Anda di halaman 1dari 6

yekh Sulaiman Al-Khalidy : Mursyid dari Tapanuli

 Monday, September 19, 2016  Sufi, Tokoh

Salah seorang ulama yang pernah dimiliki oleh masyarakat Tapanuli adalah Syekh Sulaiman Al-

Kkalidi lahir pada tahun 1841 di desa Huta Pungkut, Kotanupan Tapanuli Selatan. Ayahnya

bernama Japagar. Sejak kecil  beliau telah diajari ilmu silat oleh ayahnya. Ketika ayahnya

meninggal dunia, timbullah minatnya yang besar untuk mempelajari agama. Maka pada tahun

1863 Sulaiman berangkat ke Sumatera Timur berguru kepada Syekh Abdul Wahab.

Merasa diri masih sangat dangkal ilmu agama, kemudian beliau melanjutkan pencarian mutiara

ilmu hingga ke negeri Haramain. Tepatnya Pada tahun 1868,beliau pergi menunaikan ibadah

haji ke Makkah dan menetap di sana selama empat tahun dan di sana pula ia berguru kepada

ulama besar Tarekat Naqsyabandiyah, yaitu pada Syekh Sulaiman Zuhdi. Kemudaian ia kembali

ke Tanah Air dan menjadi guru Tarekat Naqsyabandiyah. Untuk keperluan tersebut ia

membangun sebuah mesjid dan rumah besar yang dipergunakan sebagai tempat berkhalwat

murid-muridnya.

Setelah beberapa tahun lamanya tinggal di tanah air. Akhirnya beliau ketika itu  tahun 1880, Syekh
Sulaiman kembali ke tanah Suci dengan membawa serta keluaraganya dan berguru kembali kepada
Syekh Sulaiman zuhdi. Kemudian ia kembali ke kampung halamannya ke HutaPungkut. Namanya
bertambah Harum,yang dikenal dengan ulama yang teguh pendirian dan banyak pengikutnya.
Pengikut atau murid-muridnya itulah yang ikut mengembangkan ajaran Tarekat Naqsyabandiyah.
Syekh Sulaiman Al-Khalidy wafat pada Tanggal 12 Oktober 1971 (3 Muharram 1336) dalam usia 75
tahun

Syekh Sulaiman al Kholidy (1842-1917)


17.45    1 comment

      Syekh Sulaiman al Kholidy hidup sekitar tahun 1842-1917, Lahir di Hutapungkut. Hutapungkut
merupakan sebuah desa yang terletak disebelah tengga kota Panyabungan dan dapat ditempuh
sekitar satu jam dan desa ini juga merupakan kampong kelahiran dari Jenderal besar Abdul Haris
Nasution yang terkenal dengan panggilan Pak Nas.

         Nama kecilnya Sulaiman, oleh gurunya kemudian kelak namanya menjadi Syekh Sulaiman al
Kholidy. Ayahandanya bernama Japagar seorang pendekar yang sangat disegani, sebagai seorang
anak pendekar Syekh Sulaiman al Kholidy pun mempunyai keahlian yang cakap dalam hal bela diri.
Suatu ketika mereka pindah ke Sipirok, ketika remaja ia senang belajar agama dan pada tahun 1863
ia pergi berguru ke Sumatera timur kepada Tuan guru Abdul Wahab Rokan atau terkenal juga
dengan sebuatan Tuan guru Basilam

           Setelah beberapa tahun berguru pada Tuan Syekh disini, pada tahun 1868. Oleh gurunya
Syekh Abdul Wahab Rokan menyuruhnya untuk menunaikan badah haji ketanah suci Mekkah dan
sambil menuntut ilmu tentang tariqat Naqsabady di Jabal Qubeis kepada Syekh Sulaiman Zuhdi
(Silsilah 33 dari tariqot Naqsabady) dan Syekh sinilah yang menabalkan namanya menjadi Syekh
Sulaiman al Kholidy..

         Dalam pergaulannya degan gurunya ini, Syekh Sulaiman al Kholidy diberi beberapa buku seperti
“Shahifah Ash Shifa dan beberapa buku lainnya terutama tentang pedoman dan bimbingan tasawuf.
Sampai sekarang buku-buku tersebut masih tersimpan dirumahnya di Hutapungkut, ketika itu
dipegang oleh cucunya yang bernama Syekh H. sulaiman. Setelah sekian lama menuntut ilmu di Kota
Mekkah, Syekh Sulaiman al Kholidy pun kembali ketanah air dan menetap dikampung halamannya di
desa Hutapungkut.
     Dikampungnya ini, beliau membangun komplek yang terdiri dari rumah dan Mesjid yang berfungsi
sebagai tempat pengamalan tareqat Naqsabandy.

