Anda di halaman 1dari 6

Kadirun Yahya

Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya Muhammad Amin Al Khalidi (lahir di Pangkalan
Brandan, Sumatera Utara 1917 - meninggal di Arco, Depok, Jawa Barat 2001, pada usia 84
tahun) adalah seorang ulama tasawuf atau tokoh sufi kharismatik dari Indonesia. Ia adalah
mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, salah satu tarekat terbesar di Indonesia, di
mana tarekat yang dipimpinnya berkembang pesat di dalam maupun luar negeri. Lebih dari
700 tempat dzikir/surau/alkah telah didirikan, dan setiap tahunnya diselenggarakan kegiatan
suluk (i'tikaf, ibadah dan dzikir intensif selama 10 hari) hingga 10 kali di berbagai tempat, di
Indonesia dan Malaysia.[1]

Berkas:Prof. DR. H. Sayyidi Syeikh Kadirun Yahya Muhammad Amin.jpg


Prof. DR. H. Saidi Syaikh Kadirun Yahya Muhammad Amin, MSc.

Syekh Kadirun Yahya adalah salah satu ulama tarekat yang dinilai berhasil memadukan
antara ilmu dzikir serta ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[2] Ia banyak membuat
tulisan-tulisan ilmiah, serta menjadi pemakalah dan pembicara dalam berbagai forum ilmiah,
untuk menyampaikan gagasan dan pemikirannya mendeskripsikan tarekat dalam bahasan
sains, yang disebutnya sebagai "Teknologi Metafisika Al-Qur'an". Pemikiran, sosok
kepribadian, dan pola dakwah Syekh Kadirun Yahya yang unik dan berbeda dengan ulama-
ulama pada umumnya ini, juga telah banyak diteliti dan ditulis para akademisi, peneliti, dan
penulis, baik dari Indonesia maupun luar negeri.

Syekh Kadirun Yahya juga memiliki perhatian khusus terhadap dunia pendidikan. Ia
mendirikan lembaga pendidikan dari Taman Kanak-Kanak, SD, SMP, SMA, SMK, sampai
dengan Perguruan Tinggi di Medan.[3] Pada tahun 1956, ia mendirikan Akademi Metafisika,
yang pada tahun 1961 berubah nama menjadi Universitas Pembangunan Panca Budi. Di
perguruan tinggi ini Syekh Kadirun Yahya telah mengembangkan Fakultas Ilmu Kerohanian
dan Metafisika, untuk merumuskan ilmu kerohanian (agama) dan sains dalam kerangka
berpikir ilmu pengetahuan.

Biografi

Syekh Kadirun Yahya dilahirkan di Pangkalan Brandan, Sumatra Utara, pada tanggal 20 Juni
1917 bertepatan dengan 30 Sya'ban 1335 H dari ibu yang bernama Siti Dour Aminah Siregar
dan ayah yang bernama Sutan Sori Alam Abdullah Harahap. Ayah Syekh Kadirun Yahya
adalah seorang pegawai perminyakan (BPM) Pangkalan Berandan yang berasal dari
kampung Sikarang-karang, Padang Sidempuan. Keluarga besarnya adalah keluarga islamis
religius yang ditandai dengan nenek dari pihak ayah dan ibunya adalah dua orang Syekh
Tarekat, yaitu Syekh Yahya dari pihak ayah dan Syekh Abdul Manan dari pihak ibu.[2] Keluarga
ini sering dikunjungi oleh para Syekh pada zaman dahulu.

Riwayat Pendidikan

Riwayat Pekerjaan

Riwayat Berorganisasi

Piagam Penghargaan

Sejarah belajar Tarekat/ Sufi

Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya mengenal tarekat pada tahun 1943-1946 melalui
seorang khalifah dari Syekh Syihabuddin Aek Libung (1892-1967) yang berasal dari Sayur
Matinggi, Tapanuli Selatan.[5] Pada waktu itu masa pergolakan (penjajahan Jepang) dan ia
belum terlalu mendalami tarekat.

