Anda di halaman 1dari 5

Syech Muhammad Sa'id Al Khalidi Bonjol

Syech Muhammad Sa'id Bonjol

Syech Muhammad Sa'id Bonjol Lahir dilahirkan di sebuah desa terpencil diseberang sungai di
bawah kaki bukit Rawang, kampung Sawah Nangguang, Padang Baru, Kenagarian Ganggo
Hilir, Kecamatan Bonjol Pasaman pada tanggal, 20 April 1881 M. bertepatan dengan 21 Jumadil
Awal 1298 H. Ayahnya bernama Syifat Sutan Mudo suku Sikumbang berasal dari kampung Air
Deras, Limo Koto, Kumpulan. Ibunya bernama Hajah Kamimah suku Caniago berasal dari
Padang Baru, Ganggo Hilir, Bonjol. Ayahnya meninggal tahun 1884 M. dimana beliau masih 
berumur 3 tahun.
Setelah Menamatkan sekolahnya di Mekkah al mukarramah 1910 M dengan Sych Sulaiman Zuhdi
Jabbal Qubaysi lalu Syech Sulaiman Zuhdi memerintahkan untuk pulang dulu ke Bonjol karena
keduanya sudah mendapatkan firasat dan kabar  Guru beliau Syech Ibrahim Al Khalidi Kumpulan
telah wafat , maka kembalilah Syech Said ke Bonjol disambut para khalifah Syech Kumpulan , Lalu
beliau mengembangkan Thariqat Naqshabandiah Mujaddidiah Al Khalidiah sampai 1979 . Mesjid
Bonjol adalah salah satu pusat pengajaran suluq yang Syech Said dirikan , Lalu Ajaran diteruskan
oleh anak beliau Buya Harun Al Rasyid bin Sa'id (Mursyda Al Mahzunu ma'nun ) di desa Sipisang
Palupuah kab Agam. Buya Harun Al Rasyid bin Sa'id Bonjol wafat di Desa Sipisang thn 2001 . Begitu
juga oleh anak beliau Syech Said Bonjol dari lain istri yang juga penerus Ajaran bliau K.H Chalidi Said
Bin Said Bonjol mantan DPR RI.
Sampai saat ini terjadi kekosongan penerus Ajaran Buya Harun Al Rasyid bin Sa'id Bonjol dari Syekh
Said Bonjol (ayah beliau ) sebagai penerus Ajaran thariqat naqshabandiah Mujaddidiah Al Khalidiah
di sipisang paluluah dan bonjol khususnya, Walaupun Anak-anak beliau Buya Harun AL Rasyid bin
Sa'id bonjol Bang Bujang anak ke 2 menggalang dzikir di surau-surau dan musholla di Kumpulan,
Sementara bang Jas anak pertama menggalakkannya di kota Bukittinggi. Bagi saudara-saudara ku
yang pernah bersentuhan dengan Thariqat ini ,atau keluarga besar Syekh Muhammad Sa'id Al
Khalidi Bonjol ada Baik nya kita kembali menyambung tali silaturrahim dimana pun saudaraku berada
Wassallam.

Syekh Muhammad Sa’id Bonjol

Di salah satu Pusat perjuangan Paderi (1803-1838), Bonjol, pernah pula menjadi pusat kajian Islam
Tradisional Minangkabau yang masyhur namanya sampai akhir abad ke-20. Nama besar perguruan
Islam Tradisional itu tak lain karena dedikasi dan ketenaran seorang ulama besar yang kharismatik di
daerah ini. Ulama itu ialah Syekh Muhammad Sa’id Bonjol, terkenal pulalah beliau ini dengan
panggilan “Imam Bonjol ke-II”.

Masih tertulis dengan rapi nama Syekh Muhammad Sa’id Bonjol ini dalam buku-buku sejarah tua
tentang Islam di Minangkabau, karena beliaulah penganjurnya yang gigih dan konsisten dengan
akidah dan amalan yang dianut. Nama beliau paling banyak disebut apabila dihubungkan dengan
jami’ah (organisasi) ulama-ulama Tua Minangkabau, PERTI, sebagai salah seorang sesepuh yang
dihormati, teman seperjuangan Inyiak Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung. Organisasi Kaum Tua ini
terkenallah sebagai wadah persatuan Ulama-ulama besar yang setia terhadap Mazhab Syafi’i dalam
Fiqih, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam berakidah dan memakai salah satu Tarekat Mu’tabarah
sebagai bentuk pengamalan terhadap Tasawwuf sunni. Maka Syekh Sa’id merupakan salah satu
tokoh yang tidak bisa dikesampingkan dalam perkumpulan ini.