       Dalam membangun komplek ini, Syekh Sulaiman al Kholidy memanfaatkan kayu-kayu bulat besar
yang diambil dari hutan sekitar sebagai tiang dan pondasi rumah yang masih berdiri dan kokoh
sampai sekarang disekitar perumahan warga. Dalam pembangunan ini, para pekerja atau tukang
yang membangun rumah ini tidak ada mengalami kesulitan terutama dalam mengangkut kayu-kayu
besar yang sangat berat dserta membawanya sambil menuruni lereng perbukitan. Begitu juga ketika
melewati lorong atau gang kecil diantara rumah-rumah warga yang sangat sempit.

    Benda-benda lainnya sebagai benda peninggalan beliau masih banyak tersimpan, begitu juga
dengan bendi yang menjadi satu-satunya sebagai alat trasportasi pada saat itu juga masih dapat kita
jumpai. Konon bendi inilah yang dipergunakan Syekh Sulaiman al Kholidy ketika pulang dari Desa
Pakantan ketika ia dihadang oleh Buyung darek dan sahabatnya (Diceritakan pada hal cerita guru)
terdapat dan tersimpan dikomplek ini.

        Pada masa itu, Dikampung yang sama juga terdapat seorang Syekh yang bernama Syekh Abdul
Hamid (1865-1928) dan beliau ini adalah merupakan guru dar Syekh Musthofa Husein Purbabaru.
Syekh ini sangat menentang keras tentang pengajaran ilmu tariqot. Namun sebagai sama-sama
ulama besar keduanya tidak pernah berselisih tentang pendapat dan ajaran masing-masing.
Keduanya hidup rukun berdampingan padahal jarak kedua rumah mereka sekitar satu kilometer.
Syekh Sulaiman al Kholidy tinggal didesa Hutapungkut tonga dan Syekh Abdul Hamid tinggal di
Hutapungkut julu.

 Dikampung halaman dan sekitarnya ini, iapun mengajarkan ilmu tariqot Naqsabandy dan beberapa
muridnya antara lain ialah :

1. Syekh Abdul Kadir Padanglawas


2. Syekh Hasyim Ranjobatu
3. Syekh Abdul Majid Tanjunglarangan
4. Syekh Ismail Muarasipongi
5. Syekh Basir Pakantan
6. Syekh Abdul baqi (Anak kandung beliau) di Hutapungkut

         Begitu juga dengan murid-murid beliau ini, diarahkannya untuk pergi menunakan ibadah haji
ketanah suci Mekkah dan sekembalinya dari melaksanakan ibadah haji. Merekapun diarahkan juga
menjadi guru yang mengembangkan tariqot Naqsabady didaerah masing-masing dan dikemudian
hari lahirlah Guru-guru atau Syekh yang mengajarkan tariqou Naqsabandy di daerah Madina ini
seperti disebutkan beberapa diantaranya diatas.

 Pada tanggal 3 Muharram 1336 H atau bertepatan pada tanggal 12 Oktober 1917, Syekh yang
sangat dicintai oleh masyarakat ini dipanggil Yang Maha dan waktu itu bertepatan  umur beliau telah
mencapai 75 tahun.
        Semoga Ilahi Rabbi melimpahi cuarhan rahmat dan taufiq kepada Syekh Sulaiman holidy ini,  
Amin. 