Pernikahan Syekh Kadirun Yahya muda dengan putri Syekh Haji Jalaluddin yang bermukim di
Bukit Tinggi, yang kala itu merupakan tempat pertemuan para Syekh tarekat, memberinya
peluang untuk memperdalam tarekat.[6] Melalui mertuanya inilah Syekh Kadirun Yahya muda
akhirnya berkenalan dengan Syekh yang kelak menjadi guru utamanya, yaitu Saidi Syekh
Muhammad Hasyim Buayan, di mana Syekh Muhammad Hasyim Buayan mendapatkan
ijazah tarekat Naqsyabandiyah dari Syekh ‘Ali al-Rida di Jabal Abu Qubays, Mekkah, yang
dibantu oleh Syekh Husain. Keduanya adalah khalifah dari Syekh Sulaiman al-Zuhdi.[7]

Pada tahun 1947, Syekh Kadirun Yahya muda hadir di rumah murid Saidi Syekh Muhammad
Hasyim, di Bukit Tinggi, Sumatra Barat. Ketika itulah ia pertama sekali mengikuti kegiatan
tawajuh atau zikir berjamaah yang dipimpin oleh Saidi Syekh Muhammad Hasyim, seorang
Syekh tarekat Naqsyabandiyah yang tinggal di nagari Buayan Lubuk Aluang, Kecamatan
Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.

Saidi Syekh Muhammad Hasyim Buayan adalah orang yang disiplin dalam melaksanakan
ketentuan tawajuh, dan biasanya siapa saja yang belum ikut tarekat belum diperbolehkan ikut
dalam kegiatan ini. Tetapi pada waktu tawajuh hendak dilaksanakan, saat itu Saidi Syekh M.
Hasyim Buayan melihat Kadirun Yahya muda, dan membolehkannya ikut tawajuh dengan
diajarkan kaifiat (tata cara) singkat oleh khalifahnya pada saat itu juga. Ini merupakan
peristiwa yang langka terjadi pada murid Tarekat Naqsyabandiyah seperti yang terjadi atas
diri Syekh Kadirun Yahya, yaitu belum memasuki tarekat tetapi sudah mengikuti kegiatan
tawajuh.

Dalam situasi Agresi Militer Belanda II, pada tahun 1949 Syekh Kadirun Yahya mengungsi ke
pedalaman Tanjung Alam, Batu Sangkar, Sumatera Barat. Di sini ia mencari sebuah
masjid/surau, untuk shalat dan berdzikir, selama berjam-jam, berhari-hari. Pada suatu hari
datanglah ke Masjid tersebut sekelompok orang dengan maksud melaksanakan
khalwat/suluk, yang dipimpin oleh seorang khalifah dari Syekh Abdul Majid Tanjung Alam
(1873-1958), seorang Syekh dari Guguk Salo (Tanjung Alam, Batusangkar) yang juga dikenal
dengan sebutan Syekh Abdul Majid Guguk Salo. Khalifah dari Syekh Abdul Majid ini meminta
agar Syekh Kadirun Yahya memimpin suluk tersebut, dan semula ditolaklah permintaan
tersebut. Tetapi setelah berkonsultasi lebih lanjut, maka ia bersedia dengan syarat harus ada
izin dari Syekh Muhammad Hasyim. Setelah mendapatkan izin barulah ia memimpin suluk.
Ini merupakan sebuah peristiwa yang langka, di mana Syekh Kadirun Yahya belum pernah
mengikuti suluk, tetapi diberi kepercayaan dan amanah untuk mensulukkan orang.

Setelah kejadian tersebut, Syekh Kadirun Yahya menemui Syekh Abdul Majid untuk meminta
suluk. Setelah suluk berakhir, ia mendapatkan satu ijazah dari Syekh Abdul Majid. Menurut
menantu/wakil/penjaga suluk yaitu khalifah H. Imam Ramali, Syekh Abdul Majid Guguk Salo
pernah berkata bahwa Syekh Kadirun Yahya, adalah orang yang benar-benar mampu
melaksanakan suluk dan kelak akan dikenal di seluruh dunia sebagai pembawa tarekat
Naqsyabandiyah.

Selanjutnya Syekh Kadirun Yahya, kembali menjumpai Saidi Syekh M. Hasyim Buayan untuk
mempertanggung jawabkan kegiatan beliau yang “di luar prosedur lazim” tersebut dan
sekaligus meminta suluk. Hal ini diperkenankan oleh Saidi Syekh M. Hasyim Buayan dengan
langsung membuka suluk.