Syekh Muhammad Sa’id dilahirkan pada tahun cx1881. tidak tercatat lagi masa kecil beliau. Namun
dapat diduga bahwa beliau di masa-masa umur puluhan tahun mengaji ala surau Minangkabau di
daerah kelahirannya, Bonjol. Dasar-dasar keilmuan surau inilah yang memotivasinya untuk belajar ke
tanah suci Mekkah dikemudian harinya, sebagai halnya ulama-ulama besar yang sebaya dengan
beliau, sampai masyhurnya beliau sebagai Ulama besar.

Selain ilmu-ilmu Syariat yang dipelajari beliau secara bertalaqqi sejak dari Surau sampai ke Mekah al-
Mukarramah, beliaupun istimewa dalam ilmu Tarekat dan Hakikat, sehingga terkenallah Syekh Sa’id
sebagai salah seorang mursyid dan syekh dari Tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Dari karena
keistimewaan beliau dalam bidang Tasawwuf ini, Syekh Sa’id menjadi tokoh besar dalam mengurus
bidang Tarekat Sufiyah dalam organisasi PERTI, setelah Syekh Abdul Wahid Beliau Tabek Gadang,
Syekh Arifin Batu Hampar dan Syekh Muda Abdul Qadim Belubus Payakumbuh wafat. Tercatat
bahwa beliau menjadi salah satu Ulama yang mengikuti Konferensi Tarekat Naqsyabandiyah di
Bukittinggi pada tahun 1954, dalam membahas karangan-karangan Haji Djalaluddin (sebagai
tersebut dalam Tablighul Amanah).

Syekh Sa’id mengambil Tarekat Naqsyabandiyah dari yang Mulia Syekh Ibrahim Kumpulan (1764-
1914), yang masyhur namanya dengan “Angguik Balinduang Kumpulan”. Keberhasilan beliau dalam
Tarekat Naqsyabandiyah menyebabkan beliau diangkat sebagai khalifah Syekh Ibrahim Kumpulan.
Dikarenakan begitu taatnya beliau kepada Allah sehingga beliau mendapat Karunia Allah di dalam
mengerjakan khalwat. Diceritakan dalam mengerjakan Suluk di Bulan Ramadhan beliau beroleh
Karomah. Seketika mengambil wadhu’ di Malam Hari, Sorban beliau dilarikan Pohon kelapa yang
rebah, sebab sebelumnya beliau meletakkan kain sorban beliau di pohon kelapa rebah itu sebelum
berwudhu’.

Kedalaman ilmu beliau dalam bidang Syari’at, ditambah dengan paham yang matang dalam Tarekat,
membuat Syekh Sa’id terkenal sebagai Ulama yang disegani oleh kawan maupun lawan. Tidak
berapa lama setelah menamatkan kaji, Syekh Sa’id tidak perlu menunggu lama untuk membangun
sebuah tempat pendidikan Tradisional sebagai tempat untuk mengamalkan ilmu yang telah berpuluh
tahun dituntutnya. Baru saja beliau kembali ke kampung halamannya, para pelajar telah
berbondong-bondong menuju Bonjol untuk bertalaqqi dan berkhitmat kepada Syekh Sa’id Bonjol.
Masih teringat dan terkenang oleh para murid beliau yang sekarang berada dalam usia tua, ratusan
orang siak mengaji siang dan malam, melafazhkan kitab kuning, berbai’at dalam Tarekat
Naqsyabandiyah, di tempat Syekh Said yang sekarang telah disulap menjadi Mesjid Syekh Sa’id
Bonjol.
[post_ads]
Begitu halnya yang berlaku selama puluhan tahun, mengaji dan bersuluk menjadi aktivitas rutin di
Surau Syekh Sa’id. Kemasyhuran Beliau, menjadi bau harum semerbak yang mengundang para
penuntut ilmu dari daerah-daerah yang jauh, bukan hanya di kawasan Bonjol. Tercatat murid-murid
beliau berasal dari Payakumbuh, Agam, Lubuk Sikaping bahkan dari Sumatera Utara. Keramaian
pelajar itu bertahan sampai masa berpulang kerahmatullah Syekh Sa’id di tahun 1979 dalam usia 98
tahun. beliau kemudian dimakamkan di Mihrab Mesjid beliau, seperti ulama-ulama besar lain,
makam beliau dihiasi dengan Kelambu putih, sebagai hormat dan setia kepada Imam Bonjol ke-II,
Syekh Haji Muhammad Sa’id.