Cermin

Muhammad Qessah adalah seorang pendekar


ahli silat tak terkalahkah yang terkenal mulai dari Muara Sipongi di Sumatera Utara sampai ke
Teluk Bayur di Sumatera Barat. Begitu hebatnya ilmu silat yang dimilikinya sehingga banyak
orang berguru kepadanya terutama dari kalangan anak-anak muda di masa itu. Tidak kecuali
pihak Belanda pun mengangkat Beliau sebagai pegawai untuk mengamankan daerah dan tentu
saja tidak ada orang yang berani melawan Beliau. Beliau punya prinsip kalau kalah akan berguru
tapi kalau menang orang yang kalah tersebut harus berguru kepada Beliau. Suatu hari tersiar
kabar ada seorang Syekh Tarekat yang mempunyai ilmu tinggi yang tidak bisa terkalahkan juga
dan murid-murid Muhammad Qessah yang semula berguru kepada Beliau berpindah berguru
kepada Syekh Tarekat tersebut. Hal ini membuat Muhammad Qessah penasaran dan ingin sekali
menantang Syekh Tarekat tersebut berkelahi, mengadu ilmu sesuai dengan prinsip Beliau kalau
kalah akan berguru kepada orang yang bisa mengalahkan Beliau.
Beliau mengunjungi Syekh Tarekat tersebut dengan menunggang kuda. Ketika mau sampai ke
rumah Tuan Syekh, Beliau berhenti ditepi sebuah telaga untuk beristirahat sejenak sambil
mencuci muka dan memperbaiki letak penutup kepala Beliau dengan maksud ketika
mengunjungi Tuan Syekh pakaian dan penampilan Beliau akan kelihatan rapi.
Ketika sampai di rumah Tuan Syekh yang tidak lain adalah seorang ulama Tasawuf terkenal
didaerah Hutapungkut dan sekitarnya, Beliau bernama Syekh Sulaiman Hutapungkut, khalifah
dari Saidi Syekh Sulamaiman Zuhdi di Jabal Qubais Mekkah, seperti sudah mengetahui
kedatangan Muhammad Qessah, Syekh Sulaiman Hutapungkut menunggu di serambi rumah
dengan hanya ditemani oleh istri Beliau.
“Assalamu’alaikum” kata Muhammad Qessah dengan suara lantang.
“Wa’alaikum salam” jawab Syekh Sulaiman Hutapungkut.
Muhammad Qessah dipersilahkan duduk dengan jarak lebih kurang 2 meter dari tempat duduk
Syekh Sulaiman Hutapungkut, kemudian Syekh Sulaiman Hutapungkut bertanya, “Apa maksud
kedatangan Tuan kemari?” dengan tanpa basa basi, Muhammad Qessah menjawab, “Saya ingin
menantang Tuan Syekh mengadu ilmu!”
Syekh Sulaiman Hutapungkut dengan tenang menjawab, “Saya perhatikan, sorban tuan agak
miring”.
“Ah tidak” Jawab Muhammad Qessah.
“Sebaiknya tuan bercermin dulu untuk memastikannya” Kata Syekh Sulaiman Hutapungkut.
Kemudian Syekh Sulaiman Hutapungkut meminta istri Beliau untuk mengambil sebuah cermin
dan kemudian cermin itu diberikan kepada Muhammad Qessah. Ketika Muhammad Qessah
melihat cermin alangkah terkejutnya karena dicermin itu dilihat wajahnya penuh dengan coretan
luka. Dalam hati Beliau berfikir kapan Tuan Syekh tersebut melukai mukanya padahal dari tadi
Tuan Syekh tidak bergerak sedikitpun dari kursinya.
Kemudian Muhammad Qessah dengan penasaran bertanya, “Ilmu apakah ini Tuan Syekh?”
Syekh Sulaiman Hutapungkut menjawab, “Inilah ilmu antara diam dan gerak, ilmu sebelum
berperang sudah menang”. Akhirnya Muhammad Qessah mengakui kehebatan dari Syekh
Sulaiman Hutapungkut  dan berguru kepada Beliau. Syekh Sulaiman Hutapungkut hanya dengan
sebuah cermin berhasil menundukkan seorang pendekar tak terkalahkan. Singkat cerita,
Muhammad Qessah ini kelak melanjutkan berguru ke Jabbal Qubais di Mekkah dan sempat
memimpin suluk sentral seluruh dunia di sana selama 7 tahun berturun-turut. Muhammad
Qessah adalah nama kecil dari Maulana Saidi Syekh Muhammad Hasyim al-Khalidi ahli Silsilah ke-
34 yang kemudian melahirkan seorang murid yang telah diramalkan oleh Rasulullah SAW  dalam
hadist Beliau sebagai “Orang yang bisa meng-ilmiahkan Al’Qur’an” yaitu Maulana Prof. Dr. Saidi
Syekh Kadirun Yahya Muhammad Amin Al-Khalidi.
Hanya dengan sebuah cermin seorang Wali Allah mampun mengubah kisah seorang pendekar
yang tidak mengenal sama sekali ilmu Tasawuf menjadi seorang Syekh Besar yang dikenal