Selama gurunya masih hidup, setiap minggu Syekh Kadirun Yahya berziarah kepada Saidi
Syekh M. Hasyim Buayan (tahun 1950–1954). Setelah gurunya wafat, ziarah tetap dilanjutkan
antara 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) kali dalam setahun. Pada tahun 1950, Saidi Syekh M.
Hasyim Buayan mengangkat Kadirun Yahya menjadi khalifah. Pemberian ijazah kepada
Kadirun Yahya sekaligus menempatkannya dalam daftar silsilah ke-35 dalam urutan silsilah
Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah. Dua tahun kemudian Syekh Kadirun Yahya
mendapatkan predikat Syekh penuh dengan gelar Saidi Syekh.[8]

Penilaian Saidi Syekh M. Hasyim Buayan tentang Syekh Kadirun Yahya adalah: Saidi Syekh
Kadirun Yahya, mendapatkan apresiasi tinggi, antara lain dari segi ketakwaan, kualitas pribadi
dan kemampuan melaksanakan suluk sesuai dengan ketentuan akidah dan syariat Islam.
Syekh Kadirun Yahya, menjadi satu-satunya murid Saidi Syekh M. Hasyim Buayan yang
diangkat menjadi Saidi Syekh di makam gurunya, yaitu Saidi Syekh Sulaiman al-Khalidi
Hutapungkut (1841-1917) di Hutapungkut, Kota Nopan, Mandailing Natal, Sumatera Utara,
dan diumumkan ke seluruh Negeri.

Dalam Ijazah Syekh Kadirun Yahya dicantumkan kata-kata, “Guru dari orang-orang cerdik
pandai, Ahli mengobat", yang baru beberapa puluh tahun kemudian terbukti kebenarannya.
Syekh Kadirun Yahya diberi izin untuk melaksanakan dan menyesuaikan segala ketentuan
Tarekat Naqsyabandiyah dengan kondisi zaman, sebab semua hakikat ilmu telah
dilimpahkan gurunya padanya.[9]

Pada suatu saat yang lain, Syekh Syihabuddin Aek Libung Sayur Matinggi juga memberikan
ijazah dan pengakuan sebagai Syekh Tarekat kepada Syekh Kadirun Yahya.[10] Syekh
Syihabuddinn Aek Libung Sayur Matinggi pernah berkata kepada anak kandungnya yang
menjaga suluk, yaitu Syekh Husein, bahwa muridnya yang benar-benar dapat menegakkan
Suluk adalah Syekh Kadirun Yahya.[11]

Pada tahun 1969, Syekh Kadirun Yahya berziarah dan bertemu dengan Syekh Muhammad
Said Bonjol. Syekh Muhammad Said Bonjol memutuskan untuk memberikan kepada Syekh
Kadirun sebuah benda berwujud semacam mahkota yang konon telah berusia lebih dari 300
tahun, yang dititipkan oleh guru Syekh Muhammad Said Bonjol, yaitu Syekh Ibrahim
Kumpulan, di mana Syekh Ibrahim Kumpulan juga mendapatkannya dari gurunya, yaitu Saidi
Syekh Sulaiman Al Qarimi (Jabal Abu Qubaisy, Mekkah), dengan pesan agar kelak diberikan
kepada "seseorang yang pantas, yang memiliki tanda-tanda tertentu". Puluhan tahun berlalu,
barulah “orang yang pantas” tersebut ditemukan oleh Syekh Muhammad Said Bonjol, yaitu
Syekh Kadirun Yahya.
Genealogi Kemuttashilan Sanad/Silsilah Tarekat
Naqsyabandiah Al-Khalidiah

Guru Para Cerdik Pandai

Tulisan Ilmiah

Pembicara dalam Forum Ilmiah

Prinsip dan Motto Kerja

Pemikiran Syekh Kadirun Yahya

Wafat

Referensi

Pranala luar

Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Kadirun_Yahya&oldid=21927250"


Terakhir disunting 2 bulan yang lalu oleh Roetan Setiawan

Anda mungkin juga menyukai