Seperti yang terjadi dengan ulama-ulama besar lainnya, pepatah orang-orang tua berlaku pula pada
pribadi Syekh Sa’id. Ibarat kelapa condong, batangnya di tanah kita, namun buahnya jauh ke tanah
orang lain. Murid-murid Syekh Sa’id yang seharusnya menjadi pengganti beliau bukanlah orang-
orang Bonjol maupun keturunannya, tapi banyak di luar Bonjol. Maka tinggallah Makam dan Mesjid
Syekh Sa’id, bukan lagi diurus dan dilanjutkan oleh para murid. Masih kita syukuri tradisi dan ajaran
yang beliau anut tetap dipegang erat-erat oleh masyarakat Bonjol umumnya.

Mesjid Syekh Muhammad Sa’id Bonjol

Suasana yang masih asri, begitulah jika kita memasuki kawasan mesjid Syekh Muhammad Sa’id
Bonjol. Gaya arsitek lama, tata ruang yang sangat klasik dan amalan-amalan masyarakat di Mesjid ini
yang masih seperti dulu menambah kekhasan Mesjid yang di desain di awal abad 20 itu.

Mesjid Syekh Sa’id di pagari oleh tembok setinggi 2 meter di keempat penjurunya, sehingga dari
pekarangan mesjid kita tak bisa melihat jalanan aspal di depan komplek mesjid ini. Memasuki
pekarangan, kita akan memasuki pintu yang cukup besar pada pagar tembok. Dengan halaman yang
telah bersemen, Mesjid akan tampak tegar walaupun dengan usia yang lebih setengah abad. Mesjid
tersebut memiliki satu Kubah besar, dan dua kubah kecil di kanan kirinya. Memasuki ruangan Mesjid
kita akan menemui akan tangga yang berciri khas di depan pintu masuk. Tangga tersebut
menghubungkan lantai dasar dengan loteng (minang : pagu), di loteng itu sendiri terdapat ruangan
khusus, dan di atas itu lagi ada ruangan lagi.

Ruangan tertata dengan gaya lama, selain tonggak-tonggak semen bercampur kayu, mimbarnya pun
sangat antik, berjenjang dari depan sehingga kalau khatib naik mimbar akan melangkah dan berdiri
di jenjang-jenjang bertikar beludru itu. Sebagai hijab antara laki-laki dan perempuan terdapat kain
berwarna biru, tertutup rapat, sehingga memang laki-laki tak bisa memasuki tempat shalat wanita di
Mesjid tersebut.

Di sekitar mesjidpun masih berdiri bangunan-bangunan tua, bekas kejayaan dimasa lalu. Tepat
sebelah kanan mesjid terdapat kran-kran tempat berwudhu’ laki-laki. Besebelahan dengan tempat
berwudhu’ itu terdapat sebuah bangunan kayu yang dibangun diatas kolam yang cukup luas. Persis
di belakang Mihrab mesjid terdapat ruangan makam Syekh Muhammad Sa’id dengan kelambu putih.
Dibelakang makam tersebut, terdapat lagi sebuah ruangan khusus, dengan satu bilik sebagai tempat
peninggalan benda-benda syekh, seperti jubah, sorban dan kitab-kitab. Di sebelah kiri mesjid
terdapat lagi 2 buah bangunan yang terbuat dari kayu. Menurut keterangan yang ada bahwa
ruangan-ruangan itu merupakan tempat para santri dahulunya menuntut ilmu.

Bila masuk waktu shalat jum’at, maka suasananya pun akan sangat terasa lain, sebab memang tak
biasa sebagaimana yang dialami oleh orang-orang modern saat ini. Di Mesjid inilah kita menyaksikan
amalan tradisional yang masih kental, belum pudar di hanyutkan modernisasi dan Tajdid. Sebab
Minangkabau sedari dulunya kuat menganut mazhab syafi’i, maka pengamalan jum’atnya sarat
dengan amalan pekah Syafi’iyyah. Sebelum jum’at, beduk di pukul 2 kali berselang sekitar setengah
jam. kemudian azan dilakukan dua kali .