sepanjang masa. Hanya dengan sebuah cermin Tuan Syekh berhasil menundukkan hati yang
keras dan kaku dari seorang pendekar terkenal. Ada apa dengan cermin?
Dalam masyarakat kita terkenal dengan pepatah, “Rupa buruk cermin dibelah” yang bermakna
sudah menjadi kebiasaan setiap kesalahan atau kekurangan diri, kita cenderung mencari alasan
dengan menyalahkan orang lain disekitar kita. Kita cenderung menyalahkan lingkungan yang
tidak lain adalah cermin bagi diri kita sendri.
Apabila engkau melihat aib (kesalahan) pada diri orang lain, maka ucapkanlah dalam diri,
“Sungguh, aib itu ada pada diriku. Karena seorang muslim adalah cermin bagi muslim yang lainnya.
Yang dilihat seseorang pada cermin hanyalah bayangan dirinya sendiri” demikian nasehat dari Syekh
Muhammad Amin Al-Kurdi yang layak untuk direnungi.
Kalau lingkungan, teman-teman, orang yang kita kenal dan alam ini adalah cermin bagi diri
sendiri, maka apapun yang kita lihat adalah diri kita sendiri. Kalau kita mengatakan orang lain
sombong maka seharusnya kita menyadari bahwa itulah cermin diri kita yang masih menyimpan
perasaan sombong. Kalau kita mengatakan orang lain penipu, pencuri dan sekian banyak
kesalahan tidakkah kita sadari kalau itu adalah cermin dari diri kita sendiri? Bukanlah itu adalah
diri kita sendiri yang terlihat pada sebuah cermin?
Sudah menjadi hukum alam bahwa segala sesuatu di dunia ini tersusun dengan demikian rapi.
Ada hukum yang tidak tertulis di alam ini yaitu hukum Ketertarikan (Law Attraction) di mana
benda yang sejenis dan segelombang akan menarik benda yang sama pula. Tidak mungkin
kambing berkawan dengan harimau atau ayam berkawan dengan musang, masing-masing akan
bersahabat dan dekat dengan yang sejenis. Penipu akan berkawan dengan penipu dan orang
jahat akan dekat dan menarik orang jahat yang sejenis untuk dekat dengannya.
Kalau suatu saat anda diperlakukan tidak adil, ditipu misalnya, biasanya kita lebih senang
menyalahkan orang yang menipu kita daripada kita merenung dan menanyakan dalam diri kita,
magnet apa yang menyebabkan kita menarik si penipu tersebut sehingga bisa bersentuhan
dengan kita?
Di dalam Terekat, Zikir adalah benteng yang melindungi pengamalnya dari godaan-godaan atau
serangan-serangan yang membuat diri menjadi kacau dan mengikuti gelombang yang sesat
tersebut. Ketika ada yang berani “menyerang” kita, apakah dalam bentuk penipuan, mendapat
kata-kata kasar atau perlakukan tidak menyenangkan lainnya berarti pertahanan kita telah bobol
dan pos-pos yang seharusnya di isi dengan Dzikir telah kosong sehingga bisa ditembus oleh
musuh.
“Hanya Wali yang Kenal dengan Wali” demikian prinsip yang pernah kita ketahui dalam dunia
tasawuf. Artinya seorang Kekasih Allah hanya bisa dikenali oleh orang yang segelombang. Ketika
dalam diri kita masih membawa gelombang yang berbeda maka sampai kapan pun kita tidak
akan pernah bisa berkenalan apalagi berdekatan dengan Wali Allah.
Jadi, cara terbaik untuk memperbaiki hidup agar lebih berkualitas adalah dengan banyak
bercermin dan merenungi diri sendiri. Menumpahkan kesalahan kepada orang lain hanya akan
membuat kita senang sesaat akan tetapi dalam jangka panjang akan mendatangkan masalah
yang jauh lebih besar karena sudah menjadi hukum di alam ketika kita mengeluarkan energi
negatif maka energi tersebut akan berlipat ganda dan akan kembali kepada kita. Kalau anda
mencaci maki dan membuka aib (kesalahan) orang lain maka tunggulah sudah menjadi hukum
pasti caci maki akan kembali kepada anda dan aib anda akan diketahui oleh orang lain dalam
skala yang lebih luas.
Mari kita banyak bercermin kepada lingkungan sekitar untuk memperbaiki diri sendiri. Menutup
tulisan ini saya mengutip sebuah syair dari seorang penyair sufi Hamzah Fanshuri, “Kembalilah
menjadi diri agar engkau lebih berarti”. Wallahu’alam Bishawab

Anda mungkin juga menyukai