, Khalid bin Makhlad, Thalq bin Ghannaam, Abdurrahman Al Muqri’,
Khallad bin Yahya, Abdul ‘Azizi Al Uwaisi, Abu Al Yaman, ‘Ali bin Al Madini, Ishaq bin
Rahawaih, Nu’aim bin Hammad, Al Imam Ahmad bin Hanbal, dan sederet imam dan ulama ahlul
hadits lainnya.
Murid-murid beliau tak terhitung jumlahnya. Di antara mereka yang paling terkenal adalah Al
Imam Muslim bin Al Hajjaj An Naisaburi, penyusun kitab Shahih Muslim.
Al Imam Al Bukhari sangat terkenal kecerdasannya dan kekuatan hafalannya. Beliau pernah
berkata, “Saya hafal seratus ribu hadits shahih, dan saya juga hafal dua ratus ribu hadits yang
tidak shahih”. Pada kesempatan yang lain belau berkata, “Setiap hadits yang saya hafal, pasti
dapat saya sebutkan sanad (rangkaian perawi-perawi)-nya”.
Beliau juga pernah ditanya oleh Muhamad bin Abu Hatim Al Warraaq, “Apakah engkau hafal
sanad dan matan setiap hadits yang engkau masukkan ke dalam kitab yang engkau susun
(maksudnya : kitab Shahih Bukhari, pent.)?” Beliau menjawab, ”Semua hadits yang saya
masukkan ke dalam kitab yang saya susun itu sedikit pun tidak ada yang samar bagi saya”.
Anugerah Allah kepada Al Imam Al Bukhari berupa reputasi di bidang hadits telah mencapai
puncaknya. Tidak mengherankan jika para ulama dan para imam yang hidup sezaman dengannya
memberikan pujian (rekomendasi) terhadap beliau. Berikut ini adalah sederet pujian
(rekomendasi) termaksud.
Muhammad bin Abi Hatim berkata, “Saya mendengar Ibrahim bin Khalid Al Marwazi berkata,
“Saya melihat Abu Ammar Al Husein bin Harits memuji Abu Abdillah Al Bukhari, lalu beliau
berkata, “Saya tidak pernah melihat orang seperti dia. Seolah-olah dia diciptakan oleh Allah
hanya untuk hadits”.
Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata, “Saya tidak pernah meliahat di kolong
langit seseorang yang lebih mengetahui dan lebih kuat hafalannya tentang hadits Rasulullah
Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dari pada Muhammad bin Ismail (Al Bukhari).”
Muhammad bin Abi Hatim berkata, “ Saya mendengar Abu Abdillah (Al Imam Al Bukhari)
berkata, “Para sahabat ‘Amr bin ‘Ali Al Fallaas pernah meminta penjelasan kepada saya tentang
status (kedudukan) sebuah hadits. Saya katakan kepada mereka, “Saya tidak mengetahui status
(kedudukan) hadits tersebut”. Mereka jadi gembira dengan sebab mendengar ucapanku, dan
mereka segera bergerak menuju ‘Amr. Lalu mereka menceriterakan peristiwa itu kepada ‘Amr.
‘Amr berkata kepada mereka, “Hadits yang status (kedudukannya) tidak diketahui oleh
Muhammad bin Ismail bukanlah hadits”.
Al Imam Al Bukhari mempunyai karya besar di bidang hadits yaitu kitab beliau yang diberi judul
Al Jami’ atau disebut juga Ash-Shahih atau Shahih Al Bukhari. Para ulama menilai bahwa kitab
Shahih Al Bukhari ini merupakan kitab yang paling shahih setelah kitab suci Al Quran.
Hubungannya dengan kitab tersebut, ada seorang ulama besar ahli fikih, yaitu Abu Zaid Al
Marwazi menuturkan, “Suatu ketika saya tertidur pada sebuah tempat (dekat Ka’bah –ed) di
antara Rukun Yamani dan Maqam Ibrahim. Di dalam tidur saya bermimpi melihat Nabi
Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau berkata kepada saya, “Hai Abu Zaid, sampai kapan
engaku mempelajari kitab Asy-Syafi’i, sementara engkau tidak mempelajari kitabku? Saya
berkata, “Wahai Baginda Rasulullah, kitab apa yang Baginda maksud?” Rasulullah menjawab, “
Kitab Jami’ karya Muhammad bin Ismail”.
Karya Al Imam Al Bukhari yang lain yang terkenal adalah kita At-Tarikh yang berisi tentang hal-
ihwal para sahabat dan tabi’in serta ucapan-ucapan (pendapat-pendapat) mereka. Di bidang
akhlak belau menyusun kitab Al Adab Al Mufrad. Dan di bidang akidah beliau menyusun kitab
Khalqu Af’aal Al Ibaad.
Ketakwaan dan keshalihan Al Imam Al Bukhari merupakan sisi lain yang tak pantas dilupakan.
Berikut ini diketengahkan beberapa pernyataan para ulama tentang ketakwaan dan keshalihan
beliau agar dapat dijadikan teladan.
Abu Bakar bin Munir berkata, “Saya mendengar Abu Abdillah Al Bukhari berkata, “Saya
berharap bahwa ketika saya berjumpa Allah, saya tidak dihisab dalam keadaan menanggung dosa
ghibah (menggunjing orang lain).”
Abdullah bin Sa’id bin Ja’far berkata, “Saya mendengar para ulama di Bashrah mengatakan,
“Tidak pernah kami jumpai di dunia ini orang seperti Muhammad bin Ismail dalam hal ma’rifah
(keilmuan) dan keshalihan”.
Sulaim berkata, “Saya tidak pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri semenjak enam
puluh tahun orang yang lebih dalam pemahamannya tentang ajaran Islam, leblih wara’ (takwa),
dan lebih zuhud terhadap dunia daripada Muhammad bin Ismail.”
Al Firabri berkata, “Saya bermimpi melihat Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam di dalam tidur
saya”. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepada saya, “Engkau hendak menuju ke
mana?” Saya menjawab, “Hendak menuju ke tempat Muhammad bin Ismail Al Bukhari”. Beliau
Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam berkata, “Sampaikan salamku kepadanya!”
Al Imam Al Bukhari wafat pada malam Idul Fithri tahun 256 H. ketika beliau mencapai usia
enam puluh dua tahun. Jenazah beliau dikuburkan di Khartank, nama sebuah desa di Samarkand.
Semoga Allah Ta’ala mencurahkan rahmat-Nya kepada Al Imam Al Bukhari.
Sumber:
Siyar A’laam An-Nubala’ karya Al Imam Adz-Dzahabi dll
http://www.ahlussunnah-jakarta.org/detail.php?no=170