Suatu ketika, Ibrahim bin Adham pergi ke padang pasir, seorang tentara laki-laki menemuinya
dan bertanya, “Apakah kamu seorang hamba sahaya?” Ibrahim menjawab “Ya”. “Jika benar
begitu, tunjukkan kepadaku kota yang ramai.” Ibrahim lalu menunjuk ke arah kuburan. Tentara
itu menegaskan bahwa ia menanyakan kota tempat keramaian manusia, bukan kuburan. Tentara
itu pun marah dan memukul Ibrahim dengan cambuk hingga Ibrahim luka.
Tentara itu kemudian berjalan bersama Ibrahim ke desa asal Ibrahim. Orang yang mengenal
Ibrahim bertanya-tanya apa gerangan yang telah terjadi. Tentara itu lalu menceritakan kisahnya
bersama Ibrahim. Mereka menimpali, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa dia adalah Ibrahim
bin Adham?” Tentara itu lalu turun dari kudanya kemudian mencium tangan dan kepala Ibrahim
seraya memohon maaf kepadanya.
Seseorang lalu bertanya kepada Ibrahim, “Mengapa engkau mengatakan bahwa engkau seorang
hamba?” Ibrahim menjawab, “Hal itu karena ia tidak menanyakan siapa aku ini. Ia hanya
bertanya? ‘Apakah kamu seorang hamba?’ Aku pun mengiyakannya karena memang benar aku
hamba Allah. Ketika ia memukul ke kepalaku, aku memohonkan untuknya surga kepada Allah.”
Mereka bertanya lagi, “Mengapa engkau mendoakan hal baik untuk seseorang yang telah
menzalimimu?” Ibrahim menjawab, “Aku sadar, aku akan diberi pahala atas perlakuannya
padaku. Aku sama sekali tidak menginginkan diriku memperoleh ganjaran kebaikan, sedangkan
dia memperoleh ganjaran yang buruk.”
Jika Fudhail Bin Iyadh mendengar kabar bahwa dirinya dijelek-jelekan orang lain, Maka ia akan
menjawab, “Demi allah, sungguh aku sangat marah akan perbuatannya (Iblis). Ya Allah,Ya
Tuhanku sudilah kiranya engkau memaafkan ku jika apa yang dikatakannya tentangku benar dan
sudilah kiranya Engkaulah memaafkannya jika apa yang dikatakannya tentangku adalah dusta.”
Suatu hari, Bakar Bin Abdullah al-Muzani dimaki-maki oleh seseorang dengan makian yang
melampaui batas. Meski begitu, dia hanya terdiam. Seseorang lalu bertanya kepadanya,
“Mengapa engkau tidak membalas makiannya sebagaimana ia memaki-makimu?” Bakar
menjawab, “Sungguh aku tidak mengetahui ada keburukan pada dirinya sebagai bahan makian.
Lagi pula, sama sekali tidak halal bagiku melontarkan celaan bohong (mencela tanpa bukti).”
Jadi itulah tiga kisah inspiratif dari tiga orang ulama salafus salih yang patut kita jadikan
pembelajaran.
Kisah Ibunda Syaikh Abdurrahman As-
4.
Sudais
Seorang bocah mungil sedang asyik bermain-main tanah. Sementara sang
ibu sedang menyiapkan jamuan makan yang diadakan sang ayah. Belum
lagi datang para tamu menyantap makanan, tiba-tiba kedua tangan bocah
yang mungil itu menggenggam debu. Ia masuk ke dalam rumah dan
menaburkan debu itu diatas makanan yang tersaji.
Tatkala sang ibu masuk dan melihatnya, sontak beliau marah dan berkata,
“idzhab ja’alakallahu imaaman lilharamain,” Pergi kamu…! Biar kamu jadi
imam di Haramain!”
Dan SubhanAllah, kini anak itu telah dewasa dan telah menjadi imam di
masjidil Haram! Tahukah kalian, siapa anak kecil yang di doakan ibunya
saat marah itu?
Ini adalah teladan bagi para ibu , calon ibu, ataupun orang tua. Hendaklah
selalu mendoakan kebaikan untuk anak-anaknya. Bahkan meskipun ia
dalam kondisi yang marah. Karena salah satu doa yang tak terhalang
adalah doa orang tua untuk anak-anaknya. Sekaligus menjadi peringatan
bagi kita agar menjaga lisan dan tidak mendoakan keburukan bagi anak-
anaknya. Meski dalam kondisi marah sekalipun.
Suatu ketika, Raja Saudi Khalid bin Abdul Aziz bersama Putera Mahkota
Fahad berkesempatan mengunjungi Syaikh Shalih Al-'Utsaimin di rumah
nya yang sederhana dalam rangka menjalin silaturrahim. Dan sejarah
mencatat percakapan diantara keduanya yang sangat fenomenal.
Melihat rumah Syaikh 'Utsaimin yang sangat sederhana, sang Raja ingin
menghadiahkan nya rumah baru dan menawarkan untuk membangun
istana bagi nya.
Saat itu, Raja berpaling ke rombongan 'ulama yang ikut bersama nya dan
berkomentar, "Kalian lihat ini? Ini adalah apa yang kita sebut sebagai
seorang guru yang sesungguh nya! Yang berarti bahwa orang-orang yang
mencari KETENARAN dan UANG dengan jalan agama adalah hal yang
tidak dibenarkan"
Kita juga bisa memetik pelajaran berharga disini, bahwa semakin tinggi nya
ilmu yang dimiliki seseorang, justru kita seharus nya merasa lebih rendah
dan lebih rendah lagi di mata Allah dan manusia tidak menyombongkan
ilmu kita dan kepintaran kita. Kehidupan di dunia tidak harus dengan
bergelimang harta, punya rumah mewah atau punya mobil mahal. Hidup
sederhana, berkecukupan, punya harta yang sedikit namun berkah dan
halal jauh lebih utama dan lebih baik di mata Allah Jalla Wa 'Ala.
Rahimahullah Syaikh..
Lalu apa yang dilakukan Syaikh ‘Utsaimin? Apakah beliau bertanya usaha
bapak kamu apa? Kamu sudah hafal hadits berapa? Sebelumnya kamu
lulusan apa? Gaji kamu berapa? Tabungan kamu berapa? Bahkan Syaikh
‘Utsaimin tidak memberikan sebuah pertanyaanpun kepada pemuda ini,
Syaikh ‘Utsaimin hanya berkata, “Tunggulah kabar dariku, Insya Allah akan
aku telepon…”
Ternyata pemuda ini sudah agak pesimis dan bahkan agak melupakan
tentang permintaannya.
Ketika beliau melepon Syaikh ‘Utsaimin, beliau bertanya, “Ada apa Syaikh?”