Suatu yang unik dari pelaksanaan azan di Mesjid Syekh Sa’id ini, azan pertamanya bersahut-sahutan
antara satu muazzin dengan muazzin yang satunya, yang satu berdiri di Mihrab mesjid, sedang
satunya lagi berdiri ditangga menuju ruangan atas. Apabila muazzin pertama yang berada di Mihrab
azan dengan kalimat Allahu Akbar, maka disahut oleh muazzin kedua dengan kalimat yang sama
setelah bacaan muazzin pertama selesai. Begitu seterusnya, sampai pada kalimat la ilaha illallahu
baru dibaca bersama-sama oleh kedua muazzin tersebut. Kesyahduan irama yang dihasilkan
menambah khitmat pelaksanaan jum’at, ditambah dengan suasana yang hening ala orang-orang
tradisional, yang mungkin jarang kita kemui sekarang.
hjk’

Setelah azan dilantunkan, kemudian para jama’ah yang telah memenuhi mesjid berdiri untuk
melaksanakan shalat sunat Qabliyah jum’at. Setelah itu baru khatib naik mimbar dengan setelan
sorban, syal di pundak dan bersarung, tak lupa dengan tongkat ditangan kanan. Sesudah salam
dilaksanakan azan yang kedua, namun tidak seperti azan pertama, azan ini dilakukan oleh muazzin
seorang tanpa bersahut-sahutan.

[post_ads_2]

Khatib berdiri setelah kumandang azan, dan mulai membaca khotbah dengan bahasa Arab. Ada
suatu yang aneh, walaupun dengan khutbah bahasa Arab namun khitmatnya beribadah lebih terasa
dibanding dengan khutbah yang diucapkan dengan bahasa Indonesia, dengan uraian yang panjang.
Dalam sejarah kita baca, bahwa pelaksanaan khutbah di Minangkabau dulunya memang dilakukan
bahasa Arab, dapat dinyatakan sejak masuknya Islam itu sendiri. Baru di awal abad ke-20 dimulai
khutbah dalam bahasa Indonesia oleh ulama-ulama yang kebanyakannya berfaham muda. Diantara
ulama yang memulai perubahan bahasa khutbah itu ialah Syekh Muhammad Thayyib Umar
Sungayang Tanah Datar (wafat 1920) dan Syekh Muhammad Djamil Djambek Bukittinggi (wafat
1947). Selanjutnya melihat keadaan masyarakat yang dari masa kemasa mulai kurang memahami
bahasa Arab, perubahan khutbah inipun dilakukan pula oleh kaum Tua, dengan konsekwensi rukun
khutbah mesti berbahasa Arab. Walaupun perubahan itu telah hampir seabad lalu di mulai, namun
masih ada diantara ulama-ulama yang mempertahankan tradisi khutbah dengan bahasa Arab
sebagai sediakalanya, tentu dengan dalil dan hujjah yang kuat pula. Maka Mesjid Syekh Sa’id ini
termasuk kelompok yang masih memakai paham lama, ketika belum ada yang namanya
modernisasi.

Pelaksanaan khutbah sendiri di Mesjid Syekh Sa’id dalam waktu yang relatif pendek, kira-kira kurang
dari 10 menit. Sewaktu khatib duduk di antara dua khutbah, bilal membaca dengan jahar beberapa
ayat al-Qur’an dan Shalawat. Setelah itu, shalat dilakukan dengan imam tersendiri, bukan khatib.
Pelaksaan shalatpun sangat kental dengan fiqih syafi’iyyah sebagai halnya dilakukan di- derah-
daerah lainnya, menjaharkan bacaan basmallah dan membaca surat juga diawali basmallah. Selesai
shalat berdo’a bersama sebagaimana yang lazimnya. Setelah itu, khusus bagi jama’ah tharekat
Naqsyabandi tetap di dalam Mesjid ketika masyarakat lain pulang. Kemudian pintu ditutup, untuk
melaksanakan Tawajjuh, sebuah amalan zikir dalam tharekat Naqsyabandiyah.
Suatu yang unik lainnya ditemui, diwaktu pelaksanaan jum’at juga diikuti oleh kaum hawa untuk
mendengarkan khutbah. Memang tak lazim bagi orang-orang sekarang, namun indikasi yang
menunjukkan bahwa amalan seperti ini pernah banyak dilakukan di Minangkabau khususnya. Dan
lagi jika ditelisik dari fiqih, sunnat pula hukumnya perempuan mengikuti jum’at. Begitu seharusnya,
namun tak banyak masyarakat masa kini yang mengetahui.

Begitulah eksistensi Mesjid Syekh Sa’id dalam menjaga tradisi dan amalan yang telah dibangun
pondasinya oleh ulama Besar Syekh H. Muhammad Sa’id Bonjol. Dengan demikian, besar pula
pengaruh eksisnya Mesjid bagi masyarakat sekitarnya dalam menumbuhkan sikap konsekwen dalam
beamal ibadah, sebagaimana dibawa oleh ulama-ulama besar pendahulu kita, jauh dari
pendangkalan keilmuan dan amalan yang dibawa oleh kaum modern.

Apria Putra- Sebuah Catatan Perjalanan, Desember 2009


Sumber : http://surautuo.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai